Sebuah rantai besi di tariknya menaiki tangga, berjalan dengan langkah pelan, tidak ingin ada bunyi yang keluar. Walaupun ke adaan gelap gulita, tapi dia tahu kemana kakinya harus melangkah. Kamar yang berada di ujung kanannya menjadi tujuannya. Wajah yang di lindungi topeng wajah tersenyum sinis. Gagang pintu yang tidak terkunci perlahan di putarnya, lalu di dorongnya pelanggan. Bola matanya mengedar kesekeliling kamar, mencari kelebat seseorang. Kemana dia? Saklar lampu di dinding di hidupkan, pandangannya kini tertuju pada pintu lemari yang sedikit menganga. "Sialan! Kau mau bersembunyi dariku ternyata!" Dia berjalan ke arah lemari itu dan membukanya. Rantai besi yang di bawanya lansung di lilitkan ke leher lelaki yang bersembunyi itu sehingga dia kesusahan bernafas. Fajar mulai panik dan cemas. Tangannya menggapai-gapai mencoba melepaskan lilitan rantai itu. "Mana Aisyah?" tanyanya, mendesis di telinga Fajar. Fajar hanya mampu menggeleng sebagai jawaban. "Aku tany
"Sudah beberapa hari ini kita pergi ke rumah Fajar, tapi kenapa dia tidak pernah ada di rumah? Saya rasa ada sesuatu yang terjadi dengan anak kita, Bang. Saya coba telepon dia pun tidak di jawab," ujar mak Gadis mengadu pada suaminya. Gelisah hatinya karna sudah beberapa hari tinggal di kota tapi belum juga bisa bertemu dengan putrinya. Ayah Man, tidak menjawab. Pria itu malah seperti melamun memandang televisi yang ada di depannya. Mak Gadis mengeluh kecil. Setiap kali dia berbicara pasti suaminya termenung. Entah apa yang suaminya itu pikirkan, dia pun tidak tahu. Bahu suaminya di colek sedikit, mematikan lamunan lelaki itu. Ayah Man menoleh pada Mak Gadis yang duduk di sebelahnya. "Abang dengar tidak apa yang saya katakan tadi?" tanya mak Gadis lagi. Ayah Man mengangguk pelan, tanda dia mendengarnya. Kemudian dia berdehem beberapa kali membenarkan pita suaranya terlebih dahulu. "Nanti aku pergi ke rumah si Fajar itu, kamu tunggu saja di sini tidak usah ikut," sahut ayah
Potret seorang gadis dengan hijab di tengah-tengah sawah di pandang lama. Tanpa sadar senyum lebar terukir di bibirnya. Dia merasa gambar itu juga sedang memandangnya dan juga tersenyum padanya. Puas berkhayal, potret itu di letakkan kembali ke atas meja, kemudian bola matanya bergerak menuju pisau lipat yang berada di sebelah kanannya. Perlahan dia meraih pisau lipat itu, lalu dia berdiri menuju ke arah cermin bulat yang tergantung di dinding. "Sudah berapa tahun aku menyamar demi kamu, Aisyah. Sekarang aku tidak mau bersembunyi lagi. Aku harus dapatkanmu, sebelum bajingan itu sempat menyentuh kamu, Sayang," desisnya. Senyum sinis di ukirnya melihat kulit wajah yang keriput dari pantulan cermin. Ujung pisau lipat yang tajam di tempelkan ke wajahnya, kemudian di tekan dan di tarik hingga ke dagu. Perlahan topeng yang melekat di wajahnya di buka. Wajah yang tadinya keriput dan tua, berganti dengan wajah yang lebih muda. Pisau lipat tadi di letakkan lagi diatas meja dan topeng orang
