Hana bertemu kembali dengan teman masa kecilnya namun disituasi yang berbeda. Seiring kebersamaan yang telah dilaluinya bersama Gibran, Hana jatuh cinta. Namun disisi lain, Gibran memilih pergi dengan yang lain.Bagaimanakah kisah cinta Hana dan Gibran? Apakah terus berlanjut atau memang telah usai?
View MoreAnak laki-laki yang berusia sekitar 9 tahun itu sesekali menatap keluar jendela mobil yang di tumpanginya. Senyum selalu mengembang dibibirnya. Sudah empat hari ia tidak bertemu Ayi temannyaātetangganya. Ia harus ikut orang tuanya untuk pergi ke kampung halaman mereka di Makassar.
"Baru juga empat hari nggak ketemu Ayi, udah kangen aja." Rossa menatap anak laki-lakinya dengan gemas.
Anak laki-laki itu hanya menatap mamanya dengan tersenyum.
Di bangku pengemudi Umar-Ayah anak laki-laki itu menimpali. "Sudahlah Ma, berhenti menggoda anakmu itu."
"Iya nih Mbak. Liat tuh Abinya jadi malu-malu gitu." kini Reza yang duduk di samping Umar saudara dari Rossa yang menyahut.
Rossa hanya tersenyum geli mendengar ucapan adiknya itu.
"Ma." Abi kini menatap mamanya.
"Iya sayang." Rossa membalas tatapan anak laki-lakinya.
"Kadonya masih mama simpankan?" Abi bertanya dengan was-was, takut mamanya lupa membawa kado itu dari Makassar.
"Masih. Sudah berapa kali kamu bertanya tentang hal itu?" Rossa tersenyum menggoda anaknya
Abi tidak menjawab. Ia langsung kembali mengalihkan perhatiannya pada jalan sekitar yang dilalui mobilnya. Ia berharap agar mereka segera sampai di rumah sehingga ia bisa memberikan kado untuk Ayinya yang sedang berulang tahun.
Rossa yang melihatnya menggelengkan kepala sembari tersenyum. Sedangkan Umar dan Reza membicarakan bisnis yang tertunda.
***
Abi mendadak bingung melihat banyak orang yang berada di sekitar rumahnya. Ekspresi yang sama juga ditunjukkan oleh kedua orang tua dan paman Abi. Orang-orang tersebut sebagian besar menggunakan pakaian serba hitam. Bendera kuning juga terlihat di depan rumah Regarātetangganya. Yang lebih mengherankan lagi, banyak wartawan disekitar rumah.
Kini mobil keluarga Umar telah terparkir sempurna di halaman rumah mereka. Abi lebih dulu keluar dari mobil di ikuti paman dan kedua orang tuanya. Mereka memandang ke arah samping rumah mereka.
"Siapa yang meninggal Pa?" Rossa memandang suaminya penuh tanya. Sedangkan Umar mengedikkan bahu tidak tahu.
Umar berjalan diikuti istrinya menuju ke rumah keluarga Regar. Sedangkan Abi masih diam di tempatnya mencerna apa yang sebenarnya terjadi sembari melihat orang-orang sekitar.
"Abi ayo kita ke sana." Reza memegang tangan keponakannya menuntun agar mengikutinya menuju ke rumah keluarga Regar.
Abi tak berkata apa-apa. Hanya satu dipikirannya saat ini. Ayi.
Abi masuk kerumah itu dengan tangan yang masih di pegang oleh Reza. Dari ambang pintu ia bisa melihat tante Citra yang sedang menangis tersedu-sedu di pelukan mamanya. Sedangkan papanya kini memeluk Azka dan adiknya Ayiāanak tante Citra dan om Regar. Azka hanya dalam posisi diam sedangkan Ayi menangis selalu memanggil papanya.
Melihat Ayi yang menangis seperti itu membuat Abi tidak tega. Ia sama sekali tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Abi melepas pegangan tangan Reza dan mulai mendekati ayahnya, Reza pun juga turut masuk dan mendekat ke arah kakak iparnya.
