Aisyah mencari keberadaan suaminya yang tidak kelihatan sama sekali di ruang makan. Seorang pelayan yang sedang sibuk membersihkan ruang tamu menjadi tempatnya bertanya. "Shen! Apa kamu melihat suamiku?" tanya Aisyah. Wanita cina yang sudah bertahun-tahun bekerja di rumah itu menghentikan aktifitasnya dan menoleh pada Aisyah. "Saya juga tidak melihatnya, Nyonya. Coba Nyonya lihat di atas, karna sejak tadi saya tidak melihat tuan turun. Kalau saya yang ke atas nanti saya yang di marahinya." "Oh, baiklah kalau begitu. Sekarang kamu tolong aku membawa makanan ke ruang makan ya. Aku mau melihat dia ke atas sebentar." "Baik Nyonya," sahut wanita itu. Kemudian dia pergi ke dapur mengambil makanan yang belum di hidangkan Aisyah. Apron yang melekat di badannya di buka, lalu Aisyah pergi ke lantai dua. Kamar yang berada di sebelah kanannya menjadi sasaran pencariannya. Tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu dia lansung memutar gagang pintu dan menolaknya ke dalam. Pandangannya menged
Segelas air putih di raih Fajar, lalu di teguk perlahan-lahan. "Shit!" Fajar meringis merasakan pedih di bagian bibir yang pecah. Ting tong! Ting tong! Tiba-tiba terdengar bunyi bel , menandakan ada orang datang ke rumahnya. Kening mulai berkerut kuat. Gelas tadi di letakkan diatas meja sebelum berlari menuju pintu utama. Kain gorden di sibakkannya sedikit, takut jika yang datang adalah keluarga Aisyah. Namun, dugaannya salah setelah melihat Aisyah berdiri di luar pagar.. Tersenyum lebar Fajar melihat mantan istrinya itu. Apalagi setelah cukup lama memperhatikan mantan istrinya itu hanya datang seorang diri. Bergegas Fajar membuka pintu dan berlari menuju ke halaman rumahnya. "Aishya...." Baru saja akan menyapa wanita tak itu, kelibat King yang muncul tiba-tiba membuat langkahnya seketika melambat. Senyum yang tadinya mekar sirna sudah. Di sana King tersenyum sinis. "Apa kabar bro? Sehat? Aku tidak mengganggu kau kan. Aku harap tidak, karna aku ada perlu dengan kau sebe
Sebuah rantai besi di tariknya menaiki tangga, berjalan dengan langkah pelan, tidak ingin ada bunyi yang keluar. Walaupun ke adaan gelap gulita, tapi dia tahu kemana kakinya harus melangkah. Kamar yang berada di ujung kanannya menjadi tujuannya. Wajah yang di lindungi topeng wajah tersenyum sinis. Gagang pintu yang tidak terkunci perlahan di putarnya, lalu di dorongnya pelanggan. Bola matanya mengedar kesekeliling kamar, mencari kelebat seseorang. Kemana dia? Saklar lampu di dinding di hidupkan, pandangannya kini tertuju pada pintu lemari yang sedikit menganga. "Sialan! Kau mau bersembunyi dariku ternyata!" Dia berjalan ke arah lemari itu dan membukanya. Rantai besi yang di bawanya lansung di lilitkan ke leher lelaki yang bersembunyi itu sehingga dia kesusahan bernafas. Fajar mulai panik dan cemas. Tangannya menggapai-gapai mencoba melepaskan lilitan rantai itu. "Mana Aisyah?" tanyanya, mendesis di telinga Fajar. Fajar hanya mampu menggeleng sebagai jawaban. "Aku tany
