Pistol dalam laci diambil dan di simpan ke dalam sarung yang setali dengan ikat pinggang. Jaket kulit yang di pakai di tarik sedikit ke bawah menutup bagian pistol yang tergantung. King juga merapikan sedikit rambutnya sebelum melangkah ke arah pintu.
Belum sampai di pintu ia berhenti sejenak. "Kalau perempuan 'sableng' itu melihat aku keluar, pasti dia minta ikut. Aku harus keluar sembunyi-sembunyi. Jangan sampai dia tau aku keluar," gumam King. Perlahan gagang pintu diputar, lalu pinta di buka sedikit. Hanya kepala saja yang di loloskan dari celah pintu yang terbuka. Menoleh kekiri dan kekanan, memastikan Aisyah tidak ada di sana. "Line clear!" desisnya. Barulah King mulai melangkah keluar kamar. Lalu berlari menuruni anak tangga menuju pintu utama. Secepat kilat King masuk ke dalam mobil. Bergegas King menghidupkan mesin mobil, takut Aisyah akan mendengar dan melihat ia yang akan pergi. "Mak saya di kampung pernah berpesan, biar lambat asal selamat. Tuan mau kemana buru-buru seperti ini?" tegur suara di belakang. King terdiam sejenak, sebelum memutar kepala ke belakang. "Setannnn!" teriak King kaget ketika melihat jok belakang. "Mana setannya?" Aisyah pun ikut menoleh kekiri dan kekanan. "Heist." King mendengus kasar. 'Bagaimana cara wanita sableng ini bisa masuk ke dalam mobilku?' batin King. "Oi, sejak kapan kau berada di dalam mobilku?" tanya King dingin. Wajahnya juga di ketatkan. Malu saja tadi pria sepertinya malah berteriak ketika kaget. Tidak, itu bukan dirinya. "Sekitar lima belas menit yang lalu," balas Aisyah dengan senyum yang semakin lebar. Ia tahu, lambat sedikit pasti King akan meninggalkannya di rumah ini. King menepuk kening, rasa hendak menangis pun ada. "Aku mau pergi kerja, kau paham tidak? Bukan aku mau meninggalkan kau selamanya." "Tapi saya mau ikut juga. Tuan kan tau, saya tidak bisa di tinggal di rumah sendiri, saya perlu orang menemankan saya." King mulai menggeram, kedua belah tangannya memegang kuat stir mobil. "Bagaimana cara aku mengatakan kalau aku mau kerja! Kau paham tidak! Mungkin kalau aku bicara pada binatang pasti binatang itu akan mengerti. Aku tidak tahu kau ini spesies apa yang tidak pernah paham bahasa!" geram King. "Justru tuan lah yang tidak paham. Saya kan sudah bilang mau ikut. Itu artinya saya harus ikut. Tuan tidak bisa mengusir saya seenaknya," jawab Aisyah ngeyel. Ia tidaklah peduli dengan King yang hampir menangis menahan kesal. "Masalahnya aku mau pergi kerja!" "Masalahnya saya mau ikut tuan!" balas Aisyah tak mau kalah. "Arghh!" King menggeram. Lama-lama ia bisa ikutan gila berhadapan dengan perempuan satu ini. Nafas panjang di hela, kemudian di hembuskan perlahan. Coba meredam emosi. "Fine! Kau boleh ikut denganku. Tapi ingat, kalau ada apa-apa terjadi dengan kau, kau tanggung sendiri akibatnya. Paham?" "Paham, bos!" balas Aisyah seraya memberi hormat. King menggeleng pelan. Pusing kepalanya membayangkan hari-hari harus melayani perempuan tidak waras ini setiap hari. . . . *** Musik DJ terdengar memenuhi ruang clab. Minuman beralkohol yang terhidang diatas meja di raihnya segelas, lalu di teguk habis dalam sekali tegukan. Jam yang melingkar di tangan di pandangnya sekilas. "Kenapa bos kalian belum juga datang? Apa dia tidak mau uang?" tanya Rayden. Sebelah tangannya memeluk erat pinggang gadis seksi di