Share

Mereka Bilang Kakakku Pelakor
Mereka Bilang Kakakku Pelakor
Penulis: Ajeng padmi

Lelaki Asing

Penulis: Ajeng padmi
last update Terakhir Diperbarui: 2024-06-14 16:17:08

Seharusnya ini hari bahagia untuknya, tapi semua sirna saat mendengar kabar itu. 

“Aku hanya ingin melihat akhir hidup wanita  perebut milik orang lain.” 

Dengan dagunya yang angkuh laki-laki itu menunjuk pusara mbak Nina. 

“Apa maksudmu?” 

Tangan Kia terkepal dengan erat mendengar ucapan laki-laki itu, andai saja ini bukan di depan pusara kakaknya yang baru saja meninggal, tentu akan dengan senang hati dia memaki laki-laki ini. 

“Sudah jelas bukan kalau kakakmu hanya wanita simpanan suami sepupuku.” 

Kia menarik napas dalam berusaha mengumpulkan rasa sabar, duka yang dari tadi deras menyelimutinya selama perjalanan dari gedung tempat dia wisuda ke tempat peristirahatan terakhir kakaknya itu berubah menjadi amarah yang siap meledak. 

Padahal mbak Nina, kemarin masih menghubunginya dan meminta maaf  tidak bisa ikut mendampinginya wisuda karena sedang hamil muda. Itu sebuah berita yang sangat membahagikan, apalagi Kia juga mendapat kabar kalau dia mendapat ipk terbaik. 

Sungguh Kia tidak pernah menduga kalau kebahagiaan itu akan berubah dalam sekejap menjadi duka. 

Saat dia dan orang tuanya akan berangkat ke tempat wisuda yang kebetulan ada di luar kota, Mas Zafran, suami mbak Nina tiba-tiba menghubungi kalau mbak Nina pendarahan hebat dan dilarikan ke rumah sakit. 

Kedua orang tua Kia, langsung menyusul ke rumah sakit sedangkan Kia akan menyusul setelah acara selesai. 

“Mbak Nina sudah punya suami dan dia sangat mencintai suaminya itu, dia bukan orang yang suka selingkuh.” 

Laki-laki yang bahkan tidak Kia tahu namanya itu hanya tersenyum sinis lalu melangkah pergi membuat Kia makin meradang. 

Tapi lagi-lagi dia tidak bisa berbuat banyak, bukankah untuk saat ini mendo’akan mbak Nina lebih utama dari pada mendengarkan omong kosong itu. 

Dengan tubuh gemetar Kia berjongkok di depan makam itu, harum rangkaian bunga  menusuk hidungnya. Tangan Kia meraba untaian itu dengan gemetar, bibirnya tak henti mengucapkan do’a setulus hatinya. 

Mbak Nina adalah kakak terbaik yang dia punya, yang bahkan rela berhenti kuliah saat ayahnya sakit keras dan tak sanggup lagi memenuhi kebutuhan keluarga mereka. 

Mbak Nina bekerja di sebuah pabrik tekstil yang cukup besar, di sana jugalah dia bertemu dengan suaminya mas Zafran. Dua tahun  pernikahan sang kakak dengan suaminya tak pernah Kia lihat ada percikan. 

Mereka adalah pasangan paling romantis dan serasi yang Kia tahu, bahkan para tetangga juga memuji keduanya, jadi Kia sama sekali tidak percaya kata-kata laki-laki itu. 

Tangannya kembali terulur untuk meyentuh batu nisan itu. 

“Mbak, aku yakin orang itu telah salah menilai mbak Nina. Mbak Istirahat saja yang tenang aku akan menjaga ibu dan bapak.” 

Sekali lagi Kia menyusut air matanya, matanya masih terpaku menatap nisan baru itu sebelum kakinya beranjak pergi. 

Ibu dan bapaknya pasti juga sangat sedih. 

Seperti janjinya di depan pusara mbak Nina, Kia akan menjaga mereka, seperti mbak Nina menjaga mereka selama ini. 

***

“Kita juga baru tahu kalau ternyata Nina itu istri simpanan, amit-amit... padahal dia itu cantik dan terlihat baik kok tega merusak kebahagiaan wanita lain.” 

“Duh nyesel aku menerima pemberian mereka dulu ternyata itu hanya pencitraan.” 

“Benar kalau tahu dia pelakor sudah aku ludahi mukanya.” 