"Sudah beberapa hari ini kita pergi ke rumah Fajar, tapi kenapa dia tidak pernah ada di rumah? Saya rasa ada sesuatu yang terjadi dengan anak kita, Bang. Saya coba telepon dia pun tidak di jawab," ujar mak Gadis mengadu pada suaminya. Gelisah hatinya karna sudah beberapa hari tinggal di kota tapi belum juga bisa bertemu dengan putrinya. Ayah Man, tidak menjawab. Pria itu malah seperti melamun memandang televisi yang ada di depannya. Mak Gadis mengeluh kecil. Setiap kali dia berbicara pasti suaminya termenung. Entah apa yang suaminya itu pikirkan, dia pun tidak tahu. Bahu suaminya di colek sedikit, mematikan lamunan lelaki itu. Ayah Man menoleh pada Mak Gadis yang duduk di sebelahnya. "Abang dengar tidak apa yang saya katakan tadi?" tanya mak Gadis lagi. Ayah Man mengangguk pelan, tanda dia mendengarnya. Kemudian dia berdehem beberapa kali membenarkan pita suaranya terlebih dahulu. "Nanti aku pergi ke rumah si Fajar itu, kamu tunggu saja di sini tidak usah ikut," sahut ayah
Potret seorang gadis dengan hijab di tengah-tengah sawah di pandang lama. Tanpa sadar senyum lebar terukir di bibirnya. Dia merasa gambar itu juga sedang memandangnya dan juga tersenyum padanya. Puas berkhayal, potret itu di letakkan kembali ke atas meja, kemudian bola matanya bergerak menuju pisau lipat yang berada di sebelah kanannya. Perlahan dia meraih pisau lipat itu, lalu dia berdiri menuju ke arah cermin bulat yang tergantung di dinding. "Sudah berapa tahun aku menyamar demi kamu, Aisyah. Sekarang aku tidak mau bersembunyi lagi. Aku harus dapatkanmu, sebelum bajingan itu sempat menyentuh kamu, Sayang," desisnya. Senyum sinis di ukirnya melihat kulit wajah yang keriput dari pantulan cermin. Ujung pisau lipat yang tajam di tempelkan ke wajahnya, kemudian di tekan dan di tarik hingga ke dagu. Perlahan topeng yang melekat di wajahnya di buka. Wajah yang tadinya keriput dan tua, berganti dengan wajah yang lebih muda. Pisau lipat tadi di letakkan lagi diatas meja dan topeng orang
Alamat yang tertera di sampul surat di baca, kemudian ia mempehatikan kawasan rumah mewah di depan. Ingin memastikan apakah alamat di sampul surat dengan rumah di depannya sama. Kemudian dua orang pengawal yang berdiri di depan gerbang menjadi sasarannya untuk bertanya. "Matur suhun, Mas. Benar ndak ini rumahnya, Adriano Lion King?" tanya kurir tersebut dengan logat daerah yang medok. "Iya, kenapa?" jawab pengawal tegas. "Alhamdulillah, berarti saya ndak salah rumah yo. Ini ada surat untuk nama yang saya sebutkan tadi. Boleh saya titipkan surat ini pada Mas, ndak?" tanya kurir itu lagi. "Ya, mana suratnya." Pengawal menadahkan satu tangannya pada kurir tersebut. "Alhamdulillah, kalau begitu. Jangan lupa berikan pada orangnya yo, Mas. Ingat, jangan sampai lupa, amanah ini. Kalau begitu saya undur diri dulu. Matur suhun yo, Mas." Setelah menyerahkan surat itu kepada salah seorang penjaga, kurir itu pun segera pergi dari sana. "Nyonya!" panggil penjaga tadi pada Aisyah yang sedang
"Bos, kita ke klinik atau ke rumah sakit?" tanyan Diki cemas. Sesekali dia menoleh kebelakang melihat King yang menyerang kesakitan.Cairan merah terus mengalir hingga membasahi bangku mobil. Klakson di bunyikan terus-terusan agar bisa menyalip, namun pengendara lain ada yang tidak mengerti jika mereka sedang terburu-buru."Haih, kau ini! Tidak mungkin masalah ini pun kau masih mau menanyakan pada bos. Pergi ke rumah sakitlah, tidak mungkin kita bawa bos ke dukun beranak. Ada-ada saja kau ini," sahut Diko."Kalau kita bawa bos kerumah sakit, pasti antri," balas Diki."Bukannya kalau di klinik harus antri juga?""Paling tidak di klinik tidak terlalu ramai.""Kalau kau tahu di klinik tidak terlalu ramai, kau bawa saja mobil ini ke klinik. Itu pun masih kau tanya!" dengus DikoSegera Diki memutar stir ke kiri, menuju kearah klinik yang tidak jauh dari situ. Mobil di parkir di depan klinik, kemudian dia keluar dari dalam mobil, membantu Diko memapah King keluar dari dalam mobil menuju mas