sampingnya. Diki mengangkat kedua bahu, menandakan dia tidak tahu. "Aku pun tidak tahu, Rayden. Biasanya bos tidak pernah telat. Ah, mungkin gara-gara perempuan itu," jawab Diki. Reyden mengerutkan kening. "Perempuan? Perempuan siapa?" tanya Rayden heran. "Nama perempuan itu Aisyah. Bos temukan dia di sekitar clab ini juga. Kami lihat perempuan itu rada-rada gitu. Sepertinya dia juga masih lugu." "Kenapa Lion bawa dia pulang? Apa dia mau menjual wanita itu?" tanya Rayden lagi. Diki kembali mengangkat bahu. Ia pun tidak tahu apa tujuan King membawa perempuan itu pulang. Selama ini jika ada perempuan yang akan di jual, King tidak pernah membawa ke rumah. "Lihat dari gaya bos, seperti ada hubungan dengan perempuan itu. Tapi bos juga tidak ada bilang apa-apa sama kami." "Seriously? Cantik tidak perempuan itu?" tanya Rayden. Ia semakin penasaran dengan cerita anak buah sahabatnya. Belum sempat Diki menjawab, King sudah muncul di hadapan mereka. Serentak mereka beralih memandang King yang mengambil posisi duduk di sebelah Diki begitu juga Aisyah berdiri di sebelah King. "Sorry, aku terpaksa bawa perempuan ini. Mangkanya telat sedikit," ucap King. "Its oke, don't worry. By the way, siapa wanita ini?" tanya Rayden. Sepasang matanya memandang Aisyah dari bawah hingga ke atas. 'Boleh juga wanita ini.' "Aku pun tidak tahu harus memulai cerita dari mana? Oh ya, mengenai barang yang aku jual kemarin bagaimana?" tanya King, merubah topik perbincangan mereka. Malas sekali harus membahas tentang Aisyah. "Sudah laku. Barang kau memang terbaik, karna itulah aku suka bekerja sama dengan kau. Dan perempuan-perempuan yang kau kirim itu.juga sudah kuterbangkan semuanya ke Thailand." "Berapa yang kudapat?" tanya King lagi. "10 juta per kepala. Cukup kan?" King mengangguk pelan, tanda setuju. 'Lumayan dapat receh lagi. Nanti akan kucari lebih banyak perempuan, biar aku semakin kaya,' batin King. "Tapi, kalau wanita di sebelah kau itu, aku bisa bayar dua kali lipat," ujar Raiden tersenyum penuh arti. Beberapa saat King terdiam. Dan tidak lama ia tertawa kecil. "Aku rasa kalau kau ingin menjualnya lagi, tidak akan ada yang mau membeli. Dia kurang waras sedikit. So, lupakan saja perempuan ini," bisik King. "No. Aku tidak bilang mau jual dia." "So? Apa yang ingin kau lakukan dengan perempuan ini sampai mau merogoh uang sebanyak itu?" tanya King keheranan. Rayden malah tersenyum. Pelukan pada wanita di sebelahnya di lepaskan, kemudian ia berjalan mendekati Aisyah. "Hai!" sapa Rayden sambil tersenyum pada Aisyah. Tempat kosong disebelah wanita itu menjadi tempat ia berdiri. Segelas air mineral di atas meja diambil dan di berikan pada Aisyah. Malu-malu Aisyah mengambilnya. "Terimakasih." Rayden mengangguk. "Nama kamu Aisyah, kan? Kenalkan nama aku Rayden. Just call me Ray. Sudah lama kamu tinggal dengan Lion?" tanya Rayden memperkenalkan diri dengan gaya coolnya. "Belum lama, baru sehari," balas Aisyah. Kepalanya menunduk memandang gelas dalam genggaman. "Oh, baru sehari? Aku kira sudah lama. Kamu tahu tidak aku dan Lion ini siapa?" tanya Rayden lagi. "Tahu, kalian mafia, kan?" jawab Aisyah. "So? Apa kamu tidak takut pada kami? Asal kamu tahu, si Lion ini sudah membunuh ratusan orang. Pria ataupun wanita sama saja di mata dia," ucap Rayden menakut-nakuti. Aisyah tersenyum saja. Kepala di