Kia mengepalkan tangan erat saat tak sengaja mendengar omongan tetangga yang masih ada di depan rumahnya. 

“Lho Ki, sudah di sini sejak tadi.” 

Kia tak menjawab pertanyaan basa-basi itu, dia bisa melihat ketiga tetangga yang sedang bergunjing itu salah tingkah. 

Tak ingin membuat keributan yang tak berarti, Kia langsung melangkahkan kakinya ke dalam rumah. 

Jika hatinya begitu sakit dan perih dengan ucapan orang-orang, pun tak jauh beda dengan kedua orang tuanya, bahkan mungkin lebih. 

“Pak, Bu,” kata Kia lemah pada dua sosok yang tadi pagi penuh senyum mengantarkannya untuk wisuda, bahkan baju batik bapaknya dan abaya sang ibu yang mereka gunakan tadi pagi juga masih sama. Tapi entah mengapa dalam pandangan Kia wajah mereka jauh lebih tua dari tadi pagi. 

Keduanya duduk diam berdua, larut dalam kesedihan, bahkan tak terlihat sanak saudara dan tetangga yang menemani. 

Kia bergerak memeluk keduanya, tangis tak dapat dia bendung lagi, isak memilukan lolos dari mulut. 

Pertanyaan kenapa dan apa, menghantui pikirannya. 

“Yang sabar, nduk. Ikhlaskan mbakmu. Dia sudah tenang di sana,’ kata-kata sang bapak yang diucapkan dengan parau mampu menghentikan tangisan Kia, meski sedu sedan masih tak dapat dia sembunyikan. 

“Kenapa mbak Nina bisa pendarahan?” 

Itu pertanyaan yang wajar menurut Kia tapi entah mengapa wajah kedua orang tuanya menjadi begitu nelangsa. 

“Kandungan mbakmu lemah dan terjadi pendarahan, karena sedang di rumah sendiri jadi dia tidak langsung dibawa ke rumah sakit, Zafran baru tahu setelah ada tetangg yang menghubunginya,” kata sang ibu setelah diam cukup lama.

Zafran? Bukankah dia biasanya membahasakan kakak iparnya itu dengan masmu, kenapa saat ini beda apa karena mbak Nina sudah meninggal. 

“Lalu di mana mas Zafran sekarang?” 

“Bersihkan tubuhmu dulu, nduk kamu pasti lelah. Ada makanan yang ibu masak tadi pagi.” 

Ibunya mengalihkan pembicaraan dan itu berarti ada yang salah, apa karena gosip yang dia dengar sepanjang jalan?

“Bu?” bantah Kia tak terima, dia menatap sang ayah yang menundukkan kepalanya dalam. 

“Ini salah bapak, Ki. Maafkan bapak yang tidak bisa menjaga mbakmu.” Kia menatap bapaknya dengan bingung. 

“Apa yang terjadi sebenarnya? Kia berhak tahu bukan? Orang-orang itu...” Kia menunjuk ke luar ruangan dengan suara tercekat. “Mereka berbicara omong kosong tentang mbak Nina dan Kia sama sekali tidak terima itu,” lanjutnya dengan marah. 

“Maaf..maafkan bapak, Nduk.” 

“Maaf untuk apa, Pak, kepergian mbak Nina itu sudah takdir, kita memang sedih tapi bapak sama sekali tidak salah,” kata Kia bingung. 

Sang bapak makin terisak pelan, matanya memerah. Seumur hidup Kia dia tidak pernah melihat bapak serapuh ini, apalagi sampai meneteskan air mata. 

“Dimana mas Zafran pak, bu?” tanya Kia sekali lagi. 

Kali ini sang ibu meremas tangan Kia dan berkata dengan kalimat yang goyah. “Menemani istri pertamanya.” 

“Apa?” 

Kia langsung melepaskan tangannya dari genggaman sang ibu. Ini tidak benar bukan. Istri  pertama Zafran? Artinya benar kakaknya istri kedua, atau mungkin istri simpanan seperti kata laki-laki tadi. 

“Itu tidak mungkin, Bu. Mbak Nina tidak akan menghancurkan kebahagiaan orang lain apapun alasannya, ibu dan bapak pasti mengenal mbak Nina dengan baik.” 

Hanya isak tangis yang menjawab kalimat Kia, tanpa sanggahan seperti yang dia inginkan. 