Sebelah tangannya meraba-raba mencari tubuh seseorang, tapi tidak ada. Perlahan kelopak matanya terbuka, memandang ke sebelahnya yang sudah kosong, tidak ada siapa-siapa. Ah, pasti dia berada di dapur sekarang. Senyum tipis di ukirnya kala melihat bercak merah di alas kasur tidur. Duduk bersandar di sandaran ranjang dengan kepala yang masih melayang mengingat kejadian tadi malam. Ah, ternyata aku yang pertama. Kemudian dia melompat turun dari atas tempat tidur. Celana dan baju yang berada di lantai di pasangnya kembali sebelum melangkah keluar dari dalam kamar itu. Rambut yang acak-acakan di biarkan saja seperti itu. "Selamat pagi, istriku!" sapanya, memandang Aisyah yang sedang meracik teh di dapur. Aisyah memutar bola mata. King mengerut kening. Kenapa dia, tiba-tiba saja bad mood seperti ini? "Aish, kamu marah denganku?" tanya King, wajahnya se
Serangan demi serangan anak buah Haidin dengan mudah di hindari King. Sambil mengelak, King juga menyarang lawannya pada bahagian lutut dan perut. Walau mustahil bisa mengalahkan sepuluh orang dengan tangan kosong sendirian, namun demi istri tercinta, King yakin dapat mengalahkan semuanya. Begitupun Rayden, pemuda itu juga sibuk melumpuhkan anak buah Haidin yang menyerangnya dari arah kiri dan kanan. Belum sempat ia menarik pelatuk pistol tubuhnya sudah di tendang hingga jatuh ke tanah. Segera Rayden bangun lagi sebelum di injak pria berbadan besar. Satu persatu wajah musuh yang mengelilingi di perhatikannya. "Hahahahhaha. Cukup! Cukup! Hahahaha." Serentak Rayden, King dan anak buah Haidin menoleh ke arah suara yang tertawa kegelian. Di sana tampak Diko dan Diki sedang menggelitik seorang pria, hingga pria itu berguling-guling di tanah. "Ha, rasakan ini!" Diki terus saja menggelitik selangkangan pria itu dengan kakinya. Sedangkan Diko menahan tangan pria itu. "Terus Diki, terus!
Gluk! Gluk! Air liur di telan Diko dan Diki melihat tubuh tegap setiap pengawal yang menjaga pintu rumah usang di depan. "Diki, bagimana ini? Apa yang harus kita lakukan?" tanya Diko. Cemas pemuda itu memandang saudara kembarnya. Diki pun tidak tahu harus berkata apa. Dia hanya terpaksa mengikuti perintah Rayden dan King tadi. Kalau dia tahu akan jadi seperti ini, lebih baik tadi dia dirumah saja menonton film Doraemon. "Hmm, coba sekarang kau pukul aku," pinta Diki. "Pukul? " Diko sedikit kaget. Mana tega dia memukul adiknya sendiri. "Kau sudah gila, hah? Kalau aku pukul kau yang ada kau jadi pingsan nanti," sambung Diko. "Ha, itu masalahnya. Sekarang pun aku pusing. Kau pukul saja." Tangan Diko diambil dan di pukulkan ke wajahnya. "Diki, aku ini sudah lama tidak memukul orang. Kalau kau aku pukul, yang bisa-bisa kau mati atau pun pingsan." "Pukul saja lah, cerewet! " "Serius?" tanya Diko memastikan. "Ya, " jawab Diki mantap. "Serius? " Diko kembali bertanya. "Iya! " "Ka
