Keluhan kecil di lepaskan pelan oleh Hairul, lalu dia melabuhkan duduk diatas sofa untuk mengistirahatkan dirinya sejenak. Senyum diukirnya saat melihat Intan--anak perempuannya yang sedang sibuk mengerjakan pekerjaan sekolah.
"Baru pulang, Mas?" sapa Zaleha--istrinya yang di balas anggukan kepala oleh Hairul. Secangkir teh di letakkan diatas meja. Siapa tahu suaminya itu haus."Bagaimana, Mas? Tuan Lion ada berbuat sesuatu pada Mas?" tanya Zaleha lagi, tempat kosong di sebelah suaminya menjadi tempat dia melabuhkan duduk."Alhamdulillah tidak ada, karna Mas mempunyai foto istri dia. Mas sudah menduga, dia tidak akan berani main tangan kalau Mas tunjukkan foto istrinya itu, eh, ternyata benar," jawab Hairul tertawa kecil.Zaleha terdiam beberapa saat. Keningnya sedikit berkerut mendengar jawaban suaminya.Pantas saja waktu Tuan Lion datang minggu kemarin dia tidak berbuat apa-apa padaku. Malah memberikanku uang, ternyata dia sayang juga"Haidin! Jangan sentuh aku!" ketus Aisyah sedikit membentak. Namun, saat menoleh pada pria itu dia ketakutan. Apalagi melihat wajah Haidin yang menunjukkan kemarahan. Seperti memberi peringatan bagi Aisyah agar tidak macam-macam dengannya. Saliva di teguk Aisyah kasar."Ma-maaf aku mau ke toilet sebentar," pintanya tergagap. Kaki beringsut mundur beberapa langkah kebelakang ingin segera meninggalkan tempat itu. Namun, tanpa sengaja dia malah menabrak tubuh seseorang. Aisyah pun segera berbalik badan melihat King yang ternyata berdiri di sana. Membulat mata Aisyah memandang laki-laki yang sudah menjadi suaminya itu.Sedangkan King , wajahnya menunjukkan tidak puas hati melihat keberadaan istrinya bersama pria laindi sana. "Sudah puas dating?" tanyanya sedikit membentak.Air liur di teguk Aisyah berkali-kali. Tangannya yang sudah berkeringat basah di lap ke baju yang di pakainya. Tidak berani dia memandang wajah King kali ini. Detak jantungnya juga semakin b
Mesin mobil di matikan setelah mereka tiba di rumah. Seat-belt di bukanya, kemudian dia mengalihkan pandangan pada Aisyah yang sedang duduk sambil melipat kedua tangan di dada."Ayo turun.""Tidak mau!" tolak Aisyah membentaknya."Mau aku angkat seperti tadi atau bagaimana? Aku tidak masalah. Tapi apa kamu tidak malu jika di lihat Daddy?" tanya King sinis.Aisyah mendelik melihat lelaki yang duduk di sebelahnya. Nafas di helanya dalam-dalam, sambil membuka seatbelt.Sepertinya tidak ada pilihan lain. Pintu mobil di buka, dan segera dia turun dari mobil.King tersenyum menang, dia pun ikut turun dari mobil, berjalan mendekati Aisyah. "Ayo!" tangan kanan di ulurkan ke arah Aisyah, menanti wanita itu menyambutnya.Namun, Aisyah malah memutar bola mata malas. Lalu mengayunkan langkah masuk ke dalam rumah.King menggeleng, tangan yang masih menggantung di jatuhkannya lagi.Untung saja kamu istriku. Kalau tidak nasibmu akan sama dengan Haidin. Kemudian kaki di ayunkannya mengekori Aisyah