"Abi. Pergilah dengan Abang Azka dan Ayi ke taman." ucap Umar dengan masih mengelus puncak kepala Ayi yang masih belum berhenti menangis.
"Tidak om. Aku disini saja." Azka tetap tenang melepas pelukan Umar dan kembali menatap ibunya yang menangis dipelukan Rossa.
Umar menghela nafas dan kembali menatap Abi. "Kalau begitu Ayi saja. Pergilah sayang. Abi ayo ajak Ayi ke taman."
Abi mengangguk, lalu mengulurkan tangannya pada Ayi. Semula Ayi hanya menatap uluran tangan itu, tak lama kemudian ia mulai menggapainya dan berdiri. Abi menggenggam tangan Ayi begitu lembut, membawanya menuju taman belakang rumah itu.
***
Satu minggu kemudian...
Abi tergesa-gesa turun dari tangga. Ia mencari keseliling rumah dan tidak menemukan satupun anggota keluarganya. Ia pun memutuskan untuk melangkah ke dapur dan bertanya pada Bi Inah.
"Bi. Mama dan Papa ke mana?"
Bi Inah yang sedang memunggungi Abi langsung berbalik. Ia masih memegang pisau yang di pakainya untuk mengiris bahan masakan.
"Pagi-pagi sekali Tuan dan Nyonya ke sebelah Abi." pisau yang dipegang Bi Inah dipakai menunjuk ke arah yang dimaksudārumah Ayi.
Abi langsung bergegas pergi meninggalkan dapur dan menuju ke arah yang di tunjuk Bi inah. Bi Inah hanya menggeleng-gelengkan kepala berbalik dan melanjutkan pekerjaannya yang tertunda.
Abi merasa heran ketika melihat beberapa kardus dan koper yang tersusun di depan rumah Ayi. Di lihatnya Umar-papanya, Reza dan Azka yang memasukkan kardus dan koper-koper tersebut ke dalam mobil. Citra dan Rossa keluar rumah tersebut sambil membawa kardus lainnya.
"Apa ini yang terakhir?" Rossa meletakkan kardus itu di samping mobil.
"Aku rasa iya mbak. Udah ngga ada yang lain lagi." Citra memberikan kardus yang dibawanya kepada Umar.
"Sangat di sayangkan kalau kamu harus pindah. Kita sudah seperti keluarga di sini." Rossa menghampiri Citra.
"Mau gimana lagi Mbak. Ayahnya anak-anak udah tiada. Kami harus tetap melanjutkan hidup. Yah mungkin pindah ke Jakarta akan lebih baik."
"Aku dan Mas Umar bisa membantumu mencari pekerjaan di sini." Rossa mengelus pundak Citra dengan lembut. Sedangkan Umar mengangguk menyetujui perkataan istrinya.
"Makasih Mbak, kami sudah banyak merepotkan. Lagi pula di sana saya punya sahabat SMA yang sudah mencarikan saya kerja dan tempat tinggal." Citra memegang tangan Rossa yang ada di pundaknya kemudian menggenggamnya.
Abi yang sejak tadi berdiri tak jauh dari mereka mulai mendekat.
"Ma, Tante. Ada apa ini?" Abi bertanya dengan bingung hingga membuat Citra gemas.
Citra pun berjongkok di hadapan Abi. "Sayang. Tante, Azka dan Ayi akan pindah." Citra memegang pundak Abi lalu menariknya ke dalam pelukan.
"Abi udah nggak bisa ketemu Ayi lagi?" kini Abi merasa sedih, Ayinya orang yang disayanginya akan pergi meninggalkannya.
Abi melepas pelukan Citra. Menatap ibu perempuan yang disayanginya dengan tatapan sedih. "Ayi dimana Tante?"
"Ayi ada di taman belakang sayang. Sana gih temuin Ayinya." bukan Citra yang menjawab namun Rossa.
Abi langsung berlari melenggang masuk kedalam rumah menuju taman belakang.
Citra berdiri kembali menatap Rossa dengan pandangan sedih.
"Aku tidak tega jika Abi dan Ayi harus berpisah Mbak. Tapi ya mau gimana lagi."
Rossa tersenyum menenangkan dan meraih Citra ke dalam pelukannya. Umar, Reza dan Azka hanya berdiri terdiam melihat interaksi keduanya.
Abi berjalan dan berhenti di depan sebuah pintu. Ia mendorong pintu itu hingga terbuka dan menemukan Ayi yang sedang duduk di bangku taman. Abi mendekat hingga sampai ke hadapan Ayi. Semula Ayi terkejut dengan kedatangan Abi lalu kemudian air matanya mulai jatuh satu persatu dan mulai terisak. Abi yang melihatnya pun langsung duduk di samping Ayi dan memeluknya.
"Ayah hiks... hiks sudah ning... ninggalin aku. Sekarang kita udah nggak bisa main sama-sama lagi." Ayi menangis sejadinya dipelukan Abi. Abi mengusap punggung Ayi untuk menenangkannya.
"A... bi aku ngga mau pisah."
"Jangan menangis Ayi." Abi menjauhkan tubuhnya dan kembali menatap Ayi. Ayi hanya terdiam sesekali mengusap air matanya yang masih terus mengalir lalu membalas tatapan Abi.
Abi mengambil sesuatu di kantong celananya. Sebuah cincin berwarna silver polos, di bagian dalamnya terdapat tulisan AA yang terukir cantik.
Abi memegang tangan kiri Ayi dan memasangkan cincin itu di jari manis. Cincin itu terlihat sangat pas melingkar di jari mungil Ayi.
"Sebenarnya aku mau kasi kamu ini beberapa hari yang lalu, sebagai hadiah ulang tahun buat kamu. Tapi karena kamu lagi sedih jadi aku baru kasi sekarang. Selamat ulang tahun Ayi. Kalau kamu rindu aku, kamu liat aja cincin ini." Abi tersenyum begitupun juga Ayi.
"Walau kita jauhan, jangan pernah lupain aku Abi." Pinta Ayi.
"Tidak akan. Kamu juga jangan pernah lupain aku Ayi." Ucap Abi sembari menghapus sisa air mata diwajah Ayi.
Hari ini Hana datang ke sekolah sedikit terlambat dari biasanya. Saat menyusuri lorong menuju kelasnya ia merasa ragu. Setelah kenyataan yang terungkap kemarin, dia menjadi enggan untuk bertemu dengan Gibran. Tapi mau bagaimana lagi, kewajibannya sebagai siswa adalah mengikuti pelajaran.Sesampainya di depan kelas, Hana berdiam diri. Suasana ramai yang terdengar dari dalam kelas menandakan kalau sebagian besar temannya sudah datang. Hana memegang erat totebagnya sembari berpikir keras jika masuk nanti dia berencana untuk langsung duduk saja tanpa melihat Gibran.āHana.āHana berbalik dan mendapati Sean yang berlari ke arahnya. Entah mengapa, Hana merasa lega dengan kehadiran Sean.āTumben telat, biasanya juga paling awal datang. Kirain Lo absen tadi.ā Ucap Sean yang kini berdiri tepat di depan Hana.āSotoy banget sih, telat apaan coba. Bel masuk aja belum bunyi.ā Dengus Hana yang dibalas tawa oleh S
Pov HanaāAbi?āMendengar Abang Azka menyebut nama itu, aku membelalakkan mata kaget. Siapa yang kakakku panggil dengan sebutan Abi ini? Gibran? Aku langsung mengarahkan pandangan ke Gibran untuk melihat bagaimana ekspresinya saat ini. Terlihat dia juga sedikit kaget lalu dengan cepat mengubah ekspresinya seperti biasa. Ini tidak mungkin Gibran kan? Aku kembali berusaha meyakinkan diri sendiri kalau memang Abang Azka hanya asal menyebut nama. Namun tidak dengan jawaban Gibran.āIya?ā ucapnya tidak yakin.Aku menggelengkan kepala berusaha memahami suasana. Keadaan ini masih rumit untuk ku cerna.āBenarkan ini Abi? Yang dari Bandung, anaknya Pak Umar.ā Azka langsung memeluk Gibran dengan cara pelukan laki-laki ke sesama lalu menepuk-nepuk pundaknya. Wajah Azka terlihat sangat senang.Aku menghampiri mereka, mungkin ada kesalahpahaman disini.āAbang.ā Aku menarik
