Tercengang Aisyah ketika melihat hunian tingkat dua di hadapannya. Di tengah-tengah halaman ada kolam ikan koi dengan air mancur serta beberapa orang sekuriti muda berbadan tegap dengan wajah dingin berdiri di depan pagar.
Barisan gigi putih di tunjukkannya pada dua orang sekuriti yang berdiri di samping pagar dengan wajah serius. Aisyah coba melambai tangan pada mereka, namun sedikit pun mereka tidak merespon. 'Kira-kira bagimana tuan ini melatih mereka ya? Berdiri seperti patung. Mata tidak berkedip juga!' Aisyah membatin dalam hati sambil memperhatikan sekuriti itu dari dekat. Tanpa Aisyah sadari, King juga sedang memperhatikannya di pintu utama. ia mendengus kecil melihat tingkah wanita itu. "Woi, sableng! Sini!" panggil King dari tempatnya berdiri. Tangannya di lambaikan kearah wanuta aneh itu. Lagi-lagi Aisyah memamerkan barisan gigi putihnya pada King, lalu menarik koper miliknya menuju pria yang berdiri di depan pintu utama. "Ini rumah kita ya, Bang?" tanya Aisyah dengan senyum merekah. Bagaimana tidak? Sebentar lagi ia akan tinggal di rumah mewah ini. King menyipitkan mata.. 'Sejak kapan ibu dia kawin dengan Daddyku, tiba-tiba saja panggil aku Abang.' "Heh, siapa yang menyuruh kau memanggil aku Abang? Tidak ada orang diatas dunia ini yang boleh memanggilku abang, kau paham!" bentak King. "Kalau bukan Abang, terus saya harus panggil apa? Sayang?" celetuk Aisyah tanpa rasa segan. King tersenyum sinis. Kepala di gelengkannya pelan, memandang wanita di hadapannya. 'Kenapa tadi aku setuju saja membawa perempuan sableng ini pulang?' "Panggil aku tuan Lion! Bukan Abang dan bukan sayang. Kau panggil aku 'abang' sekali lagi, keketukkan payung ini kekepala kau. Paham!" King memberi peringatan pada wanita di depannya seraya menggerakkan payung hitam yang diambilnya dari dalam tempat kusus meletakkan payung. "Baik tuan Lion. Tapi saya heran, mana ada diatas dunia ini-" Aisyah menggantung kalimatnya, ketika melihat mata King semakin melotot. "Apa?" tanya King tidak sabar. "Memang ada ya nama orang, Lion. Setau saya Lion tu binatang buas-" Tuk Payung hitam itu mendarat di kepala Aisyah, dan Aisyah mengaduh sambil mengusap kepalanya. 'Mampus kau! Puas hatiku.' "Eh, nama aku itu Adriano Lion King. Dasar bodoh!" bentak King seraya menolak kening Aisyah menggunakan ujung jari telunjuknya, hingga kepala wanuta itu terdongak keatas. "Kirain musang king?" gumam Aisyah pelan. "Kau bilang apa tadi?" "Tidak ada. Saya tidak bicara apa-apa." Aisyah menggeleng dengan bibir yang mengerucut. Kepala yang di ketuk King tadi di gosoknya pelan.. "Salah sedikit saja marah. Seperti orang darah tinggi saja. Nanti saya kagetkan, baru tahu rasa," omel Aisyah pelan. King memutar bola mata malas. Meski ia mendengar apa yang di katakan wanita itu, tapi King tidak lagi peduli. Sekilas King mengalihkan pandangan ke dalam rumah. Tampak dua orang sedang berada di ruang tamu. "Diko! Diki! Sini kalian!" teriak King. Seketika dua orang yang berada di ruang tamu itu segera berlari ke sumber suara. Berkerut dahi mereka melihat keberadaan wanita yang berdiri di belakang King. Mereka berdua saling melempar pandang satu sama lain. "Bos, siapa perempuan ini? Selimut buat kita ya?" tanya Diki sambil menaikkan kedua alisnya. Siapa tahu