Diko dan Diki menopang dagu memandang King yang melamun melihat minuman di hadapannya. Roti coklat yang terhidang di meja juga belum di sentuhnya. Diki menyeringai saat ide jahil melintas di kepalanya. Braaak! Meja di hentak kuat, hingga King bergelingjang kaget di buatnya. Bukan hanya King saja yang kaget, orang lain di meja sebelah pun ikut bergelingjang karna ulahnya. "Maaf, ya Mas," sesal Diki tersenyum kacut. Orang di sebelah mereka itu hanya menggeleng kemudian berpaling ke arah lain. "Bos kenapa? Dari tadi kami perhatikan sudah seperti anak Abg putus cinta saja. Cerita sama kami, apa masalah bos sekarang? Siapa tahu kami bisa bantu?" ujar Diki. "Aku setuju! Kalau bos asyik melamun seperti ini, sampai tahun depan kita akan duduk terus di cafe ini." Diko menimpali, mendukung yang di katakan saudaranya. King mengeluh kecil. Sebelah tangannya meraup wajah, mencoba untuk merubah raut wajah yang kusut. Kopi hitam yang ada di depannya di aduk. "Ini tentang Aisyah." "Lah
King mulai cemas. Semua kantong celana di periksanya mencari kotak cincin yang baru saja di belinya. Dia juga menunduk mencari benda itu. Siapa tahu jatuh, kan? Namun, tetap tidak ada."Wanita tadi. Ya, pasti dia yang mengambilnya! Kurang ajar!" gumamnya geram. Kepalanya berputar memandang ke sekeliling mencari kelibat wanita tadi."Aku di sini?"Terdengar suara wanita tadi. Lantas King segera berbalik badan ke belakang.Wanita itu tersenyum sinis sambil menunjukkan kotak cincin yang berada di tangannya."Kembalikan cincinku itu!" teriak King, keras dan tegas.Akantetapi wanita itu malah menggelengkan kepala dan tertawa di buat-buat. "Kemarilah, kejar aku kalau kamu mau cincin ini," ucapnya sambil menjulurkan lidah.Habis sudah kesabaran King pada wanita itu. Kedua tangan terkepal kuat, hanya menunggu waktu untuk melepaskan. Namun, dia masih mencoba meredam amarahnya. Perlahan dia mulai berjalan mendekati wanita itu."Sorry, kamu lambat!" sinisnya, kemudian berlari ke arah gang lain.
Aisyah mengeluh kecil. Duduk diatas sofa sambil menopang dagu, menunggu King yang juga belum pulang. Terkadang dia menoleh pada jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 5 sore."Bilangnya mau pulang jam satu, sekarang sudah jam lima masih juga belum kelihatan batang hidungnya. Jelas sekali dia mau membodoh-bodohi aku! Ishk, benci aku kalau seperti ini!" gerutunya sendiri. Kedua belah tangan di lipat ke dada dan kaki kirinya di silangkan diatas paha kanan.Ponsel diatas meja di pandangnya lama.Telpon tidak ya? Hmm, siapa tahu saja dia mau jawab telpon aku kan? Ya, sudah telpon saja deh. Lantas ponsel itu di raihnya, mencari nomor King dan menelponnya. Tapi sayangnya panggilannya tersebut tidak di jawab sama sekali oleh King.Aisyah semakin mendengus geram. Dia mengulang panggilan untuk kedua kalinya. Namun masih sama. Tidak ada jawaban."Iiiiih! Dia ini! Aku sudah telepon tapi tidak juga di jawabnya! Bagaimana aku tidak berpikir yang bukan-bukan! Siapa sangka dia sedang jalan sama wa
Sepiring nasi dengan lauk ikan goreng di letakkan diatas paha mak Gadis. Satu kursi di tariknya ke hadapan wanita itu dan melabuhkan duduk di sana. Kepalanya menoleh ke arah Jack yang berdiri di samping pintu. Memberi kode pada anak buahnya itu untuk membuka ikatan tali pada tangan wanita di hadapannya. Pergelangan tangan yang terasa gatal di garuk mak Gadis setelah ikatan pada tangannya terlepas. Haidin menyeringai. "Makanlah!" tawarnya dengan mengangkat dagu memandang mak Gadis. Mak gadis malah memutar bola mata. Jijik dengan pria di depannya ini. Piring berisi nasi diatas pahanya tidak di sentuh. Lebih baik dia kelaparan dari pada memakan makanan deri pria gila di depannya ini. "Kenapa tidak mau makan? Kau takut aku memberi racun dalam makanan itu?" sinis Haidin. Mak Gadis mendengus kasar. "Walau kau campur racun sekalipun, tidak masalah bagiku. Lebih baik aku mati kelaparan dari pada makan makanan yang kau berikan!" Haidin malah tertawa kecil. Kepala di gelengkan berkali-kal
