Share

Mereka Bilang Kakakku Pelakor
Mereka Bilang Kakakku Pelakor
Penulis: Ajeng padmi

Lelaki Asing

Seharusnya ini hari bahagia untuknya, tapi semua sirna saat mendengar kabar itu. 

“Aku hanya ingin melihat akhir hidup wanita  perebut milik orang lain.” 

Dengan dagunya yang angkuh laki-laki itu menunjuk pusara mbak Nina. 

“Apa maksudmu?” 

Tangan Kia terkepal dengan erat mendengar ucapan laki-laki itu, andai saja ini bukan di depan pusara kakaknya yang baru saja meninggal, tentu akan dengan senang hati dia memaki laki-laki ini. 

“Sudah jelas bukan kalau kakakmu hanya wanita simpanan suami sepupuku.” 

Kia menarik napas dalam berusaha mengumpulkan rasa sabar, duka yang dari tadi deras menyelimutinya selama perjalanan dari gedung tempat dia wisuda ke tempat peristirahatan terakhir kakaknya itu berubah menjadi amarah yang siap meledak. 

Padahal mbak Nina, kemarin masih menghubunginya dan meminta maaf  tidak bisa ikut mendampinginya wisuda karena sedang hamil muda. Itu sebuah berita yang sangat membahagikan, apalagi Kia juga mendapat kabar kalau dia mendapat ipk terbaik. 

Sungguh Kia tidak pernah menduga kalau kebahagiaan itu akan berubah dalam sekejap menjadi duka. 

Saat dia dan orang tuanya akan berangkat ke tempat wisuda yang kebetulan ada di luar kota, Mas Zafran, suami mbak Nina tiba-tiba menghubungi kalau mbak Nina pendarahan hebat dan dilarikan ke rumah sakit. 

Kedua orang tua Kia, langsung menyusul ke rumah sakit sedangkan Kia akan menyusul setelah acara selesai. 

“Mbak Nina sudah punya suami dan dia sangat mencintai suaminya itu, dia bukan orang yang suka selingkuh.” 

Laki-laki yang bahkan tidak Kia tahu namanya itu hanya tersenyum sinis lalu melangkah pergi membuat Kia makin meradang. 

Tapi lagi-lagi dia tidak bisa berbuat banyak, bukankah untuk saat ini mendo’akan mbak Nina lebih utama dari pada mendengarkan omong kosong itu. 

Dengan tubuh gemetar Kia berjongkok di depan makam itu, harum rangkaian bunga  menusuk hidungnya. Tangan Kia meraba untaian itu dengan gemetar, bibirnya tak henti mengucapkan do’a setulus hatinya. 

Mbak Nina adalah kakak terbaik yang dia punya, yang bahkan rela berhenti kuliah saat ayahnya sakit keras dan tak sanggup lagi memenuhi kebutuhan keluarga mereka. 

Mbak Nina bekerja di sebuah pabrik tekstil yang cukup besar, di sana jugalah dia bertemu dengan suaminya mas Zafran. Dua tahun  pernikahan sang kakak dengan suaminya tak pernah Kia lihat ada percikan. 

Mereka adalah pasangan paling romantis dan serasi yang Kia tahu, bahkan para tetangga juga memuji keduanya, jadi Kia sama sekali tidak percaya kata-kata laki-laki itu. 

Tangannya kembali terulur untuk meyentuh batu nisan itu. 

“Mbak, aku yakin orang itu telah salah menilai mbak Nina. Mbak Istirahat saja yang tenang aku akan menjaga ibu dan bapak.” 

Sekali lagi Kia menyusut air matanya, matanya masih terpaku menatap nisan baru itu sebelum kakinya beranjak pergi. 

Ibu dan bapaknya pasti juga sangat sedih. 

Seperti janjinya di depan pusara mbak Nina, Kia akan menjaga mereka, seperti mbak Nina menjaga mereka selama ini. 

***

“Kita juga baru tahu kalau ternyata Nina itu istri simpanan, amit-amit... padahal dia itu cantik dan terlihat baik kok tega merusak kebahagiaan wanita lain.” 

“Duh nyesel aku menerima pemberian mereka dulu ternyata itu hanya pencitraan.” 

“Benar kalau tahu dia pelakor sudah aku ludahi mukanya.” 

Kia mengepalkan tangan erat saat tak sengaja mendengar omongan tetangga yang masih ada di depan rumahnya. 

“Lho Ki, sudah di sini sejak tadi.” 

Kia tak menjawab pertanyaan basa-basi itu, dia bisa melihat ketiga tetangga yang sedang bergunjing itu salah tingkah. 

Tak ingin membuat keributan yang tak berarti, Kia langsung melangkahkan kakinya ke dalam rumah. 

Jika hatinya begitu sakit dan perih dengan ucapan orang-orang, pun tak jauh beda dengan kedua orang tuanya, bahkan mungkin lebih. 

“Pak, Bu,” kata Kia lemah pada dua sosok yang tadi pagi penuh senyum mengantarkannya untuk wisuda, bahkan baju batik bapaknya dan abaya sang ibu yang mereka gunakan tadi pagi juga masih sama. Tapi entah mengapa dalam pandangan Kia wajah mereka jauh lebih tua dari tadi pagi. 

Keduanya duduk diam berdua, larut dalam kesedihan, bahkan tak terlihat sanak saudara dan tetangga yang menemani. 

Kia bergerak memeluk keduanya, tangis tak dapat dia bendung lagi, isak memilukan lolos dari mulut. 

Pertanyaan kenapa dan apa, menghantui pikirannya. 

“Yang sabar, nduk. Ikhlaskan mbakmu. Dia sudah tenang di sana,’ kata-kata sang bapak yang diucapkan dengan parau mampu menghentikan tangisan Kia, meski sedu sedan masih tak dapat dia sembunyikan. 

“Kenapa mbak Nina bisa pendarahan?” 

Itu pertanyaan yang wajar menurut Kia tapi entah mengapa wajah kedua orang tuanya menjadi begitu nelangsa. 

“Kandungan mbakmu lemah dan terjadi pendarahan, karena sedang di rumah sendiri jadi dia tidak langsung dibawa ke rumah sakit, Zafran baru tahu setelah ada tetangg yang menghubunginya,” kata sang ibu setelah diam cukup lama.

Zafran? Bukankah dia biasanya membahasakan kakak iparnya itu dengan masmu, kenapa saat ini beda apa karena mbak Nina sudah meninggal. 

“Lalu di mana mas Zafran sekarang?” 

“Bersihkan tubuhmu dulu, nduk kamu pasti lelah. Ada makanan yang ibu masak tadi pagi.” 

Ibunya mengalihkan pembicaraan dan itu berarti ada yang salah, apa karena gosip yang dia dengar sepanjang jalan?

“Bu?” bantah Kia tak terima, dia menatap sang ayah yang menundukkan kepalanya dalam. 

“Ini salah bapak, Ki. Maafkan bapak yang tidak bisa menjaga mbakmu.” Kia menatap bapaknya dengan bingung. 

“Apa yang terjadi sebenarnya? Kia berhak tahu bukan? Orang-orang itu...” Kia menunjuk ke luar ruangan dengan suara tercekat. “Mereka berbicara omong kosong tentang mbak Nina dan Kia sama sekali tidak terima itu,” lanjutnya dengan marah. 

“Maaf..maafkan bapak, Nduk.” 

“Maaf untuk apa, Pak, kepergian mbak Nina itu sudah takdir, kita memang sedih tapi bapak sama sekali tidak salah,” kata Kia bingung. 

Sang bapak makin terisak pelan, matanya memerah. Seumur hidup Kia dia tidak pernah melihat bapak serapuh ini, apalagi sampai meneteskan air mata. 

“Dimana mas Zafran pak, bu?” tanya Kia sekali lagi. 

Kali ini sang ibu meremas tangan Kia dan berkata dengan kalimat yang goyah. “Menemani istri pertamanya.” 

“Apa?” 

Kia langsung melepaskan tangannya dari genggaman sang ibu. Ini tidak benar bukan. Istri  pertama Zafran? Artinya benar kakaknya istri kedua, atau mungkin istri simpanan seperti kata laki-laki tadi. 

“Itu tidak mungkin, Bu. Mbak Nina tidak akan menghancurkan kebahagiaan orang lain apapun alasannya, ibu dan bapak pasti mengenal mbak Nina dengan baik.” 

Hanya isak tangis yang menjawab kalimat Kia, tanpa sanggahan seperti yang dia inginkan. 

Ini tidak mungkin pasti ada yang salah, dia harus memastikan sendiri pada Zafran, kalau perlu Kia akan mendatangi laki-laki itu langsung saat ini juga. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status