gelengkan tanda tidak percaya. "Kalau dia sudah banyak membunuh orang, kenapa dia tidak membunuh saya?" tanya Aisyah. "Maybe because are special for him or my. Dia hanya menunggu waktu yang tepat untuk bunuh kamu. Kecuali....kalau kamu mau ikut denganku. Bagaimana?" "Ikut kemana?" tanya Aisyah. "Hmm... Kamu lihat disana? Banyak orang-orang yang hidup bebas dan bahagia. Kalau kamu ingin hidup bebas juga, aku bisa menjagamu," bujuk Rayden. Sekilas Aisyah melirik King yang duduk di sebelahnya. "Tuan, apa benar dia mau menjaga saya?" tanya Aisyah. King malah menyeringai. "Ya, kau tunggu apa lagi? Pergilah dengan dia. Siapa tahu kau lebih bahagia dengan Rayden." Tersenyum lebar Rayden mendengar jawaban King, yang merupakan sahabat baiknya. 'Sepertinya yang di katakan Diki tadi memang benar. Wanita ini benar-benar masih polos. Mudah sekali termakan bujukan orang,' batin Rayden. "Baiklah, kalau begitu saya mau," ucap Aisyah. "Seriously? Oh my god, thanks you so much Aisyah. I will make sure you enjoy life with me. So, Lion... Aku bawa dia sekarang ya, nanti uangnya aku transfer," ucap Rayden kegirangan. King mengangguk tanda setuju. Malah untung kalau ada orang lain mengambil Aisyah darinya. 'Tenang hidup aku setelah ini,' batin King. "Bawa saja. Tidak usah bayar. Free untuk kau," ucap King pada Rayden. "Seriously? Baiklah, nanti kalau aku sudah puas bersenang-senang dengannya, akan kukembalikan lagi pada kau," balas Rayden. King membalas dengan memberi isyarat dengan melingkarkan jempol dan telunjuk. Tidak sia-sia Aisyah ikut dengannya. "Bye, Aisyah," teriak King seraya melambaikan tangan pada Aisyah yang telah pergi bersama Rayden. 'Untung saja ada Rayden, kalau tidak hancur hidupku,' batin King Diko dan Diki mencebik bibir melihat bos mereka yang senyum-senyum sendiri. "Kanapa bos berikan wanita itu pada Rayden? Cuma-cuma lagi. Harusnya bos memberikan wanita itu pada kami. Kami kan ingin juga bersenang-senang dengan dia," protes Diko. Diki mengangguk tanda sependapat dengan saudara kembarnya. "Bukannya tadi malam sudah kutawarkan pada kalian berdua? Kenapa kalian tidak mau?" "Kami kira bos mau pakai dia." "Hei, aku ini masih waras! Tidak mungkin aku mau memakai wanita seperti itu," balas King. "Iyalah, bos kan punya segalanya. Tinggal menjentik jari saja, sudah mengantri para wanita di depan bos. Sedang kami?" King tersenyum sinis sambil menggeleng kepala memandang kedua anak buahnya tengah sedang nganbek. "Nanti aku carikan wanita lain untuk kalian berdua. Lagian wanita tadi itu tidak waras," bujuk King. "Menurut kami tidak ada yang salah dengan dia bos. Apanya yang tidak waras?" Diko dan Diki membalas serentak. "Kalau menurut kalian berdua, kambing di bedakin pun, pasti kalian bilang cantik juga. Ah, susahlah. Aku pergi dulu. Banyak kerja lain di luar yang harus aku selesaikan. Malam ini Daddy pulang. Kalian berdua jangan buat masalah. Paham?" pesan King sebelum pergi. Diko dan Diki mengangguk serentak. "Hati-hati bos!" ucap Diki dan Diki bersamaan yang di balas anggukan kepala oleh King."So, this my house!" ucap Rayden setelah tiba di depan rumah mewah miliknya. Menganga mukut Aisyah, melihat rumah bertingkat-tingkat di hadapannya sekarang. Sekilas ia melihat mobil truk yang berada di sebelah kanannya. Beberapa drum minyak tersusun dibak truk itu. "Kamu kerja