Anuptaphobia. Dimana kondisi ini membuat pengidapnya takut kesendirian. Itulah yang dialami Aisyah. Kejadian 5 tahun silam menyisakan trauma yang mendalam. Tidak hanya itu saja, Aisyah juga tidak ingat sebagian masa lalunya. Orang tua Aisyah, memutuskan menikahkan Aisyah dengan Fajar--seorang pemuda yang di percaya bisa menjaga Aisyah, karna takut dengan ancaman seorang mafia yang akan mencari Aisyah. Lima tahun menjalani pernikahan dengan Fajar, hanya siksaan yang Aisyah terima. Tangan Fajar begitu ringan. Setiap kesalahan yang Aisyah lakukan pasti Fajar akan memukulnya. Hingga suatu hari. Lafas talak terucap di bibir Fajar. Setelah di cerai, Aisyah juga di usir dari rumahnya. Pertemuan tidak sengaja Aisyah dengan Adriano Lion King. Merubah kehidupan Aisyah yang selama ini bagai di neraka semenjak menjadi istri Fajar. . Cinta datang setelah hubungan halal. Namun, cobaan menerpa hubungan seumur jagung itu, ketika Aisyah ingat siapa dirinya dan rasa bencinya pada King semakin bertambah setelah tahu kenyataan yang dialamnya selama ini.
View MoreArrgghh!"
Aisyah mengerang pelan sambil menggigit bibir, mata di pejamkannya kuat ketika menyapukan obat ke lengan kanannya yang terdapat luka lebam. Pedih, tidak ada kata yang dapat menggambarkan rasa sakit di badannya saat ini, tanpa sadar air matanya menetes menahan kesakitan. Perlahan mata di bukanya, di perhatikan luka di lengan dari pantulan cermin. Bukan hanya lebam pada lengan saja, tapi hampir seluruh wajahnya di penuhi lebam. "Ya Allah, kenapa hidupku seperti ini." Aisyah merintih. Kepalanya menunduk memandang lantai. Suasana yang sepi membuatnya teringat kembali kejadian menyakitkan tadi malam. "Aisyah! Sini kau! Ikut aku!" Bayangan kala Fajar menarik kasar tangannya ke dalam kamar, berputar lagi di kepala. Menggigil tubuh Aisyah melihat wajah bengis suaminya kala itu. ' Ya allah apa lagi salahku kali ini?' "Abang kenapa? Apa salah Aish ,Bang? Kalau Aish salah, tolong jangan perlakukan Aish seperti ini, Bang," rintihnya memohon dengan suara bergetar. "Kau tanya apa salah kau? Ini salah kau!" Fajar mendorong kasar tubuh Aisyah hingga jatuh tersungkur di lantai. Semakin berdebar jantung Aisyah melihat Fajar mengambil ikat pinggang yang tergantung di belakang pintu. "Ja-jangan, Bang, Aish mohon!" "Kau kira aku ini tuli, ha! Kau pikir aku tidak tahu apa yang telah kau gunjingkan pada para tetangga. Kau bilang aku jalan dengan wanita lain, kan? Eh, harusnya kau itu sadar diri! Aku menikahi kau, karna Bapak kau saja yang memohon-mohon padaku. Bukan karna aku cinta atau pun sayang dengan kau! Paham!" "Sum-sumpah, Bang! Demi Allah, Aish tidak pernah menceritakan tentang Abang pada siapapun. Apa lagi tentang perempuan itu. Selama ini Aish juga tidak mempersalahkan kalau Abang mau keluar dengan dia. Asal Abang tetap mau jaga Aish, itu sudah cukup bagi Aish Bang." Berurai air mata Aisyah jatuh mengalir membasahi pipi, namun tidak sedikitpun membuat Fajar merasa kasihan padanya. Malah senyum sinis yang di sunggingkan pria itu. "Aku itu tidak bodoh! Kau kira aku tidak tahu, kau itu jenis wanita seperti apa. Bisanya hanya membuka