Ini tidak mungkin pasti ada yang salah, dia harus memastikan sendiri pada Zafran, kalau perlu Kia akan mendatangi laki-laki itu langsung saat ini juga. 

Bab terkait

  • Mereka Bilang Kakakku Pelakor   Istri Simpanan

    Sudah sepuluh kali panggilan dan semuanya langsung ditolak. Dengan gemas Kia mengulang lagi panggilannya, dia punya cukup waktu saat ini apalagi untuk mencerca kakak iparnya itu. Demi Tuhan kakaknya baru saja meninggal dan suaminya meninggalkannya seperti sampah yang tak berguna. “Mas dimana kenapa tidak ada di rumah saat mbak Nina meninggal?” Itu bunyi pesan yang Kia kirimkan, tapi hanya ada dua centang biru saja tanpa ada balasan.Tak sabar, Kia menelpon lagi nomer kakak iparnya itu dan hal yang sama juga terjadi. “Sialan!” Kia mengganggam erat ponselnya. Otaknya berputar cepat. Dia ingin tahu apa yang sedang terjadi, tiba-tiba matanya menatap pintu kamar sang kakak. Memang sejak menikah Mbak Nina hanya beberapa kali menginap di kamar itu, tapi tidak ada salahnya bukan mencoba. Perlahan Kia berdiri diiringi pandangan bingung kedua orang tuanya. “Nduk kamu mau kemana?” tanya sang ibu dengan parau. Kia menatap wajah kedua orang tuanya sebentar lalu berkata. “Kia ingin meme

    Terakhir Diperbarui : 2024-06-14
  • Mereka Bilang Kakakku Pelakor   Kehilangan Lagi

    Kia sering mendengar pepatah yang mengatakan mulutmu adalah harimaumu. Pepatah yang sangat pas untuk mengungkapkan keadaan keluarganya saat ini, tapi bedanya bukan mulut mereka yang menjadi harimau tapi mulut para tetangga yang bergunjing telah berhasil menerkam kenyamanan keluarga Kia, bahkan saat pengajian kematian kakaknya, nyinyiran tetangga tak juga berkurang. “Apa Kang Sardi dulu tidak tahu kalau Nina itu istri kedua? Seharusnya menikah kan ada surat-surat,” kalimat lembut penuh racun itu terucap dari bibir salah satu adik ayahnya yang saat ini menghadiri pengajian tujuh hari meninggalnya mbak Nina. Mereka bahkan tidak peduli saat kalam-kalam Allah dibaca dengan begitu indahnya. Kedatangan paman dan bibi Zafran, juga absennya laki-laki itu semenjak kematian mbak Nina membuat gosip makin santer terdengar, bahkan tak jarang Kia harus pulang dengan amarah yang menguasai dirinya setelah keluar rumah, syukurlah ibu punya jalan keluar yang sangat bagus untuk itu yaitu, tidak mempe

    Terakhir Diperbarui : 2024-06-14
  • Mereka Bilang Kakakku Pelakor   Karma Pelakor

    Hanya berjarak beberapa hari bendera kuning di depan rumah Kia kembali dikibarkan. “Kasihan ya pak Sardi, dia juga ikut mendapat karma karena perbuatan Nina.” Gerombolan kecil ibu-ibu itu bahkan tak peduli kalau suara mereka jelas terdengar oleh orang lain, padahal kini mereka sedang ada di halaman rumah Kia bersama para pelayat yang lain.“Pak Sardi juga salah mau-maunya menikahkan anaknya dengan suami orang.” “Iya juga, mungkin ini doa istri pertama yang tersakiti, apalagi keluarga Zafran pernah ke sini.”“Oh iya aku dengar itu, padahal sudah kejadian kayak gini mereka tidak kapok juga minta uang pada Zafran.” “Mereka tidak minta, keluarga Zafran yang memberi sebagai kompensasi, tapi mereka tak mau.” “Halah itu pasti cuma sok saja, setelah mereka pulang pasti telepon Zafran minta uangnya ditransfer saja.” “Bisa jadi, sayang sekali padahal dulu mereka orang baik.” “Siapa yang tidak suka dengan uang,” kata salah satu dari mereka yang diiringi anggukan setuju yang lain. Geromb

    Terakhir Diperbarui : 2024-06-14
  • Mereka Bilang Kakakku Pelakor   Tetangga Oh Tetangga

