Ayam kecap kesukaan Fajar di letakkan di atas meja bersanding dengan lauk yang lainnya. Jus jeruk juga di tuangkan ke dalam gelas, lalu di dekatkannya ke hadapan Fajar.
Satu piring kaca di ambil. Lalu di sendokkan nasi ke atasnya. "Abang mau lauk apa?" tanya Aisyah, sambil tangannya mendekatkan piring yang berisi nasi kedekat ayam kecap. Aisyah tahu, ayam kecap adalah makanan kesukaan suaminya. Di letakkannya sebelah paha ayam kecap ke atas piring yang sudah berisi nasi. Kemudian piring di dekatkan ke hadapan Fajar. Akan tetapi, Fajar malah diam saja. Kepala di tundukkannya ke bawah. Wajahnya juga tampak kebingungan. Permintaan sang kekasih tadi siang rasanya sungguh berat untuk di lakukan. Piring berisi nasi di dorongnya menjauh. Berkerut kening Aisyah melihat respon suaminya malam ini. "Abang kenapa? Apa Abang mau makan yang lain lain? Aisyah bisa buatkan." Aisyah cemas, takut saja masakannya malam ini tidak sesuai dengan selera suaminya. Fajar menggeleng lemah. Lalu ia mengangkat wajah, Aisyah yang berdiri di sebelahnya di pandang lama. "Ada sesuatu yang ingin kusampaikan pada kau," ucap Fajar dengan intonasi dan wajah serius. "A-Abang mau mau bicara apa? Kalau pun penting,lebih baik kita makan dulu. Takutnya makanannya keburu dingin," balas Aisyah tergagap. "Aku tidak ada selera makan, sebelum mengatakan ini pada kau. Jadi, tolong kau dengar aku baik-baik!" Aisyah mengangguk pelan. Kemudian tubuh di hadapkan ke arah Fajar. Bersiap mendengar apa yang akan di sampaikan suaminya. Fajar menghela nafas panjang dan menghembuskan secara perlahan. "Aisyah dengar baik-baik apa yang akan kukatakan ini." Sejenak Fajar menjeda kalimat. Nafas dalam kembali di hela. "Aisyah, dengan terpaksa aku cerai kan kau malam ini," sambung Fajar tanpa memandang wajah Aisyah. Ia tahu jika memandang wajah wanita itu maka ia tidak akan sanggup. Tapi ia harus tetap melakukan ini, karna tidak mungkin selamanya hidup berumah tangga dengan wanita yang tidak di cintainya. Lagian di hatinya hanya ada-Sinta. Tergugu Aisyah mendengar kalimat yang baru saja keluar dari mulut suaminya. Lidahnya kelu tak mampu berkata-kata. "Ta-tapi kenapa?" tanyanya setelah lama raganya mematung. "Karna ini sudah menjadi keputusanku. Selama ini aku menjaga kau karna ayah kau yang memaksa, kalau tidak aku tidak akan mau jadi suami kau. Kau sudah hancurkan harapanku-" "Harapan? Harapan apa? Harapan abang yang ingin menikah dengan Sinta?" tanya Aisyah, seperti tahu apa yang ada di dalam kepala suaminya. Fajar malah diam, sebagai jawaban. Aisyah menggeleng hebat, sebelah tangan Fajar diraihnya lalu digenggamnya dengan erat. "Ab-Abang... Aish tidak masalah kalau pun abang mau menikah dengan Sinta. Aish sanggup terima dia sebagai madu Aish, asal jangan ceraikan Aish. Itu saja yang Aish minta sama Abang." "Tidak bisa. Aku tidak akan bisa belaku adil pada dua orang istri. Lagi pula, apa gunanya kau ada disini? Cinta dan sayang aku tak akan pernah ada untuk kau. Aku harap dengan aku ceraikan kau, akan ada orang yang lebih baik menjaga kau setelah ini." "Tapi siapa, bang? Siapa yang mau jaga Aish? Aish tidak masalah tentang cinta atau pun sayang. Aish tidak masalah kalau Aish tidak dapat semua itu dari abang, asalkan Aish bisa tinggal di sini dengan