Telepon pintar dibuangnya ke atas ranjang, kemudian ia merebahkan tubuh di sana.Seorang wanita paruh baya yang sedang menyisir rambut di meja rias di perhatikannya. 'Apa aku tanyakan saja sama Mama?' Sinta membatin dalam hati."Hmm...Ma," panggil Sinta. Ia merubah posisi menjadi duduk menghadap ke arah wanita paruh baya yang membelakanginya."Apa?" tanya Maya. Rambut di ikatnya dulu sebelum berbalik badan ke arah putrinya."Sinta mau nanya sesuatu. Hmm...kalau seorang laki-laki sudah menceraikan istrinya dengan talak tiga, apa boleh dia rujuk lagi seperti semula?" tanya Sinta ragu-ragu. Gadis itu tahu, ibunya lebih pakar tentang hal perceraian seperti ini. Karna wanita itu lebih dulu merasakan asinnya garam.Maya mengerutkan kening, merasa aneh dengan pertanyaan putrinya yang tiba-tiba saja bertanya tentang masalah perceraian. "Kenapa kamu tiba-tiba menanyakan hal ini?" tanya Maya."Lah, memang apa salahnya? Kan tidak lama lagi Sinta akan menikah? Jadi, Sinta harus tahu juga lah te
"uhuuk....uhuuk..." Terbatuk-batuk Aisyah menghirup debu yang bertebrangan di dalam ruangan yang baru di bukanya."Ini kamar atau gudang sih?" gumam Aisyah sambil matanya mengedar melihat ke sekeliling ruangan yang berdebu menandakan ruangan tersebut tidak pernah di gunakan. Tanpa ragu, Aisyah terus melangkah ke dalam ruangan itu.Bingkai foto yang tersusun dirak di pandangnya. Lalu bulu ayam yang sejak tadi dijepit di ketiak diambilnya. Kaca bingkai foto yang berdebu di sapunya menggunakan bulu ayam, hingga tampak olehnya gambar seorang wanita cina yang sedang menggendong seorang bayi."Pasti ini Mak mertuaku. Dan bayi yang di gendongnya ini pasti suami aku. Dia ini, masih bayi saja sudah ngeselin wajahnya," ucap Aisyah. Masih sempat saja ia mengejek wajah King sewaktu masih bayi.Bingkai foto itu di letakkan kembali ke rak. Kemudian Aisyah berjalan ke arah lemari baju. Kebaya merah yang tergantung di dalam lemari menjadi perhatiannya. Sebelum meraih baju itu Aisyah mengedarkan pand
Lembar demi lembar majalah pengantin di baliknya, memperhatikan setiap design baju yang ada di setiap lembar dalam majalah itu. Sebuah gambar gaun putih yang di penuhi dengan manik-manik dan bunga mawar putih menjadi pilihannya."Gaun ini cantik kan?" tanya Sinta pada MUA. Jarinya menunjuk ke arah gambar gaun yang ada dalam majalah pada.MUA berjenis kelamin laki-laki dengan penampilan gemulai itu mengangguk."Iya. Gaun itu sangat cocok sekali untuk you. Orang cantik pakai apa pun pasti akan cantik. Apalagi kalau you yang pakai," balas MUA itu sambil menyanggul rambut Sinta mengikuti style yang sedang trend saat ini.Sekilas Sinta menoleh pada pada papanya yang sedang sibuk mengurus meja makan yang berdekatan dengan kolam renang."Papa," teriak Sinta.Ilias menoleh ke arah putrinya yang sedang di rias."Eh, you mau kemana?" Pria gemulai itu protes saat Sinta pergi begitu saja.Ilias tersenyum melihat putrinya yang tampak cantik dalam balutan gaun."Cantiknya anak Papa. Baru mau tunang
"Iiih, geramnya aku!" desis Aisyah pelan. Naik turun dadanya melihat ke arah Sinta yang seperti sengaja membuatnya cemburu. Sepertinya dia sengaja mau membuat aku cemburu! King yang sedang makan di perhatikannya agak lama. Berdehem beberapa kali, lalu menggeser duduknya mendekatkan jarak pada suaminya itu. Perlahan-lahan kepala dia jatuhkan diatas bahu King, sambil dia menggerakkan kening berkali-kali ke arah Sinta yang juga tengah memperhatikannya. Tampak wajah Sinta yang tidak puas hati, membuat Aisyah tertawa senang. Rasain kau! Jelas suami aku lebih keren dari pada suami kau itu! "Hei, apa yang kau lakukan?" tanya King. Sesendok nasi goreng di suapnya kedalam mulut sebelum beralih memandang Aisyah. "Tidak tahu, tiba-tiba leher aku pegal," jawab Aisyah beralasan. "Leher kau yang pegal atau kau sedang unjuk kemesraan dengan perempuan itu?" tanya King sinis seolah tahu saja apa yang terjadi. Aisyah mencebik bibir. "Iya, tapi dia yang mencari masalah duluan. Dia seng
Perlahan kelopak matanya di buka. Silau cahaya lampu di halang dengan tangan. Dia mengaduh sakit saat terasa denyutan kuat pada bagian rahang dan pipi kanannya yang bengkak. "Arghhh!" "Sakit ya, Sayang? Sudah puas kan mencari ribut dengan laki-laki itu? Apa sebenarnya yang terjadi tadi malam sampai laki-laki itu memukul kamu sampai begini? Dan siapa dia? Apa kamu kenal?" Berondong pertanyaan diajukan Sinta pada tunangannya yang baru sadarkan diri. Fajar gelagapan. Dia tidak sadar jika Sinta sudah berada di sebelahnya. Sekeliling ruangan itu di perhatikannya beberapa saat. Kemudian beralih pada Sinta yang masih menunggu jawaban darinya. "Kamu kenapa? Pagi-pagi sudah merepet?" Fajar malah balik bertanya dengan nada sinis. "Aku merepet karna mencemaskan kamu, tahu! Laki-laki tadi malam itu sudah menghajar kamu sampai Babak belur seperti ini, kamu sadar tidak? Kalau dia tidak berhenti menghajar kamu malam tadi. Aku rasa kamu sudah tidak ada lagi sekarang ini. And tell me, siapa
Aisyah mencari keberadaan suaminya yang tidak kelihatan sama sekali di ruang makan. Seorang pelayan yang sedang sibuk membersihkan ruang tamu menjadi tempatnya bertanya. "Shen! Apa kamu melihat suamiku?" tanya Aisyah. Wanita cina yang sudah bertahun-tahun bekerja di rumah itu menghentikan aktifitasnya dan menoleh pada Aisyah. "Saya juga tidak melihatnya, Nyonya. Coba Nyonya lihat di atas, karna sejak tadi saya tidak melihat tuan turun. Kalau saya yang ke atas nanti saya yang di marahinya." "Oh, baiklah kalau begitu. Sekarang kamu tolong aku membawa makanan ke ruang makan ya. Aku mau melihat dia ke atas sebentar." "Baik Nyonya," sahut wanita itu. Kemudian dia pergi ke dapur mengambil makanan yang belum di hidangkan Aisyah. Apron yang melekat di badannya di buka, lalu Aisyah pergi ke lantai dua. Kamar yang berada di sebelah kanannya menjadi sasaran pencariannya. Tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu dia lansung memutar gagang pintu dan menolaknya ke dalam. Pandangannya menged
Segelas air putih di raih Fajar, lalu di teguk perlahan-lahan. "Shit!" Fajar meringis merasakan pedih di bagian bibir yang pecah. Ting tong! Ting tong! Tiba-tiba terdengar bunyi bel , menandakan ada orang datang ke rumahnya. Kening mulai berkerut kuat. Gelas tadi di letakkan diatas meja sebelum berlari menuju pintu utama. Kain gorden di sibakkannya sedikit, takut jika yang datang adalah keluarga Aisyah. Namun, dugaannya salah setelah melihat Aisyah berdiri di luar pagar.. Tersenyum lebar Fajar melihat mantan istrinya itu. Apalagi setelah cukup lama memperhatikan mantan istrinya itu hanya datang seorang diri. Bergegas Fajar membuka pintu dan berlari menuju ke halaman rumahnya. "Aishya...." Baru saja akan menyapa wanita tak itu, kelibat King yang muncul tiba-tiba membuat langkahnya seketika melambat. Senyum yang tadinya mekar sirna sudah. Di sana King tersenyum sinis. "Apa kabar bro? Sehat? Aku tidak mengganggu kau kan. Aku harap tidak, karna aku ada perlu dengan kau sebe
Sebuah rantai besi di tariknya menaiki tangga, berjalan dengan langkah pelan, tidak ingin ada bunyi yang keluar. Walaupun ke adaan gelap gulita, tapi dia tahu kemana kakinya harus melangkah. Kamar yang berada di ujung kanannya menjadi tujuannya. Wajah yang di lindungi topeng wajah tersenyum sinis. Gagang pintu yang tidak terkunci perlahan di putarnya, lalu di dorongnya pelanggan. Bola matanya mengedar kesekeliling kamar, mencari kelebat seseorang. Kemana dia? Saklar lampu di dinding di hidupkan, pandangannya kini tertuju pada pintu lemari yang sedikit menganga. "Sialan! Kau mau bersembunyi dariku ternyata!" Dia berjalan ke arah lemari itu dan membukanya. Rantai besi yang di bawanya lansung di lilitkan ke leher lelaki yang bersembunyi itu sehingga dia kesusahan bernafas. Fajar mulai panik dan cemas. Tangannya menggapai-gapai mencoba melepaskan lilitan rantai itu. "Mana Aisyah?" tanyanya, mendesis di telinga Fajar. Fajar hanya mampu menggeleng sebagai jawaban. "Aku tany
Serangan demi serangan anak buah Haidin dengan mudah di hindari King. Sambil mengelak, King juga menyarang lawannya pada bahagian lutut dan perut. Walau mustahil bisa mengalahkan sepuluh orang dengan tangan kosong sendirian, namun demi istri tercinta, King yakin dapat mengalahkan semuanya. Begitupun Rayden, pemuda itu juga sibuk melumpuhkan anak buah Haidin yang menyerangnya dari arah kiri dan kanan. Belum sempat ia menarik pelatuk pistol tubuhnya sudah di tendang hingga jatuh ke tanah. Segera Rayden bangun lagi sebelum di injak pria berbadan besar. Satu persatu wajah musuh yang mengelilingi di perhatikannya. "Hahahahhaha. Cukup! Cukup! Hahahaha." Serentak Rayden, King dan anak buah Haidin menoleh ke arah suara yang tertawa kegelian. Di sana tampak Diko dan Diki sedang menggelitik seorang pria, hingga pria itu berguling-guling di tanah. "Ha, rasakan ini!" Diki terus saja menggelitik selangkangan pria itu dengan kakinya. Sedangkan Diko menahan tangan pria itu. "Terus Diki, terus!
Gluk! Gluk! Air liur di telan Diko dan Diki melihat tubuh tegap setiap pengawal yang menjaga pintu rumah usang di depan. "Diki, bagimana ini? Apa yang harus kita lakukan?" tanya Diko. Cemas pemuda itu memandang saudara kembarnya. Diki pun tidak tahu harus berkata apa. Dia hanya terpaksa mengikuti perintah Rayden dan King tadi. Kalau dia tahu akan jadi seperti ini, lebih baik tadi dia dirumah saja menonton film Doraemon. "Hmm, coba sekarang kau pukul aku," pinta Diki. "Pukul? " Diko sedikit kaget. Mana tega dia memukul adiknya sendiri. "Kau sudah gila, hah? Kalau aku pukul kau yang ada kau jadi pingsan nanti," sambung Diko. "Ha, itu masalahnya. Sekarang pun aku pusing. Kau pukul saja." Tangan Diko diambil dan di pukulkan ke wajahnya. "Diki, aku ini sudah lama tidak memukul orang. Kalau kau aku pukul, yang bisa-bisa kau mati atau pun pingsan." "Pukul saja lah, cerewet! " "Serius?" tanya Diko memastikan. "Ya, " jawab Diki mantap. "Serius? " Diko kembali bertanya. "Iya! " "Ka
"Sayang," panggil Haidin dengan nada manja. Dia berlutut di hadapan Aisyah yang tengah menangis terisak-isak. Darah di paha wanita itu sudah mengering dan di balut dengan kain putih untuk menghentikan darah yang keluar. Ibu jari di gunakan Haidin menyeka air mata Aisyah. Kepala dia gelengkan pelan. "Sssttt. Jangan nangis lagi, sayang. Lukanya sudah kering. Kalau kamu menangis seperti ini aku jadi tidak tega. Aku tidak kuat melihat kamu menangis, Sayang." "Cukup Haidin. Saya sudah lelah dengan permainanmu ini," ucap Aisyah dengan suara sedikit meninggi. Haidin mengerutkan kening. "Kamu lelah kenapa? Aku tidak menyuruh kamu pergi ke mana-mana? Dari tadi kan kamu hanya duduk di kursi ini saja. Tidak mungkin duduk saja kamu merasa lelah? Atau kamu mau mandi? Kamu pasti ingin aku mandikan, kan?" Aisyah menggeleng ketakutan. Haidin malah tertawa besar. Senang hatinya melihat wanita itu ketakutan. Kemudian matanya beralih pada jilbab Aisyah yang telah basah oleh keringat. Timbul rasa ka
"Akhh! Sakit! Kau bisa lakukan pelan-pelan tidak!" King mengerang saat kain berisi pecahan batu es di tekan pada luka lebam di wajahnya. Rayden malah tersenyum sinis dia tidak heran lagi dengan sahabatnya itu. "Sudah tahu lemah, kenapa tidak kau ajak aku sekali melawan mereka. Ini tidak, malah sok melawan sendiri! Kau kira diri kau itu seper hero bisa melawan semua kejahatan?" sinis Rayden. Batu es itu di tekan lebih keras lagi ke wajah King. King menjerit sakit. Seketika dia menepis tangan Rayden, lalu menggosok pipinya yang lebam. "Aku tidak ingin menyusahkan orang lain itu saja!" Rayden mendesah kasar. "Tidak ingin menyusahkan orang lain? Eh, kalau kau mati di tangan si Jack siapa yang akan selamatkan istri kau? Kalau aku sendiri yang selamatkan dia, yang ada akulah yang jadi heronya! Lebih baik dulu, aku saja yang menikah dengan dia, bukan kau!" sinis Rayden meninggikan suaranya. "Alaah, kau lupa? Apa yang pernah kau katakan padaku hari itu? Jangan pernah minta tolong padak
"Woi!" Suara itu menghentikan gerakan tangan Jack seketika. Kepalanya menoleh kiri-kanan mencari dimana sumber suara. Ruangan yang remang-remang membuatnya kesusahan untuk mengetahui pemilik suara dari orang-orang yang berada di sana. Pedang katana yang berada di tangannya di jatuhkan lagi ke bawah. Kakinya yang memijak kepala King juga di pindahkan ke lantai. Detik kemudian terdengar suara tembakan mengenai rekan-rekan Jack. Suasana di clab malam yang tadinya riuh dengan musik DJ, berganti dengan teriakan ketakutan orang-orang yang berada di sana. Jack melompat ke tepi. Membulat matanya melihat tiga orang rekannya yang terkena tembakan di dada. Tinggal dua orang rekannya yang masih selamat, tengah meringkuk di balik meja yang di tendang King tadi. "Siapa pun kau. Keluarlah kalau berani!" tantang Jack. Bola matanya bergerak memandang sekeliling. "Waciyaaa!" Braaak! "Aduh!" Diki jatuh tersungkur. Rencana ingin menendang Jack dari belakang malah kakinya terpeleset. Tertawa Jack
"Bos, mau kemana?" tanya Diko ketika melihat King sedang memasukkan peluru ke dalam pistolnya. Namun King tidaklah peduli dengan pertanyaan anak buahnya itu. Dia hanya fokus pada pistolnya yang sudah lama tidak di gunakan. Diko memandang Diki yang berada di sebelahnya. Tidak tahu lagi mereka bagaimana cara membujuk King agar bisa bersabar. Diki mengeluh kecil. Diberanikannya diri mendekati King dan mengusap bahu bosnya itu pelan, namun King malah menepiskannya dengan kasar. "Aku mau pergi mencari istriku. Kalian berdua tidak perlu ikut!" ujar King dengan nada serius tanpa memandang wajah ke dua anak buahnya. Kening Diki mulai berkerut. Sekilas dia menoleh pada Diko yang berdiri di belakangnya. Tidak akan mereka membiarkan bos mereka pergi seorang diri "Tapi bos, kalau terjadi apa-apa dengan bos bagaimana? Biarkan kami ikut, bos." King tersenyum sinis mendengar kata-kata Diki barusan. Dia menyimpan pistol ke dalam sarung, lalu di selipkan di pinggang sebelum menoleh pada lelaki
Garis polisi berwarna kuning telah melingkar di sekeliling lokasi kejadian. Beberapa petugas juga tampak sibuk menjalankan tugas mereka masing-masing. Mayat yang telah gosong di dalam mobil di keluarkan mereka dengan sangat hati-hati, lalu di letakkan di atas tempat mayat yang di lampisi dengan plastik hitam.Saat ini, sebagaian lokasi kejadian juga basah, karna baru saja di guyur hujan lebat. Kamera di bidikkan pada mayat yang sudah tidak bisa di kenali itu sebagai bukti."Aisyah!" Suara teriakan itu menggema di sekitar lokasi kejadian.Serentak pandangan polisi yang berada di sana beralih pada King yang tengah berlari melintasi garis larangan polisi.Diko dan Diki sudah mencoba menahan, namun gagal."Maaf Pak. Untuk saat ini, Bapak tidak boleh masuk ke lokasi kejadian, karna kami sedang melakukan penyelidikan! Mohon kerjasamanya, Pak." cegah komandan polisi yang bertugas disana. Lengan King di tahan salah satu anggota polisi yang bertugas agar laki-laki itu tidak masuk ke lokasi ya
Mobil berhenti setelah tiba di kawasan hutan. Tampak beberapa orang pria bersenjata api dan juga Haidin yang telah menunggu kehadiran mereka.Dua orang bertopeng tadi keluar dari dalam mobil bersama dengan Diki yang kepalanya masih di tutup menggunakan kain hitam.Tubuh Aisyah juga di papah menuju ke arah Haidin, lalu di baringkan diatas tanah, kemudian kedua orang bertopeng itu melangkah mundur ke belakang."Apa kami sudah boleh pergi?"Haidin menggeleng. "Kenapa harus buru-buru, santai saja dulu di sini. Eh, tapi kenapa kalian bawa anak buah si Lion kesini? Bukannya aku hanya menyuruh kalian membawa Aisyah saja?""Kalau aku tinggalkan, pasti dia akan berteriak dan mengejar kami."Haidin mengangguk tanda paham, lalu ibu jari di jentiknya memberi kode pada anak buahnya.Lantas Jack datang membawa satu jerigen air dan di siramkan ke wajah Aisyah.Seketika Aisyah tersadar. Hidungnya terasa pedih saat air itu masuk ke dalam rongga pernapasannya. Dia tersedak, terbatuk-batuk beberapa saat
"Cepat katakan! Apa yang terjadi dengan istriku! Tadi aku menyuruh kau mengantarkan dia kan? Lalu mana dia sekarang!" bentak King. Saat ini dadanya berombak turun-naik. Diki yang masih berlutut di lantai di pandangnya.Tapi, Diki malah menggelengkan kepala. Berurai air matanya keluar membayangkan yang terjadi pada Aisyah tadi. Dia takut, King akan marah dan kecewa dengan dirinya yang tidak bisa menjaga Aisyah.Diko merasa cemas, dia tidak tahu apa yang akan terjadi setelah ini, jika yang di sampaikan Diko barusan benar-benar terjadi. Mungkin King tidak akan mau lagi mempekerjakan saudaranya itu.Bahu Diki di usapnya pelan, coba meredakan tangis saudaranya yang belum juga berhenti."Diki, coba kau tenang dulu dan ceritakan apa apa yang telah terjadi sebenarnya. Kalau kau hanya menangis seperti ini, masalahnya tidak akan selesai," ujar Diko membujuknya."Tapi aku takut bos marah dan membenciku," lirih Diki."Terus? Kalau kau diam seperti ini, kau pikir bos tidak akan marah? Kau pikir b