malam ini bos mereka berbaik hati. King malah tersenyum sinis. Aisyah di lihat beberapa saat, kemudian beralih pada dua orang anak buahnya. "Terserah kalian. Mau kalian jadikan selimut, mau kalian jadikan bantal atau guling sekalian. Aku tidak peduli. Lagian dia dan kalian berdua, sama saja. Sama-sama sableng," ucap King lalu melangkah masuk ke dalam rumah. Bahu Diko dan Diki di tepuknya beberapa kali. "Diki, apa benar yang di katakan bos barusan?" tanya Diko meyakinkan. "Mungkin bos lagi berbaik hati. Berarti malam ini rezeki kita," balas Diki dan mereka tertawa kecil bersama. Tidak sampai beberapa menit. Mereka mengarah kan pandangan pada Aisyah yang masih berdiri mematung di depan mereka. "Hai, dear! What your name?" tanya Diki sambil menaik-turunkan kedua alisnya. Aisyah tersenyum. 'Baik juga orang bawahan tuan Singa tadi?' bisiknya dalam hati. "Hmm. nama saya Aisyah," jawab Aisyah malu-malu Diko dan Diki mengangguk dengan senyum mereka. Kaki King yang baru beberapa langkah berjalan tiba-tiba berhenti. Ia menoleh lagi pada wanita tadi. 'Apa aku tidak salah dengar? Namanya Aisyah?' Ingatan King berputar pada lima tahun silam. Kemudian King memutar badan ke belakang memandang Aisyah yang masih berdiri di luar pintu. Wanita itu di perhatikannya dari atas sampai bawah. 'Tidak mungkin dia anak si Uiin, kan?' "Hei, kau! Sini sebentar!" panggil King sambil menggerakkan jari telunjuk memanggil Aisyah. Aisyah mengangguk. Ia pun meminta izin pada Diki dan Diko sebelum berlari kecil ke arah King. "Siapa nama Bapak kau?" tanya King dengan wajah serius. "Aman, memang kenapa tuan?" "Aman atau Udin?" "Aman nama ayah saya, kalau Udin itu nama panggilan teman-temannya, karna ayah saya bekerja menangkap ikan sardin di laut. Jadi teman-temannya memanggil ringkas saja. Din, Din, gitu," ujar Aisyah menjelaskan. King tersenyum sinis. "Sepertinya benar wanita ini anak orang tua sialan itu? Din, Din, aku sudah peringatkan agar kau bawa jauh-jauh anak kau ini sebelum aku menemukannya. Tapi kau sendiri yang mengantarkannya padaku. Bodohnnya kau Din, Din,' omel King dalam hati. King mengitari tubuh Aisyah sambil mengusap dagu. Di perhatikannya pakain Aisyah dari bawah hingga ke atas. "Kau bilang, kau perlu orang untuk menjaga kau, kan?" Aisyah menganggukkan kepala sebagai jawaban "Kalau begitu, biarku carikan orang untuk menjaga kau. Kemungkinan besar kau juga dapat uang yang banyak, kalau kau mau menerima tawaranku." "Dapat uang banyak? Tawaran apa? Saya mau tuan." balas Aisyah bersemangat. "Ya, tawaran ini memang cocok untuk perempuan seperti kau. Tugas kau hanya jadi sugar baby pada orang yang akan kutawarkan nanti. Bagaimana, apa kau setuju?" King tersenyum sinis. Aisyah mengetuk-ngetuk dagunya sebentar, seperti sedang memikirkan sesuatu. ' Terima atau tidak ya?' "Kalau saya jadi sugar baby tuan saja, bisa tidak?" tanya Aisayh polos. Diko dan Diki yang mendengar tidak mampu menahan tawa. "Dari pada kau jadi sugar baby aku, lebih baik kau jadi sugar baby dua ekor monyet itu!" sinis King sambil menunjuk ke arah Diko dan Diki yang masih tertawa. Diko dan Diki terdiam ketika King melototkan mata pada mereka. Kemudian King melanjutkan langkah menuju ke lantai dua. Aisyah mencebik bibir. Wanita itu menunduk memandang jemarinya yang saling meremas satu sama lain. Sekilas Diko dan Diki di pandangnya. 