Alamat yang tertera di sampul surat di baca, kemudian ia mempehatikan kawasan rumah mewah di depan. Ingin memastikan apakah alamat di sampul surat dengan rumah di depannya sama. Kemudian dua orang pengawal yang berdiri di depan gerbang menjadi sasarannya untuk bertanya. "Matur suhun, Mas. Benar ndak ini rumahnya, Adriano Lion King?" tanya kurir tersebut dengan logat daerah yang medok. "Iya, kenapa?" jawab pengawal tegas. "Alhamdulillah, berarti saya ndak salah rumah yo. Ini ada surat untuk nama yang saya sebutkan tadi. Boleh saya titipkan surat ini pada Mas, ndak?" tanya kurir itu lagi. "Ya, mana suratnya." Pengawal menadahkan satu tangannya pada kurir tersebut. "Alhamdulillah, kalau begitu. Jangan lupa berikan pada orangnya yo, Mas. Ingat, jangan sampai lupa, amanah ini. Kalau begitu saya undur diri dulu. Matur suhun yo, Mas." Setelah menyerahkan surat itu kepada salah seorang penjaga, kurir itu pun segera pergi dari sana. "Nyonya!" panggil penjaga tadi pada Aisyah yang sedang
"Bos, kita ke klinik atau ke rumah sakit?" tanyan Diki cemas. Sesekali dia menoleh kebelakang melihat King yang menyerang kesakitan.Cairan merah terus mengalir hingga membasahi bangku mobil. Klakson di bunyikan terus-terusan agar bisa menyalip, namun pengendara lain ada yang tidak mengerti jika mereka sedang terburu-buru."Haih, kau ini! Tidak mungkin masalah ini pun kau masih mau menanyakan pada bos. Pergi ke rumah sakitlah, tidak mungkin kita bawa bos ke dukun beranak. Ada-ada saja kau ini," sahut Diko."Kalau kita bawa bos kerumah sakit, pasti antri," balas Diki."Bukannya kalau di klinik harus antri juga?""Paling tidak di klinik tidak terlalu ramai.""Kalau kau tahu di klinik tidak terlalu ramai, kau bawa saja mobil ini ke klinik. Itu pun masih kau tanya!" dengus DikoSegera Diki memutar stir ke kiri, menuju kearah klinik yang tidak jauh dari situ. Mobil di parkir di depan klinik, kemudian dia keluar dari dalam mobil, membantu Diko memapah King keluar dari dalam mobil menuju mas
Sebelah tangannya meraba-raba mencari tubuh seseorang, tapi tidak ada. Perlahan kelopak matanya terbuka, memandang ke sebelahnya yang sudah kosong, tidak ada siapa-siapa. Ah, pasti dia berada di dapur sekarang. Senyum tipis di ukirnya kala melihat bercak merah di alas kasur tidur. Duduk bersandar di sandaran ranjang dengan kepala yang masih melayang mengingat kejadian tadi malam. Ah, ternyata aku yang pertama. Kemudian dia melompat turun dari atas tempat tidur. Celana dan baju yang berada di lantai di pasangnya kembali sebelum melangkah keluar dari dalam kamar itu. Rambut yang acak-acakan di biarkan saja seperti itu. "Selamat pagi, istriku!" sapanya, memandang Aisyah yang sedang meracik teh di dapur. Aisyah memutar bola mata. King mengerut kening. Kenapa dia, tiba-tiba saja bad mood seperti ini? "Aish, kamu marah denganku?" tanya King, wajahnya se
Keluhan kecil di lepaskan pelan oleh Hairul, lalu dia melabuhkan duduk diatas sofa untuk mengistirahatkan dirinya sejenak. Senyum diukirnya saat melihat Intan--anak perempuannya yang sedang sibuk mengerjakan pekerjaan sekolah."Baru pulang, Mas?" sapa Zaleha--istrinya yang di balas anggukan kepala oleh Hairul. Secangkir teh di letakkan diatas meja. Siapa tahu suaminya itu haus."Bagaimana, Mas? Tuan Lion ada berbuat sesuatu pada Mas?" tanya Zaleha lagi, tempat kosong di sebelah suaminya menjadi tempat dia melabuhkan duduk."Alhamdulillah tidak ada, karna Mas mempunyai foto istri dia. Mas sudah menduga, dia tidak akan berani main tangan kalau Mas tunjukkan foto istrinya itu, eh, ternyata benar," jawab Hairul tertawa kecil.Zaleha terdiam beberapa saat. Keningnya sedikit berkerut mendengar jawaban suaminya.Pantas saja waktu Tuan Lion datang minggu kemarin dia tidak berbuat apa-apa padaku. Malah memberikanku uang, ternyata dia sayang juga
"Haidin! Jangan sentuh aku!" ketus Aisyah sedikit membentak. Namun, saat menoleh pada pria itu dia ketakutan. Apalagi melihat wajah Haidin yang menunjukkan kemarahan. Seperti memberi peringatan bagi Aisyah agar tidak macam-macam dengannya. Saliva di teguk Aisyah kasar."Ma-maaf aku mau ke toilet sebentar," pintanya tergagap. Kaki beringsut mundur beberapa langkah kebelakang ingin segera meninggalkan tempat itu. Namun, tanpa sengaja dia malah menabrak tubuh seseorang. Aisyah pun segera berbalik badan melihat King yang ternyata berdiri di sana. Membulat mata Aisyah memandang laki-laki yang sudah menjadi suaminya itu.Sedangkan King , wajahnya menunjukkan tidak puas hati melihat keberadaan istrinya bersama pria laindi sana. "Sudah puas dating?" tanyanya sedikit membentak.Air liur di teguk Aisyah berkali-kali. Tangannya yang sudah berkeringat basah di lap ke baju yang di pakainya. Tidak berani dia memandang wajah King kali ini. Detak jantungnya juga semakin b
Laci meja di tarik, mengeluarkan botol obat penenang yang tersimpan di sana. Sekilas dia menoleh kebelakang, melihat mak Gadis yang duduk di atas kursi dalam ke adaan lemas dengan kedua tangan dan kaki terikat.Nenek peot ini tidak henti-henti mencari masalah denganku. Aku hanya suruh makan saja dia tidak mau. Malah dia menginginkan tangan ini hinggap di wajahnya. Haidin menggerutu dalam hati sebelum mengeluarkan obat berbentuk kapsul dari botol. Hanya tersisa dua butir saja, obat penenang di dalam botol itu."Jack!" serunya kuat dan jelas.Jack yang berada di luar tersentak, segera dia berdiri dan berlari masuk ke dalam ruangan tempat Haidin berada."Ya, bos?""Obatku habis. Nanti kau belikan dua botol lagi," pinta Haidin yang lansung di balas Jack dengan anggukan kepala."Baik, bos.""Dan satu lagi. Kau antarkan barang ini kerumah si kucing anggora itu." Kotak persegi berwarna merah jambu di serahkan pada Jack yang lansung disambut Jack."Pastikan barang itu kau berikan lansung pad
Haidin tersenyum sinis, memandang Sinta dan Fajar yang duduk di hadapannya silih berganti. Asap rokok di hembuskan keluar dengan sengaja kewajah mereka berdua membuat Sinta terbatuk karna ulahnya itu. Sesekali dia memperhatikan kawasan di sekitar cafe itu.Nampaknya semua orang tengah sibuk dengan urusan masing-masing. Dapatlah dia berbicara dengan tenang tanpa ada yang mengganggu."Jadi bagaimana?" tanya Fajar memulai pembicaraan setelah cukup lama diam.Haidin tersenyum sinis. Rokok yang hampir habis di padamkan apinya dia dalam asbak yang tersedia di atas meja, kemudian dia menyandarkan punggung ke sandaran kursi yang di dudukinya."Apapun cara yang kalian rencanakan tidak masalah bagiku yang penting kalian harus dapatkan Aisyah dan membawanya padaku. Tapi, kalau kalian gagal, tidak segan-segan aku membunuh kalian berdua," sinisnya, lalu tertawa jahat.Seketika Fajar terdiam. Saliva di teguknya beberapa kali. Berdesir darahnya mendengar ancaman Haidin barusan. Sesekali dia melirik
Kaca mata hitam yang di gunakannya di turunkan kebawah agar bisa melihat lebih jelas merk botol kecap yang tersusun dirak. Mengira mana kecap yang di gunakan untuk sushi. "Hoi! Memilih kecap saja lama sekali. Buruan lah, masih banyak yang harus kita kerjakan setelah ini. Kalau mencari kecap saja selama ini, bisa-bisa bos marah nanti," tegur Diko. "Ishk, sabarlah sebentar. Aku tidak tahu mana kecap yang biasa di gunakan orang untuk makan sushi. Di sini semua kecap ada, kecap asin, kecap manis, kecap ABC seperti dalam iklan TV pun ada. Aku harus ambil yang mana? Memang kau tahu?" "Masalahnya kita sudah lama di sini. Dari tadi aku menunggu kau mencari kecap. Aku bosan, tahu. Aku ajak ke toko khusus menjual bahan untuk sushi kau tidak mau. Takut tidak halallah, takut inilah, takut itulah! Ambil saja apa susahnya sih? Kita tidak repot seperti ini," gerutu Diko. "Astaghfirullahalazim, lahaula wala quwwata illa billahil aliyil adzim, Diko!" Diki mengucap panjang sambil menggelengkan kepa
Papan putih bertuliskan DIJUAL HUBUNGI HAIRUL. HP. 0888.888.88.88, di gantungnya di depan pintu masuk. Keluhan kecil keluar dari hidungnya. Semakin sayu saja wajahnya memandang restoran miliknya yang akan di jual. "Mau bagimana lagi? Hanya ini saja jalan yang aku punya untuk melunaskan semua tunggakan hutang-hutangku," gumamnya pelan. Sudut bibir di tarik, memaksa untuk tersenyum sebelum dia melangkah meninggalkan tempat itu. "Hairul!" Sapaan seseorang menghentikan langkah pria itu. Dia pun menoleh kebelakang melihat King dan dua orang anak buahnya yang sedang berjalan menuju ke arahnya. Senyum lebar di ukir Hairul, terpaksa. "Tuan Lion? Apa yang tuan lakukan di sini?" tanyanya, sambil memperhatikan lokasi sekeliling yang sesak dengan orang-orang yang lalu lalang. Di sekitar tempat itu. "Kenapa? Apa aku tidak boleh bertemu dengan kau?" "Eh maksud saya bukan begitu, tuan. Hari ini kan tidak ada kelas mengaji, jadi saya heran saja kenapa tuan tiba-tiba ada disini?" King mengulas
Gelas berisi wine di angkat dan diadunya, sebelum di teguk mereka. Tenggorokan terasa panas, setelah meneguk gelas berisi minuman haram itu untuk kesekian kalinya, di susul gelak tawa dari dua orang yang duduk bersama Rayden. "Tidak kusangka, kau berubah jadi perempuan semata-mata hanya ingin membujuk si Lion. Apa kau tidak takut, Ray?" tanya Shoun, pria keturunan chaines. "Itulah yang aku heran? Aku rasa masih banyak cara lain yang bisa kau lakukan, Re. Tapi kenapa malah jalan ini yang kau pilih? Memangnya kau tidak takut si Lion menghajar kau? Kalau aku mending tidak punya urusan dengan dia." Ejim ikut menyela. Rayden malah tersenyum sinis. Gelas kaca yang masih di tangan di letakkan di atas meja, kemudian tangannya beralih memeluk pinggang wanita yang duduk di sampingnya. "Mau bagaimana lagi? Aku tidak mempunyai ide lain. Hanya itu saja ide yang terlintas di dalam kepalaku saat itu. Lagian semua itu aku lakukan karna aku tidak ingin casino ini tutup. Aku tahu wanita kampung itu
Hari berganti pagi, satu persatu anak tangga di lewatinya menuju ke arah dapur. Senyum di bibirnya merekah saat melihat punggung Aisyah yang sedang memotong sayur. Pintu kulkas di bukanya mengambil sebotol air mineral yang berada di sana, lalu di teguknya pelan tanpa melepaskan pandangan dari wanita di depannya. "Aish, boleh tidak aku pergi ke rumah Rayden?" Tangan Aisyah yang tadinya lincah memotong sayur terhenti. Dia berbalik badan menghadap pada King, membuat King terpaku beberapa saat melihat tatapan istrinya yang tidak bersahabat. Eh, kenapa wajahnya berubah seperti itu? Barisan gigi putih di pamerkan King. Botol air mineral tadi juga di masukkan kembali ke dalam kulkas, kemudian dia melangkah mendekati Aisyah. "Kamu tidak perlu khawatir, aku tidak pergi sendirian. Ada Diko dan Diki yang menemankan," ujarnya memberi pengertian. "Untuk apa lagi kamu pergi ke rumah si Rayden alias si Lira itu? Kamu sudah tahu kan dia itu suka sama kamu? Kalau di sana dia melakukan hal macam
Sepiring nasi dengan lauk ikan goreng di letakkan diatas paha mak Gadis. Satu kursi di tariknya ke hadapan wanita itu dan melabuhkan duduk di sana. Kepalanya menoleh ke arah Jack yang berdiri di samping pintu. Memberi kode pada anak buahnya itu untuk membuka ikatan tali pada tangan wanita di hadapannya. Pergelangan tangan yang terasa gatal di garuk mak Gadis setelah ikatan pada tangannya terlepas. Haidin menyeringai. "Makanlah!" tawarnya dengan mengangkat dagu memandang mak Gadis. Mak gadis malah memutar bola mata. Jijik dengan pria di depannya ini. Piring berisi nasi diatas pahanya tidak di sentuh. Lebih baik dia kelaparan dari pada memakan makanan deri pria gila di depannya ini. "Kenapa tidak mau makan? Kau takut aku memberi racun dalam makanan itu?" sinis Haidin. Mak Gadis mendengus kasar. "Walau kau campur racun sekalipun, tidak masalah bagiku. Lebih baik aku mati kelaparan dari pada makan makanan yang kau berikan!" Haidin malah tertawa kecil. Kepala di gelengkan berkali-kal
Aisyah mengeluh kecil. Duduk diatas sofa sambil menopang dagu, menunggu King yang juga belum pulang. Terkadang dia menoleh pada jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 5 sore."Bilangnya mau pulang jam satu, sekarang sudah jam lima masih juga belum kelihatan batang hidungnya. Jelas sekali dia mau membodoh-bodohi aku! Ishk, benci aku kalau seperti ini!" gerutunya sendiri. Kedua belah tangan di lipat ke dada dan kaki kirinya di silangkan diatas paha kanan.Ponsel diatas meja di pandangnya lama.Telpon tidak ya? Hmm, siapa tahu saja dia mau jawab telpon aku kan? Ya, sudah telpon saja deh. Lantas ponsel itu di raihnya, mencari nomor King dan menelponnya. Tapi sayangnya panggilannya tersebut tidak di jawab sama sekali oleh King.Aisyah semakin mendengus geram. Dia mengulang panggilan untuk kedua kalinya. Namun masih sama. Tidak ada jawaban."Iiiiih! Dia ini! Aku sudah telepon tapi tidak juga di jawabnya! Bagaimana aku tidak berpikir yang bukan-bukan! Siapa sangka dia sedang jalan sama wa
King mulai cemas. Semua kantong celana di periksanya mencari kotak cincin yang baru saja di belinya. Dia juga menunduk mencari benda itu. Siapa tahu jatuh, kan? Namun, tetap tidak ada."Wanita tadi. Ya, pasti dia yang mengambilnya! Kurang ajar!" gumamnya geram. Kepalanya berputar memandang ke sekeliling mencari kelibat wanita tadi."Aku di sini?"Terdengar suara wanita tadi. Lantas King segera berbalik badan ke belakang.Wanita itu tersenyum sinis sambil menunjukkan kotak cincin yang berada di tangannya."Kembalikan cincinku itu!" teriak King, keras dan tegas.Akantetapi wanita itu malah menggelengkan kepala dan tertawa di buat-buat. "Kemarilah, kejar aku kalau kamu mau cincin ini," ucapnya sambil menjulurkan lidah.Habis sudah kesabaran King pada wanita itu. Kedua tangan terkepal kuat, hanya menunggu waktu untuk melepaskan. Namun, dia masih mencoba meredam amarahnya. Perlahan dia mulai berjalan mendekati wanita itu."Sorry, kamu lambat!" sinisnya, kemudian berlari ke arah gang lain.