Share

Bab 5

Tidak tenang pikiran Fajar, kala ingat apa yang di lakukannya pada Aisyah beberapa jam yang lalu. Lama pria itu mondar-mandir berjalan ke kiri dan ke kanan di dalam rumahnya, sampai tidak sadar suara adzan subuh sudah berkumandang.

Kepalanya tak henti memikirkan apa yang telah di ucapkannya pada Aisyah malam tadi. Fajar tidak yakin dengan keputusannya yang telah menceraikan Aisyah.

"Kenapa harus talak tiga? Why Fajar, why?" tanyanya pada diri sendiri. Sofa yang tidak jauh darinya menjadi tempatnya melabuhkan duduk.

"Kalau ayahnya tahu tentang ini pasti orang tua itu mengamuk. Bagaimana aku bisa rujuk lagi dengan Aisyah kalau aku sudah ceraikan dia dengan talak tiga? Aduh....bodohnya kau Fajar!"

Kedua belah tangannya menepuk-nepuk paha sendiri, menunjukkan kalau dirinya dalam keadaan gelisah dan tidak puas hati. Kemudian tangannya beralih mengacak-ngacak rambut yang semakin kusut.

"Ini semua gara-gara, Sinta! Kalau bukan karna desakannya agar aku segera menceraikan Aisyah, pasti aku tidak sepusing ini. Kalau terjadi sesuatu pada Aisyah, apa yang harus kujawab pada ayahnya?"

Fajar semakin takut dengan keputusan yang telah diambilnya. Sekilas kepalanya menoleh pada jam dinding.

"Aisyah. dimana kamu sekarang, Aisyah? Hmm, pasti dia masih disekitar kawasan ini. Semoga saja kalau aku cari sekarang, ketemu, nanti aku akan minta maaf pada dia dan memintanya kembali lagi. Ya, dia pasti akan senang kalau aku mengajaknya pulang." Lalu, Fajar segera berlari, menyambar kunci motor diatas meja sebelum melangkah keluar rumah.

***

Lantunan merdu surat Yasin sayup-sayup masuk ke gendang telinga King. Lelaki itu mulai terjaga dari tidur, sesekali tangannya menggaruk pipi. Bantal kecil yang berada di samping di raihnya, lalu di tutupkan ke kepala.

Namun, semakin lama, semakin keras saja suara yang di dengarnya itu. Bibir di katupnya rapat.

'Sabar King.. Sabar...'

"Argh! Diko, Diki, jangan berisik di kamarku! Aku masih ngantuk!" teriak King, lalu berbalik badan dan membuka mata. Tercengang ia melihat Aisyah yang sedang mengaji di sebelahnya.

Aisyah pun terdiam beberapa saat, matanya membulat melihat King yang sedang memperhatikannya.

Tidak sampai beberapa menit, Aisyah menyeringai, memamerkan barisan gigi putihnya. Kemudian kitab suci di tutupnya dan di letakkan ke atas meja setelah membaca 'sadakallahhuladzim'

"Bagaimana cara kau masuk ke dalam kamarku? Siapa yang mengizinkan?" tanya King dengan tatapan mata tajam.

"Tidak ada yang menyuruh," jawab Aisyah dengan gelengan kepala.

"Hei, kau tahu ini rumah aku kan? Kalau kau tidak mendengar kata aku, akan kuantar kau ke tempat kemarin. Paham!" bentak King memberi peringatan.

"Ish, ini masih pagi, tidak baik marah-marah. Kata mak saya di kampung, waktu pagi itu tidak boleh emosi. Saya bacakan surah Yasin di sini, karna saya lihat tuan seperti tidak sehat. Saya kasihan, makanya saya baca surah Yasin tadi. Masa itu saja harus marah-marah," omel Aisyah.

King meraup wajah. Sebelah tangannya menggaruk kepala yang terasa berdenyut.

"Kapan aku sakit, ha? Kau tidak lihat kalau aku sedang tidur."

"Lah, sedang tidur toh? Saya kira sudah meninggal tadi. Tadi saya coba membangunkan, tapi tuan tidak bangun-bangun. Makanya tadi saya baca surah Yasin," ucap Aisyah seenak jidat.

'Ish, wanita ini. Aku rasa tidak lama lagi mampus juga dia di tanganku!' Gerutu King dalam hati. Kepala di gelengkannya pelan memandang Aisyah.

"Sekarang aku sudah bangun, kan? Jadi kau mau apa lagi? Sana keluar!" Kitab suci diatas meja di ambil King dan diserahkannya pada Aisyah. Kemudian tangan Aisyah di tarik kearah pintu.

Akantetapi, Aisyah malah menahan kakinya di lantai, otomatis menghentikan langkah King.

"Saya mau tuan jadi imam!" pinta Aisyah secara tiba-tiba, membuat kening King berkerut.

"Imam? Imam apa yang kau maksud? Tidak mungkin aku harus jadi ustadz?"

"Eh, maksud saya bukan imam itu. Maksud saya.....imam untuk sholat. Dulu waktu saya tinggal sama Fajar, dia selalu imamkan saya sholat," jawab Aisyah polos.

"So? Kau kira aku peduli? Kau mau shalat dengan dia, mau tidur dengan dia, kau pikir aku peduli? Helo! Ini Lion, Lion King. Paham kau!"

Aisyah menepuk kening.

'Aku juga tahu kalau tuan itu raja hutan. Tapi masalahnya aku mau tuan jadi imam aku shalat. Masa itu saja gak paham.' Tentu kata-kata itu hanya bisa di ucapkannya dalam hati saja.

"Saya tahu tuan, tapi suatu hari nanti kan tuan akan jadi suami saya dan saya pun akan jadi baby sugar tuan. Jadi tidak ada salahnya kita shalat sama-sama mulai dari sekarang. Tuan jadi imam, saya jadi makmum tuan."

"Heh! Kau paham bahasa apa tidak! Jangan kau pikir baby sugar itu adalah istri!" bentak King penuh amarah, tak tahu lagi bagaimana bicara dengan wanita sableng di depannya ini. Sejenak, King mengatur nafas yang terasa sesak setelah mengeluarkan amarah. "Dan sejak kapan, aku bilang mau jadi suami kau?" tanyanya dingin.

"Tapi tuan kan sudah setuju untuk menjaga saya."

"Memang aku setuju, tapi kapan kau dengar aku bilang ingin jadi suami kau?"

"Kalau tuan setuju, itu artinya tuan juga setuju menjadi suami saya. Lagian saya juga sudah lama mendambakan punya suami protect and caring seperti tuan. Nanti kalau ada orang mengganggu saya, pasti tuan akan bicara seperti ini.... 'Hei! Kau! Lepaskan istriku, atau kau akan mati. Pasti tuan akan bilang begitu kan?" ucap Aisyah meniru suara bariton pria.

King menepuk kening.

'Oh Tuhan, cobaan apa yang kuterima ini. Kenapa ada perempuan jenis seperti ini. Why Tuhan? Why?'

"Aish, please! Aku benar-benar lelah dan aku butuh istrahat. Tolong jangan pusingkan kepalaku dengan kegilaan kau yang tak menentu ini. Please!"

Untuk kali pertamanya King memohon pada seseorang, apalagi orang itu adalah wanita. King benar-benar tidak bisa berkutik dengan wanita di depannya sekarang ini.

"Hmm, baiklah. Tapi tuan harus janji dulu, kalau tuan mau jadi imam saya."

"Ya, terserah kau saja lah. Kau mau aku jadi Imam kau kek, mau aku jadi bilal kau kek, mau aku jadi Ustadz kau sekalian. Tapi....please! Sekarang keluar dari kamarku," pinta King sambil membuka pintu kamar menyuruh Aisyah keluar dari kamarnya.

Mendengar itu, Aisyah tersenyum lebar.

"Benaran ya? Tuan janji kan? Mau jadi suami saya?"

"Iya, Aisyah..." balas King pasrah. Bagaimana tidak pasrah melawan wanita sableng ini. Yang ada dirinya ikutan gila kalau lebih lama lagi tinggal dengan wanita ini.

Aisyah melompat kegirangan sambil bertepuk tangan berkali-kali.

'Aku sudah menduga dia ini mau jadi suamiku.'

"Terimakasih, tuan. Kalau begitu saya pergi dulu. Maaf ya kalau saya tadi mengganggu tidur tuan. Assalamu'alaikum!" ucap Aisyah, melambaikan tangan pada King, sebelum keluar dari kamarnya.

Prak!

Pintu kamar lansung di tutup King kuat dan mengunci agar tidak di ganggu lagi oleh wanita sableng itu. Dengusan kecil di lepaskan King sambil tangannya mengetuk kepala berkali-kali.

"Din, kemari lah. Ambil anak kau ini. Kalau begini, rasa-rasanya aku tidak akan sanggup menjualnya."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status