Hari berganti pagi, satu persatu anak tangga di lewatinya menuju ke arah dapur. Senyum di bibirnya merekah saat melihat punggung Aisyah yang sedang memotong sayur. Pintu kulkas di bukanya mengambil sebotol air mineral yang berada di sana, lalu di teguknya pelan tanpa melepaskan pandangan dari wanita di depannya. "Aish, boleh tidak aku pergi ke rumah Rayden?" Tangan Aisyah yang tadinya lincah memotong sayur terhenti. Dia berbalik badan menghadap pada King, membuat King terpaku beberapa saat melihat tatapan istrinya yang tidak bersahabat. Eh, kenapa wajahnya berubah seperti itu? Barisan gigi putih di pamerkan King. Botol air mineral tadi juga di masukkan kembali ke dalam kulkas, kemudian dia melangkah mendekati Aisyah. "Kamu tidak perlu khawatir, aku tidak pergi sendirian. Ada Diko dan Diki yang menemankan," ujarnya memberi pengertian. "Untuk apa lagi kamu pergi ke rumah si Rayden alias si Lira itu? Kamu sudah tahu kan dia itu suka sama kamu? Kalau di sana dia melakukan hal macam
Gelas berisi wine di angkat dan diadunya, sebelum di teguk mereka. Tenggorokan terasa panas, setelah meneguk gelas berisi minuman haram itu untuk kesekian kalinya, di susul gelak tawa dari dua orang yang duduk bersama Rayden. "Tidak kusangka, kau berubah jadi perempuan semata-mata hanya ingin membujuk si Lion. Apa kau tidak takut, Ray?" tanya Shoun, pria keturunan chaines. "Itulah yang aku heran? Aku rasa masih banyak cara lain yang bisa kau lakukan, Re. Tapi kenapa malah jalan ini yang kau pilih? Memangnya kau tidak takut si Lion menghajar kau? Kalau aku mending tidak punya urusan dengan dia." Ejim ikut menyela. Rayden malah tersenyum sinis. Gelas kaca yang masih di tangan di letakkan di atas meja, kemudian tangannya beralih memeluk pinggang wanita yang duduk di sampingnya. "Mau bagaimana lagi? Aku tidak mempunyai ide lain. Hanya itu saja ide yang terlintas di dalam kepalaku saat itu. Lagian semua itu aku lakukan karna aku tidak ingin casino ini tutup. Aku tahu wanita kampung itu
Serangan demi serangan anak buah Haidin dengan mudah di hindari King. Sambil mengelak, King juga menyarang lawannya pada bahagian lutut dan perut. Walau mustahil bisa mengalahkan sepuluh orang dengan tangan kosong sendirian, namun demi istri tercinta, King yakin dapat mengalahkan semuanya. Begitupun Rayden, pemuda itu juga sibuk melumpuhkan anak buah Haidin yang menyerangnya dari arah kiri dan kanan. Belum sempat ia menarik pelatuk pistol tubuhnya sudah di tendang hingga jatuh ke tanah. Segera Rayden bangun lagi sebelum di injak pria berbadan besar. Satu persatu wajah musuh yang mengelilingi di perhatikannya. "Hahahahhaha. Cukup! Cukup! Hahahaha." Serentak Rayden, King dan anak buah Haidin menoleh ke arah suara yang tertawa kegelian. Di sana tampak Diko dan Diki sedang menggelitik seorang pria, hingga pria itu berguling-guling di tanah. "Ha, rasakan ini!" Diki terus saja menggelitik selangkangan pria itu dengan kakinya. Sedangkan Diko menahan tangan pria itu. "Terus Diki, terus!