apa?" tanya Aisyah. Pertanyaan itu tiba-tiba saja melintas di kepalanya. "Aku hanya seorang pembisnis kecil-kecilan saja. Ayo, mari masuk. Ada banyak hal yang ingin aku tunjukkan padamu," ajak Rayden. Aisyah mengangguk, lalu seatbelt di bukanya sebelum turun dari mobil. Tiba di luar, Aisyah mengedarkan pandangan melihat-lihat halaman rumah mewah itu. Namun, ia bergelinjak kaget ketika tangannya tiba-tiba di tarik Rayden. Aisyah pun menepiskan kasar tangan itu. "Why?" tanya Rayden heran. "Ngapain kamu pegang-pegang saya? Haram tau! Saya bilang pada King baru tahu kamu!" ancam Aisyah. Rayden terdiam beberapa saat kemudian tertawa. "Kau mau lapor sama siapa? Sama Lion?" tanya Rayden meyakinkan. "Ya
Dering ponsel membuat Fajar tersentak. Ia pun meraih benda pipih itu dan melihat nama pemanggil. "Ayah Man. Mau apa dia menelpon malam-malam begini?" Fajar ragu menjawab panggilan dari ayah Aisyah yang menelponnya. Setelah berpikir sejenak akhirnya tombol hijau di layar di geser juga."As--assalamu'alaikum, Yah. Ada apa telepon Fajar tiba-tiba? Apa ayah ada masalah di kampung?" tanya Fajar berbasa-basi."Hmm, tidak. Ayah baik-baik saja. Ayah hanya ingin tahu kabar kamu dengan Aisyah. Sudah lama juga ayah tidak melihat kalian. Kalian pun sudah lama tidak menjenguk kami di kampung, kan?" tanya ayah Man di sebrang sana.Fajar menggaruk alis, sambil menenangkan diri agar mantan ayah mertuanya tidak curiga. "Bukannya apa Yah. Hanya saja belakangan ini Fajar agak sibuk," balas Fajar memberi alasan."Tidak apa-apa, ayah mengerti kesibukanmu. Tapi kalau ada waktu, jenguk jugalah kami di kampung. Bawa Aisyah sebentar kesini, ayah sudah lama merindukan dia.""Ayah, se-sebenarnya." Fajar takut b
Sinta menggeleng melihat Fajar yang sedang melamun. Nafas halus di hembuskan perlahan. Hampir setengah jam mereka berada di cafe ini. Tapi tak ada satu topik pun yang di bicarakan. Hal itu membuat Sinta geram.PraaakMeja di depan di gebrak Sinta kuat Tentu saja hal itu membuat Fajar tersentak. Lamunannya tadi seketika lenyap, matanya kini beralih pada Sinta yang tengah memandangnya dingin."Kamu masih memikirkan istrimu itu?" tanya Sinta ketus."Sayang, aku hanya....""Hanya apa? Ingat, Fajar! Kamu sudah menceraikan dia. Jadi, untuk apa lagi kamu memikirkan dia? Kalau kamu seperti ini terus, lebih baik kita putus!" dengus Sinta. Hatinya semakin panas dengan tingkah laku Fajar akhir-akhir ini. Sudah lima tahun mereka menjalin kasih, dan Sinta masih sanggup menunggu Fajar semata-mata hanya ingin agar melanjutkan hubungan ke jenjang pernikahan. "Tidak sayang. Aku mohon, mengertilah dengan kondisiku sekarang ini. Kamu tahukan perceraian ini tidak ada satu pun yang tahu, termasuk Mama d
"Saya terima nikahnya Aisyah Siti Maryam binti Aman Zainudin...." Lancar saja mulut King mengucapkan kata ijab-qabul seraya menjabat tangan penghulu.Daddy Jafar, Diko dan Diki yang menjadi saksi pernikahan mereka tersenyum senang. Sudah lama Daddy Jafar mendambakan putra satu-satunya itu menikah, baru sekarang bisa tercapai.Setelah proses ijab-qabul berlansung, mereka pun meninggalkan tempat tersebut.Tergesa-gesa Aisyah berlari mengejar King yang telah menjauh dan dengan santainya sebelah lengan King di gandengnya.Tentu saja apa yang di lakukan Aisyah itu membuat langkah King terhenti. Dungusan kasar di lepaskannya sebelum menoleh pada Aisyah yang malah menampilkan barisan gigi."Kau mau apa?" desis King seraya menoleh kiri dan kanan memastikan Daddy, Diko dan Diki tidak melihat kearahnya."Mau peluk lah, mau apa lagi? Kan Abang sudah jadi suami Aisyah sekarang," jawab Aisyah dengan riang gembira. Panggilan 'tuan' pun sudah diubahnya dengan panggilan yang lebih pantas."Haih, k