aib suami pada orang lain! Apa kau tidak bisa membuatku tenang sehari saja, hah!" Fajar mencengkram kasar rambut Aisyah dari belakang, hingga kepala Aisyah mendongak ke atas. "Ampun Bang. Sa-sakit..." "Tau juga kau sakit? Tapi kurasa ini belum sakit lagi. Ini baru sakit!" Bugh! Satu pukulan keras mendarat tepat di wajah Aisyah. Bibir di katup rapat menahan sakit pada bagian bibir yang pecah. "Argh!" Tidak cukup sampai di sana saja, Aisyah kembali mengerang menahan sakit, saat ikat pinggang kulit mendarat pada bagian lengan dan punggungnya. Sakit yang di rasanya saat itu, hanya dia dan tuhan saja yang tahu. Menetes lagi air mata Aisyah kala kejadian buruk yang dialaminya tadi malam melintas lagi di kepala. ' Jika bisa, sekarang juga aku ingin lupakan semuanya, tapi aku tidak mampu. Aku lemah.' "Aisyah!" Teriakan itu membuat Aisyah tersentak. Tangan segera menyeka jejak air mata di pipinya, sebelum berlari menuruni anak tangga. Tubuh semakin gemetar, melihat Fajar sedang membuka tudung saji. 'Astaghfirullah! Aku lupa menyiapkan makan siang. Bagaimana bisa aku lupa?' Aisya membatin dalam hati dengan kepala menunduk memandang lantai. Di sana Fajar sedang memperhatikannya dengan tatapan tajam. "Apa yang kau lakukan seharian ini? Mana makan siangku?" tanya Fajar dengan gigi geraham saling bergelatuk, menahan geram. "A-Aish lupa Bang. Abang berikan Aish waktu lima menit untuk menyiapkan makan minum Abang," mohon Aisyah ketakutan.. "Bilang saja, kau sengaja mau balas dendam masalah tadi malam, kan?" tuduh Fajar yang di balas Aisyah dengan gelengan kepala. "Sumpah, Bang. Aish tidak ada niat balas dendam sama sekali. Abang berikan Aish waktu lima menit ya, Aish akan siapkan makan minum Abang." Aisyah kembali memohon. Fajar semakin menajamkan tatapannya. Kemudian ia melangkah mendekati Aisyah dan sengaja menyenggol kasar bahu wanita itu hingga tubuh Aisyah mundur beberapa langkah ke belakang. "Mulai sekarang, tidak perlu lagi kau memasak untukku! Menurutku makan di luar lebih enak dari pada makan di sini. Apalagi melihat muka kau yang menyebalkan ini! Yang ada selera makanku hilang!" ucap Fajar sinis. Aisyah hanya bisa diam melihat Fajar berjalan dan keluar dan mengambil helm dan memakainya. "A-Abang. Persedian bahan-bahan dapur di dalam lemari es tidak banyak lagi," ucap Aisyah memberitahukan. "So? Kau mau aku yang membelinya?" tanya Fajar dengan tatapan sinisnya. Aisyah menggeleng cepat. "Apa kau tidak bisa pergi ke pasar sendiri, hah!" herdik Fajar lagi. Semenjak menikah Aisyah memang tidak pernah mendapatkan perlakuan baik atau pun kasih sayang dari suaminya. Dirinya semata-mata hanya di jadikan pelampiasan amarah Fajar saja. Tapi ia bisa apa, Fajar adalah orang yang di pilih sang ayah untuk menjaganya. Aisyah di perintahkan menuruti apa pun yang di katakan Fajar. "Ma-maksud Aish bukan begitu. Pasar kan jauh, Abang kan tahu Aish tidak bisa bawa motor. Jadi Aish mau menumpang sama Abang sekalian," jawab Aisyah terbata-bata. "Kau ada kaki kan? Gunakan kedua kaki kau itu. Tidak mungkin untuk berjalan kepasar harus aku ajar kan juga pada kau! Kalau tidak, kau bisa cegat taksi di depan. Sudahlah, aku telat! Bicara dengan kau hanya membuang-buang waktu saja." Aisyah mengangguk pelan. Mau membantah ia tidak berdaya. Sepertinya pergi ke pasar jalan kaki memang harus di lakukannya, walau jarak pasar dari rumahnya lumayan jauh. *** Hampir basah seluruh pakaian Aisyah berjalan di bawah terik matahari yang menyengat kulit. Keringat yang menetes di dahi, sesekali di sekanya menggunakan punggung tangan. Sejak tadi, tidak satupun kendaraan umum yang melintas. Ini salah suaminya yang tidak mau memberi tumpangan. Padahal tempat kerjanya dengan pasar satu arah. Tapi Aisyah bisa apa? Memaksakan kehendak, yang ada dirinya yang akan menjadi sasaran amukan tangan pria itu. "Aduh, capek banget. Kenapa dari tadi tidak ada satu pun taksi yang lewat, sih?" gerutu Aisyah, sambil terus berjalan, matanya selalu memperhatikan kendaraan yang lewat, masih berharap ada taksi atau pun ojek yang melintas. Tiba-tiba netranya tertuju pada pangkalan ojek yang berada di ujung kanan jalan. Tampak juga disana sebuah motor kawasaki ninja terparkir di pangkalan ojek itu. "Pasti disana ada orang?" Dengan penuh semangat Aisyah mengayunkan kakinya menuju ke sana. "Siapa tahu aku bisa minta tumpangan, kan?" "Assalamu'alaikum, Abang," sapa Aisyah pada seorang yang berbaring di bangku panjang. "Assalamu'alaikum..., Abang," sapa Aisyah sekali lagi. Akan tetapi, tetap saja tidak ada sahutan dari lelaki itu. "Dia tidur, apa sudah mati?" "Abang.... Ooo, Abang....," teriak Aisyah, sambil menyentuh lengan lelaki itu dengan ujung jarinya. "Ishk, kau mau apa, hah?" Tersentak Aisyah, saat tangannya di tepis kasar lelaki itu. Air ludah di telannya sejenak. Topi hitam yang tadinya digunakan lelaki itu untuk menutup wajah, kini di alih kannya ke atas kepala. Lelaki itu juga segera duduk menghadap Aisyah dengan wajah tegang. "Si-siapa kau? Polisi? Kenapa kau mengganggu tidurku?" berondong pertanyaan lelaki itu dengan wajah cemas. "Eh, bu-bukan. Sa-saya bukan polisi. Nama saya Aisyah. Kenapa, saya mirip polisi, ya?" Aisyah tersenyum malu. Baru kali ini ada orang mengira dirinya polisi. "So, tujuan kau membangunkan aku untuk apa?" tanya lelaki itu, setengah membentak. Aisyah menyeringai lebar sambil menggaruk kepalanya yang tertutup hijab. 'Iiih, malu juga kalau aku jujur.' "Hmm, jadi sebenarnya itu. Saya tadi dari sana." Aisyah menunjuk jalan yang di laluinya tadi. "Saya mau ke pasar, tapi pasar masih jauh dari sini. Saya mau naik taksi pun dari tadi tidak ada yang lewat. Hmm.... Jadi saya mau minta tolong Abang mengantarkan saya ke pasar. Boleh ya?" ujar Aisyah apa adanya. "What?" Menganga mulut lelaki itu. Tidak percaya dangan apa yang di dengarnya. 'Dia waras atau tidak? Jangan-jangan dia gila?' "Abang tenang saja, saya janji akan bayar lebih. Abang hanya antar saya ke pasar saja. Nanti kalau saya mau pulang, saya akan usaha sendiri mencari taksi. Mau ya Bang. Please!" mohon Aisyah sambil menyatukan kedua telapak tangan. "Eh, gila! Kau lihat muka aku ini baik-baik. Apa ada mirip-mirip tukang ojek?" bentak lelaki itu geram. Kemudian lelaki itu bangun dan berjalan menuju motor Ninja 1000CC nya yang terparkir. "Dan satu lagi, jangan pernah kau panggil aku Abang!" peringatnya. Aisyah berlari kecil mendekati lelaki itu. Ia tidak patah semangat meminta lelaki itu mengantarkannya. "Baiklah, saya akan panggil Abang, Tuan. Tapi Tuan harus tolong antarkan saya kepasar! Tuan antar setengah jalan pun tidak apa-apa." Aisyah masih belum mau menyerah. "Eh, kau! Kau dengar aku baik-baik ya! Aku bukan tukang ojek yang harus mengantar orang ke pasar! Harus berapa kali kubilang! Dan satu lagi, aku ini orang sibuk, tidak ada waktu untuk mengantarkan kau! Paham!" Lantang suara lelaki itu membentak Aisyah. "Tadi Tuan tidur di sana. Kenapa sekarang tuan bilang sibuk? Banyak kerjaan segala? Apa salahnya tuan antarkan saya sebentar," kekeh Aisyah masih belum mau mengalah. "Eh, kau itu tidak mengerti bahasa Indonesia ya? Sudah berapa kali kukatakan, aku tidak mau mengantar kau! Paham! Mending sekarang kau pergi ke tepi jalan sana, kalau ada mobil atau motor yang lewat, kau cegat dan menumpanglah!" dengus lelaki itu semakin kesal. "Tapi..." Tin! Tin! Tin! Bergelinjak tubuh Aisyah mendengar suara klakson di belakangnya. Ia pun berbalik badan kebelakang melihat sebuah mobil Pajero berhenti di tepi jalan. "Bos, kami sudah bawa orangnya," ucap seseorang yang duduk di bangku kemudi. Lelaki di sebelah Aisyah hanya menganggukkan kepala. Tapi tidak dengan Aisyah yang mengerutkan kening. 'Dapat siapa?' tanyanya dalam hati. Kepalanya juga di dongakkan melihat ke dalam mobil Pajero hitam itu. Seketika mata Aisyah melotot ketika melihat ada seorang wanita di dalam mobil tersebut dalam posisi mulut dan tangan terikat. "Apa yang kau lihat?" Pertanyaan bernada herdikan itu membuat tubuh Aisyah terlonjak kaget. Tidak itu saja, tubuhnya juga di dorong laki-laki itu menjauh dari mobil. "It-itu di dalam mobil..." Aisyah tergagap, sambil menunjuk ke dalam mobil Pajero di tepi jalan. "Diam! Tadi kau ingin aku antar ke pasar kan? Kalau kau mau berjanji padaku tidak menceritakan pada siapa pun apa yang kau lihat tadi. Aku akan antar kau ke pasar." "Ta-tapi...." "Kalau kau tidak ingin bernasip sama dengan wanita yang ada di dalam mobil itu. Tutup mulut rapat-rapat dan lupakan apa yang kau lihat di dalam mobil tadi. Paham!" ancam lelaki itu memberi Aisyah peringatan. Aisyah mengangguk cepat sambil menutup mulut tanda dia menuruti apa yang di katakan lelaki itu. "Good" Lalu lelaki itu beralih pada orang-orangnya yang berada di dalam mobil Pajero. "Kalian pergilah! Sebentar lagi aku urus wanita itu. Aku mau antar wanita gila satu ini sebentar." "Untuk apa bos sibuk mengantar wanuta gila itu? Bawa saja sekalian, agar rahasia kita tidak di bocorkannya," sahut salah satu lelaki yang berada di dalam mobil. "Bukan aku tidak mau membawa dia. Tapi perempuan satu ini agak lain. Seperti kurang waras. Yang ada kita yang repot nanti. Sudahlah, kalian pergi saja dulu! Sebentar lagi aku susul." "Baik bos." Mereka menurut. Mobil pun mulai melaju meninggalkan lelaki itu bersama Aisyah. "Cepat naik!" dengus lelaki itu yang telah naik diatas jok motor ninja miliknya. "Benaran boleh nih?" Aisyah butuh kepastian. Lelaki itu mendesah kasar. "Eh, bukannya tadi kau yang merengek-rengek padaku minta diantar. Kau jangan memancing emosiku terus-terusan ya! Lama-lama aku lindas kepala kau dengan motor ini!" bentak lelaki itu geram. Aisyah hanya menyeringai menampilkan barisan giginya. Tidak ada sama sekali rasa takutnya pada lelaki itu. 'Hehehe, benar juga kata dia. Tadi kan aku yang minta dia mengantarkanku."Serangan demi serangan anak buah Haidin dengan mudah di hindari King. Sambil mengelak, King juga menyarang lawannya pada bahagian lutut dan perut. Walau mustahil bisa mengalahkan sepuluh orang dengan tangan kosong sendirian, namun demi istri tercinta, King yakin dapat mengalahkan semuanya. Begitupun Rayden, pemuda itu juga sibuk melumpuhkan anak buah Haidin yang menyerangnya dari arah kiri dan kanan. Belum sempat ia menarik pelatuk pistol tubuhnya sudah di tendang hingga jatuh ke tanah. Segera Rayden bangun lagi sebelum di injak pria berbadan besar. Satu persatu wajah musuh yang mengelilingi di perhatikannya. "Hahahahhaha. Cukup! Cukup! Hahahaha." Serentak Rayden, King dan anak buah Haidin menoleh ke arah suara yang tertawa kegelian. Di sana tampak Diko dan Diki sedang menggelitik seorang pria, hingga pria itu berguling-guling di tanah. "Ha, rasakan ini!" Diki terus saja menggelitik selangkangan pria itu dengan kakinya. Sedangkan Diko menahan tangan pria itu. "Terus Diki, terus!
Gluk! Gluk! Air liur di telan Diko dan Diki melihat tubuh tegap setiap pengawal yang menjaga pintu rumah usang di depan. "Diki, bagimana ini? Apa yang harus kita lakukan?" tanya Diko. Cemas pemuda itu memandang saudara kembarnya. Diki pun tidak tahu harus berkata apa. Dia hanya terpaksa mengikuti perintah Rayden dan King tadi. Kalau dia tahu akan jadi seperti ini, lebih baik tadi dia dirumah saja menonton film Doraemon. "Hmm, coba sekarang kau pukul aku," pinta Diki. "Pukul? " Diko sedikit kaget. Mana tega dia memukul adiknya sendiri. "Kau sudah gila, hah? Kalau aku pukul kau yang ada kau jadi pingsan nanti," sambung Diko. "Ha, itu masalahnya. Sekarang pun aku pusing. Kau pukul saja." Tangan Diko diambil dan di pukulkan ke wajahnya. "Diki, aku ini sudah lama tidak memukul orang. Kalau kau aku pukul, yang bisa-bisa kau mati atau pun pingsan." "Pukul saja lah, cerewet! " "Serius?" tanya Diko memastikan. "Ya, " jawab Diki mantap. "Serius? " Diko kembali bertanya. "Iya! " "Ka
"Sayang," panggil Haidin dengan nada manja. Dia berlutut di hadapan Aisyah yang tengah menangis terisak-isak. Darah di paha wanita itu sudah mengering dan di balut dengan kain putih untuk menghentikan darah yang keluar. Ibu jari di gunakan Haidin menyeka air mata Aisyah. Kepala dia gelengkan pelan. "Sssttt. Jangan nangis lagi, sayang. Lukanya sudah kering. Kalau kamu menangis seperti ini aku jadi tidak tega. Aku tidak kuat melihat kamu menangis, Sayang." "Cukup Haidin. Saya sudah lelah dengan permainanmu ini," ucap Aisyah dengan suara sedikit meninggi. Haidin mengerutkan kening. "Kamu lelah kenapa? Aku tidak menyuruh kamu pergi ke mana-mana? Dari tadi kan kamu hanya duduk di kursi ini saja. Tidak mungkin duduk saja kamu merasa lelah? Atau kamu mau mandi? Kamu pasti ingin aku mandikan, kan?" Aisyah menggeleng ketakutan. Haidin malah tertawa besar. Senang hatinya melihat wanita itu ketakutan. Kemudian matanya beralih pada jilbab Aisyah yang telah basah oleh keringat. Timbul rasa ka