"Sayang," panggil Haidin dengan nada manja. Dia berlutut di hadapan Aisyah yang tengah menangis terisak-isak. Darah di paha wanita itu sudah mengering dan di balut dengan kain putih untuk menghentikan darah yang keluar. Ibu jari di gunakan Haidin menyeka air mata Aisyah. Kepala dia gelengkan pelan. "Sssttt. Jangan nangis lagi, sayang. Lukanya sudah kering. Kalau kamu menangis seperti ini aku jadi tidak tega. Aku tidak kuat melihat kamu menangis, Sayang." "Cukup Haidin. Saya sudah lelah dengan permainanmu ini," ucap Aisyah dengan suara sedikit meninggi. Haidin mengerutkan kening. "Kamu lelah kenapa? Aku tidak menyuruh kamu pergi ke mana-mana? Dari tadi kan kamu hanya duduk di kursi ini saja. Tidak mungkin duduk saja kamu merasa lelah? Atau kamu mau mandi? Kamu pasti ingin aku mandikan, kan?" Aisyah menggeleng ketakutan. Haidin malah tertawa besar. Senang hatinya melihat wanita itu ketakutan. Kemudian matanya beralih pada jilbab Aisyah yang telah basah oleh keringat. Timbul rasa ka
"Akhh! Sakit! Kau bisa lakukan pelan-pelan tidak!" King mengerang saat kain berisi pecahan batu es di tekan pada luka lebam di wajahnya. Rayden malah tersenyum sinis dia tidak heran lagi dengan sahabatnya itu. "Sudah tahu lemah, kenapa tidak kau ajak aku sekali melawan mereka. Ini tidak, malah sok melawan sendiri! Kau kira diri kau itu seper hero bisa melawan semua kejahatan?" sinis Rayden. Batu es itu di tekan lebih keras lagi ke wajah King. King menjerit sakit. Seketika dia menepis tangan Rayden, lalu menggosok pipinya yang lebam. "Aku tidak ingin menyusahkan orang lain itu saja!" Rayden mendesah kasar. "Tidak ingin menyusahkan orang lain? Eh, kalau kau mati di tangan si Jack siapa yang akan selamatkan istri kau? Kalau aku sendiri yang selamatkan dia, yang ada akulah yang jadi heronya! Lebih baik dulu, aku saja yang menikah dengan dia, bukan kau!" sinis Rayden meninggikan suaranya. "Alaah, kau lupa? Apa yang pernah kau katakan padaku hari itu? Jangan pernah minta tolong padak
"Woi!" Suara itu menghentikan gerakan tangan Jack seketika. Kepalanya menoleh kiri-kanan mencari dimana sumber suara. Ruangan yang remang-remang membuatnya kesusahan untuk mengetahui pemilik suara dari orang-orang yang berada di sana. Pedang katana yang berada di tangannya di jatuhkan lagi ke bawah. Kakinya yang memijak kepala King juga di pindahkan ke lantai. Detik kemudian terdengar suara tembakan mengenai rekan-rekan Jack. Suasana di clab malam yang tadinya riuh dengan musik DJ, berganti dengan teriakan ketakutan orang-orang yang berada di sana. Jack melompat ke tepi. Membulat matanya melihat tiga orang rekannya yang terkena tembakan di dada. Tinggal dua orang rekannya yang masih selamat, tengah meringkuk di balik meja yang di tendang King tadi. "Siapa pun kau. Keluarlah kalau berani!" tantang Jack. Bola matanya bergerak memandang sekeliling. "Waciyaaa!" Braaak! "Aduh!" Diki jatuh tersungkur. Rencana ingin menendang Jack dari belakang malah kakinya terpeleset. Tertawa Jack
"Bos, mau kemana?" tanya Diko ketika melihat King sedang memasukkan peluru ke dalam pistolnya. Namun King tidaklah peduli dengan pertanyaan anak buahnya itu. Dia hanya fokus pada pistolnya yang sudah lama tidak di gunakan. Diko memandang Diki yang berada di sebelahnya. Tidak tahu lagi mereka bagaimana cara membujuk King agar bisa bersabar. Diki mengeluh kecil. Diberanikannya diri mendekati King dan mengusap bahu bosnya itu pelan, namun King malah menepiskannya dengan kasar. "Aku mau pergi mencari istriku. Kalian berdua tidak perlu ikut!" ujar King dengan nada serius tanpa memandang wajah ke dua anak buahnya. Kening Diki mulai berkerut. Sekilas dia menoleh pada Diko yang berdiri di belakangnya. Tidak akan mereka membiarkan bos mereka pergi seorang diri "Tapi bos, kalau terjadi apa-apa dengan bos bagaimana? Biarkan kami ikut, bos." King tersenyum sinis mendengar kata-kata Diki barusan. Dia menyimpan pistol ke dalam sarung, lalu di selipkan di pinggang sebelum menoleh pada lelaki