Telepon pintar dibuangnya ke atas ranjang, kemudian ia merebahkan tubuh di sana.Seorang wanita paruh baya yang sedang menyisir rambut di meja rias di perhatikannya. 'Apa aku tanyakan saja sama Mama?' Sinta membatin dalam hati."Hmm...Ma," panggil Sinta. Ia merubah posisi menjadi duduk menghadap ke arah wanita paruh baya yang membelakanginya."Apa?" tanya Maya. Rambut di ikatnya dulu sebelum berbalik badan ke arah putrinya."Sinta mau nanya sesuatu. Hmm...kalau seorang laki-laki sudah menceraikan istrinya dengan talak tiga, apa boleh dia rujuk lagi seperti semula?" tanya Sinta ragu-ragu. Gadis itu tahu, ibunya lebih pakar tentang hal perceraian seperti ini. Karna wanita itu lebih dulu merasakan asinnya garam.Maya mengerutkan kening, merasa aneh dengan pertanyaan putrinya yang tiba-tiba saja bertanya tentang masalah perceraian. "Kenapa kamu tiba-tiba menanyakan hal ini?" tanya Maya."Lah, memang apa salahnya? Kan tidak lama lagi Sinta akan menikah? Jadi, Sinta harus tahu juga lah te
"uhuuk....uhuuk..." Terbatuk-batuk Aisyah menghirup debu yang bertebrangan di dalam ruangan yang baru di bukanya."Ini kamar atau gudang sih?" gumam Aisyah sambil matanya mengedar melihat ke sekeliling ruangan yang berdebu menandakan ruangan tersebut tidak pernah di gunakan. Tanpa ragu, Aisyah terus melangkah ke dalam ruangan itu.Bingkai foto yang tersusun dirak di pandangnya. Lalu bulu ayam yang sejak tadi dijepit di ketiak diambilnya. Kaca bingkai foto yang berdebu di sapunya menggunakan bulu ayam, hingga tampak olehnya gambar seorang wanita cina yang sedang menggendong seorang bayi."Pasti ini Mak mertuaku. Dan bayi yang di gendongnya ini pasti suami aku. Dia ini, masih bayi saja sudah ngeselin wajahnya," ucap Aisyah. Masih sempat saja ia mengejek wajah King sewaktu masih bayi.Bingkai foto itu di letakkan kembali ke rak. Kemudian Aisyah berjalan ke arah lemari baju. Kebaya merah yang tergantung di dalam lemari menjadi perhatiannya. Sebelum meraih baju itu Aisyah mengedarkan pand
Lembar demi lembar majalah pengantin di baliknya, memperhatikan setiap design baju yang ada di setiap lembar dalam majalah itu. Sebuah gambar gaun putih yang di penuhi dengan manik-manik dan bunga mawar putih menjadi pilihannya."Gaun ini cantik kan?" tanya Sinta pada MUA. Jarinya menunjuk ke arah gambar gaun yang ada dalam majalah pada.MUA berjenis kelamin laki-laki dengan penampilan gemulai itu mengangguk."Iya. Gaun itu sangat cocok sekali untuk you. Orang cantik pakai apa pun pasti akan cantik. Apalagi kalau you yang pakai," balas MUA itu sambil menyanggul rambut Sinta mengikuti style yang sedang trend saat ini.Sekilas Sinta menoleh pada pada papanya yang sedang sibuk mengurus meja makan yang berdekatan dengan kolam renang."Papa," teriak Sinta.Ilias menoleh ke arah putrinya yang sedang di rias."Eh, you mau kemana?" Pria gemulai itu protes saat Sinta pergi begitu saja.Ilias tersenyum melihat putrinya yang tampak cantik dalam balutan gaun."Cantiknya anak Papa. Baru mau tunang