    "Pergilah, di sini tidak ada yang bisa kamu lakukan." Kia menggeleng. "Tidak Kia, tidak akan meninggalkan ibu sendiri." "Tak ada yang bisa kamu lakukan di sini, maksud ibu... kamu tidak bisa mendapatkan pekerjaan lebih baik dari ini di sini." Kia meluruskan kertas di depannya dan menatap surat itu dengan pandangan bimbang, dia tidak mungkin meninggalkan ibunya sendiri di sini menghadapi semuanya. Sudah hampir empat puluh hari kematian bapaknya tapi perlakuan orang-orang masih saja sama yang menganggap mereka sampah bau yang patut dihindari. Beberapa bulan yang lalu Kia memang memasukkan lamaran ke perusahaan ini, itu sebelum mbak Nina meninggal dan tentu saja saat semuanya masih baik-baik saja. Rencana Kia, dia akan bekerja di perusahaan itu. Bukan perusahaan favorit memang tapi gaji yang ditawarkan cukup besar untuk ukuran lulusan baru seperti dirinya dan yang paling penting lokasinya tidak jauh dari... rumah mbak Nina.Bahkan bapak dan ibunya dulu setuju karena Kia tidak akan

    Terakhir Diperbarui : 2024-06-14
  • Mereka Bilang Kakakku Pelakor   6. Terlanjur Basah

    “Bawa tamunya masuk, nduk. Kita perlu bicara baik-baik apapun masalahnya.” Sekilas Kia menoleh dan mendapati ibunya berdiri di depan pintu dengan wajah cemas, dan tidak perlu jadi jenius untuk menebak kenapa sang ibu bereaksi demikian. Kejadian yang akhir-akhir ini terjadi pada keluarganya juga wajah sangarnya pasti sudah mengatakan kalau ada masalah yang terjadi. Kia menyesal kenapa dia tak langsung mengusir laki-laki ini. “Kamu dengar bukan,” katanya tanpa menoleh pada laki-laki itu dan melangkah masuk ke dalam rumah. Tanpa kata sang ibu mengelus bahu Kia dan membimbingnya masuk ke dalam rumah, senyum menenangkan menghiasi bibirnya, memuat Kia begitu heran bagaimana ibunya masih bisa tersenyum setenang itu saat keadaan seperti ini. Dan jujur saja Kia... iri melihatnya. “Kamu siapa, Nak?” tanya ibu begitu mereka sudah duduk dengan benar, sebenarnya sang ibu sudah meminta Kia untuk mengambilkan minuman dan makanan kecil untuk si tamu, tapi Kia dengan bandel malah masih tetap

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-01
  • Mereka Bilang Kakakku Pelakor   7. Hidup Baru

    “Kamu benar tidak punya hubungan apapun dengan laki-laki itu, Ki?” Kia langsung cemberut saat bi Asih lagi-lagi bertanya hal itu untuk kesekian kalinya, tindakan isengnya membuat gosip tentang keluarga mereka semakin liar, bahkan ibunya yang sekarang sudah janda menjadi korban, banyak para ibu yang dulu berteman dengan ibunya menjauh, takut suaminya direbut. Kia bukannya merasa bersalah tapi malah ingin tertawa mendengar cerita bibinya itu. “Ibu-ibu itu kayaknya kurang piknik, aku Cuma bercanda mereka kira serius.” Sejujurnya Kia sudah muak dengan gosip yang mengatakan mbak Nina perebut suami orang, meski banyak bukti mengungkap kebenarannya tapi Kia tidak yakin Mbak Nina akan melakukan itu dengan sengaja, dia pasti punya alasan dan karena dia belum tahu alasan itu, cara terbaik adalah dengan mengalihkan mereka pada isu yang lain. “Kamu itu sudah tahu mereka tidak bisa bercanda malah kamu goda seperti itu

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-01
  • Mereka Bilang Kakakku Pelakor   8. Amit-amit

    “Maaf pak Amir masih ada meeting dengan direktur sampai jam sepuluh.” Cobaan pertama saat memulai kehidupan kerjanya adalah ... menunggu. Di surat panggilan kerja itu tertulis jelas kalau dia harus hadir jam tujuh tepat untuk tanda tangan kontrak, tapi ternyata kepala HRD yang menanganinya sedang ada meeting. Bukan cobaan besar sebenarnya tapi membuat sebal juga. Perlahan Kia melangkah ke sofa yang ditunjukkan resepsionis tadi. Apa ini karma karena dia menolak sarapan pagi yang disiapkan sang ibu sejak hari masih gelap tadi. Ah kenapa kata itu sekarang sangat familiar di kehidupannya. Kia menggeleng berusaha mengenyahkan pikiran tak penting.Berusaha menyibukkan diri dengan ponsel di tangannya karena untuk kembali ke kontrakan malas sekali rasanya jika nanti harus bolak-balik. Game membasmi zombie menjadi pilihannya, mungkin dengan banyaknya zombie yang bisa dia basmi akan mengurangi karma

