Pagi ini Hana berjalan menyusuri koridor dengan riangnya. Di sapanya setiap siswa-siswi yang melewatinya. Ketika ada yang memanggil namanya ia pun berhenti dan berbalik.
"Hana, tugas dari Bu Ratna udah gue teliti. Tinggal di serahin aja ke Bu Ratnanya. Nih, lo aja yang serahin yah soalnya gue ada tugas ngambil bagian di upacara." Gisel teman sekelas Hana menyerahkan beberapa lembar kertas yang telah dijilid rapi.
"Baiklah, kalo gitu gue taruh tas dulu baru ke ruang guru yah." Hana baru saja akan melangkah namun kembali di hadang oleh Gisel.
"Elo ke ruang guru aja sekarang Na, soalnya nanti keburu upacara. Itukan harus di setor sebelum upacara." Anjur Gisel yang terlihat seperti sedang terburu-buru.
"Oh gitu yah? Oke gue ke ruang guru dulu deh. Bye." Hana melangkah meninggalkan Gisel menuju ke ruang guru. Sedangkan Gisel berlari menuju ke lapangan.
Hana berjalan di koridor sekolah sembari menatap beberapa kerumunan siswi yang tak jauh dari tempatnya kini.
‘Tak biasanya depan ruang tata usaha ramai? Oh, palingan ada anak baru.’ Batin Hana.
Lalu samar-samar ia mendengar siswi-siswi yang berbisik bahwa ada anak baru di sekolahnya yang katanya kece abis.
‘Nah, kan? Bener ada anak baru.’ Batin Hana bangga karena yang dipikirkannya benar.
Hana lalu menepis rasa penasarannya, karena ia harus segera menyerahkan tugas di tangannya.
Hana mengetuk pintu ruangan Bu Ratna, setelah di persilahkan untuk masuk Hana langsung mengutarakan maksud kedatangannya. "Permisi Bu, saya mau menyerahkan tugas dari kelompok saya."
Bu Ratna yang sedang berdiri mencari sesuatu di rak melirik Hana sekejab lalu menganggukkan kepala. "Letakkan saja itu di atas meja saya." Tunjuk Bu Ratna pada meja yang ada di belakangnya.
"Baik Bu." bersamaan dengan Hana yang meletakkan tugas tersebut, bel sekolah tanda upacara pun berbunyi. Hana bergegas pamit pada Bu Ratna lalu berlari ke kelas untuk menaruh tasnya sebelum menuju ke lapangan upacara. Namun...
Bruukk!
"Awww!" Hana terjatuh. Bokongnya terasa sakit akibat terbanting keras di lantai yang dingin. Ia pun meringis dan mengusap-usap bagian yang terasa sakit itu.
Hana sadar jika orang yang di tabraknya tadi hanya berdiri tidak ada niat untuk menolongnya. Hana langsung bergegas untuk berdiri walaupun hal itu menimbulkan nyeri di pinggulnya. Di tatapnya seseorang yang di tabraknya tadi. Dia ganteng, itulah hal pertama yang ada di pikiran Hana ketika melihat cowok di depannya. Dia memiliki bola mata yang hitam pekat dan Hana seperti dejavu melihat bola mata hitam itu. Hampir saja Hana luluh di buatnya.
"Sudah puas mengagumi saya?"
Hana tersentak lalu membelalakkan mata. Oh Tuhan. Hana menarik semua tentang apa yang di kaguminya dari cowok itu. Hana tidak menyukai orang yang angkuh seperti itu.
"Lo nggak mau minta maaf?" ucap laki-laki tersebut lagi sambil memasukkan tangannya ke dalam saku celana.
Hana berpikir jika laki-laki di hadapannya ini sudah menunjukkan wajah aslinya. Baru saja dia mengucapkan kata 'Saya' lalu detik berikutnya dia mengucapkan kata 'Lo'. Lagi pula Hana juga merasa di rugikan di sini. Dalam artian tidak sepenuhnya ia yang salah. Jadi cowok itu juga harus minta maaf.
"Lo nggak punya perasaan atau gimana?" Hana menunjuk cowok tersebut dengan jari telunjuknya. "Di sini gue nggak sepenuhnya salah yah. Lo juga harus minta maaf. Lagipula gue cewek dan lo sama sekali nggak berinisiatif buat nolongin gue tadi." Dengusnya.
"Karena menurut gue lo nggak penting." ucap laki-lakii tersebut sambil berlalu pergi. Meninggalkan Hana yang kini melongo akibat ucapannya.
"Apa. Nggak penting kata lo. Cihh emang lo penting buat gue." teriak Hana dengan kekesalan yang menggebu-gebu. Cowok itu benar-benar keterlaluan. Hana merasa heran, apa sedingin itu ia memperlakukan cewek.
***
Upacara telah usai dan kini semua siswa-siswi berbondong-bondong masuk ke kelas masing-masing. Begitupun juga dengan Hana dan Syafa yang kini berjalan di koridor untuk menuju kelas mereka.
Syafa menyikut lengan Hana untuk mendapat perhatian sahabatnya itu. "Lo kenapa? Dari tadi muka lo di tekuk mulu."
"Gue lagi badmood Fa." lagi-lagi Hana menarik nafas untuk yang kesekian kalinya.
"Lah tumben amat lo badmood di hari senin. Biasanya juga hari senin lo ceria mulu." Cibir Syafa.
"Gue lagi kesel Fa." Hana kini menghentak-hentakkan kakinya.
"Iya. Lo kesel kenapa coba?" kini mereka telah sampai di kelas dan duduk di bangku masing-masing.
"Tadi tuh yah..." perkataan Hana terpotong ketika ada yang menggebrak mejanya. Ia pun mendongakkan kepala untuk melihat si pelaku. Dan orang itu adalah Ashila.
"Apa-apaan lo!" kini Syafa berdiri dari kursinya dengan ekspresi yang errrgghhh terlihat garang itu, sangat menakutkan bagi Hana. Syafa itu orangnya cantik, tapi jika sedang marah jangan pernah coba-coba untuk mendekatinya. Karena kalian bisa menjadi sasaran kemarahannya. Hana merasa penasaran, bagaimana Abangnya dulu bisa menghadapi sikap Syafa yang satu itu.
"Lo kenapa nggak bilang kalo Gibran bakal pindah ke Jakarta dan sekolah di sini." kini Ashila melipat kedua tangannya sambil menatap sengit Syafa.
Syafa pun melakukan hal yang sama lantas tertawa hambar. "Emang lo siapa?! Oh gue tau, lo yang suka ngedata penduduk yang sedang pindah ke Jakarta. Cihhh gue baru tau kerjaan lo."
Ashila memutar bola matanya jengah. "Gue pacarnya Gibran, dan lo tau itu." kini Ashila menunjuk-nunjuk Syafa.
"Oh yah? Pacar? Gue rasa lo itu cuman ngaku-ngaku deh. Soalnya mana ada pacar yang nggak tau kalo pacarnya bakalan pindah." tatapan menantang masih terpatri jelas di wajah Syafa. Sedangkan Hana yang duduk di tengah-tengah mereka menatap salut pada Syafa. Syafa orang yang begitu hebat, apalagi dalam hal bertahan. Ia akan selalu berusaha untuk menang dan menjadikan kekalahannya sebagai semangat juang untuk kembali mendapat kemenangan. Tapi, mengapa dengan Azka, Syafa sangat begitu mudah menyerah?
Mendengar hal itu, Ashila bungkam. Dan Syafa pun tertawa menyeringai. "Atau jangan-jangan lo udah putus ama Gibran. Wahh kalo gitu selamat yah, gue sekarang merasa menjadi orang yang paling bahagia saat ini. Sekedar info buat lo, gue rasa Gibran udah nggak sayang ama lo atau dia memang nggak pernah sayang sama lo." Syafa merasa kemenangan ada padanya saat ini.
Ashila tercekat. Akhir-akhir ini Gibran memang jarang menghubunginya. Tapi, bukan berarti Gibran tidak sayang padanya. Tidak terasa pandangan Ashila pun mengabur karena air mata. Tidak. Dia tidak boleh menangis di sini. Dia tidak boleh membuat Syafa merasa menang akan dirinya. Beruntung guru masuk ke kelas, jadi Ashila bisa kembali ke bangkunya sebelum Syafa melihatnya hampir menangis.
Namun yang tidak disadari Ashila, jika Hana melihat semua itu. Kini Hana berpikir jika Ashila benar-benar mencintai Gibran, sepupu dari sahabatnya.
Bu Ratna masuk kelas dan memberitahukan jika kelas mereka kedatangan siswa pindahan. Otomatis hampir seluruh kelas berbisik-bisik tentang siapa siswa pindahan itu terkecuali Syafa, Hana dan Ashila. Melihat Syafa yang biasanya akan antusias pada siswa pindahan namun kali ini tidak. Jadi Hana berpikir jika siswa itu adalah sepupu Syafa.
Seseorang pun masuk dengan langkah yang ringan, namun mampu membuat kelas hening seketika. Seseorang itu tidak sendirian melainkan bersama Sean yang menyusul di belakangnya.
Hana merasa kini emosinya sedang berada di ubun-ubun. Laki-laki itu adalah laki-laki angkuh yang menabraknya tadi. Ralat. Lebih tepatnya di tabraknya tadi.
Setelah Sean memberi tahu Bu Ratna ia dari mana. Sean kini kembali ke bangkunya untuk duduk. Hana tau Sean dari ruang OSIS untuk mengurus pemilihan ketua OSIS yang sebentar lagi akan diadakan untuk menggantikannya sebagai ketua.
"Baiklah Gibran, silahkan perkenalkan dirimu." Bu Ratna kini mempersilahkan laki-laki itu memperkenalkan diri.
"Hai. Nama saya Gibran Abimanyu Regar. Saya pindahan dari SMA Harapan Bandung." Ucapnya dengan wajah datar yang dilihat Hana tadi.
"Hai Gibran." hampir seluruh penghuni kelas mengucapkannya, terutama para siswi yang kagum seperti sedang melihat dewa yunani.
Hana memutar bola matanya jengah melihat semua ini. Laki-laki itu berusaha sopan untuk pencitraan. Huh Ya Tuhan. Jangan sampai ia berurusan lagi dengan laki-laki yang semacam itu.
"Baiklah kalau begitu Gibran, kamu bisa duduk bersama Sean." Bu Ratna menunjuk ke arah bangku paling belakang yang berada di ujung.
Gibran mengangguk menanggapi perkataan Bu Ratna lalu berjalan menuju bangku yang ditunjuk.
"Kalau kalian ingin tahu lebih banyak tentang Gibran, nanti setelah jam pelajaran usai. Mengerti." Pungkas Bu Ratna.
Siswa-siswi pun menjawab dengan serentak. "Mengerti Bu."
"Sekarang kita akan bahas tugas yang telah kalian buat." Bu Ratna mengambil spidol di mejanya dan mulai menuliskan materi pembelajaran pagi ini.
Sedangkan Hana telah membunyikan alarm peringatan untuk menghindari masalah yang saat ini duduk tepat di belakangnya.
Kantin saat ini tengah ramai oleh siswa-siswi yang tengah menghabiskan jam istirahatnya untuk makan. Begitupun dengan Syafa yang sedang menikmati baksonya. Syafa memang sedang badmood akibat ulah Ashila tadi pagi. Namun jika sedang berurusan dengan makanan, Syafa akan melupakan segala kekesalannya.Lain halnya dengan Hana yang hanya menatap dan mengaduk baksonya tidak selera. Hari ini benar-benar hari yang buruk baginya. Hana merasa jika bangku di sebelahnya ada yang menduduki. Hana tau siapa orang itu, pasti Sean. Namun Hana masih lebih memilih untuk memandangi baksonya seakan-akan itu lebih menarik di banding keadaan sekitar."Kalian udah akrab aja. Kalian dari mana?"Itu suara Syafa. Tunggu, apa katanya tadi? Kalian? Hana langsung mendongakkan kepala dan yang benar saja, di seberang meja ada Syafa dan... Gibran? Sejak kapan dia ada disini."Gue tadi habis ngajakin Gibran keliling sekolah dulu." kini Sean me
Suasana taman saat ini benar-benar sepi. Hanya ada dua sampai tiga orang yang berlalu lalang melewati taman. Kebanyakan siswa-siswi lebih memilih menghabiskan waktu istirahatnya di kantin atau sekedar mengikuti eskul kesukaan masing-masing.Suasana seperti ini pun membuat suasana canggung antara dua insan yang saat ini berdiri di bawah pohon yang rindang. Saling menatap, seakan tatapan itu mampu menyalurkan rasa rindu yang selama ini mereka pendam. Setelah beberapa tahun lamanya tidak bertemu. Bahkan sepatah katapun sedikit sulit keluar dari keduanya.Gibran ingin menjelaskan hal kepindahannya itu pada gadisnya saat sepulang sekolah nanti. Namun sedarinya ia dari kantin di lihatnya gadis kesayangannya yang sedang berjalan menuju arahnya. Gibran tau. Hanya dari tatapan, gadisnya itu butuh penjelasan. Hingga di sinilah mereka sekarang.Gadisnya masih tetap cantik, walaupun terakhir kali mereka bertemu sekitar tiga tahun yang lal
Hana kembali memperbaiki posisinya dan memilih untuk tidur di pangkuan Azka. Kaleng minuman yang di pegangnya tadi di letakkan di meja depan sofa. Di lihatnya ponsel yang bergetar di atas meja. Hana meraih ponselnya dan melihat pesan berturut-turut dari Syafa.Syafa AA : gilak😠😠Syafa AA : gue nggak relaaaaaaaajddffjadjhkkd.Syafa AA : Sepupu gue kok makin dekat ama nek lampir.Syafa AA : Gue lebih ngerestuin lo ama Gibran😍 daripada ama tuh nek lampir😈Hana memutar bola matanya jengah. Syafa sudah tau jika saat ini Hana dan Gibran sedang mengibarkan bendera perang, tapi masih sempat-sempatnya dia mau menjodohkan mereka.Me : HEHH!!! Apaan lo. Gue mah ogah ama sepupu lo.😠Me : Najisin tau nggak!!!😬😬Syafa AA : Elahhh. Kalo di sodorin lo juga mau kan? Secara gitu sepupu gue kece abis😎Me : O
Hana tersentak terbangun dari tidurnya. Badannya gemetar dan terasa panas dingin. Ia ketakutan. Mimpi itu datang lagi untuk yang kesekian kalinya. Mimpi yang selalu menjadi bayang-bayang kegelapan dalam hidupnya.Azka merasa jika orang yang berada di sampingnya sedang bergerak gelisah. Ia pun terbangun dan mendapati Hana adiknya yang sedang duduk memeluk kedua lututnya. Keringat bercucuran keluar dari tubuhnya. Serta pandangannya kosong menatap kedepan. Azka khawatir melihat keadaan adiknya. Ia pun langsung memeluk Hana. Dirasakannya jika adiknya ini menangis. Jelas karena kaos yang dipakainya ini basah serta badan adiknya yang gemetar."Mimpi itu lagi?" Azka berucap pelan sembari mengusap lembut kepala Hana."Aku takut Abang." Hana berucap di sela tangisnya. Mimpi itu benar-benar menakutkan.Azka semakin mempererat pelukannya. "Ada Abang di sini."Lama mereka berpelukan, menunggu Hana untuk tetap t
Gibran saat ini sedang duduk di kantin bersama Ashila menikmati makanan mereka."Sayang banget kita nggak satu kelompok." Ashila kini menatap Gibran dengan bibir yang mengerucut.Gibran terkekeh melihat ekspresi Ashila yang menggemaskan. "Kan tiap hari juga ketemu."Ashila mengangguk. "Mau itu." Ashila menunjuk batagor milik Gibran.Gibran pun menusuk batagor tersebut memakai garpu dan menyuapkannya pada Ashila. Saus kacang yang belepotan di bibir Ashila langsung di bersihkan oleh Gibran menggunakan tissue."Kamu nggak bakalan ninggalin aku kan?"Gibran terhenyak heran dengan pertanyaan Ashila yang tiba-tiba. Tak lama setelahnya ia pun langsung tertawa. "Kamu kenapa tiba-tiba bertanya seperti itu?" ucap Gibran disela-sela tawanya.Ashila merasa sebal di tertawakan seperti itu. Ia pun berusaha untuk kembali tenang. Tak lama di lihatnya Syafa dan Hana masuk ke k
Setelah sampai di rumah Syafa. Hana sibuk mencari obat yang dibelinya tadi di dalam kantongan belanjaan. Setelah menemukan apa yang dicarinya maka ia langsung bergegas berlari menyusuri tangga menuju ke lantai dua tempat kamar Syafa berada. Meninggalkan Gibran yang berdecak kesal karena belanjaannya menjadi berantakan.Dibukanya pintu kamar berwarna coklat gelap itu dengan pelan. Hana menemukan Syafa yang sedang tidur di ranjangnya dengan posisi tengkurap sambil memegangi perutnya. Tidak. Syafa tidak tidur, ia hanya memejamkan mata. Karena Hana bisa melihat gerak gelisah pada sahabatnya itu.Hana pun berjalan mendekati Syafa dan duduk di ranjang. "Fa." Hana memegang pundak Syafa."Hngg." Hanya lenguhan yang keluar dari mulut Syafa."Sakit banget yah." Hana meringis melihat Syafa yang sepertinya masih menahan sakit.Hana memang sering merasakan kesakitan seperti itu. Tapi tidak sampai membuat d
"Gimana?""Apanya yang gimana?"Rasanya?""Lumayan.""Cuman lumayan?""Terus mau lo apa?""Ya ampun Gibran. Masakan Hana itu enak dan lo cuman bilang lumayan." Syafa geleng-geleng kepala."Udahlah Fa, ngapain sih lo butuh pendapat dia. Nggak penting banget tau nggak." Hana berdiri dari kursinya lantas menumpuk-numpukkan piring dan gelas bekas. Setelah itu ia pun berlalu menuju dapur untuk mencuci piring.Mereka bertiga baru saja selesai makan malam. Semua hidangan yang tadi tersaji adalah masakan Hana. Syafa hanya turut andil dalam mencuci bahan dan juga menyiapkannya di meja makan tadi.Masakan Hana memang luar biasa enak. Hanya saja Gibran malas untuk mengakuinya. Takutnya si Hana tengil jadi besar kepala.Syafa menyipitkan mata tidak percaya. "Kok akhir-akhir ini omongan lo nggak bisa di percaya?"
"Ya ampun, Na!" Syafa membekap mulutnya tak percaya dengan apa yang dilihatnya kini. Baru saja sepersekian detik matanya terpejam larut dalam kenyamanan, harus terganggu dengan suara ketukan yang keras di pintu kamarnya. Dan setelah dibukanya pintu itu, Syafa dikagetkan oleh Gibran yang tengah menggendong Hana dalam keadaan tak sadarkan diri.Menghiraukan keterkejutan Hana, Gibran menerobos masuk dan langsung meletakkan Hana di atas ranjang.Syafa pun turut mendekat ke sisi ranjang. "Apa yang terjadi?!" tanyanya penasaran.Gibran berdiri berkacak pinggang sembari matanya terus mengawasi tubuh yang tak sadarkan diri itu. Pikirnya, barangkali ini hanya salah satu kejahilan yang dibuat Hana, namun nyatanya tidak. Gibran mengusap wajahnya gusar, "Dia pingsan."Syafa melongo mendengar jawaban dari pertanyaannya tadi. "Gue tau dia pingsan, karena gue bisa liat sendiri Gib! Maksud gue itu, kenapa? Ken
Hari ini Hana datang ke sekolah sedikit terlambat dari biasanya. Saat menyusuri lorong menuju kelasnya ia merasa ragu. Setelah kenyataan yang terungkap kemarin, dia menjadi enggan untuk bertemu dengan Gibran. Tapi mau bagaimana lagi, kewajibannya sebagai siswa adalah mengikuti pelajaran.Sesampainya di depan kelas, Hana berdiam diri. Suasana ramai yang terdengar dari dalam kelas menandakan kalau sebagian besar temannya sudah datang. Hana memegang erat totebagnya sembari berpikir keras jika masuk nanti dia berencana untuk langsung duduk saja tanpa melihat Gibran.“Hana.”Hana berbalik dan mendapati Sean yang berlari ke arahnya. Entah mengapa, Hana merasa lega dengan kehadiran Sean.“Tumben telat, biasanya juga paling awal datang. Kirain Lo absen tadi.” Ucap Sean yang kini berdiri tepat di depan Hana.“Sotoy banget sih, telat apaan coba. Bel masuk aja belum bunyi.” Dengus Hana yang dibalas tawa oleh S
Pov Hana”Abi?”Mendengar Abang Azka menyebut nama itu, aku membelalakkan mata kaget. Siapa yang kakakku panggil dengan sebutan Abi ini? Gibran? Aku langsung mengarahkan pandangan ke Gibran untuk melihat bagaimana ekspresinya saat ini. Terlihat dia juga sedikit kaget lalu dengan cepat mengubah ekspresinya seperti biasa. Ini tidak mungkin Gibran kan? Aku kembali berusaha meyakinkan diri sendiri kalau memang Abang Azka hanya asal menyebut nama. Namun tidak dengan jawaban Gibran.“Iya?” ucapnya tidak yakin.Aku menggelengkan kepala berusaha memahami suasana. Keadaan ini masih rumit untuk ku cerna.“Benarkan ini Abi? Yang dari Bandung, anaknya Pak Umar.” Azka langsung memeluk Gibran dengan cara pelukan laki-laki ke sesama lalu menepuk-nepuk pundaknya. Wajah Azka terlihat sangat senang.Aku menghampiri mereka, mungkin ada kesalahpahaman disini.“Abang.” Aku menarik
FLASHBACKSudah menjadi kebiasaan dari Keluarga Umar dan Keluarga Regar untuk kumpul bersama di hari minggu. Mereka akan bercengkrama riang sambil melepas penat karena telah bekerja seharian. Bahkan tak jarang pula mereka keluar rumah untuk mengunjungi pantai atau sekedar piknik di taman kota."Azka. Tolong ambilin hp bunda di kamar." terdengar suara Citra dari dapur."Kalian jangan dulu main tanpa aku, oke. Awas kalau kalian main curang." Azka berdiri lalu segera berlari ke kamar bundanya."Iiih, Abang Azka lama. Inikan giliran aku yang main." Ayi memberenggut kesal hingga membuat Abi tertawa."Udah, tungguin aja dulu. Barusan juga, Abang Azka pergi." Abi menggocok ember yang di dalamnya terdapat dadu, lalu melemparnya. Baru saja Abi ingin melihat angka yang keluar, namun terhalang karena Ayi lebih dulu memungutnya beserta dengan papan ular tangga dan menyimpannya di kotak khusus.
"Ya ampun, Na!" Syafa membekap mulutnya tak percaya dengan apa yang dilihatnya kini. Baru saja sepersekian detik matanya terpejam larut dalam kenyamanan, harus terganggu dengan suara ketukan yang keras di pintu kamarnya. Dan setelah dibukanya pintu itu, Syafa dikagetkan oleh Gibran yang tengah menggendong Hana dalam keadaan tak sadarkan diri.Menghiraukan keterkejutan Hana, Gibran menerobos masuk dan langsung meletakkan Hana di atas ranjang.Syafa pun turut mendekat ke sisi ranjang. "Apa yang terjadi?!" tanyanya penasaran.Gibran berdiri berkacak pinggang sembari matanya terus mengawasi tubuh yang tak sadarkan diri itu. Pikirnya, barangkali ini hanya salah satu kejahilan yang dibuat Hana, namun nyatanya tidak. Gibran mengusap wajahnya gusar, "Dia pingsan."Syafa melongo mendengar jawaban dari pertanyaannya tadi. "Gue tau dia pingsan, karena gue bisa liat sendiri Gib! Maksud gue itu, kenapa? Ken
"Gimana?""Apanya yang gimana?"Rasanya?""Lumayan.""Cuman lumayan?""Terus mau lo apa?""Ya ampun Gibran. Masakan Hana itu enak dan lo cuman bilang lumayan." Syafa geleng-geleng kepala."Udahlah Fa, ngapain sih lo butuh pendapat dia. Nggak penting banget tau nggak." Hana berdiri dari kursinya lantas menumpuk-numpukkan piring dan gelas bekas. Setelah itu ia pun berlalu menuju dapur untuk mencuci piring.Mereka bertiga baru saja selesai makan malam. Semua hidangan yang tadi tersaji adalah masakan Hana. Syafa hanya turut andil dalam mencuci bahan dan juga menyiapkannya di meja makan tadi.Masakan Hana memang luar biasa enak. Hanya saja Gibran malas untuk mengakuinya. Takutnya si Hana tengil jadi besar kepala.Syafa menyipitkan mata tidak percaya. "Kok akhir-akhir ini omongan lo nggak bisa di percaya?"
Setelah sampai di rumah Syafa. Hana sibuk mencari obat yang dibelinya tadi di dalam kantongan belanjaan. Setelah menemukan apa yang dicarinya maka ia langsung bergegas berlari menyusuri tangga menuju ke lantai dua tempat kamar Syafa berada. Meninggalkan Gibran yang berdecak kesal karena belanjaannya menjadi berantakan.Dibukanya pintu kamar berwarna coklat gelap itu dengan pelan. Hana menemukan Syafa yang sedang tidur di ranjangnya dengan posisi tengkurap sambil memegangi perutnya. Tidak. Syafa tidak tidur, ia hanya memejamkan mata. Karena Hana bisa melihat gerak gelisah pada sahabatnya itu.Hana pun berjalan mendekati Syafa dan duduk di ranjang. "Fa." Hana memegang pundak Syafa."Hngg." Hanya lenguhan yang keluar dari mulut Syafa."Sakit banget yah." Hana meringis melihat Syafa yang sepertinya masih menahan sakit.Hana memang sering merasakan kesakitan seperti itu. Tapi tidak sampai membuat d
Gibran saat ini sedang duduk di kantin bersama Ashila menikmati makanan mereka."Sayang banget kita nggak satu kelompok." Ashila kini menatap Gibran dengan bibir yang mengerucut.Gibran terkekeh melihat ekspresi Ashila yang menggemaskan. "Kan tiap hari juga ketemu."Ashila mengangguk. "Mau itu." Ashila menunjuk batagor milik Gibran.Gibran pun menusuk batagor tersebut memakai garpu dan menyuapkannya pada Ashila. Saus kacang yang belepotan di bibir Ashila langsung di bersihkan oleh Gibran menggunakan tissue."Kamu nggak bakalan ninggalin aku kan?"Gibran terhenyak heran dengan pertanyaan Ashila yang tiba-tiba. Tak lama setelahnya ia pun langsung tertawa. "Kamu kenapa tiba-tiba bertanya seperti itu?" ucap Gibran disela-sela tawanya.Ashila merasa sebal di tertawakan seperti itu. Ia pun berusaha untuk kembali tenang. Tak lama di lihatnya Syafa dan Hana masuk ke k
Hana tersentak terbangun dari tidurnya. Badannya gemetar dan terasa panas dingin. Ia ketakutan. Mimpi itu datang lagi untuk yang kesekian kalinya. Mimpi yang selalu menjadi bayang-bayang kegelapan dalam hidupnya.Azka merasa jika orang yang berada di sampingnya sedang bergerak gelisah. Ia pun terbangun dan mendapati Hana adiknya yang sedang duduk memeluk kedua lututnya. Keringat bercucuran keluar dari tubuhnya. Serta pandangannya kosong menatap kedepan. Azka khawatir melihat keadaan adiknya. Ia pun langsung memeluk Hana. Dirasakannya jika adiknya ini menangis. Jelas karena kaos yang dipakainya ini basah serta badan adiknya yang gemetar."Mimpi itu lagi?" Azka berucap pelan sembari mengusap lembut kepala Hana."Aku takut Abang." Hana berucap di sela tangisnya. Mimpi itu benar-benar menakutkan.Azka semakin mempererat pelukannya. "Ada Abang di sini."Lama mereka berpelukan, menunggu Hana untuk tetap t
Hana kembali memperbaiki posisinya dan memilih untuk tidur di pangkuan Azka. Kaleng minuman yang di pegangnya tadi di letakkan di meja depan sofa. Di lihatnya ponsel yang bergetar di atas meja. Hana meraih ponselnya dan melihat pesan berturut-turut dari Syafa.Syafa AA : gilak😠😠Syafa AA : gue nggak relaaaaaaaajddffjadjhkkd.Syafa AA : Sepupu gue kok makin dekat ama nek lampir.Syafa AA : Gue lebih ngerestuin lo ama Gibran😍 daripada ama tuh nek lampir😈Hana memutar bola matanya jengah. Syafa sudah tau jika saat ini Hana dan Gibran sedang mengibarkan bendera perang, tapi masih sempat-sempatnya dia mau menjodohkan mereka.Me : HEHH!!! Apaan lo. Gue mah ogah ama sepupu lo.😠Me : Najisin tau nggak!!!😬😬Syafa AA : Elahhh. Kalo di sodorin lo juga mau kan? Secara gitu sepupu gue kece abis😎Me : O