Tidak tenang pikiran Fajar, kala ingat apa yang di lakukannya pada Aisyah beberapa jam yang lalu. Lama pria itu mondar-mandir berjalan ke kiri dan ke kanan di dalam rumahnya, sampai tidak sadar suara adzan subuh sudah berkumandang.
Kepalanya tak henti memikirkan apa yang telah di ucapkannya pada Aisyah malam tadi. Fajar tidak yakin dengan keputusannya yang telah menceraikan Aisyah. "Kenapa harus talak tiga? Why Fajar, why?" tanyanya pada diri sendiri. Sofa yang tidak jauh darinya menjadi tempatnya melabuhkan duduk. "Kalau ayahnya tahu tentang ini pasti orang tua itu mengamuk. Bagaimana aku bisa rujuk lagi dengan Aisyah kalau aku sudah ceraikan dia dengan talak tiga? Aduh....bodohnya kau Fajar!" Kedua belah tangannya menepuk-nepuk paha sendiri, menunjukkan kalau dirinya dalam keadaan gelisah dan tidak puas hati. Kemudian tangannya beralih mengacak-ngacak rambut yang semakin kusut. "Ini semua gara-gara, Sinta! Kalau bukan karna desakannya agar aku segera menceraikan Aisyah, pasti aku tidak sepusing ini. Kalau terjadi sesuatu pada Aisyah, apa yang harus kujawab pada ayahnya?" Fajar semakin takut dengan keputusan yang telah diambilnya. Sekilas kepalanya menoleh pada jam dinding. "Aisyah. dimana kamu sekarang, Aisyah? Hmm, pasti dia masih disekitar kawasan ini. Semoga saja kalau aku cari sekarang, ketemu, nanti aku akan minta maaf pada dia dan memintanya kembali lagi. Ya, dia pasti akan senang kalau aku mengajaknya pulang." Lalu, Fajar segera berlari, menyambar kunci motor diatas meja sebelum melangkah keluar rumah. *** Lantunan merdu surat Yasin sayup-sayup masuk ke gendang telinga King. Lelaki itu mulai terjaga dari tidur, sesekali tangannya menggaruk pipi. Bantal kecil yang berada di samping di raihnya, lalu di tutupkan ke kepala. Namun, semakin lama, semakin keras saja suara yang di dengarnya itu. Bibir di katupnya rapat. 'Sabar King.. Sabar...' "Argh! Diko, Diki, jangan berisik di kamarku! Aku masih ngantuk!" teriak King, lalu berbalik badan dan membuka mata. Tercengang ia melihat Aisyah yang sedang mengaji di sebelahnya. Aisyah pun terdiam beberapa saat, matanya membulat melihat King yang sedang memperhatikannya. Tidak sampai beberapa menit, Aisyah menyeringai, memamerkan barisan gigi putihnya. Kemudian kitab suci di tutupnya dan di letakkan ke atas meja setelah membaca 'sadakallahhuladzim' "Bagaimana cara kau masuk ke dalam kamarku? Siapa yang mengizinkan?" tanya King dengan tatapan mata tajam. "Tidak ada yang menyuruh," jawab Aisyah dengan gelengan kepala. "Hei, kau tahu ini rumah aku kan? Kalau kau tidak mendengar kata aku, akan kuantar kau ke tempat kemarin. Paham!" bentak King memberi peringatan. "Ish, ini masih pagi, tidak baik marah-marah. Kata mak saya di kampung, waktu pagi itu tidak boleh emosi. Saya bacakan surah Yasin di sini, karna saya lihat tuan seperti tidak sehat. Saya kasihan, makanya saya baca surah Yasin tadi. Masa itu saja harus marah-marah," omel Aisyah. King meraup wajah. Sebelah tangannya menggaruk kepala yang terasa berdenyut. "Kapan aku sakit, ha? Kau tidak lihat kalau aku sedang tidur." "Lah, sedang tidur toh? Saya kira sudah meninggal tadi. Tadi saya coba membangunkan, tapi tuan tidak bangun-bangun. Makanya tadi saya baca surah Yasin," ucap Aisyah seenak jidat. 'Ish, wanita ini. Aku rasa tidak lama lagi mampus juga dia di tanganku!' Gerutu King dalam hati. Kepala di gelengkannya pelan memandang Aisyah. "Sekarang aku sudah bangun, kan? Jadi kau mau apa lagi? Sana keluar!" Kitab suci diatas meja di ambil King dan diserahkannya pada Aisyah. Kemudian tangan Aisyah di tarik kearah pintu. Akantetapi, Aisyah malah menahan kakinya di lantai, otomatis menghentikan langkah King. "Saya mau tuan jadi imam!" pinta Aisyah secara tiba-tiba, membuat kening King berkerut. "Imam? Imam apa yang kau maksud? Tidak mungkin aku harus jadi ustadz?" "Eh, maksud saya bukan imam itu. Maksud saya.....imam untuk sholat. Dulu waktu saya tinggal sama Fajar, dia selalu imamkan saya sholat," jawab Aisyah polos. "So? Kau kira aku peduli? Kau mau shalat dengan dia, mau tidur dengan dia, kau pikir aku peduli? Helo! Ini Lion, Lion King. Paham kau!" Aisyah menepuk kening. 'Aku juga tahu kalau tuan itu raja hutan. Tapi masalahnya aku mau tuan jadi imam aku shalat. Masa itu saja gak paham.' Tentu kata-kata itu hanya bisa di ucapkannya dalam hati saja. "Saya tahu tuan, tapi suatu hari nanti kan tuan akan jadi suami saya dan saya pun akan jadi baby sugar tuan. Jadi tidak ada salahnya kita shalat sama-sama mulai dari sekarang. Tuan jadi imam, saya jadi makmum tuan." "Heh! Kau paham bahasa apa tidak! Jangan kau pikir baby sugar itu adalah istri!" bentak King penuh amarah, tak tahu lagi bagaimana bicara dengan wanita sableng di depannya ini. Sejenak, King mengatur nafas yang terasa sesak setelah mengeluarkan amarah. "Dan sejak kapan, aku bilang mau jadi suami kau?" tanyanya dingin. "Tapi tuan kan sudah setuju untuk menjaga saya." "Memang aku setuju, tapi kapan kau dengar aku bilang ingin jadi suami kau?" "Kalau tuan setuju, itu artinya tuan juga setuju menjadi suami saya. Lagian saya juga sudah lama mendambakan punya suami protect and caring seperti tuan. Nanti kalau ada orang mengganggu saya, pasti tuan akan bicara seperti ini.... 'Hei! Kau! Lepaskan istriku, atau kau akan mati. Pasti tuan akan bilang begitu kan?" ucap Aisyah meniru suara bariton pria. King menepuk kening. 'Oh Tuhan, cobaan apa yang kuterima ini. Kenapa ada perempuan jenis seperti ini. Why Tuhan? Why?' "Aish, please! Aku benar-benar lelah dan aku butuh istrahat. Tolong jangan pusingkan kepalaku dengan kegilaan kau yang tak menentu ini. Please!" Untuk kali pertamanya King memohon pada seseorang, apalagi orang itu adalah wanita. King benar-benar tidak bisa berkutik dengan wanita di depannya sekarang ini. "Hmm, baiklah. Tapi tuan harus janji dulu, kalau tuan mau jadi imam saya." "Ya, terserah kau saja lah. Kau mau aku jadi Imam kau kek, mau aku jadi bilal kau kek, mau aku jadi Ustadz kau sekalian. Tapi....please! Sekarang keluar dari kamarku," pinta King sambil membuka pintu kamar menyuruh Aisyah keluar dari kamarnya. Mendengar itu, Aisyah tersenyum lebar. "Benaran ya? Tuan janji kan? Mau jadi suami saya?" "Iya, Aisyah..." balas King pasrah. Bagaimana tidak pasrah melawan wanita sableng ini. Yang ada dirinya ikutan gila kalau lebih lama lagi tinggal dengan wanita ini. Aisyah melompat kegirangan sambil bertepuk tangan berkali-kali. 'Aku sudah menduga dia ini mau jadi suamiku.' "Terimakasih, tuan. Kalau begitu saya pergi dulu. Maaf ya kalau saya tadi mengganggu tidur tuan. Assalamu'alaikum!" ucap Aisyah, melambaikan tangan pada King, sebelum keluar dari kamarnya. Prak! Pintu kamar lansung di tutup King kuat dan mengunci agar tidak di ganggu lagi oleh wanita sableng itu. Dengusan kecil di lepaskan King sambil tangannya mengetuk kepala berkali-kali. "Din, kemari lah. Ambil anak kau ini. Kalau begini, rasa-rasanya aku tidak akan sanggup menjualnya."Satu persatu anak tangga di lewati King. Rambutnya yang masih basah di keringkan menggunakan handuk, lalu di sangkutkan ke leher. Sekilas King mengedarkan pandangan ke sekeliling ruang tamu mencari kelibat Aisyah yang tidak terlihat."Tidak mungkin wanita 'sableng' itu sudah minggat dari rumah ini? Eh, tapi kalau dia benar-benar sudah pergi, tentu hidupku aman," desis King pelan."Shen...Aisyah nali?" (Shen Aisyah mana?) tanya King pada Shen, gadis cina yang bekerja sebagai pembantu di rumahnya."Wo janjian ta zai wuwai." (Saya lihat dia berada di luar) jawab Shen.King mengangguk pelan.'Aku kira dia sudah pergi, ternyata masih ada lagi di rumah ini. Sabar....sabar King.'Kemudian King melangkah ke arah pintu utama.Dari tempatnya berdiri sekarang, King melihat Aisyah sedang bermain air mancur di tengah-tengah halaman rumahnya."Sedang apa dia?""Woi!" teriak King lantang hingga membuat Aisyah yang berada di sana tersentak. Untung saja tidak sampai jatuh ke dalam kolam.Segera Aisyah
Pistol dalam laci diambil dan di simpan ke dalam sarung yang setali dengan ikat pinggang. Jaket kulit yang di pakai di tarik sedikit ke bawah menutup bagian pistol yang tergantung. King juga merapikan sedikit rambutnya sebelum melangkah ke arah pintu.Belum sampai di pintu ia berhenti sejenak. "Kalau perempuan 'sableng' itu melihat aku keluar, pasti dia minta ikut. Aku harus keluar sembunyi-sembunyi. Jangan sampai dia tau aku keluar," gumam King.Perlahan gagang pintu diputar, lalu pinta di buka sedikit. Hanya kepala saja yang di loloskan dari celah pintu yang terbuka. Menoleh kekiri dan kekanan, memastikan Aisyah tidak ada di sana."Line clear!" desisnya. Barulah King mulai melangkah keluar kamar. Lalu berlari menuruni anak tangga menuju pintu utama. Secepat kilat King masuk ke dalam mobil.Bergegas King menghidupkan mesin mobil, takut Aisyah akan mendengar dan melihat ia yang akan pergi."Mak saya di kampung pernah berpesan, biar lambat asal selamat. Tuan mau kemana buru-buru seper
"So, this my house!" ucap Rayden setelah tiba di depan rumah mewah miliknya. Menganga mukut Aisyah, melihat rumah bertingkat-tingkat di hadapannya sekarang. Sekilas ia melihat mobil truk yang berada di sebelah kanannya. Beberapa drum minyak tersusun dibak truk itu. "Kamu kerja apa?" tanya Aisyah. Pertanyaan itu tiba-tiba saja melintas di kepalanya. "Aku hanya seorang pembisnis kecil-kecilan saja. Ayo, mari masuk. Ada banyak hal yang ingin aku tunjukkan padamu," ajak Rayden. Aisyah mengangguk, lalu seatbelt di bukanya sebelum turun dari mobil. Tiba di luar, Aisyah mengedarkan pandangan melihat-lihat halaman rumah mewah itu. Namun, ia bergelinjak kaget ketika tangannya tiba-tiba di tarik Rayden. Aisyah pun menepiskan kasar tangan itu. "Why?" tanya Rayden heran. "Ngapain kamu pegang-pegang saya? Haram tau! Saya bilang pada King baru tahu kamu!" ancam Aisyah. Rayden terdiam beberapa saat kemudian tertawa. "Kau mau lapor sama siapa? Sama Lion?" tanya Rayden meyakinkan. "Ya
Dering ponsel membuat Fajar tersentak. Ia pun meraih benda pipih itu dan melihat nama pemanggil. "Ayah Man. Mau apa dia menelpon malam-malam begini?" Fajar ragu menjawab panggilan dari ayah Aisyah yang menelponnya. Setelah berpikir sejenak akhirnya tombol hijau di layar di geser juga."As--assalamu'alaikum, Yah. Ada apa telepon Fajar tiba-tiba? Apa ayah ada masalah di kampung?" tanya Fajar berbasa-basi."Hmm, tidak. Ayah baik-baik saja. Ayah hanya ingin tahu kabar kamu dengan Aisyah. Sudah lama juga ayah tidak melihat kalian. Kalian pun sudah lama tidak menjenguk kami di kampung, kan?" tanya ayah Man di sebrang sana.Fajar menggaruk alis, sambil menenangkan diri agar mantan ayah mertuanya tidak curiga. "Bukannya apa Yah. Hanya saja belakangan ini Fajar agak sibuk," balas Fajar memberi alasan."Tidak apa-apa, ayah mengerti kesibukanmu. Tapi kalau ada waktu, jenguk jugalah kami di kampung. Bawa Aisyah sebentar kesini, ayah sudah lama merindukan dia.""Ayah, se-sebenarnya." Fajar takut b