Garis polisi berwarna kuning telah melingkar di sekeliling lokasi kejadian. Beberapa petugas juga tampak sibuk menjalankan tugas mereka masing-masing. Mayat yang telah gosong di dalam mobil di keluarkan mereka dengan sangat hati-hati, lalu di letakkan di atas tempat mayat yang di lampisi dengan plastik hitam.Saat ini, sebagaian lokasi kejadian juga basah, karna baru saja di guyur hujan lebat. Kamera di bidikkan pada mayat yang sudah tidak bisa di kenali itu sebagai bukti."Aisyah!" Suara teriakan itu menggema di sekitar lokasi kejadian.Serentak pandangan polisi yang berada di sana beralih pada King yang tengah berlari melintasi garis larangan polisi.Diko dan Diki sudah mencoba menahan, namun gagal."Maaf Pak. Untuk saat ini, Bapak tidak boleh masuk ke lokasi kejadian, karna kami sedang melakukan penyelidikan! Mohon kerjasamanya, Pak." cegah komandan polisi yang bertugas disana. Lengan King di tahan salah satu anggota polisi yang bertugas agar laki-laki itu tidak masuk ke lokasi ya
Mobil berhenti setelah tiba di kawasan hutan. Tampak beberapa orang pria bersenjata api dan juga Haidin yang telah menunggu kehadiran mereka.Dua orang bertopeng tadi keluar dari dalam mobil bersama dengan Diki yang kepalanya masih di tutup menggunakan kain hitam.Tubuh Aisyah juga di papah menuju ke arah Haidin, lalu di baringkan diatas tanah, kemudian kedua orang bertopeng itu melangkah mundur ke belakang."Apa kami sudah boleh pergi?"Haidin menggeleng. "Kenapa harus buru-buru, santai saja dulu di sini. Eh, tapi kenapa kalian bawa anak buah si Lion kesini? Bukannya aku hanya menyuruh kalian membawa Aisyah saja?""Kalau aku tinggalkan, pasti dia akan berteriak dan mengejar kami."Haidin mengangguk tanda paham, lalu ibu jari di jentiknya memberi kode pada anak buahnya.Lantas Jack datang membawa satu jerigen air dan di siramkan ke wajah Aisyah.Seketika Aisyah tersadar. Hidungnya terasa pedih saat air itu masuk ke dalam rongga pernapasannya. Dia tersedak, terbatuk-batuk beberapa saat
"Cepat katakan! Apa yang terjadi dengan istriku! Tadi aku menyuruh kau mengantarkan dia kan? Lalu mana dia sekarang!" bentak King. Saat ini dadanya berombak turun-naik. Diki yang masih berlutut di lantai di pandangnya.Tapi, Diki malah menggelengkan kepala. Berurai air matanya keluar membayangkan yang terjadi pada Aisyah tadi. Dia takut, King akan marah dan kecewa dengan dirinya yang tidak bisa menjaga Aisyah.Diko merasa cemas, dia tidak tahu apa yang akan terjadi setelah ini, jika yang di sampaikan Diko barusan benar-benar terjadi. Mungkin King tidak akan mau lagi mempekerjakan saudaranya itu.Bahu Diki di usapnya pelan, coba meredakan tangis saudaranya yang belum juga berhenti."Diki, coba kau tenang dulu dan ceritakan apa apa yang telah terjadi sebenarnya. Kalau kau hanya menangis seperti ini, masalahnya tidak akan selesai," ujar Diko membujuknya."Tapi aku takut bos marah dan membenciku," lirih Diki."Terus? Kalau kau diam seperti ini, kau pikir bos tidak akan marah? Kau pikir b