"Iiih, geramnya aku!" desis Aisyah pelan. Naik turun dadanya melihat ke arah Sinta yang seperti sengaja membuatnya cemburu. Sepertinya dia sengaja mau membuat aku cemburu! King yang sedang makan di perhatikannya agak lama. Berdehem beberapa kali, lalu menggeser duduknya mendekatkan jarak pada suaminya itu. Perlahan-lahan kepala dia jatuhkan diatas bahu King, sambil dia menggerakkan kening berkali-kali ke arah Sinta yang juga tengah memperhatikannya. Tampak wajah Sinta yang tidak puas hati, membuat Aisyah tertawa senang. Rasain kau! Jelas suami aku lebih keren dari pada suami kau itu! "Hei, apa yang kau lakukan?" tanya King. Sesendok nasi goreng di suapnya kedalam mulut sebelum beralih memandang Aisyah. "Tidak tahu, tiba-tiba leher aku pegal," jawab Aisyah beralasan. "Leher kau yang pegal atau kau sedang unjuk kemesraan dengan perempuan itu?" tanya King sinis seolah tahu saja apa yang terjadi. Aisyah mencebik bibir. "Iya, tapi dia yang mencari masalah duluan. Dia seng
Laci meja di tarik, mengeluarkan botol obat penenang yang tersimpan di sana. Sekilas dia menoleh kebelakang, melihat mak Gadis yang duduk di atas kursi dalam ke adaan lemas dengan kedua tangan dan kaki terikat.Nenek peot ini tidak henti-henti mencari masalah denganku. Aku hanya suruh makan saja dia tidak mau. Malah dia menginginkan tangan ini hinggap di wajahnya. Haidin menggerutu dalam hati sebelum mengeluarkan obat berbentuk kapsul dari botol. Hanya tersisa dua butir saja, obat penenang di dalam botol itu."Jack!" serunya kuat dan jelas.Jack yang berada di luar tersentak, segera dia berdiri dan berlari masuk ke dalam ruangan tempat Haidin berada."Ya, bos?""Obatku habis. Nanti kau belikan dua botol lagi," pinta Haidin yang lansung di balas Jack dengan anggukan kepala."Baik, bos.""Dan satu lagi. Kau antarkan barang ini kerumah si kucing anggora itu." Kotak persegi berwarna merah jambu di serahkan pada Jack yang lansung disambut Jack."Pastikan barang itu kau berikan lansung pad
Haidin tersenyum sinis, memandang Sinta dan Fajar yang duduk di hadapannya silih berganti. Asap rokok di hembuskan keluar dengan sengaja kewajah mereka berdua membuat Sinta terbatuk karna ulahnya itu. Sesekali dia memperhatikan kawasan di sekitar cafe itu.Nampaknya semua orang tengah sibuk dengan urusan masing-masing. Dapatlah dia berbicara dengan tenang tanpa ada yang mengganggu."Jadi bagaimana?" tanya Fajar memulai pembicaraan setelah cukup lama diam.Haidin tersenyum sinis. Rokok yang hampir habis di padamkan apinya dia dalam asbak yang tersedia di atas meja, kemudian dia menyandarkan punggung ke sandaran kursi yang di dudukinya."Apapun cara yang kalian rencanakan tidak masalah bagiku yang penting kalian harus dapatkan Aisyah dan membawanya padaku. Tapi, kalau kalian gagal, tidak segan-segan aku membunuh kalian berdua," sinisnya, lalu tertawa jahat.Seketika Fajar terdiam. Saliva di teguknya beberapa kali. Berdesir darahnya mendengar ancaman Haidin barusan. Sesekali dia melirik
Kaca mata hitam yang di gunakannya di turunkan kebawah agar bisa melihat lebih jelas merk botol kecap yang tersusun dirak. Mengira mana kecap yang di gunakan untuk sushi. "Hoi! Memilih kecap saja lama sekali. Buruan lah, masih banyak yang harus kita kerjakan setelah ini. Kalau mencari kecap saja selama ini, bisa-bisa bos marah nanti," tegur Diko. "Ishk, sabarlah sebentar. Aku tidak tahu mana kecap yang biasa di gunakan orang untuk makan sushi. Di sini semua kecap ada, kecap asin, kecap manis, kecap ABC seperti dalam iklan TV pun ada. Aku harus ambil yang mana? Memang kau tahu?" "Masalahnya kita sudah lama di sini. Dari tadi aku menunggu kau mencari kecap. Aku bosan, tahu. Aku ajak ke toko khusus menjual bahan untuk sushi kau tidak mau. Takut tidak halallah, takut inilah, takut itulah! Ambil saja apa susahnya sih? Kita tidak repot seperti ini," gerutu Diko. "Astaghfirullahalazim, lahaula wala quwwata illa billahil aliyil adzim, Diko!" Diki mengucap panjang sambil menggelengkan kepa
Papan putih bertuliskan DIJUAL HUBUNGI HAIRUL. HP. 0888.888.88.88, di gantungnya di depan pintu masuk. Keluhan kecil keluar dari hidungnya. Semakin sayu saja wajahnya memandang restoran miliknya yang akan di jual. "Mau bagimana lagi? Hanya ini saja jalan yang aku punya untuk melunaskan semua tunggakan hutang-hutangku," gumamnya pelan. Sudut bibir di tarik, memaksa untuk tersenyum sebelum dia melangkah meninggalkan tempat itu. "Hairul!" Sapaan seseorang menghentikan langkah pria itu. Dia pun menoleh kebelakang melihat King dan dua orang anak buahnya yang sedang berjalan menuju ke arahnya. Senyum lebar di ukir Hairul, terpaksa. "Tuan Lion? Apa yang tuan lakukan di sini?" tanyanya, sambil memperhatikan lokasi sekeliling yang sesak dengan orang-orang yang lalu lalang. Di sekitar tempat itu. "Kenapa? Apa aku tidak boleh bertemu dengan kau?" "Eh maksud saya bukan begitu, tuan. Hari ini kan tidak ada kelas mengaji, jadi saya heran saja kenapa tuan tiba-tiba ada disini?" King mengulas
Gelas berisi wine di angkat dan diadunya, sebelum di teguk mereka. Tenggorokan terasa panas, setelah meneguk gelas berisi minuman haram itu untuk kesekian kalinya, di susul gelak tawa dari dua orang yang duduk bersama Rayden. "Tidak kusangka, kau berubah jadi perempuan semata-mata hanya ingin membujuk si Lion. Apa kau tidak takut, Ray?" tanya Shoun, pria keturunan chaines. "Itulah yang aku heran? Aku rasa masih banyak cara lain yang bisa kau lakukan, Re. Tapi kenapa malah jalan ini yang kau pilih? Memangnya kau tidak takut si Lion menghajar kau? Kalau aku mending tidak punya urusan dengan dia." Ejim ikut menyela. Rayden malah tersenyum sinis. Gelas kaca yang masih di tangan di letakkan di atas meja, kemudian tangannya beralih memeluk pinggang wanita yang duduk di sampingnya. "Mau bagaimana lagi? Aku tidak mempunyai ide lain. Hanya itu saja ide yang terlintas di dalam kepalaku saat itu. Lagian semua itu aku lakukan karna aku tidak ingin casino ini tutup. Aku tahu wanita kampung itu
Hari berganti pagi, satu persatu anak tangga di lewatinya menuju ke arah dapur. Senyum di bibirnya merekah saat melihat punggung Aisyah yang sedang memotong sayur. Pintu kulkas di bukanya mengambil sebotol air mineral yang berada di sana, lalu di teguknya pelan tanpa melepaskan pandangan dari wanita di depannya. "Aish, boleh tidak aku pergi ke rumah Rayden?" Tangan Aisyah yang tadinya lincah memotong sayur terhenti. Dia berbalik badan menghadap pada King, membuat King terpaku beberapa saat melihat tatapan istrinya yang tidak bersahabat. Eh, kenapa wajahnya berubah seperti itu? Barisan gigi putih di pamerkan King. Botol air mineral tadi juga di masukkan kembali ke dalam kulkas, kemudian dia melangkah mendekati Aisyah. "Kamu tidak perlu khawatir, aku tidak pergi sendirian. Ada Diko dan Diki yang menemankan," ujarnya memberi pengertian. "Untuk apa lagi kamu pergi ke rumah si Rayden alias si Lira itu? Kamu sudah tahu kan dia itu suka sama kamu? Kalau di sana dia melakukan hal macam
Sepiring nasi dengan lauk ikan goreng di letakkan diatas paha mak Gadis. Satu kursi di tariknya ke hadapan wanita itu dan melabuhkan duduk di sana. Kepalanya menoleh ke arah Jack yang berdiri di samping pintu. Memberi kode pada anak buahnya itu untuk membuka ikatan tali pada tangan wanita di hadapannya. Pergelangan tangan yang terasa gatal di garuk mak Gadis setelah ikatan pada tangannya terlepas. Haidin menyeringai. "Makanlah!" tawarnya dengan mengangkat dagu memandang mak Gadis. Mak gadis malah memutar bola mata. Jijik dengan pria di depannya ini. Piring berisi nasi diatas pahanya tidak di sentuh. Lebih baik dia kelaparan dari pada memakan makanan deri pria gila di depannya ini. "Kenapa tidak mau makan? Kau takut aku memberi racun dalam makanan itu?" sinis Haidin. Mak Gadis mendengus kasar. "Walau kau campur racun sekalipun, tidak masalah bagiku. Lebih baik aku mati kelaparan dari pada makan makanan yang kau berikan!" Haidin malah tertawa kecil. Kepala di gelengkan berkali-kal
Aisyah mengeluh kecil. Duduk diatas sofa sambil menopang dagu, menunggu King yang juga belum pulang. Terkadang dia menoleh pada jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 5 sore."Bilangnya mau pulang jam satu, sekarang sudah jam lima masih juga belum kelihatan batang hidungnya. Jelas sekali dia mau membodoh-bodohi aku! Ishk, benci aku kalau seperti ini!" gerutunya sendiri. Kedua belah tangan di lipat ke dada dan kaki kirinya di silangkan diatas paha kanan.Ponsel diatas meja di pandangnya lama.Telpon tidak ya? Hmm, siapa tahu saja dia mau jawab telpon aku kan? Ya, sudah telpon saja deh. Lantas ponsel itu di raihnya, mencari nomor King dan menelponnya. Tapi sayangnya panggilannya tersebut tidak di jawab sama sekali oleh King.Aisyah semakin mendengus geram. Dia mengulang panggilan untuk kedua kalinya. Namun masih sama. Tidak ada jawaban."Iiiiih! Dia ini! Aku sudah telepon tapi tidak juga di jawabnya! Bagaimana aku tidak berpikir yang bukan-bukan! Siapa sangka dia sedang jalan sama wa
King mulai cemas. Semua kantong celana di periksanya mencari kotak cincin yang baru saja di belinya. Dia juga menunduk mencari benda itu. Siapa tahu jatuh, kan? Namun, tetap tidak ada."Wanita tadi. Ya, pasti dia yang mengambilnya! Kurang ajar!" gumamnya geram. Kepalanya berputar memandang ke sekeliling mencari kelibat wanita tadi."Aku di sini?"Terdengar suara wanita tadi. Lantas King segera berbalik badan ke belakang.Wanita itu tersenyum sinis sambil menunjukkan kotak cincin yang berada di tangannya."Kembalikan cincinku itu!" teriak King, keras dan tegas.Akantetapi wanita itu malah menggelengkan kepala dan tertawa di buat-buat. "Kemarilah, kejar aku kalau kamu mau cincin ini," ucapnya sambil menjulurkan lidah.Habis sudah kesabaran King pada wanita itu. Kedua tangan terkepal kuat, hanya menunggu waktu untuk melepaskan. Namun, dia masih mencoba meredam amarahnya. Perlahan dia mulai berjalan mendekati wanita itu."Sorry, kamu lambat!" sinisnya, kemudian berlari ke arah gang lain.