Arrgghh!"
Aisyah mengerang pelan sambil menggigit bibir, mata di pejamkannya kuat ketika menyapukan obat ke lengan kanannya yang terdapat luka lebam. Pedih, tidak ada kata yang dapat menggambarkan rasa sakit di badannya saat ini, tanpa sadar air matanya menetes menahan kesakitan. Perlahan mata di bukanya, di perhatikan luka di lengan dari pantulan cermin. Bukan hanya lebam pada lengan saja, tapi hampir seluruh wajahnya di penuhi lebam. "Ya Allah, kenapa hidupku seperti ini." Aisyah merintih. Kepalanya menunduk memandang lantai. Suasana yang sepi membuatnya teringat kembali kejadian menyakitkan tadi malam. "Aisyah! Sini kau! Ikut aku!" Bayangan kala Fajar menarik kasar tangannya ke dalam kamar, berputar lagi di kepala. Menggigil tubuh Aisyah melihat wajah bengis suaminya kala itu. ' Ya allah apa lagi salahku kali ini?' "Abang kenapa? Apa salah Aish ,Bang? Kalau Aish salah, tolong jangan perlakukan Aish seperti ini, Bang," rintihnya memohon dengan suara bergetar. "Kau tanya apa salah kau? Ini salah kau!" Fajar mendorong kasar tubuh Aisyah hingga jatuh tersungkur di lantai. Semakin berdebar jantung Aisyah melihat Fajar mengambil ikat pinggang yang tergantung di belakang pintu. "Ja-jangan, Bang, Aish mohon!" "Kau kira aku ini tuli, ha! Kau pikir aku tidak tahu apa yang telah kau gunjingkan pada para tetangga. Kau bilang aku jalan dengan wanita lain, kan? Eh, harusnya kau itu sadar diri! Aku menikahi kau, karna Bapak kau saja yang memohon-mohon padaku. Bukan karna aku cinta atau pun sayang dengan kau! Paham!" "Sum-sumpah, Bang! Demi Allah, Aish tidak pernah menceritakan tentang Abang pada siapapun. Apa lagi tentang perempuan itu. Selama ini Aish juga tidak mempersalahkan kalau Abang mau keluar dengan dia. Asal Abang tetap mau jaga Aish, itu sudah cukup bagi Aish Bang." Berurai air mata Aisyah jatuh mengalir membasahi pipi, namun tidak sedikitpun membuat Fajar merasa kasihan padanya. Malah senyum sinis yang di sunggingkan pria itu. "Aku itu tidak bodoh! Kau kira aku tidak tahu, kau itu jenis wanita seperti apa. Bisanya hanya membuka aib suami pada orang lain! Apa kau tidak bisa membuatku tenang sehari saja, hah!" Fajar mencengkram kasar rambut Aisyah dari belakang, hingga kepala Aisyah mendongak ke atas. "Ampun Bang. Sa-sakit..." "Tau juga kau sakit? Tapi kurasa ini belum sakit lagi. Ini baru sakit!" Bugh! Satu pukulan keras mendarat tepat di wajah Aisyah. Bibir di katup rapat menahan sakit pada bagian bibir yang pecah. "Argh!" Tidak cukup sampai di sana saja, Aisyah kembali mengerang menahan sakit, saat ikat pinggang kulit mendarat pada bagian lengan dan punggungnya. Sakit yang di rasanya saat itu, hanya dia dan tuhan saja yang tahu. Menetes lagi air mata Aisyah kala kejadian buruk yang dialaminya tadi malam melintas lagi di kepala. ' Jika bisa, sekarang juga aku ingin lupakan semuanya, tapi aku tidak mampu. Aku lemah.' "Aisyah!" Teriakan itu membuat Aisyah tersentak. Tangan segera menyeka jejak air mata di pipinya, sebelum berlari menuruni anak tangga. Tubuh semakin gemetar, melihat Fajar sedang membuka tudung saji. 