abang itu sudah cukup bagi Aish. Aish sayang abang. Walaupun abang selalu pukul Aish pun tidak masalah bagi Aish. Tapi tolong, jangan ceraikan Aish," mohon Aisyah dengan airmata yang telah menganak. Fajar menggelengkan kepala, tetap dengan keputusannya. Tangan Aisyah di tepiskannya kasar, lalu dia berdiri, melangkah kearah koper yang telah di letakkannya di ruang tamu. "Aku terpaksa melakukan ini. Sekarang kau pergilah, memohonlah pada siapapun yang sudi menjaga kau selain aku. Kalau kau rasa, tidak kuat hidup sendiri. Kau bisa melacurkan diri. Di sana setiap hari akan ada lelaki yang datang mengunjungi kau," ucap Fajar sinis. Aisyah menggeleng cepat, lalu mendekati Fajar. Dia tak sehina itu harus melacurkan diri semata-mata menginginkan lelaki untuk menjaganya. "Abang, tolonglah. Aish mohon, jangan ceraikan Aish. Abang katakan saja apa yang abang mau dari Aish. Aish akan lakukan untuk abang, asal abang tidak menceraikan Aish." Aisyah terus memohon simpati pria itu. "Tidak! Kau pergilah sekarang! Pasti ada saja lelaki yang memungut kau nanti. Sudah, sekarang pergilah." Lengan Aisyah di cengkram kuat, lalu di seretnya ke pintu utama. Seketika tubuh wanita itu di dorongnya keluar, hingga Aisyah tersungkur di lantai disusul koper ikut di lempar Fajar keluar. "Aisyah binti Muhamad Aman Zainudin, mulai malam ini kuceraikan engkau dengan talak tiga," ucap Fajar tanpa memandang wajah Aisyah. Jatuh berderai air mata Aisyah mendengar lafaz talak yang di jatuhkan pada dirinya. Kepalanya menggeleng hebat, tidak menerima apa yang terjadi malam ini. 'Ya Allah. Tolong sadarkan aku dari mimpi buruk ini!' "A-Abang..." Belum sempat Aisyah mengatakan sesuatu pada lelaki itu, pintu sudah di tutup dengan kasar. Aisyah menggigit bibir menahan tangis agar tidak keluar. "Ya Allah, apa semua ini ya?"Rokok yang semakin menipis di hisap untuk terakhir kali kemudian di jentiknya ke sembarang arah. "Aduh!" Aisyah mengibaskan api rokok yang di buang lelaki tadi. Lelaki itu juga tersentak dan menoleh ke sumber suara. Di perhatikannya Aisyah yang tengah mengibaskan pakaian yang terkena puntung rokoknya. 'Eh, perempuan itu kan?' "Tuan. Tuan, anda yang mengantar saya ke pasar sore tadi, kan?" tebak Aisya, sambil menunjuk ke arah pria itu. "Aduh! Bagaimana bisa aku bertemu perempuan sableng ini lagi?" desis pria itu pelan. Kemudian berbalik badan dan melanjutkan lagi langkah pergi dari sana sebelum wanita sableng itu mengganggunya untuk kedua kali. "Eh, tuan. Tunggu." Segera Aisyah berlari mengejar lelaki itu. Lalu lengan lelaku itu di pegangnya, menghalangi agar tidak pergi meninggalkannya.Lelaki itu menepis tangan Aisyah dengan kasar. Dirinya paling anti di sentuh wanita. "Kau mau apa, hah?" bentak lelaki itu. Ia adalah Adriano Lion King--seorang Mafia kelas kakap. Orang-orang m