"Akhh! Sakit! Kau bisa lakukan pelan-pelan tidak!" King mengerang saat kain berisi pecahan batu es di tekan pada luka lebam di wajahnya. Rayden malah tersenyum sinis dia tidak heran lagi dengan sahabatnya itu. "Sudah tahu lemah, kenapa tidak kau ajak aku sekali melawan mereka. Ini tidak, malah sok melawan sendiri! Kau kira diri kau itu seper hero bisa melawan semua kejahatan?" sinis Rayden. Batu es itu di tekan lebih keras lagi ke wajah King. King menjerit sakit. Seketika dia menepis tangan Rayden, lalu menggosok pipinya yang lebam. "Aku tidak ingin menyusahkan orang lain itu saja!" Rayden mendesah kasar. "Tidak ingin menyusahkan orang lain? Eh, kalau kau mati di tangan si Jack siapa yang akan selamatkan istri kau? Kalau aku sendiri yang selamatkan dia, yang ada akulah yang jadi heronya! Lebih baik dulu, aku saja yang menikah dengan dia, bukan kau!" sinis Rayden meninggikan suaranya. "Alaah, kau lupa? Apa yang pernah kau katakan padaku hari itu? Jangan pernah minta tolong padak
"Woi!" Suara itu menghentikan gerakan tangan Jack seketika. Kepalanya menoleh kiri-kanan mencari dimana sumber suara. Ruangan yang remang-remang membuatnya kesusahan untuk mengetahui pemilik suara dari orang-orang yang berada di sana. Pedang katana yang berada di tangannya di jatuhkan lagi ke bawah. Kakinya yang memijak kepala King juga di pindahkan ke lantai. Detik kemudian terdengar suara tembakan mengenai rekan-rekan Jack. Suasana di clab malam yang tadinya riuh dengan musik DJ, berganti dengan teriakan ketakutan orang-orang yang berada di sana. Jack melompat ke tepi. Membulat matanya melihat tiga orang rekannya yang terkena tembakan di dada. Tinggal dua orang rekannya yang masih selamat, tengah meringkuk di balik meja yang di tendang King tadi. "Siapa pun kau. Keluarlah kalau berani!" tantang Jack. Bola matanya bergerak memandang sekeliling. "Waciyaaa!" Braaak! "Aduh!" Diki jatuh tersungkur. Rencana ingin menendang Jack dari belakang malah kakinya terpeleset. Tertawa Jack
"Bos, mau kemana?" tanya Diko ketika melihat King sedang memasukkan peluru ke dalam pistolnya. Namun King tidaklah peduli dengan pertanyaan anak buahnya itu. Dia hanya fokus pada pistolnya yang sudah lama tidak di gunakan. Diko memandang Diki yang berada di sebelahnya. Tidak tahu lagi mereka bagaimana cara membujuk King agar bisa bersabar. Diki mengeluh kecil. Diberanikannya diri mendekati King dan mengusap bahu bosnya itu pelan, namun King malah menepiskannya dengan kasar. "Aku mau pergi mencari istriku. Kalian berdua tidak perlu ikut!" ujar King dengan nada serius tanpa memandang wajah ke dua anak buahnya. Kening Diki mulai berkerut. Sekilas dia menoleh pada Diko yang berdiri di belakangnya. Tidak akan mereka membiarkan bos mereka pergi seorang diri "Tapi bos, kalau terjadi apa-apa dengan bos bagaimana? Biarkan kami ikut, bos." King tersenyum sinis mendengar kata-kata Diki barusan. Dia menyimpan pistol ke dalam sarung, lalu di selipkan di pinggang sebelum menoleh pada lelaki
Garis polisi berwarna kuning telah melingkar di sekeliling lokasi kejadian. Beberapa petugas juga tampak sibuk menjalankan tugas mereka masing-masing. Mayat yang telah gosong di dalam mobil di keluarkan mereka dengan sangat hati-hati, lalu di letakkan di atas tempat mayat yang di lampisi dengan plastik hitam.Saat ini, sebagaian lokasi kejadian juga basah, karna baru saja di guyur hujan lebat. Kamera di bidikkan pada mayat yang sudah tidak bisa di kenali itu sebagai bukti."Aisyah!" Suara teriakan itu menggema di sekitar lokasi kejadian.Serentak pandangan polisi yang berada di sana beralih pada King yang tengah berlari melintasi garis larangan polisi.Diko dan Diki sudah mencoba menahan, namun gagal."Maaf Pak. Untuk saat ini, Bapak tidak boleh masuk ke lokasi kejadian, karna kami sedang melakukan penyelidikan! Mohon kerjasamanya, Pak." cegah komandan polisi yang bertugas disana. Lengan King di tahan salah satu anggota polisi yang bertugas agar laki-laki itu tidak masuk ke lokasi ya
Mobil berhenti setelah tiba di kawasan hutan. Tampak beberapa orang pria bersenjata api dan juga Haidin yang telah menunggu kehadiran mereka.Dua orang bertopeng tadi keluar dari dalam mobil bersama dengan Diki yang kepalanya masih di tutup menggunakan kain hitam.Tubuh Aisyah juga di papah menuju ke arah Haidin, lalu di baringkan diatas tanah, kemudian kedua orang bertopeng itu melangkah mundur ke belakang."Apa kami sudah boleh pergi?"Haidin menggeleng. "Kenapa harus buru-buru, santai saja dulu di sini. Eh, tapi kenapa kalian bawa anak buah si Lion kesini? Bukannya aku hanya menyuruh kalian membawa Aisyah saja?""Kalau aku tinggalkan, pasti dia akan berteriak dan mengejar kami."Haidin mengangguk tanda paham, lalu ibu jari di jentiknya memberi kode pada anak buahnya.Lantas Jack datang membawa satu jerigen air dan di siramkan ke wajah Aisyah.Seketika Aisyah tersadar. Hidungnya terasa pedih saat air itu masuk ke dalam rongga pernapasannya. Dia tersedak, terbatuk-batuk beberapa saat
"Cepat katakan! Apa yang terjadi dengan istriku! Tadi aku menyuruh kau mengantarkan dia kan? Lalu mana dia sekarang!" bentak King. Saat ini dadanya berombak turun-naik. Diki yang masih berlutut di lantai di pandangnya.Tapi, Diki malah menggelengkan kepala. Berurai air matanya keluar membayangkan yang terjadi pada Aisyah tadi. Dia takut, King akan marah dan kecewa dengan dirinya yang tidak bisa menjaga Aisyah.Diko merasa cemas, dia tidak tahu apa yang akan terjadi setelah ini, jika yang di sampaikan Diko barusan benar-benar terjadi. Mungkin King tidak akan mau lagi mempekerjakan saudaranya itu.Bahu Diki di usapnya pelan, coba meredakan tangis saudaranya yang belum juga berhenti."Diki, coba kau tenang dulu dan ceritakan apa apa yang telah terjadi sebenarnya. Kalau kau hanya menangis seperti ini, masalahnya tidak akan selesai," ujar Diko membujuknya."Tapi aku takut bos marah dan membenciku," lirih Diki."Terus? Kalau kau diam seperti ini, kau pikir bos tidak akan marah? Kau pikir b
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments