Hari minggu. Hari yang sangat menyenangkan bagi setiap orang. Di mana kebanyakan orang akan lebih memilih bersantai di dalam kamar seharian sambil tiduran atau marathon movie maupun drama.
Tapi menurut Hana, definisi menyenangkan di hari minggu bukanlah kegiatan seperti itu. Ia lebih suka mengerjakan banyak hal. Seperti pagi ini, ia menuruni tangga rumahnya dengan begitu riang sambil menyanyikan salah satu lagu milik Ed Sheeran.
"Suara lo jelek dek." Ucap Azka yang berada di ruang tengah tanpa mengalihkan perhatiannya sedikitpun dari tv.
Hana yang menginjak tangga terakhir pun langsung menghentikan nyanyiannnya dan mengerucutkan bibir. "Abang juga suaranya jelek." cibir Hana.
"Kita kan saudara."
"Tau ah, terserah Abang."
Hana langsung berjalan menuju dapur dengan menghentak-hentakkan kakinya. Sementara itu, Azka tertawa melihat kelakuan adiknya dan berdiri ikut menyusul Hana ke arah dapur.
"Bunda. Liat tuh Abang, pagi-pagi udah cari masalah." Hana menghampiri Bundanya yang saat ini tengah menyiapkan sarapan di meja makan.
"Yeaahh, siapa juga yang nyari masalah." Azka juga mendekat dan langsung duduk di kursi meja makan.
"Abang. Adiknya jangan di candain mulu." tegur Citra—Bunda Hana dan Azka.
Azka langsung memberenggut kesal sambil mengambil satu sendok besar nasi goreng ke atas piringnya.
"Hana duduk sarapan." ucap Citra sambil menyendokkan nasi goreng ke piring dan memberikannya pada Hana.
Hana pun duduk di kursinya. "Makasih Bunda."
Citra hanya mengangguk menanggapi dan ikut duduk untuk sarapan. "Bunda besok mau ke Malaysia." ucap Citra sebelum memasukkan sesendok nasi goreng ke dalam mulutnya. Ditatapnya satu persatu anaknya untuk melihat bagaimana tanggapan mereka.
Azka dan Hana pun mengangguk mengiyakan. Mereka paham betul jika Bunda mereka akan melakukan perjalanan bisnis. Semenjak Ayah mereka tiada, Citra menjadi tulang punggung keluarganya. Hasil kerja kerasnya pun tidak sia-sia, karena saat ini ia sudah punya perusahaan sendiri yang bergerak di bidang fashion.
"Yang penting Bunda jaga kesehatan." ucap Hana sembari memegang tangan kiri Citra yang berada di atas meja.
Citra mengangguk tersenyum. Ia sangat beruntung memiliki anak-anak yang dapat mengertinya.
Kini Azka telah selesai makan dan langsung mengecek notifikasi di ponselnya. "Besok Abang juga ada pemotretan di luar kota. Terus Adek gimana?" Azka sekarang juga sudah bekerja sambil kuliah. Ia sekarang menjadi model terkenal yang banyak di cari. Bahkan untuk biaya kuliahnya ia bisa tanggung sendiri.
"Gitu yah. Mmm Adek bisa nginap di rumah Syafa." ucap Hana lalu meneguk air putihnya hingga tandas.
"Baiklah. Setelah ini Adek mau kemana?" Citra memandang anaknya yang terlihat rapi berpakaian.
"Biasa Bunda. Adek mau ke Day Care." Hana lantas berdiri lalu membereskan piring bekas makanan mereka. Seperti biasa, Hana bertugas untuk mencuci piring.
Azka menghampiri Hana yang sedang mencuci piring dan meletakkan gelas bekas pakainya di samping westafel. Azka kemudian menyenderkan tubuhnya di meja dapur dan melipat kedua tangannya di dada sambil melihat aktivitas Hana yang sedang cuci piring.
Azka berdehem untuk mendapatkan perhatian. "Kabarnya Syafa gimana?" Akhirnya Azka memberanikan diri untuk bertanya.