'Kalau jadi sugar baby mereka aku tidak mau.' "Tuan, saya maunya jadi sugar baby tuan saja. Boleh ya. Saya janji kalau saya jadi sugar baby tuan, saya akan lakukan dengan sebaik mungkin Mau ya, tuan," bujuk Aisyah seraya mengejar langkah King yang sudah barada diatas tangga. "Menyesal aku memberitahu kau tentang sugar baby. IQ kah itu jongkok! Pantas saja, kau itu di ceraikan oleh suami kau!" desis King pelan, mungkin Aisyah tidak akan mendengarnya. "Tuan. Tuan dengan tidak, yang saya katakan tadi?" tanya Aisyah, tangan King yang tengah menapaki tangga di tariknya. "Lepas! Kau mau apa, hah? Aku mau mandi, bodoh!" sengit King. "Jawab dulu tanya saya tadi," rengek Aisyah. "Penting apa aku jawab tanya kau itu? Hah!" bentak King dengan suara keras. Aisyah menggelengkan kepalanya, tanda tidak mau melepaskan tangan King. King berdecak kesal, sebelah tangannya di gunakan meraup wajah. "Sumpah, aku menyesal membawa kau ke rumahku. Kenapa tadi aku bawa sampah ini pulang," dengus King meratap. "Mungkin kita berjodoh. Mak saya pernah bilang, kalau kita bertemu dengan seseorang tanpa sengaja, pasti orang itu ada sesuatu dengan kita." "Seriously? Mak aku juga pernah bilang. Zhe shi yi Chang! Paham? Pergi sana!" Tangan Aisyah di tepis kasar sebelum masuk ke dalam kamarnya. 'Pasti kau tidak paham apa yang kubilang tadi, kan?' Kening Aisyah berkerut sambil sebelah tangannya menggaruk kepala yang tidak gatal. Ia tidak mengerti dengan perkataan yang di katakan King tadi. Malah Aisyah juga tidak tahu lelaki itu menggunakan bahasa apa. "Pasti kau tidak mengerti apa yang aku katakan, kan?" King tersenyum melihat wanita itu kebingungan. "Siapa Zainab yang dia maksud? Aku? Namaku kan Aisyah? Dasar, tuan gila," omel Aisyah.Tidak tenang pikiran Fajar, kala ingat apa yang di lakukannya pada Aisyah beberapa jam yang lalu. Lama pria itu mondar-mandir berjalan ke kiri dan ke kanan di dalam rumahnya, sampai tidak sadar suara adzan subuh sudah berkumandang. Kepalanya tak henti memikirkan apa yang telah di ucapkannya pada Aisyah malam tadi. Fajar tidak yakin dengan keputusannya yang telah menceraikan Aisyah. "Kenapa harus talak tiga? Why Fajar, why?" tanyanya pada diri sendiri. Sofa yang tidak jauh darinya menjadi tempatnya melabuhkan duduk. "Kalau ayahnya tahu tentang ini pasti orang tua itu mengamuk. Bagaimana aku bisa rujuk lagi dengan Aisyah kalau aku sudah ceraikan dia dengan talak tiga? Aduh....bodohnya kau Fajar!" Kedua belah tangannya menepuk-nepuk paha sendiri, menunjukkan kalau dirinya dalam keadaan gelisah dan tidak puas hati. Kemudian tangannya beralih mengacak-ngacak rambut yang semakin kusut. "Ini semua gara-gara, Sinta! Kalau bukan karna desakannya agar aku segera menceraikan Aisyah, p
Satu persatu anak tangga di lewati King. Rambutnya yang masih basah di keringkan menggunakan handuk, lalu di sangkutkan ke leher. Sekilas King mengedarkan pandangan ke sekeliling ruang tamu mencari kelibat Aisyah yang tidak terlihat."Tidak mungkin wanita 'sableng' itu sudah minggat dari rumah ini? Eh, tapi kalau dia benar-benar sudah pergi, tentu hidupku aman," desis King pelan."Shen...Aisyah nali?" (Shen Aisyah mana?) tanya King pada Shen, gadis cina yang bekerja sebagai pembantu di rumahnya."Wo janjian ta zai wuwai." (Saya lihat dia berada di luar) jawab Shen.King mengangguk pelan.'Aku kira dia sudah pergi, ternyata masih ada lagi di rumah ini. Sabar....sabar King.'Kemudian King melangkah ke arah pintu utama.Dari tempatnya berdiri sekarang, King melihat Aisyah sedang bermain air mancur di tengah-tengah halaman rumahnya."Sedang apa dia?""Woi!" teriak King lantang hingga membuat Aisyah yang berada di sana tersentak. Untung saja tidak sampai jatuh ke dalam kolam.Segera Aisyah
Pistol dalam laci diambil dan di simpan ke dalam sarung yang setali dengan ikat pinggang. Jaket kulit yang di pakai di tarik sedikit ke bawah menutup bagian pistol yang tergantung. King juga merapikan sedikit rambutnya sebelum melangkah ke arah pintu.Belum sampai di pintu ia berhenti sejenak. "Kalau perempuan 'sableng' itu melihat aku keluar, pasti dia minta ikut. Aku harus keluar sembunyi-sembunyi. Jangan sampai dia tau aku keluar," gumam King.Perlahan gagang pintu diputar, lalu pinta di buka sedikit. Hanya kepala saja yang di loloskan dari celah pintu yang terbuka. Menoleh kekiri dan kekanan, memastikan Aisyah tidak ada di sana."Line clear!" desisnya. Barulah King mulai melangkah keluar kamar. Lalu berlari menuruni anak tangga menuju pintu utama. Secepat kilat King masuk ke dalam mobil.Bergegas King menghidupkan mesin mobil, takut Aisyah akan mendengar dan melihat ia yang akan pergi."Mak saya di kampung pernah berpesan, biar lambat asal selamat. Tuan mau kemana buru-buru seper
"So, this my house!" ucap Rayden setelah tiba di depan rumah mewah miliknya. Menganga mukut Aisyah, melihat rumah bertingkat-tingkat di hadapannya sekarang. Sekilas ia melihat mobil truk yang berada di sebelah kanannya. Beberapa drum minyak tersusun dibak truk itu. "Kamu kerja apa?" tanya Aisyah. Pertanyaan itu tiba-tiba saja melintas di kepalanya. "Aku hanya seorang pembisnis kecil-kecilan saja. Ayo, mari masuk. Ada banyak hal yang ingin aku tunjukkan padamu," ajak Rayden. Aisyah mengangguk, lalu seatbelt di bukanya sebelum turun dari mobil. Tiba di luar, Aisyah mengedarkan pandangan melihat-lihat halaman rumah mewah itu. Namun, ia bergelinjak kaget ketika tangannya tiba-tiba di tarik Rayden. Aisyah pun menepiskan kasar tangan itu. "Why?" tanya Rayden heran. "Ngapain kamu pegang-pegang saya? Haram tau! Saya bilang pada King baru tahu kamu!" ancam Aisyah. Rayden terdiam beberapa saat kemudian tertawa. "Kau mau lapor sama siapa? Sama Lion?" tanya Rayden meyakinkan. "Ya
Dering ponsel membuat Fajar tersentak. Ia pun meraih benda pipih itu dan melihat nama pemanggil. "Ayah Man. Mau apa dia menelpon malam-malam begini?" Fajar ragu menjawab panggilan dari ayah Aisyah yang menelponnya. Setelah berpikir sejenak akhirnya tombol hijau di layar di geser juga."As--assalamu'alaikum, Yah. Ada apa telepon Fajar tiba-tiba? Apa ayah ada masalah di kampung?" tanya Fajar berbasa-basi."Hmm, tidak. Ayah baik-baik saja. Ayah hanya ingin tahu kabar kamu dengan Aisyah. Sudah lama juga ayah tidak melihat kalian. Kalian pun sudah lama tidak menjenguk kami di kampung, kan?" tanya ayah Man di sebrang sana.Fajar menggaruk alis, sambil menenangkan diri agar mantan ayah mertuanya tidak curiga. "Bukannya apa Yah. Hanya saja belakangan ini Fajar agak sibuk," balas Fajar memberi alasan."Tidak apa-apa, ayah mengerti kesibukanmu. Tapi kalau ada waktu, jenguk jugalah kami di kampung. Bawa Aisyah sebentar kesini, ayah sudah lama merindukan dia.""Ayah, se-sebenarnya." Fajar takut b