Tercengang Aisyah ketika melihat hunian tingkat dua di hadapannya. Di tengah-tengah halaman ada kolam ikan koi dengan air mancur serta beberapa orang sekuriti muda berbadan tegap dengan wajah dingin berdiri di depan pagar. Barisan gigi putih di tunjukkannya pada dua orang sekuriti yang berdiri di samping pagar dengan wajah serius. Aisyah coba melambai tangan pada mereka, namun sedikit pun mereka tidak merespon. 'Kira-kira bagimana tuan ini melatih mereka ya? Berdiri seperti patung. Mata tidak berkedip juga!' Aisyah membatin dalam hati sambil memperhatikan sekuriti itu dari dekat. Tanpa Aisyah sadari, King juga sedang memperhatikannya di pintu utama. ia mendengus kecil melihat tingkah wanita itu. "Woi, sableng! Sini!" panggil King dari tempatnya berdiri. Tangannya di lambaikan kearah wanuta aneh itu. Lagi-lagi Aisyah memamerkan barisan gigi putihnya pada King, lalu menarik koper miliknya menuju pria yang berdiri di depan pintu utama. "Ini rumah kita ya, Bang?" tanya Aisyah denga
Tidak tenang pikiran Fajar, kala ingat apa yang di lakukannya pada Aisyah beberapa jam yang lalu. Lama pria itu mondar-mandir berjalan ke kiri dan ke kanan di dalam rumahnya, sampai tidak sadar suara adzan subuh sudah berkumandang. Kepalanya tak henti memikirkan apa yang telah di ucapkannya pada Aisyah malam tadi. Fajar tidak yakin dengan keputusannya yang telah menceraikan Aisyah. "Kenapa harus talak tiga? Why Fajar, why?" tanyanya pada diri sendiri. Sofa yang tidak jauh darinya menjadi tempatnya melabuhkan duduk. "Kalau ayahnya tahu tentang ini pasti orang tua itu mengamuk. Bagaimana aku bisa rujuk lagi dengan Aisyah kalau aku sudah ceraikan dia dengan talak tiga? Aduh....bodohnya kau Fajar!" Kedua belah tangannya menepuk-nepuk paha sendiri, menunjukkan kalau dirinya dalam keadaan gelisah dan tidak puas hati. Kemudian tangannya beralih mengacak-ngacak rambut yang semakin kusut. "Ini semua gara-gara, Sinta! Kalau bukan karna desakannya agar aku segera menceraikan Aisyah, p
Satu persatu anak tangga di lewati King. Rambutnya yang masih basah di keringkan menggunakan handuk, lalu di sangkutkan ke leher. Sekilas King mengedarkan pandangan ke sekeliling ruang tamu mencari kelibat Aisyah yang tidak terlihat."Tidak mungkin wanita 'sableng' itu sudah minggat dari rumah ini? Eh, tapi kalau dia benar-benar sudah pergi, tentu hidupku aman," desis King pelan."Shen...Aisyah nali?" (Shen Aisyah mana?) tanya King pada Shen, gadis cina yang bekerja sebagai pembantu di rumahnya."Wo janjian ta zai wuwai." (Saya lihat dia berada di luar) jawab Shen.King mengangguk pelan.'Aku kira dia sudah pergi, ternyata masih ada lagi di rumah ini. Sabar....sabar King.'Kemudian King melangkah ke arah pintu utama.Dari tempatnya berdiri sekarang, King melihat Aisyah sedang bermain air mancur di tengah-tengah halaman rumahnya."Sedang apa dia?""Woi!" teriak King lantang hingga membuat Aisyah yang berada di sana tersentak. Untung saja tidak sampai jatuh ke dalam kolam.Segera Aisyah
Pistol dalam laci diambil dan di simpan ke dalam sarung yang setali dengan ikat pinggang. Jaket kulit yang di pakai di tarik sedikit ke bawah menutup bagian pistol yang tergantung. King juga merapikan sedikit rambutnya sebelum melangkah ke arah pintu.Belum sampai di pintu ia berhenti sejenak. "Kalau perempuan 'sableng' itu melihat aku keluar, pasti dia minta ikut. Aku harus keluar sembunyi-sembunyi. Jangan sampai dia tau aku keluar," gumam King.Perlahan gagang pintu diputar, lalu pinta di buka sedikit. Hanya kepala saja yang di loloskan dari celah pintu yang terbuka. Menoleh kekiri dan kekanan, memastikan Aisyah tidak ada di sana."Line clear!" desisnya. Barulah King mulai melangkah keluar kamar. Lalu berlari menuruni anak tangga menuju pintu utama. Secepat kilat King masuk ke dalam mobil.Bergegas King menghidupkan mesin mobil, takut Aisyah akan mendengar dan melihat ia yang akan pergi."Mak saya di kampung pernah berpesan, biar lambat asal selamat. Tuan mau kemana buru-buru seper
"So, this my house!" ucap Rayden setelah tiba di depan rumah mewah miliknya. Menganga mukut Aisyah, melihat rumah bertingkat-tingkat di hadapannya sekarang. Sekilas ia melihat mobil truk yang berada di sebelah kanannya. Beberapa drum minyak tersusun dibak truk itu. "Kamu kerja apa?" tanya Aisyah. Pertanyaan itu tiba-tiba saja melintas di kepalanya. "Aku hanya seorang pembisnis kecil-kecilan saja. Ayo, mari masuk. Ada banyak hal yang ingin aku tunjukkan padamu," ajak Rayden. Aisyah mengangguk, lalu seatbelt di bukanya sebelum turun dari mobil. Tiba di luar, Aisyah mengedarkan pandangan melihat-lihat halaman rumah mewah itu. Namun, ia bergelinjak kaget ketika tangannya tiba-tiba di tarik Rayden. Aisyah pun menepiskan kasar tangan itu. "Why?" tanya Rayden heran. "Ngapain kamu pegang-pegang saya? Haram tau! Saya bilang pada King baru tahu kamu!" ancam Aisyah. Rayden terdiam beberapa saat kemudian tertawa. "Kau mau lapor sama siapa? Sama Lion?" tanya Rayden meyakinkan. "Ya
Dering ponsel membuat Fajar tersentak. Ia pun meraih benda pipih itu dan melihat nama pemanggil. "Ayah Man. Mau apa dia menelpon malam-malam begini?" Fajar ragu menjawab panggilan dari ayah Aisyah yang menelponnya. Setelah berpikir sejenak akhirnya tombol hijau di layar di geser juga."As--assalamu'alaikum, Yah. Ada apa telepon Fajar tiba-tiba? Apa ayah ada masalah di kampung?" tanya Fajar berbasa-basi."Hmm, tidak. Ayah baik-baik saja. Ayah hanya ingin tahu kabar kamu dengan Aisyah. Sudah lama juga ayah tidak melihat kalian. Kalian pun sudah lama tidak menjenguk kami di kampung, kan?" tanya ayah Man di sebrang sana.Fajar menggaruk alis, sambil menenangkan diri agar mantan ayah mertuanya tidak curiga. "Bukannya apa Yah. Hanya saja belakangan ini Fajar agak sibuk," balas Fajar memberi alasan."Tidak apa-apa, ayah mengerti kesibukanmu. Tapi kalau ada waktu, jenguk jugalah kami di kampung. Bawa Aisyah sebentar kesini, ayah sudah lama merindukan dia.""Ayah, se-sebenarnya." Fajar takut b
Sinta menggeleng melihat Fajar yang sedang melamun. Nafas halus di hembuskan perlahan. Hampir setengah jam mereka berada di cafe ini. Tapi tak ada satu topik pun yang di bicarakan. Hal itu membuat Sinta geram.PraaakMeja di depan di gebrak Sinta kuat Tentu saja hal itu membuat Fajar tersentak. Lamunannya tadi seketika lenyap, matanya kini beralih pada Sinta yang tengah memandangnya dingin."Kamu masih memikirkan istrimu itu?" tanya Sinta ketus."Sayang, aku hanya....""Hanya apa? Ingat, Fajar! Kamu sudah menceraikan dia. Jadi, untuk apa lagi kamu memikirkan dia? Kalau kamu seperti ini terus, lebih baik kita putus!" dengus Sinta. Hatinya semakin panas dengan tingkah laku Fajar akhir-akhir ini. Sudah lima tahun mereka menjalin kasih, dan Sinta masih sanggup menunggu Fajar semata-mata hanya ingin agar melanjutkan hubungan ke jenjang pernikahan. "Tidak sayang. Aku mohon, mengertilah dengan kondisiku sekarang ini. Kamu tahukan perceraian ini tidak ada satu pun yang tahu, termasuk Mama d