Hana mengangkat sebelah alisnya lalu memandang Azka. "Kabarnya baik-baik aja. Bahkan sangat baik-baik saja." lalu muncul ide di kepalanya untuk membuat Azka cemburu. Ia pun tersenyum mencurigakan. "Bahkan kini Syafa dekat ama Sean." ucap Hana blak-blakan tanpa memperdulikan ekspresi Azka yang kini syok akibat mendengar ucapannya.
Syafa dan Azka sempat menjalin hubungan sewaktu SMA. Waktu itu Syafa dan Hana baru kelas sepuluh sedangkan Azka kelas duabelas. Hubungan mereka berjalan dengan sangat baik. Bahkan sempat di cap anak satu sekolahan sebagai pasangan yang paling romantis. Namun hubungan mereka renggang karena Azka yang terlalu sibuk dengan ujian dan pemotretannya. Saat itupun karir Azka sedang naik daun, jadi ia benar-benar sibuk.
Hingga delapan bulan hubungan mereka, Syafa memilih memutuskan Azka. Sebelumnya Syafa berharap agar Azka mau memperbaiki hubungan mereka namun jawaban Azka langsung mengiyakan. Bahkan ia mengatakan lebih baik seperti itu.
Bukan karena Azka tidak sayang lagi pada Syafa. Namun ia tidak bisa selalu mengabaikan Syafa seperti itu. Bahkan menurutnya pengabaian itu akan sangat menyakiti Syafa.
"Oh ya?" Azka menegapkan tubuhnya dan berjalan ke samping Hana.
"Iya Abang." Hana telah selesai mencuci piring dan membersihkan tangannya. "Adek duluan yah Bang. Udah telat nih." setelah mengeringkan tangannya Hana bergegas ke kamarnya di lantai dua untuk mengambil tas dan meninggalkan Azka yang di penuhi pikiran tentang Syafa.
***
"Lo kok tau sih gue mau ke Day Care hari ini." Hana memandang laki-laki yang sedang menyetir di sebelahnya.
"Gue kan cenayang Na." ucapnya sambil tersenyum.
"Terus gue percaya gitu Sean, ishh jawab, kok lo tau gue mau ke sana hari ini." cecar Hana penasaran. Bagaimana tidak, saat Hana membuka pintu ia langsung dikagetkan dengan Sean yang telah berdiri bersandar di samping mobilnya sembari memandangnya dengan senyum mengembang. Untung saja Abangnya sedang ada kerjaan lain hingga tidak bisa mengantar Hana. Jadi Abangnya tidak bertemu dengan Sean.
"Insta story lo pagi ini." Sean menghentikan laju mobilnya karena lampu merah.
"Insta story?" Hana memandang Sean dengan tatapan bertanya.
"Ck masa lo lupa sih. Baru juga dua jam yang lalu."
Hana berpikir sejenak. "Oh iya gue ingat. Pagi ini gue buat insta story tentang mau ke Day Care. Hehehehe sorry, gue kok lemot yah pagi ini." Hana tertawa cengengesan.
"Nggak Na. Lo nggak lemot. Tapi lo cantik pagi ini." Dan bersamaan lampu jalan pun berubah jadi hijau. Sean menjalankan mobilnya dengan senyum mengembang. Sedangkan Hana salah tingkah dan memilih untuk melihat keluar kaca jendela mobil.
"Sudah sampai Na." Sean mematikan mesin mobilnya dan melihat kesekitaran area parkir.
Day Care ini tidak terlalu luas. Gaya dan warna bangunan unik, sangat nyaman di lihat oleh mata. Di sana hanya terdiri dari dua bangunan di bagian depan. Terdapat taman di antara kedua bangunan itu. Sedangkan bagian belakang di bangun semacam tempat tinggal buat anak-anak. Yah, selain sebagai tempat penitipan anak. Day Care ini juga menampung anak-anak yang terlantar.
Hana sangat menyukai tempat ini. Ia sangat suka melihat anak kecil yang bermain, berlarian, belajar bahkan saling bertengkar. Menurut Hana, apapun yang di lakukan mereka sangatlah menggemaskan.
Hal ini juga mengingatkan Hana pada masa kecilnya yang menyenangkan. Mengingat kenangan itu, Hana langsung memegang bandul kalung yang di pakainya. Sebenarnya itu bukan kalung, melainkan sebuah cincin. Karena cincin itu sudah tidak muat di jarinya, makanya ia memasangnya sebagai kalung. Cincin itu hadiah sekaligus kenangan terindah untuknya.
"Na. Kita turun sekarang."
Ucapan Sean menyentakkan lamunan Hana. "Oh iya. Kita turun." Hana turun dari mobil masih memegang bandul kalung yang ada di lehernya.
Hana dan Sean berjalan beriringan menuju ke Day Care."Lo tadi ngelamun?" ucap Sean.
"Hah, enggak kok. Mmmm lo yakin mau nemenin gue di sini. Maksud gue, gue biasanya lama di sini takutnya lo bosan." Hana berhenti dan menghadap Sean.
Sean tersenyum. "Nggak kok, gue juga suka ama anak kecil."
"Lo yakin?"
Sean menganggukkan kepala lalu memasukkan kedua tangannya ke kantong jaket yang ia pakai dan langsung berjalan duluan memasuki Day Care.
Hana mengikuti langkah Sean dan langsung di sambut oleh Raina di depan pintu. Raina langsung memeluk kaki Hana melepaskan kerinduannya pada kakak angkatnya tersebut.Hana menjauhkan tubuh Raina dari kakinya dan merasakan jika tubuh gadis kecil itu bergetar. Kemudian Hana berjongkok untuk mensejajarkan tingginya dengan gadis manisnya. Hana membelalakkan mata mengetahui Raina sedang menangis. Di hapusnya jejak air mata yang mengalir di pipi chuby Raina."Raina kenapa nangis?" tanyanya langsung lalu merengkuh tubuh Raina ke dalam pelukannya. Ia tidak bisa melihat adik kecilnya ini menangis."Rindu kak Ha... Hana." ucap Raina di sela tangisannya.Jika mempunyai waktu senggang Hana memang akan menyempatkan diri berkunjung ke Day Care. Namun satu minggu kemarin ia benar-benar tidak bisa karena Bundanya sedang sakit dan dirinya sedang sibuk mengerjakan tugas sekolah.Hana mengenal Raina empat tahun yang la
Pagi ini Hana berjalan menyusuri koridor dengan riangnya. Di sapanya setiap siswa-siswi yang melewatinya. Ketika ada yang memanggil namanya ia pun berhenti dan berbalik."Hana, tugas dari Bu Ratna udah gue teliti. Tinggal di serahin aja ke Bu Ratnanya. Nih, lo aja yang serahin yah soalnya gue ada tugas ngambil bagian di upacara." Gisel teman sekelas Hana menyerahkan beberapa lembar kertas yang telah dijilid rapi."Baiklah, kalo gitu gue taruh tas dulu baru ke ruang guru yah." Hana baru saja akan melangkah namun kembali di hadang oleh Gisel."Elo ke ruang guru aja sekarang Na, soalnya nanti keburu upacara. Itukan harus di setor sebelum upacara." Anjur Gisel yang terlihat seperti sedang terburu-buru."Oh gitu yah? Oke gue ke ruang guru dulu deh. Bye." Hana melangkah meninggalkan Gisel menuju ke ruang guru. Sedangkan Gisel berlari menuju ke lapangan.Hana berjalan di koridor sekolah sembari menat