Gluk! Gluk! Air liur di telan Diko dan Diki melihat tubuh tegap setiap pengawal yang menjaga pintu rumah usang di depan. "Diki, bagimana ini? Apa yang harus kita lakukan?" tanya Diko. Cemas pemuda itu memandang saudara kembarnya. Diki pun tidak tahu harus berkata apa. Dia hanya terpaksa mengikuti perintah Rayden dan King tadi. Kalau dia tahu akan jadi seperti ini, lebih baik tadi dia dirumah saja menonton film Doraemon. "Hmm, coba sekarang kau pukul aku," pinta Diki. "Pukul? " Diko sedikit kaget. Mana tega dia memukul adiknya sendiri. "Kau sudah gila, hah? Kalau aku pukul kau yang ada kau jadi pingsan nanti," sambung Diko. "Ha, itu masalahnya. Sekarang pun aku pusing. Kau pukul saja." Tangan Diko diambil dan di pukulkan ke wajahnya. "Diki, aku ini sudah lama tidak memukul orang. Kalau kau aku pukul, yang bisa-bisa kau mati atau pun pingsan." "Pukul saja lah, cerewet! " "Serius?" tanya Diko memastikan. "Ya, " jawab Diki mantap. "Serius? " Diko kembali bertanya. "Iya! " "Ka
"Sayang," panggil Haidin dengan nada manja. Dia berlutut di hadapan Aisyah yang tengah menangis terisak-isak. Darah di paha wanita itu sudah mengering dan di balut dengan kain putih untuk menghentikan darah yang keluar. Ibu jari di gunakan Haidin menyeka air mata Aisyah. Kepala dia gelengkan pelan. "Sssttt. Jangan nangis lagi, sayang. Lukanya sudah kering. Kalau kamu menangis seperti ini aku jadi tidak tega. Aku tidak kuat melihat kamu menangis, Sayang." "Cukup Haidin. Saya sudah lelah dengan permainanmu ini," ucap Aisyah dengan suara sedikit meninggi. Haidin mengerutkan kening. "Kamu lelah kenapa? Aku tidak menyuruh kamu pergi ke mana-mana? Dari tadi kan kamu hanya duduk di kursi ini saja. Tidak mungkin duduk saja kamu merasa lelah? Atau kamu mau mandi? Kamu pasti ingin aku mandikan, kan?" Aisyah menggeleng ketakutan. Haidin malah tertawa besar. Senang hatinya melihat wanita itu ketakutan. Kemudian matanya beralih pada jilbab Aisyah yang telah basah oleh keringat. Timbul rasa ka
"Akhh! Sakit! Kau bisa lakukan pelan-pelan tidak!" King mengerang saat kain berisi pecahan batu es di tekan pada luka lebam di wajahnya. Rayden malah tersenyum sinis dia tidak heran lagi dengan sahabatnya itu. "Sudah tahu lemah, kenapa tidak kau ajak aku sekali melawan mereka. Ini tidak, malah sok melawan sendiri! Kau kira diri kau itu seper hero bisa melawan semua kejahatan?" sinis Rayden. Batu es itu di tekan lebih keras lagi ke wajah King. King menjerit sakit. Seketika dia menepis tangan Rayden, lalu menggosok pipinya yang lebam. "Aku tidak ingin menyusahkan orang lain itu saja!" Rayden mendesah kasar. "Tidak ingin menyusahkan orang lain? Eh, kalau kau mati di tangan si Jack siapa yang akan selamatkan istri kau? Kalau aku sendiri yang selamatkan dia, yang ada akulah yang jadi heronya! Lebih baik dulu, aku saja yang menikah dengan dia, bukan kau!" sinis Rayden meninggikan suaranya. "Alaah, kau lupa? Apa yang pernah kau katakan padaku hari itu? Jangan pernah minta tolong padak
"Woi!" Suara itu menghentikan gerakan tangan Jack seketika. Kepalanya menoleh kiri-kanan mencari dimana sumber suara. Ruangan yang remang-remang membuatnya kesusahan untuk mengetahui pemilik suara dari orang-orang yang berada di sana. Pedang katana yang berada di tangannya di jatuhkan lagi ke bawah. Kakinya yang memijak kepala King juga di pindahkan ke lantai. Detik kemudian terdengar suara tembakan mengenai rekan-rekan Jack. Suasana di clab malam yang tadinya riuh dengan musik DJ, berganti dengan teriakan ketakutan orang-orang yang berada di sana. Jack melompat ke tepi. Membulat matanya melihat tiga orang rekannya yang terkena tembakan di dada. Tinggal dua orang rekannya yang masih selamat, tengah meringkuk di balik meja yang di tendang King tadi. "Siapa pun kau. Keluarlah kalau berani!" tantang Jack. Bola matanya bergerak memandang sekeliling. "Waciyaaa!" Braaak! "Aduh!" Diki jatuh tersungkur. Rencana ingin menendang Jack dari belakang malah kakinya terpeleset. Tertawa Jack
"Bos, mau kemana?" tanya Diko ketika melihat King sedang memasukkan peluru ke dalam pistolnya. Namun King tidaklah peduli dengan pertanyaan anak buahnya itu. Dia hanya fokus pada pistolnya yang sudah lama tidak di gunakan. Diko memandang Diki yang berada di sebelahnya. Tidak tahu lagi mereka bagaimana cara membujuk King agar bisa bersabar. Diki mengeluh kecil. Diberanikannya diri mendekati King dan mengusap bahu bosnya itu pelan, namun King malah menepiskannya dengan kasar. "Aku mau pergi mencari istriku. Kalian berdua tidak perlu ikut!" ujar King dengan nada serius tanpa memandang wajah ke dua anak buahnya. Kening Diki mulai berkerut. Sekilas dia menoleh pada Diko yang berdiri di belakangnya. Tidak akan mereka membiarkan bos mereka pergi seorang diri "Tapi bos, kalau terjadi apa-apa dengan bos bagaimana? Biarkan kami ikut, bos." King tersenyum sinis mendengar kata-kata Diki barusan. Dia menyimpan pistol ke dalam sarung, lalu di selipkan di pinggang sebelum menoleh pada lelaki
Garis polisi berwarna kuning telah melingkar di sekeliling lokasi kejadian. Beberapa petugas juga tampak sibuk menjalankan tugas mereka masing-masing. Mayat yang telah gosong di dalam mobil di keluarkan mereka dengan sangat hati-hati, lalu di letakkan di atas tempat mayat yang di lampisi dengan plastik hitam.Saat ini, sebagaian lokasi kejadian juga basah, karna baru saja di guyur hujan lebat. Kamera di bidikkan pada mayat yang sudah tidak bisa di kenali itu sebagai bukti."Aisyah!" Suara teriakan itu menggema di sekitar lokasi kejadian.Serentak pandangan polisi yang berada di sana beralih pada King yang tengah berlari melintasi garis larangan polisi.Diko dan Diki sudah mencoba menahan, namun gagal."Maaf Pak. Untuk saat ini, Bapak tidak boleh masuk ke lokasi kejadian, karna kami sedang melakukan penyelidikan! Mohon kerjasamanya, Pak." cegah komandan polisi yang bertugas disana. Lengan King di tahan salah satu anggota polisi yang bertugas agar laki-laki itu tidak masuk ke lokasi ya
Mobil berhenti setelah tiba di kawasan hutan. Tampak beberapa orang pria bersenjata api dan juga Haidin yang telah menunggu kehadiran mereka.Dua orang bertopeng tadi keluar dari dalam mobil bersama dengan Diki yang kepalanya masih di tutup menggunakan kain hitam.Tubuh Aisyah juga di papah menuju ke arah Haidin, lalu di baringkan diatas tanah, kemudian kedua orang bertopeng itu melangkah mundur ke belakang."Apa kami sudah boleh pergi?"Haidin menggeleng. "Kenapa harus buru-buru, santai saja dulu di sini. Eh, tapi kenapa kalian bawa anak buah si Lion kesini? Bukannya aku hanya menyuruh kalian membawa Aisyah saja?""Kalau aku tinggalkan, pasti dia akan berteriak dan mengejar kami."Haidin mengangguk tanda paham, lalu ibu jari di jentiknya memberi kode pada anak buahnya.Lantas Jack datang membawa satu jerigen air dan di siramkan ke wajah Aisyah.Seketika Aisyah tersadar. Hidungnya terasa pedih saat air itu masuk ke dalam rongga pernapasannya. Dia tersedak, terbatuk-batuk beberapa saat
"Cepat katakan! Apa yang terjadi dengan istriku! Tadi aku menyuruh kau mengantarkan dia kan? Lalu mana dia sekarang!" bentak King. Saat ini dadanya berombak turun-naik. Diki yang masih berlutut di lantai di pandangnya.Tapi, Diki malah menggelengkan kepala. Berurai air matanya keluar membayangkan yang terjadi pada Aisyah tadi. Dia takut, King akan marah dan kecewa dengan dirinya yang tidak bisa menjaga Aisyah.Diko merasa cemas, dia tidak tahu apa yang akan terjadi setelah ini, jika yang di sampaikan Diko barusan benar-benar terjadi. Mungkin King tidak akan mau lagi mempekerjakan saudaranya itu.Bahu Diki di usapnya pelan, coba meredakan tangis saudaranya yang belum juga berhenti."Diki, coba kau tenang dulu dan ceritakan apa apa yang telah terjadi sebenarnya. Kalau kau hanya menangis seperti ini, masalahnya tidak akan selesai," ujar Diko membujuknya."Tapi aku takut bos marah dan membenciku," lirih Diki."Terus? Kalau kau diam seperti ini, kau pikir bos tidak akan marah? Kau pikir b