Sinta menggeleng melihat Fajar yang sedang melamun. Nafas halus di hembuskan perlahan. Hampir setengah jam mereka berada di cafe ini. Tapi tak ada satu topik pun yang di bicarakan. Hal itu membuat Sinta geram.PraaakMeja di depan di gebrak Sinta kuat Tentu saja hal itu membuat Fajar tersentak. Lamunannya tadi seketika lenyap, matanya kini beralih pada Sinta yang tengah memandangnya dingin."Kamu masih memikirkan istrimu itu?" tanya Sinta ketus."Sayang, aku hanya....""Hanya apa? Ingat, Fajar! Kamu sudah menceraikan dia. Jadi, untuk apa lagi kamu memikirkan dia? Kalau kamu seperti ini terus, lebih baik kita putus!" dengus Sinta. Hatinya semakin panas dengan tingkah laku Fajar akhir-akhir ini. Sudah lima tahun mereka menjalin kasih, dan Sinta masih sanggup menunggu Fajar semata-mata hanya ingin agar melanjutkan hubungan ke jenjang pernikahan. "Tidak sayang. Aku mohon, mengertilah dengan kondisiku sekarang ini. Kamu tahukan perceraian ini tidak ada satu pun yang tahu, termasuk Mama d
"Saya terima nikahnya Aisyah Siti Maryam binti Aman Zainudin...." Lancar saja mulut King mengucapkan kata ijab-qabul seraya menjabat tangan penghulu.Daddy Jafar, Diko dan Diki yang menjadi saksi pernikahan mereka tersenyum senang. Sudah lama Daddy Jafar mendambakan putra satu-satunya itu menikah, baru sekarang bisa tercapai.Setelah proses ijab-qabul berlansung, mereka pun meninggalkan tempat tersebut.Tergesa-gesa Aisyah berlari mengejar King yang telah menjauh dan dengan santainya sebelah lengan King di gandengnya.Tentu saja apa yang di lakukan Aisyah itu membuat langkah King terhenti. Dungusan kasar di lepaskannya sebelum menoleh pada Aisyah yang malah menampilkan barisan gigi."Kau mau apa?" desis King seraya menoleh kiri dan kanan memastikan Daddy, Diko dan Diki tidak melihat kearahnya."Mau peluk lah, mau apa lagi? Kan Abang sudah jadi suami Aisyah sekarang," jawab Aisyah dengan riang gembira. Panggilan 'tuan' pun sudah diubahnya dengan panggilan yang lebih pantas."Haih, k
Telepon pintar dibuangnya ke atas ranjang, kemudian ia merebahkan tubuh di sana.Seorang wanita paruh baya yang sedang menyisir rambut di meja rias di perhatikannya. 'Apa aku tanyakan saja sama Mama?' Sinta membatin dalam hati."Hmm...Ma," panggil Sinta. Ia merubah posisi menjadi duduk menghadap ke arah wanita paruh baya yang membelakanginya."Apa?" tanya Maya. Rambut di ikatnya dulu sebelum berbalik badan ke arah putrinya."Sinta mau nanya sesuatu. Hmm...kalau seorang laki-laki sudah menceraikan istrinya dengan talak tiga, apa boleh dia rujuk lagi seperti semula?" tanya Sinta ragu-ragu. Gadis itu tahu, ibunya lebih pakar tentang hal perceraian seperti ini. Karna wanita itu lebih dulu merasakan asinnya garam.Maya mengerutkan kening, merasa aneh dengan pertanyaan putrinya yang tiba-tiba saja bertanya tentang masalah perceraian. "Kenapa kamu tiba-tiba menanyakan hal ini?" tanya Maya."Lah, memang apa salahnya? Kan tidak lama lagi Sinta akan menikah? Jadi, Sinta harus tahu juga lah te