Kantin saat ini tengah ramai oleh siswa-siswi yang tengah menghabiskan jam istirahatnya untuk makan. Begitupun dengan Syafa yang sedang menikmati baksonya. Syafa memang sedang badmood akibat ulah Ashila tadi pagi. Namun jika sedang berurusan dengan makanan, Syafa akan melupakan segala kekesalannya.Lain halnya dengan Hana yang hanya menatap dan mengaduk baksonya tidak selera. Hari ini benar-benar hari yang buruk baginya. Hana merasa jika bangku di sebelahnya ada yang menduduki. Hana tau siapa orang itu, pasti Sean. Namun Hana masih lebih memilih untuk memandangi baksonya seakan-akan itu lebih menarik di banding keadaan sekitar."Kalian udah akrab aja. Kalian dari mana?"Itu suara Syafa. Tunggu, apa katanya tadi? Kalian? Hana langsung mendongakkan kepala dan yang benar saja, di seberang meja ada Syafa dan... Gibran? Sejak kapan dia ada disini."Gue tadi habis ngajakin Gibran keliling sekolah dulu." kini Sean me
Suasana taman saat ini benar-benar sepi. Hanya ada dua sampai tiga orang yang berlalu lalang melewati taman. Kebanyakan siswa-siswi lebih memilih menghabiskan waktu istirahatnya di kantin atau sekedar mengikuti eskul kesukaan masing-masing.Suasana seperti ini pun membuat suasana canggung antara dua insan yang saat ini berdiri di bawah pohon yang rindang. Saling menatap, seakan tatapan itu mampu menyalurkan rasa rindu yang selama ini mereka pendam. Setelah beberapa tahun lamanya tidak bertemu. Bahkan sepatah katapun sedikit sulit keluar dari keduanya.Gibran ingin menjelaskan hal kepindahannya itu pada gadisnya saat sepulang sekolah nanti. Namun sedarinya ia dari kantin di lihatnya gadis kesayangannya yang sedang berjalan menuju arahnya. Gibran tau. Hanya dari tatapan, gadisnya itu butuh penjelasan. Hingga di sinilah mereka sekarang.Gadisnya masih tetap cantik, walaupun terakhir kali mereka bertemu sekitar tiga tahun yang lal
Hana kembali memperbaiki posisinya dan memilih untuk tidur di pangkuan Azka. Kaleng minuman yang di pegangnya tadi di letakkan di meja depan sofa. Di lihatnya ponsel yang bergetar di atas meja. Hana meraih ponselnya dan melihat pesan berturut-turut dari Syafa.Syafa AA : gilak😠😠Syafa AA : gue nggak relaaaaaaaajddffjadjhkkd.Syafa AA : Sepupu gue kok makin dekat ama nek lampir.Syafa AA : Gue lebih ngerestuin lo ama Gibran😍 daripada ama tuh nek lampir😈Hana memutar bola matanya jengah. Syafa sudah tau jika saat ini Hana dan Gibran sedang mengibarkan bendera perang, tapi masih sempat-sempatnya dia mau menjodohkan mereka.Me : HEHH!!! Apaan lo. Gue mah ogah ama sepupu lo.😠Me : Najisin tau nggak!!!😬😬Syafa AA : Elahhh. Kalo di sodorin lo juga mau kan? Secara gitu sepupu gue kece abis😎Me : O
Hana tersentak terbangun dari tidurnya. Badannya gemetar dan terasa panas dingin. Ia ketakutan. Mimpi itu datang lagi untuk yang kesekian kalinya. Mimpi yang selalu menjadi bayang-bayang kegelapan dalam hidupnya.Azka merasa jika orang yang berada di sampingnya sedang bergerak gelisah. Ia pun terbangun dan mendapati Hana adiknya yang sedang duduk memeluk kedua lututnya. Keringat bercucuran keluar dari tubuhnya. Serta pandangannya kosong menatap kedepan. Azka khawatir melihat keadaan adiknya. Ia pun langsung memeluk Hana. Dirasakannya jika adiknya ini menangis. Jelas karena kaos yang dipakainya ini basah serta badan adiknya yang gemetar."Mimpi itu lagi?" Azka berucap pelan sembari mengusap lembut kepala Hana."Aku takut Abang." Hana berucap di sela tangisnya. Mimpi itu benar-benar menakutkan.Azka semakin mempererat pelukannya. "Ada Abang di sini."Lama mereka berpelukan, menunggu Hana untuk tetap t
Gibran saat ini sedang duduk di kantin bersama Ashila menikmati makanan mereka."Sayang banget kita nggak satu kelompok." Ashila kini menatap Gibran dengan bibir yang mengerucut.Gibran terkekeh melihat ekspresi Ashila yang menggemaskan. "Kan tiap hari juga ketemu."Ashila mengangguk. "Mau itu." Ashila menunjuk batagor milik Gibran.Gibran pun menusuk batagor tersebut memakai garpu dan menyuapkannya pada Ashila. Saus kacang yang belepotan di bibir Ashila langsung di bersihkan oleh Gibran menggunakan tissue."Kamu nggak bakalan ninggalin aku kan?"Gibran terhenyak heran dengan pertanyaan Ashila yang tiba-tiba. Tak lama setelahnya ia pun langsung tertawa. "Kamu kenapa tiba-tiba bertanya seperti itu?" ucap Gibran disela-sela tawanya.Ashila merasa sebal di tertawakan seperti itu. Ia pun berusaha untuk kembali tenang. Tak lama di lihatnya Syafa dan Hana masuk ke k
Setelah sampai di rumah Syafa. Hana sibuk mencari obat yang dibelinya tadi di dalam kantongan belanjaan. Setelah menemukan apa yang dicarinya maka ia langsung bergegas berlari menyusuri tangga menuju ke lantai dua tempat kamar Syafa berada. Meninggalkan Gibran yang berdecak kesal karena belanjaannya menjadi berantakan.Dibukanya pintu kamar berwarna coklat gelap itu dengan pelan. Hana menemukan Syafa yang sedang tidur di ranjangnya dengan posisi tengkurap sambil memegangi perutnya. Tidak. Syafa tidak tidur, ia hanya memejamkan mata. Karena Hana bisa melihat gerak gelisah pada sahabatnya itu.Hana pun berjalan mendekati Syafa dan duduk di ranjang. "Fa." Hana memegang pundak Syafa."Hngg." Hanya lenguhan yang keluar dari mulut Syafa."Sakit banget yah." Hana meringis melihat Syafa yang sepertinya masih menahan sakit.Hana memang sering merasakan kesakitan seperti itu. Tapi tidak sampai membuat d
Hari ini Hana datang ke sekolah sedikit terlambat dari biasanya. Saat menyusuri lorong menuju kelasnya ia merasa ragu. Setelah kenyataan yang terungkap kemarin, dia menjadi enggan untuk bertemu dengan Gibran. Tapi mau bagaimana lagi, kewajibannya sebagai siswa adalah mengikuti pelajaran.Sesampainya di depan kelas, Hana berdiam diri. Suasana ramai yang terdengar dari dalam kelas menandakan kalau sebagian besar temannya sudah datang. Hana memegang erat totebagnya sembari berpikir keras jika masuk nanti dia berencana untuk langsung duduk saja tanpa melihat Gibran.“Hana.”Hana berbalik dan mendapati Sean yang berlari ke arahnya. Entah mengapa, Hana merasa lega dengan kehadiran Sean.“Tumben telat, biasanya juga paling awal datang. Kirain Lo absen tadi.” Ucap Sean yang kini berdiri tepat di depan Hana.“Sotoy banget sih, telat apaan coba. Bel masuk aja belum bunyi.” Dengus Hana yang dibalas tawa oleh S
Pov Hana”Abi?”Mendengar Abang Azka menyebut nama itu, aku membelalakkan mata kaget. Siapa yang kakakku panggil dengan sebutan Abi ini? Gibran? Aku langsung mengarahkan pandangan ke Gibran untuk melihat bagaimana ekspresinya saat ini. Terlihat dia juga sedikit kaget lalu dengan cepat mengubah ekspresinya seperti biasa. Ini tidak mungkin Gibran kan? Aku kembali berusaha meyakinkan diri sendiri kalau memang Abang Azka hanya asal menyebut nama. Namun tidak dengan jawaban Gibran.“Iya?” ucapnya tidak yakin.Aku menggelengkan kepala berusaha memahami suasana. Keadaan ini masih rumit untuk ku cerna.“Benarkan ini Abi? Yang dari Bandung, anaknya Pak Umar.” Azka langsung memeluk Gibran dengan cara pelukan laki-laki ke sesama lalu menepuk-nepuk pundaknya. Wajah Azka terlihat sangat senang.Aku menghampiri mereka, mungkin ada kesalahpahaman disini.“Abang.” Aku menarik
FLASHBACKSudah menjadi kebiasaan dari Keluarga Umar dan Keluarga Regar untuk kumpul bersama di hari minggu. Mereka akan bercengkrama riang sambil melepas penat karena telah bekerja seharian. Bahkan tak jarang pula mereka keluar rumah untuk mengunjungi pantai atau sekedar piknik di taman kota."Azka. Tolong ambilin hp bunda di kamar." terdengar suara Citra dari dapur."Kalian jangan dulu main tanpa aku, oke. Awas kalau kalian main curang." Azka berdiri lalu segera berlari ke kamar bundanya."Iiih, Abang Azka lama. Inikan giliran aku yang main." Ayi memberenggut kesal hingga membuat Abi tertawa."Udah, tungguin aja dulu. Barusan juga, Abang Azka pergi." Abi menggocok ember yang di dalamnya terdapat dadu, lalu melemparnya. Baru saja Abi ingin melihat angka yang keluar, namun terhalang karena Ayi lebih dulu memungutnya beserta dengan papan ular tangga dan menyimpannya di kotak khusus.
"Ya ampun, Na!" Syafa membekap mulutnya tak percaya dengan apa yang dilihatnya kini. Baru saja sepersekian detik matanya terpejam larut dalam kenyamanan, harus terganggu dengan suara ketukan yang keras di pintu kamarnya. Dan setelah dibukanya pintu itu, Syafa dikagetkan oleh Gibran yang tengah menggendong Hana dalam keadaan tak sadarkan diri.Menghiraukan keterkejutan Hana, Gibran menerobos masuk dan langsung meletakkan Hana di atas ranjang.Syafa pun turut mendekat ke sisi ranjang. "Apa yang terjadi?!" tanyanya penasaran.Gibran berdiri berkacak pinggang sembari matanya terus mengawasi tubuh yang tak sadarkan diri itu. Pikirnya, barangkali ini hanya salah satu kejahilan yang dibuat Hana, namun nyatanya tidak. Gibran mengusap wajahnya gusar, "Dia pingsan."Syafa melongo mendengar jawaban dari pertanyaannya tadi. "Gue tau dia pingsan, karena gue bisa liat sendiri Gib! Maksud gue itu, kenapa? Ken
"Gimana?""Apanya yang gimana?"Rasanya?""Lumayan.""Cuman lumayan?""Terus mau lo apa?""Ya ampun Gibran. Masakan Hana itu enak dan lo cuman bilang lumayan." Syafa geleng-geleng kepala."Udahlah Fa, ngapain sih lo butuh pendapat dia. Nggak penting banget tau nggak." Hana berdiri dari kursinya lantas menumpuk-numpukkan piring dan gelas bekas. Setelah itu ia pun berlalu menuju dapur untuk mencuci piring.Mereka bertiga baru saja selesai makan malam. Semua hidangan yang tadi tersaji adalah masakan Hana. Syafa hanya turut andil dalam mencuci bahan dan juga menyiapkannya di meja makan tadi.Masakan Hana memang luar biasa enak. Hanya saja Gibran malas untuk mengakuinya. Takutnya si Hana tengil jadi besar kepala.Syafa menyipitkan mata tidak percaya. "Kok akhir-akhir ini omongan lo nggak bisa di percaya?"
Setelah sampai di rumah Syafa. Hana sibuk mencari obat yang dibelinya tadi di dalam kantongan belanjaan. Setelah menemukan apa yang dicarinya maka ia langsung bergegas berlari menyusuri tangga menuju ke lantai dua tempat kamar Syafa berada. Meninggalkan Gibran yang berdecak kesal karena belanjaannya menjadi berantakan.Dibukanya pintu kamar berwarna coklat gelap itu dengan pelan. Hana menemukan Syafa yang sedang tidur di ranjangnya dengan posisi tengkurap sambil memegangi perutnya. Tidak. Syafa tidak tidur, ia hanya memejamkan mata. Karena Hana bisa melihat gerak gelisah pada sahabatnya itu.Hana pun berjalan mendekati Syafa dan duduk di ranjang. "Fa." Hana memegang pundak Syafa."Hngg." Hanya lenguhan yang keluar dari mulut Syafa."Sakit banget yah." Hana meringis melihat Syafa yang sepertinya masih menahan sakit.Hana memang sering merasakan kesakitan seperti itu. Tapi tidak sampai membuat d
Gibran saat ini sedang duduk di kantin bersama Ashila menikmati makanan mereka."Sayang banget kita nggak satu kelompok." Ashila kini menatap Gibran dengan bibir yang mengerucut.Gibran terkekeh melihat ekspresi Ashila yang menggemaskan. "Kan tiap hari juga ketemu."Ashila mengangguk. "Mau itu." Ashila menunjuk batagor milik Gibran.Gibran pun menusuk batagor tersebut memakai garpu dan menyuapkannya pada Ashila. Saus kacang yang belepotan di bibir Ashila langsung di bersihkan oleh Gibran menggunakan tissue."Kamu nggak bakalan ninggalin aku kan?"Gibran terhenyak heran dengan pertanyaan Ashila yang tiba-tiba. Tak lama setelahnya ia pun langsung tertawa. "Kamu kenapa tiba-tiba bertanya seperti itu?" ucap Gibran disela-sela tawanya.Ashila merasa sebal di tertawakan seperti itu. Ia pun berusaha untuk kembali tenang. Tak lama di lihatnya Syafa dan Hana masuk ke k
Hana tersentak terbangun dari tidurnya. Badannya gemetar dan terasa panas dingin. Ia ketakutan. Mimpi itu datang lagi untuk yang kesekian kalinya. Mimpi yang selalu menjadi bayang-bayang kegelapan dalam hidupnya.Azka merasa jika orang yang berada di sampingnya sedang bergerak gelisah. Ia pun terbangun dan mendapati Hana adiknya yang sedang duduk memeluk kedua lututnya. Keringat bercucuran keluar dari tubuhnya. Serta pandangannya kosong menatap kedepan. Azka khawatir melihat keadaan adiknya. Ia pun langsung memeluk Hana. Dirasakannya jika adiknya ini menangis. Jelas karena kaos yang dipakainya ini basah serta badan adiknya yang gemetar."Mimpi itu lagi?" Azka berucap pelan sembari mengusap lembut kepala Hana."Aku takut Abang." Hana berucap di sela tangisnya. Mimpi itu benar-benar menakutkan.Azka semakin mempererat pelukannya. "Ada Abang di sini."Lama mereka berpelukan, menunggu Hana untuk tetap t
Hana kembali memperbaiki posisinya dan memilih untuk tidur di pangkuan Azka. Kaleng minuman yang di pegangnya tadi di letakkan di meja depan sofa. Di lihatnya ponsel yang bergetar di atas meja. Hana meraih ponselnya dan melihat pesan berturut-turut dari Syafa.Syafa AA : gilak😠😠Syafa AA : gue nggak relaaaaaaaajddffjadjhkkd.Syafa AA : Sepupu gue kok makin dekat ama nek lampir.Syafa AA : Gue lebih ngerestuin lo ama Gibran😍 daripada ama tuh nek lampir😈Hana memutar bola matanya jengah. Syafa sudah tau jika saat ini Hana dan Gibran sedang mengibarkan bendera perang, tapi masih sempat-sempatnya dia mau menjodohkan mereka.Me : HEHH!!! Apaan lo. Gue mah ogah ama sepupu lo.😠Me : Najisin tau nggak!!!😬😬Syafa AA : Elahhh. Kalo di sodorin lo juga mau kan? Secara gitu sepupu gue kece abis😎Me : O