'Astaghfirullah! Aku lupa menyiapkan makan siang. Bagaimana bisa aku lupa?' Aisya membatin dalam hati dengan kepala menunduk memandang lantai. Di sana Fajar sedang memperhatikannya dengan tatapan tajam. "Apa yang kau lakukan seharian ini? Mana makan siangku?" tanya Fajar dengan gigi geraham saling bergelatuk, menahan geram. "A-Aish lupa Bang. Abang berikan Aish waktu lima menit untuk menyiapkan makan minum Abang," mohon Aisyah ketakutan.. "Bilang saja, kau sengaja mau balas dendam masalah tadi malam, kan?" tuduh Fajar yang di balas Aisyah dengan gelengan kepala. "Sumpah, Bang. Aish tidak ada niat balas dendam sama sekali. Abang berikan Aish waktu lima menit ya, Aish akan siapkan makan minum Abang." Aisyah kembali memohon. Fajar semakin menajamkan tatapannya. Kemudian ia melangkah mendekati Aisyah dan sengaja menyenggol kasar bahu wanita itu hingga tubuh Aisyah mundur beberapa langkah ke belakang. "Mulai sekarang, tidak perlu lagi kau memasak untukku! Menurutku makan di luar lebih enak dari pada makan di sini. Apalagi melihat muka kau yang menyebalkan ini! Yang ada selera makanku hilang!" ucap Fajar sinis. Aisyah hanya bisa diam melihat Fajar berjalan dan keluar dan mengambil helm dan memakainya. "A-Abang. Persedian bahan-bahan dapur di dalam lemari es tidak banyak lagi," ucap Aisyah memberitahukan. "So? Kau mau aku yang membelinya?" tanya Fajar dengan tatapan sinisnya. Aisyah menggeleng cepat. "Apa kau tidak bisa pergi ke pasar sendiri, hah!" herdik Fajar lagi. Semenjak menikah Aisyah memang tidak pernah mendapatkan perlakuan baik atau pun kasih sayang dari suaminya. Dirinya semata-mata hanya di jadikan pelampiasan amarah Fajar saja. Tapi ia bisa apa, Fajar adalah orang yang di pilih sang ayah untuk menjaganya. Aisyah di perintahkan menuruti apa pun yang di katakan Fajar. "Ma-maksud Aish bukan begitu. Pasar kan jauh, Abang kan tahu Aish tidak bisa bawa motor. Jadi Aish mau menumpang sama Abang sekalian," jawab Aisyah terbata-bata. "Kau ada kaki kan? Gunakan kedua kaki kau itu. Tidak mungkin untuk berjalan kepasar harus aku ajar kan juga pada kau! Kalau tidak, kau bisa cegat taksi di depan. Sudahlah, aku telat! Bicara dengan kau hanya membuang-buang waktu saja." Aisyah mengangguk pelan. Mau membantah ia tidak berdaya. Sepertinya pergi ke pasar jalan kaki memang harus di lakukannya, walau jarak pasar dari rumahnya lumayan jauh. *** Hampir basah seluruh pakaian Aisyah berjalan di bawah terik matahari yang menyengat kulit. Keringat yang menetes di dahi, sesekali di sekanya menggunakan punggung tangan. Sejak tadi, tidak satupun kendaraan umum yang melintas. Ini salah suaminya yang tidak mau memberi tumpangan. Padahal tempat kerjanya dengan pasar satu arah. Tapi Aisyah bisa apa? Memaksakan kehendak, yang ada dirinya yang akan menjadi sasaran amukan tangan pria itu. "Aduh, capek banget. Kenapa dari tadi tidak ada satu pun taksi yang lewat, sih?" gerutu Aisyah, sambil terus berjalan, matanya selalu memperhatikan kendaraan yang lewat, masih berharap ada taksi atau pun ojek yang melintas. Tiba-tiba netranya tertuju pada pangkalan ojek yang berada di ujung kanan jalan. Tampak juga disana sebuah motor kawasaki ninja terparkir di pangkalan ojek itu. "Pasti disana ada orang?" Dengan penuh semangat Aisyah mengayunkan kakinya menuju ke sana. "Siapa tahu aku bisa minta tumpangan, kan?" "Assalamu'alaikum, Abang," sapa Aisyah pada seorang yang berbaring di bangku panjang. "Assalamu'alaikum..., Abang," sapa Aisyah sekali lagi. Akan tetapi, tetap saja tidak ada sahutan dari lelaki itu. "Dia tidur, apa sudah mati?" "Abang.... Ooo, Abang....," teriak Aisyah, sambil menyentuh lengan lelaki itu dengan ujung jarinya. "Ishk, kau mau apa, hah?" Tersentak Aisyah, saat tangannya di tepis kasar lelaki itu. Air ludah di telannya sejenak. Topi hitam yang tadinya digunakan lelaki itu untuk menutup wajah, kini di alih kannya ke atas kepala. Lelaki itu juga segera duduk menghadap Aisyah dengan wajah tegang. "Si-siapa kau? Polisi? Kenapa kau mengganggu tidurku?" berondong pertanyaan lelaki itu dengan wajah cemas. "Eh, bu-bukan. Sa-saya bukan polisi. Nama saya Aisyah. Kenapa, saya mirip polisi, ya?" Aisyah tersenyum malu. Baru kali ini ada orang mengira dirinya polisi. "So, tujuan kau membangunkan aku untuk apa?" tanya lelaki itu, setengah membentak. Aisyah menyeringai lebar sambil menggaruk kepalanya yang tertutup hijab. 'Iiih, malu juga kalau aku jujur.' "Hmm, jadi sebenarnya itu. Saya tadi dari sana." Aisyah menunjuk jalan yang di laluinya tadi. "Saya mau ke pasar, tapi pasar masih jauh dari sini. Saya mau naik taksi pun dari tadi tidak ada yang lewat. Hmm.... Jadi saya mau minta tolong Abang mengantarkan saya ke pasar. Boleh ya?" ujar Aisyah apa adanya. "What?" Menganga mulut lelaki itu. Tidak percaya dangan apa yang di dengarnya. 'Dia waras atau tidak? Jangan-jangan dia gila?' "Abang tenang saja, saya janji akan bayar lebih. Abang hanya antar saya ke pasar saja. Nanti kalau saya mau pulang, saya akan usaha sendiri mencari taksi. Mau ya Bang. Please!" mohon Aisyah sambil menyatukan kedua telapak tangan. "Eh, gila! Kau lihat muka aku ini baik-baik. Apa ada mirip-mirip tukang ojek?" bentak lelaki itu geram. Kemudian lelaki itu bangun dan berjalan menuju motor Ninja 1000CC nya yang terparkir. "Dan satu lagi, jangan pernah kau panggil aku Abang!" peringatnya. Aisyah berlari kecil mendekati lelaki itu. Ia tidak patah semangat meminta lelaki itu mengantarkannya. "Baiklah, saya akan panggil Abang, Tuan. Tapi Tuan harus tolong antarkan saya kepasar! Tuan antar setengah jalan pun tidak apa-apa." Aisyah masih belum mau menyerah. "Eh, kau! Kau dengar aku baik-baik ya! Aku bukan tukang ojek yang harus mengantar orang ke pasar! Harus berapa kali kubilang! Dan satu lagi, aku ini orang sibuk, tidak ada waktu untuk mengantarkan kau! Paham!" Lantang suara lelaki itu membentak Aisyah. "Tadi Tuan tidur di sana. Kenapa sekarang tuan bilang sibuk? Banyak kerjaan segala? Apa salahnya tuan antarkan saya sebentar," kekeh Aisyah masih belum mau mengalah. "Eh, kau itu tidak mengerti bahasa Indonesia ya? Sudah berapa kali kukatakan, aku tidak mau mengantar kau! Paham! Mending sekarang kau pergi ke tepi jalan sana, kalau ada mobil atau motor yang lewat, kau cegat dan menumpanglah!" dengus lelaki itu semakin kesal. "Tapi..." Tin! Tin! Tin! Bergelinjak tubuh Aisyah mendengar suara klakson di belakangnya. Ia pun berbalik badan kebelakang melihat sebuah mobil Pajero berhenti di tepi jalan. "Bos, kami sudah bawa orangnya," ucap seseorang yang duduk di bangku kemudi. Lelaki di sebelah Aisyah hanya menganggukkan kepala. Tapi tidak dengan Aisyah yang mengerutkan kening. 'Dapat siapa?' tanyanya dalam hati. Kepalanya juga di dongakkan melihat ke dalam mobil Pajero hitam itu. Seketika mata Aisyah melotot ketika melihat ada seorang wanita di dalam mobil tersebut dalam posisi mulut dan tangan terikat. "Apa yang kau lihat?" Pertanyaan bernada herdikan itu membuat tubuh Aisyah terlonjak kaget. Tidak itu saja, tubuhnya juga di dorong laki-laki itu menjauh dari mobil. "It-itu di dalam mobil..." Aisyah tergagap, sambil menunjuk ke dalam mobil Pajero di tepi jalan. "Diam! Tadi kau ingin aku antar ke pasar kan? Kalau kau mau berjanji padaku tidak menceritakan pada siapa pun apa yang kau lihat tadi. Aku akan antar kau ke pasar." "Ta-tapi...." "Kalau kau tidak ingin bernasip sama dengan wanita yang ada di dalam mobil itu. Tutup mulut rapat-rapat dan lupakan apa yang kau lihat di dalam mobil tadi. Paham!" ancam lelaki itu memberi Aisyah peringatan. Aisyah mengangguk cepat sambil menutup mulut tanda dia menuruti apa yang di katakan lelaki itu. "Good" Lalu lelaki itu beralih pada orang-orangnya yang berada di dalam mobil Pajero. "Kalian pergilah! Sebentar lagi aku urus wanita itu. Aku mau antar wanita gila satu ini sebentar." "Untuk apa bos sibuk mengantar wanuta gila itu? Bawa saja sekalian, agar rahasia kita tidak di bocorkannya," sahut salah satu lelaki yang berada di dalam mobil. "Bukan aku tidak mau membawa dia. Tapi perempuan satu ini agak lain. Seperti kurang waras. Yang ada kita yang repot nanti. Sudahlah, kalian pergi saja dulu! Sebentar lagi aku susul." "Baik bos." Mereka menurut. Mobil pun mulai melaju meninggalkan lelaki itu bersama Aisyah. "Cepat naik!" dengus lelaki itu yang telah naik diatas jok motor ninja miliknya. "Benaran boleh nih?" Aisyah butuh kepastian. Lelaki itu mendesah kasar. "Eh, bukannya tadi kau yang merengek-rengek padaku minta diantar. Kau jangan memancing emosiku terus-terusan ya! Lama-lama aku lindas kepala kau dengan motor ini!" bentak lelaki itu geram. Aisyah hanya menyeringai menampilkan barisan giginya. Tidak ada sama sekali rasa takutnya pada lelaki itu. 'Hehehe, benar juga kata dia. Tadi kan aku yang minta dia mengantarkanku."Ayam kecap kesukaan Fajar di letakkan di atas meja bersanding dengan lauk yang lainnya. Jus jeruk juga di tuangkan ke dalam gelas, lalu di dekatkannya ke hadapan Fajar.Satu piring kaca di ambil. Lalu di sendokkan nasi ke atasnya. "Abang mau lauk apa?" tanya Aisyah, sambil tangannya mendekatkan piring yang berisi nasi kedekat ayam kecap. Aisyah tahu, ayam kecap adalah makanan kesukaan suaminya. Di letakkannya sebelah paha ayam kecap ke atas piring yang sudah berisi nasi. Kemudian piring di dekatkan ke hadapan Fajar. Akan tetapi, Fajar malah diam saja. Kepala di tundukkannya ke bawah. Wajahnya juga tampak kebingungan. Permintaan sang kekasih tadi siang rasanya sungguh berat untuk di lakukan. Piring berisi nasi di dorongnya menjauh. Berkerut kening Aisyah melihat respon suaminya malam ini. "Abang kenapa? Apa Abang mau makan yang lain lain? Aisyah bisa buatkan." Aisyah cemas, takut saja masakannya malam ini tidak sesuai dengan selera suaminya. Fajar menggeleng lemah. Lalu ia menga
Rokok yang semakin menipis di hisap untuk terakhir kali kemudian di jentiknya ke sembarang arah. "Aduh!" Aisyah mengibaskan api rokok yang di buang lelaki tadi. Lelaki itu juga tersentak dan menoleh ke sumber suara. Di perhatikannya Aisyah yang tengah mengibaskan pakaian yang terkena puntung rokoknya. 'Eh, perempuan itu kan?' "Tuan. Tuan, anda yang mengantar saya ke pasar sore tadi, kan?" tebak Aisya, sambil menunjuk ke arah pria itu. "Aduh! Bagaimana bisa aku bertemu perempuan sableng ini lagi?" desis pria itu pelan. Kemudian berbalik badan dan melanjutkan lagi langkah pergi dari sana sebelum wanita sableng itu mengganggunya untuk kedua kali. "Eh, tuan. Tunggu." Segera Aisyah berlari mengejar lelaki itu. Lalu lengan lelaku itu di pegangnya, menghalangi agar tidak pergi meninggalkannya.Lelaki itu menepis tangan Aisyah dengan kasar. Dirinya paling anti di sentuh wanita. "Kau mau apa, hah?" bentak lelaki itu. Ia adalah Adriano Lion King--seorang Mafia kelas kakap. Orang-orang m
Tercengang Aisyah ketika melihat hunian tingkat dua di hadapannya. Di tengah-tengah halaman ada kolam ikan koi dengan air mancur serta beberapa orang sekuriti muda berbadan tegap dengan wajah dingin berdiri di depan pagar. Barisan gigi putih di tunjukkannya pada dua orang sekuriti yang berdiri di samping pagar dengan wajah serius. Aisyah coba melambai tangan pada mereka, namun sedikit pun mereka tidak merespon. 'Kira-kira bagimana tuan ini melatih mereka ya? Berdiri seperti patung. Mata tidak berkedip juga!' Aisyah membatin dalam hati sambil memperhatikan sekuriti itu dari dekat. Tanpa Aisyah sadari, King juga sedang memperhatikannya di pintu utama. ia mendengus kecil melihat tingkah wanita itu. "Woi, sableng! Sini!" panggil King dari tempatnya berdiri. Tangannya di lambaikan kearah wanuta aneh itu. Lagi-lagi Aisyah memamerkan barisan gigi putihnya pada King, lalu menarik koper miliknya menuju pria yang berdiri di depan pintu utama. "Ini rumah kita ya, Bang?" tanya Aisyah denga
Tidak tenang pikiran Fajar, kala ingat apa yang di lakukannya pada Aisyah beberapa jam yang lalu. Lama pria itu mondar-mandir berjalan ke kiri dan ke kanan di dalam rumahnya, sampai tidak sadar suara adzan subuh sudah berkumandang. Kepalanya tak henti memikirkan apa yang telah di ucapkannya pada Aisyah malam tadi. Fajar tidak yakin dengan keputusannya yang telah menceraikan Aisyah. "Kenapa harus talak tiga? Why Fajar, why?" tanyanya pada diri sendiri. Sofa yang tidak jauh darinya menjadi tempatnya melabuhkan duduk. "Kalau ayahnya tahu tentang ini pasti orang tua itu mengamuk. Bagaimana aku bisa rujuk lagi dengan Aisyah kalau aku sudah ceraikan dia dengan talak tiga? Aduh....bodohnya kau Fajar!" Kedua belah tangannya menepuk-nepuk paha sendiri, menunjukkan kalau dirinya dalam keadaan gelisah dan tidak puas hati. Kemudian tangannya beralih mengacak-ngacak rambut yang semakin kusut. "Ini semua gara-gara, Sinta! Kalau bukan karna desakannya agar aku segera menceraikan Aisyah, p
Satu persatu anak tangga di lewati King. Rambutnya yang masih basah di keringkan menggunakan handuk, lalu di sangkutkan ke leher. Sekilas King mengedarkan pandangan ke sekeliling ruang tamu mencari kelibat Aisyah yang tidak terlihat."Tidak mungkin wanita 'sableng' itu sudah minggat dari rumah ini? Eh, tapi kalau dia benar-benar sudah pergi, tentu hidupku aman," desis King pelan."Shen...Aisyah nali?" (Shen Aisyah mana?) tanya King pada Shen, gadis cina yang bekerja sebagai pembantu di rumahnya."Wo janjian ta zai wuwai." (Saya lihat dia berada di luar) jawab Shen.King mengangguk pelan.'Aku kira dia sudah pergi, ternyata masih ada lagi di rumah ini. Sabar....sabar King.'Kemudian King melangkah ke arah pintu utama.Dari tempatnya berdiri sekarang, King melihat Aisyah sedang bermain air mancur di tengah-tengah halaman rumahnya."Sedang apa dia?""Woi!" teriak King lantang hingga membuat Aisyah yang berada di sana tersentak. Untung saja tidak sampai jatuh ke dalam kolam.Segera Aisyah
Pistol dalam laci diambil dan di simpan ke dalam sarung yang setali dengan ikat pinggang. Jaket kulit yang di pakai di tarik sedikit ke bawah menutup bagian pistol yang tergantung. King juga merapikan sedikit rambutnya sebelum melangkah ke arah pintu.Belum sampai di pintu ia berhenti sejenak. "Kalau perempuan 'sableng' itu melihat aku keluar, pasti dia minta ikut. Aku harus keluar sembunyi-sembunyi. Jangan sampai dia tau aku keluar," gumam King.Perlahan gagang pintu diputar, lalu pinta di buka sedikit. Hanya kepala saja yang di loloskan dari celah pintu yang terbuka. Menoleh kekiri dan kekanan, memastikan Aisyah tidak ada di sana."Line clear!" desisnya. Barulah King mulai melangkah keluar kamar. Lalu berlari menuruni anak tangga menuju pintu utama. Secepat kilat King masuk ke dalam mobil.Bergegas King menghidupkan mesin mobil, takut Aisyah akan mendengar dan melihat ia yang akan pergi."Mak saya di kampung pernah berpesan, biar lambat asal selamat. Tuan mau kemana buru-buru seper
"So, this my house!" ucap Rayden setelah tiba di depan rumah mewah miliknya. Menganga mukut Aisyah, melihat rumah bertingkat-tingkat di hadapannya sekarang. Sekilas ia melihat mobil truk yang berada di sebelah kanannya. Beberapa drum minyak tersusun dibak truk itu. "Kamu kerja apa?" tanya Aisyah. Pertanyaan itu tiba-tiba saja melintas di kepalanya. "Aku hanya seorang pembisnis kecil-kecilan saja. Ayo, mari masuk. Ada banyak hal yang ingin aku tunjukkan padamu," ajak Rayden. Aisyah mengangguk, lalu seatbelt di bukanya sebelum turun dari mobil. Tiba di luar, Aisyah mengedarkan pandangan melihat-lihat halaman rumah mewah itu. Namun, ia bergelinjak kaget ketika tangannya tiba-tiba di tarik Rayden. Aisyah pun menepiskan kasar tangan itu. "Why?" tanya Rayden heran. "Ngapain kamu pegang-pegang saya? Haram tau! Saya bilang pada King baru tahu kamu!" ancam Aisyah. Rayden terdiam beberapa saat kemudian tertawa. "Kau mau lapor sama siapa? Sama Lion?" tanya Rayden meyakinkan. "Ya
Dering ponsel membuat Fajar tersentak. Ia pun meraih benda pipih itu dan melihat nama pemanggil. "Ayah Man. Mau apa dia menelpon malam-malam begini?" Fajar ragu menjawab panggilan dari ayah Aisyah yang menelponnya. Setelah berpikir sejenak akhirnya tombol hijau di layar di geser juga."As--assalamu'alaikum, Yah. Ada apa telepon Fajar tiba-tiba? Apa ayah ada masalah di kampung?" tanya Fajar berbasa-basi."Hmm, tidak. Ayah baik-baik saja. Ayah hanya ingin tahu kabar kamu dengan Aisyah. Sudah lama juga ayah tidak melihat kalian. Kalian pun sudah lama tidak menjenguk kami di kampung, kan?" tanya ayah Man di sebrang sana.Fajar menggaruk alis, sambil menenangkan diri agar mantan ayah mertuanya tidak curiga. "Bukannya apa Yah. Hanya saja belakangan ini Fajar agak sibuk," balas Fajar memberi alasan."Tidak apa-apa, ayah mengerti kesibukanmu. Tapi kalau ada waktu, jenguk jugalah kami di kampung. Bawa Aisyah sebentar kesini, ayah sudah lama merindukan dia.""Ayah, se-sebenarnya." Fajar takut b