Satu persatu anak tangga di lewati King. Rambutnya yang masih basah di keringkan menggunakan handuk, lalu di sangkutkan ke leher. Sekilas King mengedarkan pandangan ke sekeliling ruang tamu mencari kelibat Aisyah yang tidak terlihat.
"Tidak mungkin wanita 'sableng' itu sudah minggat dari rumah ini? Eh, tapi kalau dia benar-benar sudah pergi, tentu hidupku aman," desis King pelan. "Shen...Aisyah nali?" (Shen Aisyah mana?) tanya King pada Shen, gadis cina yang bekerja sebagai pembantu di rumahnya. "Wo janjian ta zai wuwai." (Saya lihat dia berada di luar) jawab Shen. King mengangguk pelan. 'Aku kira dia sudah pergi, ternyata masih ada lagi di rumah ini. Sabar....sabar King.' Kemudian King melangkah ke arah pintu utama. Dari tempatnya berdiri sekarang, King melihat Aisyah sedang bermain air mancur di tengah-tengah halaman rumahnya. "Sedang apa dia?" "Woi!" teriak King lantang hingga membuat Aisyah yang berada di sana tersentak. Untung saja tidak sampai jatuh ke dalam kolam. Segera Aisyah berlari kecil mendekati sesesok pria bermata sipit yang berdiri di pintu utama. Senyuman lebar di tampilkannya pada pria tampan itu. Walau pria itu tetap dengan wajah dinginnya. "Selamat pagi, Tuan. Sudah puas tidurnya, kan?" tanya Aisyah dengan nada manja. "Mana bisa tidurku nyenyak kalau ada makhluk asing di dalam rumahku ini?" bals King sinis. "Eh, saya bukan makhluk asing. Lagian mana ada makhluk asing seimut saya ini. Kalau tuan mungkin iya. Seperti kucing buas dalam Film Tom and Jerry," balas Aisyah tak mau kalah. King mendengus. Semakin di lihat, semakin kecil saja wanita di hadapannya sekarang ini. 'Kalau menurutkan kata hati, ingin rasanya kubuang wanita sableng ini ke jurang,' batin King. "Tuan..." panggil Aisyah manja. Bibirnya maju ke depan, sambil menunduk memandang jari lentiknya yang saling meremas satu sama lain. Seperti anak kecil yang ingin meminta sesuatu. "Kau kenapa?" King menyipitkan mata. Heran saja melihat tingkah Aisyah. "Hmm.....pagi tadi saya dengar, Diko dan Diki membicarakan soal pelerjaan. Hm...jadi boleh tidak kalau saya..." "No! No!" tukas King menyela sebelum Aisyah selesai bicara. Seperti tahu saja apa yang ada dalam pikiran wanita itu. Tidak lain dan tidak bukan, pasti ingin minta ikut ke tempat kerja. "Saya belum selesai bicara," sungut Aisyah. "Tapi aku sudah tahu apa yang ada dalam kepala kau itu. Kau pasti mau ikut aku pergi kerja kan? Eh, dari pada kau sibuk dengan urusanku, lebih baik kau jadi pembantu di rumahku ini. Itu lebih bagus dari pada kau hanya menumpang saja," sanggah King. Aisyah mencebik bibir. 'Di rumah ini kan sudah ada pembantu? Apa lagi yang harus kukerjakan? Tadi sudah menyapu halaman rumahnya,' batin Aisyah. "Tapi tuan, saya ikut bukan ingin mengganggu kerja tuan. Tapi saya hanya mau ikut saja," rengek Aisyah. King menggeleng. "Di rumah ini saja kau sudah membuatku sengsara. Bagaimana caranya aku membawa kau ke tempat kerja?" dengus King. Aisyah mengeluh kecil. "Tapi saya gak mau tuan tinggalkan di rumah ini sendiri. Lagian, apa tuan tidak takut saya mencuri barang-barang dalam rumah Tuan ini? Atau, kalau gak saya rusak semua barang dalam rumah ini?" Aisyah coba menakut-nakuti, siapa tahu pria galak di depannya ini berubah pikiran. King malah tersenyum sinis. "Kalau kau sudah bosan hidup. Lakukan saja," balas King dengan senyum sinisnya. Aisyah terdiam, tidak lagi menjawab kata pria itu. Hanya matanya yang berkedip memandang King yang tersenyum sinis di depannya. Setelah King pergi, Aisyah menggaruk kepala yang tertutup hijab. Sebelah tangannya di topang ke dagu seperti sedang memikirian sesuatu. "Bagaimana ya cara agar dia mau membawa aku ke tempat kerjanya?" gumam Aisyah. . . . *** Berdenyut kepala Fajar memikirkan Aisyah yang belum juga di temukannya. Fail yang menumpuk diatas meja hampir tidak di sentuhnya, malah sejak tadi ia melamun memandang foto pernikahannya dengan Aisyah yang tertera di layar ponsel. Pikirannya juga hanya tertuju pada Aisyah. "Kenapa kau tidak pernah marah denganku, Aisyah? Aku sudah pukul kau, sudah siksa kau, tapi kau masih mau dekat denganku. Kenapa dengan kau Aish? Apa yang terjadi pada kau sebenarnya?" tanya Fajar kala itu pada Aisyah yang duduk di sofa. "Karna Abang suami, Aish," jawab Aisyah. Kepalanya mendongak melihat Fajar yang berdiri di hadapannya. Air mata coba di tahan. "Aish tidak akan pernah benci orang yang Aish sayang, dan tidak akan pernah menyimpan dendam pada orang yang ikhlas menjaga Aish," lanjut Aisyah. "Tapi masalahnya aku tidak ikhlas menikahi kau! Pernikahan ini terjadi karna bapak kau, kau paham tidak!" "Tapi kalau Abang tidak ikhlas, Abang tidak akan mau terima Aish," keluh Aisyah. Fajar terdiam sejenak, keningnya juga berkerut memandang Aisyah. "Aish tahu, walaupun Abang selalu pukul Aish, selalu marah Aish, tapi jauh dalam hati Abang, Abang tidak pernah berniat berbuat seperti itu pada Aish, kan? Abang melakukan itu agar Aish benci Abang saja, kan? Tapi Aish tidak akan pernah benci Abang, dan Aish juga tidak pernah berpikir untuk bercerai dari Abang." "Aiayah! Coba kau buka mata kau lebar-lebar! Aku tidak suka kau! Kita tidak ada jodoh! Jadi sekarang tolong kau telepon bapak kau, katakan pada dia, kalau kau ingin bercerai dari aku. Kalau kau tidak memintanya, selama itu aku tidak bisa menceraikan kau. Kau paham tidak?" "Tapi Aish tidak mau berpisah dengan Abang. Aish yakin Abang jodoh Aish, kalau Abang bukan jodoh Aish, kenapa kita menikah? Bagaimana Abang bisa merasakan bahagia hidup dengan Aish, kalau Abang tidak pernah membuka hati untuk kenal Aish? Aish tahu Abang suka Sinta, tapi Aish bisa terima dia jadi madu Aish, asalkan Abang tidak menceraikan Aish." "Heih, memang susah bicara dengan kau ini! Otak kau lemah, kau tahu itu tidak? Memang pantas semua orang membuang kau, sebab kau tak pernah berhenti menyusahkan orang! Aku rasa lebih baik mafia itu menangkap kau, dari pada kau tinggal denganku. Biar diaiksanya kau sampai mampus, baru puas hidupku!" Turun naik nafas Fajar kala itu, menahan geram berdebat dengan Aisyah yang masih tinggal di rumahnya. "Siapa yang mau sayang Aisyah kalau bukan Abang? Hanya Abanglah harapan Aish. Hanya Abang yang bisa menjaga Aish," rintih Aisyah pelan. Tok tok tok Suara ketukan pintu, mematikan lamunan Fajar. Cepat-cepat fail yang berserak diatas meja di kumpulkannya sebelum menyuruh orang yang ada di luar masuk. "Pak, non Sinta menunggu bapak di bawah. Katanya dia sudah membuat janji dengan bapak untuk makan siang," ucap Rose, sekretaris Fajar. "Hmm, katakan padanya sebentar lagi saya turun ke bawah." "Baik, Pak. Kalau begitu saya permisi dulu." Fajar menganggukkan kepala. Punggung kembali di sandarkan pada kursi kerja setelah sekretarisnya menghilang di balik pintu. "Haih, Sinta. Mau apa dia kesini? Pasti mau membahas pernikahan lagi. Hafg....kalau begini kepalaku semakin pusing. Urusan dengan Aisyah belum selesai, sekarang malah memikirkan bagaimana membujuk Sinta. Aisyah....dimana kau sekarang? Kembalilah pulang, aku minta maaf."Pistol dalam laci diambil dan di simpan ke dalam sarung yang setali dengan ikat pinggang. Jaket kulit yang di pakai di tarik sedikit ke bawah menutup bagian pistol yang tergantung. King juga merapikan sedikit rambutnya sebelum melangkah ke arah pintu.Belum sampai di pintu ia berhenti sejenak. "Kalau perempuan 'sableng' itu melihat aku keluar, pasti dia minta ikut. Aku harus keluar sembunyi-sembunyi. Jangan sampai dia tau aku keluar," gumam King.Perlahan gagang pintu diputar, lalu pinta di buka sedikit. Hanya kepala saja yang di loloskan dari celah pintu yang terbuka. Menoleh kekiri dan kekanan, memastikan Aisyah tidak ada di sana."Line clear!" desisnya. Barulah King mulai melangkah keluar kamar. Lalu berlari menuruni anak tangga menuju pintu utama. Secepat kilat King masuk ke dalam mobil.Bergegas King menghidupkan mesin mobil, takut Aisyah akan mendengar dan melihat ia yang akan pergi."Mak saya di kampung pernah berpesan, biar lambat asal selamat. Tuan mau kemana buru-buru seper
"So, this my house!" ucap Rayden setelah tiba di depan rumah mewah miliknya. Menganga mukut Aisyah, melihat rumah bertingkat-tingkat di hadapannya sekarang. Sekilas ia melihat mobil truk yang berada di sebelah kanannya. Beberapa drum minyak tersusun dibak truk itu. "Kamu kerja apa?" tanya Aisyah. Pertanyaan itu tiba-tiba saja melintas di kepalanya. "Aku hanya seorang pembisnis kecil-kecilan saja. Ayo, mari masuk. Ada banyak hal yang ingin aku tunjukkan padamu," ajak Rayden. Aisyah mengangguk, lalu seatbelt di bukanya sebelum turun dari mobil. Tiba di luar, Aisyah mengedarkan pandangan melihat-lihat halaman rumah mewah itu. Namun, ia bergelinjak kaget ketika tangannya tiba-tiba di tarik Rayden. Aisyah pun menepiskan kasar tangan itu. "Why?" tanya Rayden heran. "Ngapain kamu pegang-pegang saya? Haram tau! Saya bilang pada King baru tahu kamu!" ancam Aisyah. Rayden terdiam beberapa saat kemudian tertawa. "Kau mau lapor sama siapa? Sama Lion?" tanya Rayden meyakinkan. "Ya
Dering ponsel membuat Fajar tersentak. Ia pun meraih benda pipih itu dan melihat nama pemanggil. "Ayah Man. Mau apa dia menelpon malam-malam begini?" Fajar ragu menjawab panggilan dari ayah Aisyah yang menelponnya. Setelah berpikir sejenak akhirnya tombol hijau di layar di geser juga."As--assalamu'alaikum, Yah. Ada apa telepon Fajar tiba-tiba? Apa ayah ada masalah di kampung?" tanya Fajar berbasa-basi."Hmm, tidak. Ayah baik-baik saja. Ayah hanya ingin tahu kabar kamu dengan Aisyah. Sudah lama juga ayah tidak melihat kalian. Kalian pun sudah lama tidak menjenguk kami di kampung, kan?" tanya ayah Man di sebrang sana.Fajar menggaruk alis, sambil menenangkan diri agar mantan ayah mertuanya tidak curiga. "Bukannya apa Yah. Hanya saja belakangan ini Fajar agak sibuk," balas Fajar memberi alasan."Tidak apa-apa, ayah mengerti kesibukanmu. Tapi kalau ada waktu, jenguk jugalah kami di kampung. Bawa Aisyah sebentar kesini, ayah sudah lama merindukan dia.""Ayah, se-sebenarnya." Fajar takut b
Sinta menggeleng melihat Fajar yang sedang melamun. Nafas halus di hembuskan perlahan. Hampir setengah jam mereka berada di cafe ini. Tapi tak ada satu topik pun yang di bicarakan. Hal itu membuat Sinta geram.PraaakMeja di depan di gebrak Sinta kuat Tentu saja hal itu membuat Fajar tersentak. Lamunannya tadi seketika lenyap, matanya kini beralih pada Sinta yang tengah memandangnya dingin."Kamu masih memikirkan istrimu itu?" tanya Sinta ketus."Sayang, aku hanya....""Hanya apa? Ingat, Fajar! Kamu sudah menceraikan dia. Jadi, untuk apa lagi kamu memikirkan dia? Kalau kamu seperti ini terus, lebih baik kita putus!" dengus Sinta. Hatinya semakin panas dengan tingkah laku Fajar akhir-akhir ini. Sudah lima tahun mereka menjalin kasih, dan Sinta masih sanggup menunggu Fajar semata-mata hanya ingin agar melanjutkan hubungan ke jenjang pernikahan. "Tidak sayang. Aku mohon, mengertilah dengan kondisiku sekarang ini. Kamu tahukan perceraian ini tidak ada satu pun yang tahu, termasuk Mama d
"Saya terima nikahnya Aisyah Siti Maryam binti Aman Zainudin...." Lancar saja mulut King mengucapkan kata ijab-qabul seraya menjabat tangan penghulu.Daddy Jafar, Diko dan Diki yang menjadi saksi pernikahan mereka tersenyum senang. Sudah lama Daddy Jafar mendambakan putra satu-satunya itu menikah, baru sekarang bisa tercapai.Setelah proses ijab-qabul berlansung, mereka pun meninggalkan tempat tersebut.Tergesa-gesa Aisyah berlari mengejar King yang telah menjauh dan dengan santainya sebelah lengan King di gandengnya.Tentu saja apa yang di lakukan Aisyah itu membuat langkah King terhenti. Dungusan kasar di lepaskannya sebelum menoleh pada Aisyah yang malah menampilkan barisan gigi."Kau mau apa?" desis King seraya menoleh kiri dan kanan memastikan Daddy, Diko dan Diki tidak melihat kearahnya."Mau peluk lah, mau apa lagi? Kan Abang sudah jadi suami Aisyah sekarang," jawab Aisyah dengan riang gembira. Panggilan 'tuan' pun sudah diubahnya dengan panggilan yang lebih pantas."Haih, k
Telepon pintar dibuangnya ke atas ranjang, kemudian ia merebahkan tubuh di sana.Seorang wanita paruh baya yang sedang menyisir rambut di meja rias di perhatikannya. 'Apa aku tanyakan saja sama Mama?' Sinta membatin dalam hati."Hmm...Ma," panggil Sinta. Ia merubah posisi menjadi duduk menghadap ke arah wanita paruh baya yang membelakanginya."Apa?" tanya Maya. Rambut di ikatnya dulu sebelum berbalik badan ke arah putrinya."Sinta mau nanya sesuatu. Hmm...kalau seorang laki-laki sudah menceraikan istrinya dengan talak tiga, apa boleh dia rujuk lagi seperti semula?" tanya Sinta ragu-ragu. Gadis itu tahu, ibunya lebih pakar tentang hal perceraian seperti ini. Karna wanita itu lebih dulu merasakan asinnya garam.Maya mengerutkan kening, merasa aneh dengan pertanyaan putrinya yang tiba-tiba saja bertanya tentang masalah perceraian. "Kenapa kamu tiba-tiba menanyakan hal ini?" tanya Maya."Lah, memang apa salahnya? Kan tidak lama lagi Sinta akan menikah? Jadi, Sinta harus tahu juga lah te
"uhuuk....uhuuk..." Terbatuk-batuk Aisyah menghirup debu yang bertebrangan di dalam ruangan yang baru di bukanya."Ini kamar atau gudang sih?" gumam Aisyah sambil matanya mengedar melihat ke sekeliling ruangan yang berdebu menandakan ruangan tersebut tidak pernah di gunakan. Tanpa ragu, Aisyah terus melangkah ke dalam ruangan itu.Bingkai foto yang tersusun dirak di pandangnya. Lalu bulu ayam yang sejak tadi dijepit di ketiak diambilnya. Kaca bingkai foto yang berdebu di sapunya menggunakan bulu ayam, hingga tampak olehnya gambar seorang wanita cina yang sedang menggendong seorang bayi."Pasti ini Mak mertuaku. Dan bayi yang di gendongnya ini pasti suami aku. Dia ini, masih bayi saja sudah ngeselin wajahnya," ucap Aisyah. Masih sempat saja ia mengejek wajah King sewaktu masih bayi.Bingkai foto itu di letakkan kembali ke rak. Kemudian Aisyah berjalan ke arah lemari baju. Kebaya merah yang tergantung di dalam lemari menjadi perhatiannya. Sebelum meraih baju itu Aisyah mengedarkan pand
Lembar demi lembar majalah pengantin di baliknya, memperhatikan setiap design baju yang ada di setiap lembar dalam majalah itu. Sebuah gambar gaun putih yang di penuhi dengan manik-manik dan bunga mawar putih menjadi pilihannya."Gaun ini cantik kan?" tanya Sinta pada MUA. Jarinya menunjuk ke arah gambar gaun yang ada dalam majalah pada.MUA berjenis kelamin laki-laki dengan penampilan gemulai itu mengangguk."Iya. Gaun itu sangat cocok sekali untuk you. Orang cantik pakai apa pun pasti akan cantik. Apalagi kalau you yang pakai," balas MUA itu sambil menyanggul rambut Sinta mengikuti style yang sedang trend saat ini.Sekilas Sinta menoleh pada pada papanya yang sedang sibuk mengurus meja makan yang berdekatan dengan kolam renang."Papa," teriak Sinta.Ilias menoleh ke arah putrinya yang sedang di rias."Eh, you mau kemana?" Pria gemulai itu protes saat Sinta pergi begitu saja.Ilias tersenyum melihat putrinya yang tampak cantik dalam balutan gaun."Cantiknya anak Papa. Baru mau tunang
Laci meja di tarik, mengeluarkan botol obat penenang yang tersimpan di sana. Sekilas dia menoleh kebelakang, melihat mak Gadis yang duduk di atas kursi dalam ke adaan lemas dengan kedua tangan dan kaki terikat.Nenek peot ini tidak henti-henti mencari masalah denganku. Aku hanya suruh makan saja dia tidak mau. Malah dia menginginkan tangan ini hinggap di wajahnya. Haidin menggerutu dalam hati sebelum mengeluarkan obat berbentuk kapsul dari botol. Hanya tersisa dua butir saja, obat penenang di dalam botol itu."Jack!" serunya kuat dan jelas.Jack yang berada di luar tersentak, segera dia berdiri dan berlari masuk ke dalam ruangan tempat Haidin berada."Ya, bos?""Obatku habis. Nanti kau belikan dua botol lagi," pinta Haidin yang lansung di balas Jack dengan anggukan kepala."Baik, bos.""Dan satu lagi. Kau antarkan barang ini kerumah si kucing anggora itu." Kotak persegi berwarna merah jambu di serahkan pada Jack yang lansung disambut Jack."Pastikan barang itu kau berikan lansung pad
Haidin tersenyum sinis, memandang Sinta dan Fajar yang duduk di hadapannya silih berganti. Asap rokok di hembuskan keluar dengan sengaja kewajah mereka berdua membuat Sinta terbatuk karna ulahnya itu. Sesekali dia memperhatikan kawasan di sekitar cafe itu.Nampaknya semua orang tengah sibuk dengan urusan masing-masing. Dapatlah dia berbicara dengan tenang tanpa ada yang mengganggu."Jadi bagaimana?" tanya Fajar memulai pembicaraan setelah cukup lama diam.Haidin tersenyum sinis. Rokok yang hampir habis di padamkan apinya dia dalam asbak yang tersedia di atas meja, kemudian dia menyandarkan punggung ke sandaran kursi yang di dudukinya."Apapun cara yang kalian rencanakan tidak masalah bagiku yang penting kalian harus dapatkan Aisyah dan membawanya padaku. Tapi, kalau kalian gagal, tidak segan-segan aku membunuh kalian berdua," sinisnya, lalu tertawa jahat.Seketika Fajar terdiam. Saliva di teguknya beberapa kali. Berdesir darahnya mendengar ancaman Haidin barusan. Sesekali dia melirik
Kaca mata hitam yang di gunakannya di turunkan kebawah agar bisa melihat lebih jelas merk botol kecap yang tersusun dirak. Mengira mana kecap yang di gunakan untuk sushi. "Hoi! Memilih kecap saja lama sekali. Buruan lah, masih banyak yang harus kita kerjakan setelah ini. Kalau mencari kecap saja selama ini, bisa-bisa bos marah nanti," tegur Diko. "Ishk, sabarlah sebentar. Aku tidak tahu mana kecap yang biasa di gunakan orang untuk makan sushi. Di sini semua kecap ada, kecap asin, kecap manis, kecap ABC seperti dalam iklan TV pun ada. Aku harus ambil yang mana? Memang kau tahu?" "Masalahnya kita sudah lama di sini. Dari tadi aku menunggu kau mencari kecap. Aku bosan, tahu. Aku ajak ke toko khusus menjual bahan untuk sushi kau tidak mau. Takut tidak halallah, takut inilah, takut itulah! Ambil saja apa susahnya sih? Kita tidak repot seperti ini," gerutu Diko. "Astaghfirullahalazim, lahaula wala quwwata illa billahil aliyil adzim, Diko!" Diki mengucap panjang sambil menggelengkan kepa
Papan putih bertuliskan DIJUAL HUBUNGI HAIRUL. HP. 0888.888.88.88, di gantungnya di depan pintu masuk. Keluhan kecil keluar dari hidungnya. Semakin sayu saja wajahnya memandang restoran miliknya yang akan di jual. "Mau bagimana lagi? Hanya ini saja jalan yang aku punya untuk melunaskan semua tunggakan hutang-hutangku," gumamnya pelan. Sudut bibir di tarik, memaksa untuk tersenyum sebelum dia melangkah meninggalkan tempat itu. "Hairul!" Sapaan seseorang menghentikan langkah pria itu. Dia pun menoleh kebelakang melihat King dan dua orang anak buahnya yang sedang berjalan menuju ke arahnya. Senyum lebar di ukir Hairul, terpaksa. "Tuan Lion? Apa yang tuan lakukan di sini?" tanyanya, sambil memperhatikan lokasi sekeliling yang sesak dengan orang-orang yang lalu lalang. Di sekitar tempat itu. "Kenapa? Apa aku tidak boleh bertemu dengan kau?" "Eh maksud saya bukan begitu, tuan. Hari ini kan tidak ada kelas mengaji, jadi saya heran saja kenapa tuan tiba-tiba ada disini?" King mengulas
Gelas berisi wine di angkat dan diadunya, sebelum di teguk mereka. Tenggorokan terasa panas, setelah meneguk gelas berisi minuman haram itu untuk kesekian kalinya, di susul gelak tawa dari dua orang yang duduk bersama Rayden. "Tidak kusangka, kau berubah jadi perempuan semata-mata hanya ingin membujuk si Lion. Apa kau tidak takut, Ray?" tanya Shoun, pria keturunan chaines. "Itulah yang aku heran? Aku rasa masih banyak cara lain yang bisa kau lakukan, Re. Tapi kenapa malah jalan ini yang kau pilih? Memangnya kau tidak takut si Lion menghajar kau? Kalau aku mending tidak punya urusan dengan dia." Ejim ikut menyela. Rayden malah tersenyum sinis. Gelas kaca yang masih di tangan di letakkan di atas meja, kemudian tangannya beralih memeluk pinggang wanita yang duduk di sampingnya. "Mau bagaimana lagi? Aku tidak mempunyai ide lain. Hanya itu saja ide yang terlintas di dalam kepalaku saat itu. Lagian semua itu aku lakukan karna aku tidak ingin casino ini tutup. Aku tahu wanita kampung itu
Hari berganti pagi, satu persatu anak tangga di lewatinya menuju ke arah dapur. Senyum di bibirnya merekah saat melihat punggung Aisyah yang sedang memotong sayur. Pintu kulkas di bukanya mengambil sebotol air mineral yang berada di sana, lalu di teguknya pelan tanpa melepaskan pandangan dari wanita di depannya. "Aish, boleh tidak aku pergi ke rumah Rayden?" Tangan Aisyah yang tadinya lincah memotong sayur terhenti. Dia berbalik badan menghadap pada King, membuat King terpaku beberapa saat melihat tatapan istrinya yang tidak bersahabat. Eh, kenapa wajahnya berubah seperti itu? Barisan gigi putih di pamerkan King. Botol air mineral tadi juga di masukkan kembali ke dalam kulkas, kemudian dia melangkah mendekati Aisyah. "Kamu tidak perlu khawatir, aku tidak pergi sendirian. Ada Diko dan Diki yang menemankan," ujarnya memberi pengertian. "Untuk apa lagi kamu pergi ke rumah si Rayden alias si Lira itu? Kamu sudah tahu kan dia itu suka sama kamu? Kalau di sana dia melakukan hal macam
Sepiring nasi dengan lauk ikan goreng di letakkan diatas paha mak Gadis. Satu kursi di tariknya ke hadapan wanita itu dan melabuhkan duduk di sana. Kepalanya menoleh ke arah Jack yang berdiri di samping pintu. Memberi kode pada anak buahnya itu untuk membuka ikatan tali pada tangan wanita di hadapannya. Pergelangan tangan yang terasa gatal di garuk mak Gadis setelah ikatan pada tangannya terlepas. Haidin menyeringai. "Makanlah!" tawarnya dengan mengangkat dagu memandang mak Gadis. Mak gadis malah memutar bola mata. Jijik dengan pria di depannya ini. Piring berisi nasi diatas pahanya tidak di sentuh. Lebih baik dia kelaparan dari pada memakan makanan deri pria gila di depannya ini. "Kenapa tidak mau makan? Kau takut aku memberi racun dalam makanan itu?" sinis Haidin. Mak Gadis mendengus kasar. "Walau kau campur racun sekalipun, tidak masalah bagiku. Lebih baik aku mati kelaparan dari pada makan makanan yang kau berikan!" Haidin malah tertawa kecil. Kepala di gelengkan berkali-kal
Aisyah mengeluh kecil. Duduk diatas sofa sambil menopang dagu, menunggu King yang juga belum pulang. Terkadang dia menoleh pada jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 5 sore."Bilangnya mau pulang jam satu, sekarang sudah jam lima masih juga belum kelihatan batang hidungnya. Jelas sekali dia mau membodoh-bodohi aku! Ishk, benci aku kalau seperti ini!" gerutunya sendiri. Kedua belah tangan di lipat ke dada dan kaki kirinya di silangkan diatas paha kanan.Ponsel diatas meja di pandangnya lama.Telpon tidak ya? Hmm, siapa tahu saja dia mau jawab telpon aku kan? Ya, sudah telpon saja deh. Lantas ponsel itu di raihnya, mencari nomor King dan menelponnya. Tapi sayangnya panggilannya tersebut tidak di jawab sama sekali oleh King.Aisyah semakin mendengus geram. Dia mengulang panggilan untuk kedua kalinya. Namun masih sama. Tidak ada jawaban."Iiiiih! Dia ini! Aku sudah telepon tapi tidak juga di jawabnya! Bagaimana aku tidak berpikir yang bukan-bukan! Siapa sangka dia sedang jalan sama wa
King mulai cemas. Semua kantong celana di periksanya mencari kotak cincin yang baru saja di belinya. Dia juga menunduk mencari benda itu. Siapa tahu jatuh, kan? Namun, tetap tidak ada."Wanita tadi. Ya, pasti dia yang mengambilnya! Kurang ajar!" gumamnya geram. Kepalanya berputar memandang ke sekeliling mencari kelibat wanita tadi."Aku di sini?"Terdengar suara wanita tadi. Lantas King segera berbalik badan ke belakang.Wanita itu tersenyum sinis sambil menunjukkan kotak cincin yang berada di tangannya."Kembalikan cincinku itu!" teriak King, keras dan tegas.Akantetapi wanita itu malah menggelengkan kepala dan tertawa di buat-buat. "Kemarilah, kejar aku kalau kamu mau cincin ini," ucapnya sambil menjulurkan lidah.Habis sudah kesabaran King pada wanita itu. Kedua tangan terkepal kuat, hanya menunggu waktu untuk melepaskan. Namun, dia masih mencoba meredam amarahnya. Perlahan dia mulai berjalan mendekati wanita itu."Sorry, kamu lambat!" sinisnya, kemudian berlari ke arah gang lain.