Sinta menggeleng melihat Fajar yang sedang melamun. Nafas halus di hembuskan perlahan. Hampir setengah jam mereka berada di cafe ini. Tapi tak ada satu topik pun yang di bicarakan. Hal itu membuat Sinta geram.PraaakMeja di depan di gebrak Sinta kuat Tentu saja hal itu membuat Fajar tersentak. Lamunannya tadi seketika lenyap, matanya kini beralih pada Sinta yang tengah memandangnya dingin."Kamu masih memikirkan istrimu itu?" tanya Sinta ketus."Sayang, aku hanya....""Hanya apa? Ingat, Fajar! Kamu sudah menceraikan dia. Jadi, untuk apa lagi kamu memikirkan dia? Kalau kamu seperti ini terus, lebih baik kita putus!" dengus Sinta. Hatinya semakin panas dengan tingkah laku Fajar akhir-akhir ini. Sudah lima tahun mereka menjalin kasih, dan Sinta masih sanggup menunggu Fajar semata-mata hanya ingin agar melanjutkan hubungan ke jenjang pernikahan. "Tidak sayang. Aku mohon, mengertilah dengan kondisiku sekarang ini. Kamu tahukan perceraian ini tidak ada satu pun yang tahu, termasuk Mama d
"Saya terima nikahnya Aisyah Siti Maryam binti Aman Zainudin...." Lancar saja mulut King mengucapkan kata ijab-qabul seraya menjabat tangan penghulu.Daddy Jafar, Diko dan Diki yang menjadi saksi pernikahan mereka tersenyum senang. Sudah lama Daddy Jafar mendambakan putra satu-satunya itu menikah, baru sekarang bisa tercapai.Setelah proses ijab-qabul berlansung, mereka pun meninggalkan tempat tersebut.Tergesa-gesa Aisyah berlari mengejar King yang telah menjauh dan dengan santainya sebelah lengan King di gandengnya.Tentu saja apa yang di lakukan Aisyah itu membuat langkah King terhenti. Dungusan kasar di lepaskannya sebelum menoleh pada Aisyah yang malah menampilkan barisan gigi."Kau mau apa?" desis King seraya menoleh kiri dan kanan memastikan Daddy, Diko dan Diki tidak melihat kearahnya."Mau peluk lah, mau apa lagi? Kan Abang sudah jadi suami Aisyah sekarang," jawab Aisyah dengan riang gembira. Panggilan 'tuan' pun sudah diubahnya dengan panggilan yang lebih pantas."Haih, k
Telepon pintar dibuangnya ke atas ranjang, kemudian ia merebahkan tubuh di sana.Seorang wanita paruh baya yang sedang menyisir rambut di meja rias di perhatikannya. 'Apa aku tanyakan saja sama Mama?' Sinta membatin dalam hati."Hmm...Ma," panggil Sinta. Ia merubah posisi menjadi duduk menghadap ke arah wanita paruh baya yang membelakanginya."Apa?" tanya Maya. Rambut di ikatnya dulu sebelum berbalik badan ke arah putrinya."Sinta mau nanya sesuatu. Hmm...kalau seorang laki-laki sudah menceraikan istrinya dengan talak tiga, apa boleh dia rujuk lagi seperti semula?" tanya Sinta ragu-ragu. Gadis itu tahu, ibunya lebih pakar tentang hal perceraian seperti ini. Karna wanita itu lebih dulu merasakan asinnya garam.Maya mengerutkan kening, merasa aneh dengan pertanyaan putrinya yang tiba-tiba saja bertanya tentang masalah perceraian. "Kenapa kamu tiba-tiba menanyakan hal ini?" tanya Maya."Lah, memang apa salahnya? Kan tidak lama lagi Sinta akan menikah? Jadi, Sinta harus tahu juga lah te
"uhuuk....uhuuk..." Terbatuk-batuk Aisyah menghirup debu yang bertebrangan di dalam ruangan yang baru di bukanya."Ini kamar atau gudang sih?" gumam Aisyah sambil matanya mengedar melihat ke sekeliling ruangan yang berdebu menandakan ruangan tersebut tidak pernah di gunakan. Tanpa ragu, Aisyah terus melangkah ke dalam ruangan itu.Bingkai foto yang tersusun dirak di pandangnya. Lalu bulu ayam yang sejak tadi dijepit di ketiak diambilnya. Kaca bingkai foto yang berdebu di sapunya menggunakan bulu ayam, hingga tampak olehnya gambar seorang wanita cina yang sedang menggendong seorang bayi."Pasti ini Mak mertuaku. Dan bayi yang di gendongnya ini pasti suami aku. Dia ini, masih bayi saja sudah ngeselin wajahnya," ucap Aisyah. Masih sempat saja ia mengejek wajah King sewaktu masih bayi.Bingkai foto itu di letakkan kembali ke rak. Kemudian Aisyah berjalan ke arah lemari baju. Kebaya merah yang tergantung di dalam lemari menjadi perhatiannya. Sebelum meraih baju itu Aisyah mengedarkan pand