Share

Bab 6

Satu persatu anak tangga di lewati King. Rambutnya yang masih basah di keringkan menggunakan handuk, lalu di sangkutkan ke leher. Sekilas King mengedarkan pandangan ke sekeliling ruang tamu mencari kelibat Aisyah yang tidak terlihat.

"Tidak mungkin wanita 'sableng' itu sudah minggat dari rumah ini? Eh, tapi kalau dia benar-benar sudah pergi, tentu hidupku aman," desis King pelan.

"Shen...Aisyah nali?" (Shen Aisyah mana?) tanya King pada Shen, gadis cina yang bekerja sebagai pembantu di rumahnya.

"Wo janjian ta zai wuwai." (Saya lihat dia berada di luar) jawab Shen.

King mengangguk pelan.

'Aku kira dia sudah pergi, ternyata masih ada lagi di rumah ini. Sabar....sabar King.'

Kemudian King melangkah ke arah pintu utama.

Dari tempatnya berdiri sekarang, King melihat Aisyah sedang bermain air mancur di tengah-tengah halaman rumahnya.

"Sedang apa dia?"

"Woi!" teriak King lantang hingga membuat Aisyah yang berada di sana tersentak. Untung saja tidak sampai jatuh ke dalam kolam.

Segera Aisyah berlari kecil mendekati sesesok pria bermata sipit yang berdiri di pintu utama. Senyuman lebar di tampilkannya pada pria tampan itu. Walau pria itu tetap dengan wajah dinginnya.

"Selamat pagi, Tuan. Sudah puas tidurnya, kan?" tanya Aisyah dengan nada manja.

"Mana bisa tidurku nyenyak kalau ada makhluk asing di dalam rumahku ini?" bals King sinis.

"Eh, saya bukan makhluk asing. Lagian mana ada makhluk asing seimut saya ini. Kalau tuan mungkin iya. Seperti kucing buas dalam Film Tom and Jerry," balas Aisyah tak mau kalah.

King mendengus. Semakin di lihat, semakin kecil saja wanita di hadapannya sekarang ini. 

'Kalau menurutkan kata hati, ingin rasanya kubuang wanita sableng ini ke jurang,' batin King.

"Tuan..." panggil Aisyah manja. Bibirnya maju ke depan, sambil menunduk memandang jari lentiknya yang saling meremas satu sama lain. Seperti anak kecil yang ingin meminta sesuatu.

"Kau kenapa?" King menyipitkan mata. Heran saja melihat tingkah Aisyah.

"Hmm.....pagi tadi saya dengar, Diko dan Diki membicarakan soal pelerjaan. Hm...jadi boleh tidak kalau saya..."

"No! No!" tukas King menyela sebelum Aisyah selesai bicara. Seperti tahu saja apa yang ada dalam pikiran wanita itu. Tidak lain dan tidak bukan, pasti ingin minta ikut ke tempat kerja.

"Saya belum selesai bicara," sungut Aisyah.

"Tapi aku sudah tahu apa yang ada dalam kepala kau itu. Kau pasti mau ikut aku pergi kerja kan? Eh, dari pada kau sibuk dengan urusanku, lebih baik kau jadi pembantu di rumahku ini. Itu lebih bagus dari pada kau hanya menumpang saja," sanggah King.

Aisyah mencebik bibir.

'Di rumah ini kan sudah ada pembantu? Apa lagi yang harus kukerjakan? Tadi sudah menyapu halaman rumahnya,' batin Aisyah.

"Tapi tuan, saya ikut bukan ingin mengganggu kerja tuan. Tapi saya hanya mau ikut saja," rengek Aisyah.

King menggeleng. "Di rumah ini saja kau sudah membuatku sengsara. Bagaimana caranya aku membawa kau ke tempat kerja?" dengus King.

Aisyah mengeluh kecil. "Tapi saya gak mau tuan tinggalkan di rumah ini sendiri. Lagian, apa tuan tidak takut saya mencuri barang-barang dalam rumah Tuan ini? Atau, kalau gak saya rusak semua barang dalam rumah ini?" Aisyah coba menakut-nakuti, siapa tahu pria galak di depannya ini berubah pikiran.

King malah tersenyum sinis.

"Kalau kau sudah bosan hidup. Lakukan saja," balas King dengan senyum sinisnya.

Aisyah terdiam, tidak lagi menjawab kata pria itu. Hanya matanya yang berkedip memandang King yang tersenyum sinis di depannya.

Setelah King pergi, Aisyah menggaruk kepala yang tertutup hijab. Sebelah tangannya di topang ke dagu seperti sedang memikirian sesuatu. "Bagaimana ya cara agar dia mau membawa aku ke tempat kerjanya?" gumam Aisyah.

.

.

.

***

Berdenyut kepala Fajar memikirkan Aisyah yang belum juga di temukannya. Fail yang menumpuk diatas meja hampir tidak di sentuhnya, malah sejak tadi ia melamun memandang foto pernikahannya dengan Aisyah yang tertera di layar ponsel. 

Pikirannya juga hanya tertuju pada Aisyah. 

"Kenapa kau tidak pernah marah denganku, Aisyah? Aku sudah pukul kau, sudah siksa kau, tapi kau masih mau dekat denganku. Kenapa dengan kau Aish? Apa yang terjadi pada kau sebenarnya?" tanya Fajar kala itu pada Aisyah yang duduk di sofa.

"Karna Abang suami, Aish," jawab Aisyah. Kepalanya mendongak melihat Fajar yang berdiri di hadapannya. Air mata coba di tahan. "Aish tidak akan pernah benci orang yang Aish sayang, dan tidak akan pernah menyimpan dendam pada orang yang ikhlas menjaga Aish," lanjut Aisyah.

"Tapi masalahnya aku tidak ikhlas menikahi kau! Pernikahan ini terjadi karna bapak kau, kau paham tidak!"

"Tapi kalau Abang tidak ikhlas, Abang tidak akan mau terima Aish," keluh Aisyah.

Fajar terdiam sejenak, keningnya juga berkerut memandang Aisyah.

"Aish tahu, walaupun Abang selalu pukul Aish, selalu marah Aish, tapi jauh dalam hati Abang, Abang tidak pernah berniat berbuat seperti itu pada Aish, kan? Abang melakukan itu agar Aish benci Abang saja, kan? Tapi Aish tidak akan pernah benci Abang, dan Aish juga tidak pernah berpikir untuk bercerai dari Abang."

"Aiayah! Coba kau buka mata kau lebar-lebar! Aku tidak suka kau! Kita tidak ada jodoh! Jadi sekarang tolong kau telepon bapak kau, katakan pada dia, kalau kau ingin bercerai dari aku. Kalau kau tidak memintanya, selama itu aku tidak bisa menceraikan kau. Kau paham tidak?"

"Tapi Aish tidak mau berpisah dengan Abang. Aish yakin Abang jodoh Aish, kalau Abang bukan jodoh Aish, kenapa kita menikah? Bagaimana Abang bisa merasakan bahagia hidup dengan Aish, kalau Abang tidak pernah membuka hati untuk kenal Aish? Aish tahu Abang suka Sinta, tapi Aish bisa terima dia jadi madu Aish, asalkan Abang tidak menceraikan Aish."

"Heih, memang susah bicara dengan kau ini!  Otak kau lemah, kau tahu itu tidak? Memang pantas semua orang membuang kau, sebab kau tak pernah berhenti menyusahkan orang! Aku rasa lebih baik mafia itu menangkap kau, dari pada kau tinggal denganku. Biar diaiksanya kau sampai mampus, baru puas hidupku!" Turun naik nafas Fajar kala itu, menahan geram berdebat dengan Aisyah yang masih tinggal di rumahnya.

"Siapa yang mau sayang Aisyah kalau bukan Abang? Hanya Abanglah harapan Aish. Hanya Abang yang bisa menjaga Aish," rintih Aisyah pelan.

Tok tok tok

Suara ketukan pintu, mematikan lamunan Fajar. Cepat-cepat fail yang berserak diatas meja di kumpulkannya sebelum menyuruh orang yang ada di luar masuk.

"Pak, non Sinta menunggu bapak di bawah. Katanya dia sudah membuat janji dengan bapak untuk makan siang," ucap Rose, sekretaris Fajar.

"Hmm, katakan padanya sebentar lagi saya turun ke bawah."

"Baik, Pak. Kalau begitu saya permisi dulu." 

Fajar menganggukkan kepala. Punggung kembali di sandarkan pada kursi kerja setelah sekretarisnya menghilang di balik pintu. 

"Haih, Sinta. Mau apa dia kesini? Pasti mau membahas pernikahan lagi. Hafg....kalau begini kepalaku semakin pusing. Urusan dengan Aisyah belum selesai, sekarang malah memikirkan bagaimana membujuk Sinta. Aisyah....dimana kau sekarang? Kembalilah pulang, aku minta maaf."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status