FLASHBACKSudah menjadi kebiasaan dari Keluarga Umar dan Keluarga Regar untuk kumpul bersama di hari minggu. Mereka akan bercengkrama riang sambil melepas penat karena telah bekerja seharian. Bahkan tak jarang pula mereka keluar rumah untuk mengunjungi pantai atau sekedar piknik di taman kota."Azka. Tolong ambilin hp bunda di kamar." terdengar suara Citra dari dapur."Kalian jangan dulu main tanpa aku, oke. Awas kalau kalian main curang." Azka berdiri lalu segera berlari ke kamar bundanya."Iiih, Abang Azka lama. Inikan giliran aku yang main." Ayi memberenggut kesal hingga membuat Abi tertawa."Udah, tungguin aja dulu. Barusan juga, Abang Azka pergi." Abi menggocok ember yang di dalamnya terdapat dadu, lalu melemparnya. Baru saja Abi ingin melihat angka yang keluar, namun terhalang karena Ayi lebih dulu memungutnya beserta dengan papan ular tangga dan menyimpannya di kotak khusus.
"Ya ampun, Na!" Syafa membekap mulutnya tak percaya dengan apa yang dilihatnya kini. Baru saja sepersekian detik matanya terpejam larut dalam kenyamanan, harus terganggu dengan suara ketukan yang keras di pintu kamarnya. Dan setelah dibukanya pintu itu, Syafa dikagetkan oleh Gibran yang tengah menggendong Hana dalam keadaan tak sadarkan diri.Menghiraukan keterkejutan Hana, Gibran menerobos masuk dan langsung meletakkan Hana di atas ranjang.Syafa pun turut mendekat ke sisi ranjang. "Apa yang terjadi?!" tanyanya penasaran.Gibran berdiri berkacak pinggang sembari matanya terus mengawasi tubuh yang tak sadarkan diri itu. Pikirnya, barangkali ini hanya salah satu kejahilan yang dibuat Hana, namun nyatanya tidak. Gibran mengusap wajahnya gusar, "Dia pingsan."Syafa melongo mendengar jawaban dari pertanyaannya tadi. "Gue tau dia pingsan, karena gue bisa liat sendiri Gib! Maksud gue itu, kenapa? Ken
"Gimana?""Apanya yang gimana?"Rasanya?""Lumayan.""Cuman lumayan?""Terus mau lo apa?""Ya ampun Gibran. Masakan Hana itu enak dan lo cuman bilang lumayan." Syafa geleng-geleng kepala."Udahlah Fa, ngapain sih lo butuh pendapat dia. Nggak penting banget tau nggak." Hana berdiri dari kursinya lantas menumpuk-numpukkan piring dan gelas bekas. Setelah itu ia pun berlalu menuju dapur untuk mencuci piring.Mereka bertiga baru saja selesai makan malam. Semua hidangan yang tadi tersaji adalah masakan Hana. Syafa hanya turut andil dalam mencuci bahan dan juga menyiapkannya di meja makan tadi.Masakan Hana memang luar biasa enak. Hanya saja Gibran malas untuk mengakuinya. Takutnya si Hana tengil jadi besar kepala.Syafa menyipitkan mata tidak percaya. "Kok akhir-akhir ini omongan lo nggak bisa di percaya?"