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-01
  • Mereka Bilang Kakakku Pelakor   9. Fakta Menyakitkan

    “Ibu masih punya uang simpanan untuk kita makan tiga bulan ke depan,” kata ibu tiba-tiba yang membuat Kia langsung mengerutkan keningnya tak mengerti. “Apa kamu tidak nyaman dengan pekerjaan itu?” Kalau ini bukan ibunya, Kia pasti berpikir kalau Ibu mengikutinya tadi atau yang lebih modern menempelkan alat pelacak pada dirinya, untuk mengetahui apa yang terjadi padanya hari ini. “Semuanya baik-baik saja, Bu,” kata Kia lebih untuk meyakinkan dirinya sendiri, semuanya memang baik-baik saja, dia sudah diterima kerja dengan tugas yang menurutnya tak terlalu berat dan gaji yang lumayan besar. Jadi tidak ada masalah bukan, kecuali... Dan Kia yakin dia akan bisa mengatasinya. “Kamu yakin?” tanya sang ibu sekali lagi. Kia terdiam sebentar haruskan dia mengatakan pada sang ibu tentang pertemuannya dengan Biru? Setelah terdiam sejenak akhirnya Kia berkata. “Ibu ingat Sabiru bukan, l

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-01

Bab terbaru

  • Mereka Bilang Kakakku Pelakor   68. Hidup Baru

    Kia sama sekali tidak pernah mendengar kabar Renata lagi sejak Zafran mengatakan akan menceraikan wanita itu. Bahkan Biru yang biasanya akan sibuk membela kakak sepupunya itu terlihat juga enggan untuk membicarakan wanita itu, dan Kia juga berusaha keras menjaga mulutnya meski rasa penasaran menderanya Tapi hari ini tiba-tiba saja Biru menghampirinya dengan wajah panik. "Ki, aku ingin menjenguk mbak Rena apa kamu mau ikut?" tanyanya. Kia mengangkat alis. "Apa harus?" tanyanya. "Bagaimanapun mereka yang sudah membesarkanku dan mbak Rena pernah memperlakukan aku dengan baik, aku hanya-" "Bukan itu maksudku tapi apa aku harus ikut kamu ke sana? kamu tahu sendiri bagaimana mereka?" Biru menghela napas, dan mengangguk dengan mantap. "Kamu calon istriku, aku hanya ingin terbiasa terbuka padamu, lagi pula aku tahu mbak Rena dan bibiku, mereka pasti akan membuat dr

  • Mereka Bilang Kakakku Pelakor   67. Barter

    Kia terus saja menarik tangan Biru keluar dari rumah, mengabaikan panggilan ibunya dan juga protes Biru yang kepalanya langsung  pusing. "Kia kamu mengajakku kemana, kalau masalah mahar dan kapan kita menikah kenapa tidak dibicarakan dengan mereka juga," gerutu Biru, tapi Kia sama sekali tak peduli dia terus menarik tangan Biru dan baru berhenti saat mereka sudah ada di samping rumah Kia barus melepaskannya. "Bapak seharusnya balik lagi ke rumah sakit, benar kata dokter bapak belum sembuh benar." Bukannya menjawab Biru malah menatap Kia dengan wajah kesal. "Siapa yang kamu panggil bapak," katanya. Kia menghela napas panjang menatap Biru dengan kesal. "Apa sebenarnya maksudmu mengatakan itu pada ibuku?" tanya Kia judes, bukan apa-apa, setelah kematian mbak Nina dan mereka pindah ke sini ibunya sudah terjangkit virus, ibu minta mantu. Dan tiba-tiba saja ada laki-laki yang melamar putrinya,Kia yakin sang ibu tak akan pikir pan

  • Mereka Bilang Kakakku Pelakor   66. Tak Romantis

    "Sudah aku duga," kata Kia terkesan tak peduli.Sekarang dua laki-laki di depannya itu yang terkejut. "Kenapa kamu berpikir begitu?" tanya Biru. Kia menatap Biru seolah laki-laki itu datang dari dunia lain. "Wanita itu, Felly masih muda dan sangat cantik, juga kaya. Sayang sekali, padahal aku ingin melihat drama istri pertama dan istri ketiga, kalau mbak Nina aku tak yakin dia bisa menentang Renata yang berkuasa dan dicintai suaminya." Sunyi yang menegangkan langsung tercipta setelah Kia mengatakan kalimat panjangnya. Dia sadar kedua laki-laki di depannya ini pasti tidak akan suka dengan kelimatnya, tapi Kia tidak mau peduli. "Makanlah buburmu keburu dingin," kata Kia mengambil sendoknya lagi dan menyuapkan makanan dengan nikmat seolah tak terjadi apapun." "Kamu masih menyalahkan, Mas atas kematian mbakmu, KI?" tanya Zafran pelan. "Tidak penting bukan bagaimana perasaanku, karena kamu salah atau tidak kam

  • Mereka Bilang Kakakku Pelakor   65. Perawat

    Pantas saja Biru meminta Kia untuk merawatnya tanpa khawatir dijulitin tetangga, ternyata laki-laki itu tinggal di salah satu apartemen yang biasanya hanya Kia lihat iklannya di televisi. "Kamu tinggal di sini?" pertanyaan konyol sebenarnya, karena jelas-jelas Biru mengajaknya ke mari setelah pulang dari rumah sakit, dan perlu digaris bawahi 'pulang paksa' yang kecil kemungkinan membuatnya harus mampir main ke rumah teman dulu. "Ada yang aneh?" tanya Biru. Kia tak menjawab dia lalu menatap ke luar. Jarak kantor dengan apartemen ini mungkin kira-kira hanya sepuluh menit perjalanan dengan menggunakan mobil atau Kira-kira lima belas menit dengan rumah kontrakan KIa dan juga rumah milik Biru. "Aku kira kamu tinggal di dekat rumah kontrakanmu," kata Kia, tapi mungkin dia langsung sadar orang seperti Biru tidak mungkin selevel tinggal di kampung seperti dirinya. "Aku hanya tidak ingin ribet urusan kecil masalah kebersihan dan keamanan misalnya, di sini semuanya sudah ditangani menagem

  • Mereka Bilang Kakakku Pelakor   64. Salah Sangka

    "Kulihat lukamu tidak terlalu parah." Ini kejutan, bahkan Biru sepertinya tidak menyangka kalau sang bibi akan datang menjenguknya, tanpa Zafran, Renata atau suaminya. "Bibi datang," kata Biru setelaj berhasil mengatasi keterkejutannya, Kia sendiri langsung melompat dari duduknya saat tahu siapa yang datang, dan dia yang tahu diri segera menyingkir karena wanita itu menatap Kia seolah dia adalah hama penggangu. Tidak heran sih, apalagi setelah kejutan yang Kia tampilkan dalam pesta waktu itu. "Ckk kamu memang benar-benar merepotkan, untuk apa kamu mengumpankan diri hingga terluka." Biru terlihat tak setuju dengan kata-kata sang bibi, dan ingin membantah. Dia menatap Kia sejenak dan melihat Kia yang menggeleng tak kentara. Bukan Kia sok baik atau apa sih, tapi dia hanya tidak ingin Biru merasa sendiri, dia tahu meski sang bibi tak terlalu memperhatikannya, Biru sangat menyayangi bibinya. "Aku datang bersama Kia," kata Biru singkat. "Aku tidak tahu dari sekian banyak wanita ya

  • Mereka Bilang Kakakku Pelakor   63. Terbiasa Sendiri

    "Apa aku perlu menghubungi keluargamu yang lain?" tanya Kia. Biru menggeleng. "Kamu bisa pulang, maaf tidak bisa mengantarmu," katanya datar. Kia menatap laki-laki itu tak enak hati. Miris memang setahunya di saat Renata sakit waktu itu, Biru bilang ikut menjaganya di rumah sakit, tapi sekarang saat laki-laki itu sakit dan itu karena uah Renata, tidak ada satupun dari mereka yang bahkan datang menyusul. Kia menggeleng bukankah dia tidak boleh berburuk sangka, mungkin saja mereka masih capek atau sibuk dengan pesta itu. "Aku sudah menghubungi temanku, untuk mengatakan pada ibu, aku akan menemanimu di sini." Biru menatap Kia dengan pandangan antara ingin tersenyum juga tak percaya. "Kenapa kamu melakukan ini?" tanya Biru. Kia meluruskan duduknya dan membenarkan rambutnya. "Melakukan apa?" tanyanya tak mengerti. "Membawaku ke rumah sakit dan mengurus semuanya, padahal kamu bilang tidak mau jadi pacarku apa

  • Mereka Bilang Kakakku Pelakor   Tragedi

    Tidak ada senyum di wajah Renata sepanjag acara itu berlangsung. Bagi Kia hal itu cukup wajar, Jika dia yang mendapati suaminnya menikah lagi, mungkin bukan hanya wajahnya yang masam, tapi dia akan langsung balik badan dan tak akan mau melihat wajah mereka lagi. Kia akan sangat mengagumi ketegaran Renata, andai saja.... "Kenapa tidak langsung menikah?" bisik Kia pada Biru yang pandangannya masih terpaku pada prosesi tukar cincin pada pasangan calon pengantin. "Wanita itu anak orang kaya bukan, dia pasti ingin pesta yang selayaknya." "Meski dia istri kedua," kata KIa sinis. "Yah mau bagaimana lagi, dia cintanya sama mas Zafran.""Kamu yakin itu cinta, bukan karena tujuan lain?" Sepertinya Kia sudah ketularan penyakit julid LIta. Biru kembali mengangkat bahunya. "Kamu bilang ingin melihat mereka menikah, tapi kamu kenapa pertanyaanmu seolah kamu tidak suka dengan calon istri mas Zafran." "Bukan tidak suka sih, hanya kok tidak masuk akal saja." "Bukankah cinta katanya mem

  • Mereka Bilang Kakakku Pelakor   61. Cinta Gila

    "Kamu yakin ini rumah calon istri ketiga Zafran?" tanya Kia sekali lagi. Dia sampai melangkah ke depan Biru dan menatap laki-laki itu tajam, seolah mencari kebohongan di wajahnya. "Tentu saja mbak Rena minggu lalu mengajakku kemari, dan maaf kali ini tidak seperti pernikahan mas Zafran dan kakakmu yang hanya diketahui mereka saja, sekarang semua keluarga besar tahu." "Mereka juga mendukung, termasuk om dan tantemu?" tanya Kia dan anggukan yang diberikan Biru membuat Kia menggelenng tak percaya. "Dan kamu juga mendukungnya?" "Kalau bisa aku ingin menghentikannya, untuk itulah aku mengajakmu ke sini." "Aku tidak punya hak." "Aku tahu, tapi kamu akan mengingatkan mereka pada kasus kakakmu, lagi pula ini acara keluarga dan sudah sepantasnya aku mengajak teman dekatku," jawab Biru mantap. Kia tak menjawab dia kembali berbalik dan menatap bangunan di depannya, bukan bangunan modern yang megah memang, bahkan bagian depan di dominasi oleh kayu berukir rumit khas jawa. "Sepertinya me

  • Mereka Bilang Kakakku Pelakor   60. Tak Sama

    "Aku tidak ada bersamanya waktu itu, kamu pasti sudah tahu aku dengar kamu bertanya pada beberapa orang." "Dan mereka pasti mengatakan seperti yang kamu mau." Zafran menatap Kia terkejut tapi tidak menjawab, dan itu menguatkan dugaan Kia. "Aku tidak tahu kalau dia hamil sebenarnya, tapi aku punya dugaan dari perubahan sikap dan bentuk tubuhnya, juga siklus bulanannya, kamu tahu bukan." Kia buru-buru mengangguk. "Aku meminta Biru untuk membelikan obat penggugur kandungan, aku tidak langsung menyuruhnya hanya mengatakan sambil lalu obat apa itu dan mungkin saja dia membutuhkan, NIna waktu itu hanya tersenyum, tapi dia pasti tahu kalau aku tidak menginginkan anak yang dikandungnya, tepatnya aku khawatir dengan masa depan anak itu." "Karena kamu tidak mencintai ibunya." "Aku menyayangi Nina... tapi aku terlalu lemah," jawab Zafran sambil menunduk. Kia menatap Zafran dengan jijik. "Andai aku tahu itu lebih cepat, aku akan menyeret mbak NIna meninggalkanmu, dan kamu pantas untuk itu.

DMCA.com Protection Status