Setelah sampai di rumah Syafa. Hana sibuk mencari obat yang dibelinya tadi di dalam kantongan belanjaan. Setelah menemukan apa yang dicarinya maka ia langsung bergegas berlari menyusuri tangga menuju ke lantai dua tempat kamar Syafa berada. Meninggalkan Gibran yang berdecak kesal karena belanjaannya menjadi berantakan.Dibukanya pintu kamar berwarna coklat gelap itu dengan pelan. Hana menemukan Syafa yang sedang tidur di ranjangnya dengan posisi tengkurap sambil memegangi perutnya. Tidak. Syafa tidak tidur, ia hanya memejamkan mata. Karena Hana bisa melihat gerak gelisah pada sahabatnya itu.Hana pun berjalan mendekati Syafa dan duduk di ranjang. "Fa." Hana memegang pundak Syafa."Hngg." Hanya lenguhan yang keluar dari mulut Syafa."Sakit banget yah." Hana meringis melihat Syafa yang sepertinya masih menahan sakit.Hana memang sering merasakan kesakitan seperti itu. Tapi tidak sampai membuat d
Gibran saat ini sedang duduk di kantin bersama Ashila menikmati makanan mereka."Sayang banget kita nggak satu kelompok." Ashila kini menatap Gibran dengan bibir yang mengerucut.Gibran terkekeh melihat ekspresi Ashila yang menggemaskan. "Kan tiap hari juga ketemu."Ashila mengangguk. "Mau itu." Ashila menunjuk batagor milik Gibran.Gibran pun menusuk batagor tersebut memakai garpu dan menyuapkannya pada Ashila. Saus kacang yang belepotan di bibir Ashila langsung di bersihkan oleh Gibran menggunakan tissue."Kamu nggak bakalan ninggalin aku kan?"Gibran terhenyak heran dengan pertanyaan Ashila yang tiba-tiba. Tak lama setelahnya ia pun langsung tertawa. "Kamu kenapa tiba-tiba bertanya seperti itu?" ucap Gibran disela-sela tawanya.Ashila merasa sebal di tertawakan seperti itu. Ia pun berusaha untuk kembali tenang. Tak lama di lihatnya Syafa dan Hana masuk ke k
Hana tersentak terbangun dari tidurnya. Badannya gemetar dan terasa panas dingin. Ia ketakutan. Mimpi itu datang lagi untuk yang kesekian kalinya. Mimpi yang selalu menjadi bayang-bayang kegelapan dalam hidupnya.Azka merasa jika orang yang berada di sampingnya sedang bergerak gelisah. Ia pun terbangun dan mendapati Hana adiknya yang sedang duduk memeluk kedua lututnya. Keringat bercucuran keluar dari tubuhnya. Serta pandangannya kosong menatap kedepan. Azka khawatir melihat keadaan adiknya. Ia pun langsung memeluk Hana. Dirasakannya jika adiknya ini menangis. Jelas karena kaos yang dipakainya ini basah serta badan adiknya yang gemetar."Mimpi itu lagi?" Azka berucap pelan sembari mengusap lembut kepala Hana."Aku takut Abang." Hana berucap di sela tangisnya. Mimpi itu benar-benar menakutkan.Azka semakin mempererat pelukannya. "Ada Abang di sini."Lama mereka berpelukan, menunggu Hana untuk tetap t
Hana kembali memperbaiki posisinya dan memilih untuk tidur di pangkuan Azka. Kaleng minuman yang di pegangnya tadi di letakkan di meja depan sofa. Di lihatnya ponsel yang bergetar di atas meja. Hana meraih ponselnya dan melihat pesan berturut-turut dari Syafa.Syafa AA : gilakš š Syafa AA : gue nggak relaaaaaaaajddffjadjhkkd.Syafa AA : Sepupu gue kok makin dekat ama nek lampir.Syafa AA : Gue lebih ngerestuin lo ama Gibranš daripada ama tuh nek lampiršHana memutar bola matanya jengah. Syafa sudah tau jika saat ini Hana dan Gibran sedang mengibarkan bendera perang, tapi masih sempat-sempatnya dia mau menjodohkan mereka.Me : HEHH!!! Apaan lo. Gue mah ogah ama sepupu lo.š Me : Najisin tau nggak!!!š¬š¬Syafa AA : Elahhh. Kalo di sodorin lo juga mau kan? Secara gitu sepupu gue kece abisšMe : O
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments