Semua Bab Mereka Bilang Kakakku Pelakor: Bab 51 - Bab 60

68 Bab

51. Seperti Dongeng

"Ih cantik banget yei, tuh sampai ada yang air liurnya netes." MUA yang gemulai munjuk Biru sambil tertawa terkikik dan benar saja, di sofa tempatnya tadi menunggu, Biru sudah berdiri sambil membawa korannya menatapnya dengan ternganga. "Bagaimana hasil karya eike?" tanyanya sambil menggandeng Kia mendekati Biru. Hells ini begitu menyusahkan harus membuatnya berjalan ekstra hati-hatib kalau tidak mau terjengkang, belum lagi gaun panjang yang membuatnya makin sulit untuk berjalan. fix dia butuh tongkat penyangga supaya tidak jatuh. "Bagus sekali," kata Biru yang cepat-cepat menaruh koran yang dia bawa ke tempatnya dan tanpa menatap lagi pada Kia buru-buru membuka pintu dan berjalan keluar. "Lho mas ganteng mau kemana? ini mbaknya masak ditinggal nanti nyusuk," teriak si MUA dengan gayanya yang gemulai. Biru yang kesal diteriaki seperti itu langsung berbalik dan menghampiri Kia. "Memangnya kamu tidak bisa jalan sendiri, manja banget sih," gerutunya saat di depan Kia. "Eh gante
Baca selengkapnya

52. Jebakan

"Ini dia bintang utama kita sudah datang."Mula-mula Kia kira kalau kata-kata itu ditujukan pada orang lain, tapi saat pandangan  Renata tertuju pada mereka, Kia malah mengernyit heran. "Ibu tidak ikut, Ki?" Menggandeng Renata yang malam ini tentu saja luar biasa cantik dengan gaun mewahnya, Zafran mengulurkan tangan pada kia."Tidak," jawab Kia sambil menjabat tangan  laki-laki itu, sempat tergoda juga untuk mengabaikan tangan itu, tapi dia langsung ingat pada ibunya. "Ibu merasa bersalah padamu, Nduk. Ibu kira ibu dan bapak sudah mengajarkan sopan santun yang baik padamu." Melihat wajah kecewa sang ibu tentu saja adalah hal terakhir yang diinginkan KIa. Lalu dia menyalami juga Renata yang mengulurkan tangannya, dan wanita itu menarik Kia dalam pelukannya. "Sebuah kehormatan kamu mau datang malam ini," bisiknya dengan lembut, tapi Kia bisa mendengar nada berbahaya d
Baca selengkapnya

53. Tak Terduga

Ruangan yang semula riuh menjadi senyap, semua orang memperhatikan layar besar di belakang pelaminan, semula dua pengantin yang berbahagia itu tidak menyadari apa yang terjadi sampai sebuah suara yang Kia yakin mereka kenali terdengar di sana. "Memberi kejutan," kata Kia menatap balik Biru yang menatapnya dengan marah. Memangnya hanya orang kaya saja yang berhak marah. Video itu memang tidak terlalu bagus, gambarnya sesekali bergoyang dan tak jelas tertutup oleh entah apa, tapi suaranya terdengar sangat jelas dan mbak Nina membaca semua point-point itu dengan sangat jelas. Bahkan mbak Nina dengan cerdik bisa mendapatkan pernyataan Renata tentang alasan kenapa pernikahan ini berlangsung, meski tidak semua menguntungkan mbak NIna tapi paling tidak, tidak akan lagi yang menyalahkannya. Biru yang semula marah pada Kia,  malah memperhatikan apa yang ada di dalam video itu. Sedangkan dua  orang yang ada di depan saja wajahnya sud
Baca selengkapnya

54. Terdekat

"Aku tahu mbak siapa yang membeli obat itu." Bahkan Kia belum juga masuk ke dalam rumah, setelah melihat Biru meninggalkan halaman rumahnya. "Benarkah? Siapa?" tanya mbak Ratih dari seberang sana. Kia menarik napas panjang dan menceritakan apa yang baru saja dikatakan Biru. Sejenak tak ada jawaban dari seberang sana, Kia melihat layar ponselnya, curiga mungkin saja sambungan terputus, tapi ternyata tidak. "Mbak masih di sana?" tanya Kia dengan tak sabar. "Ki, mbak boleh tanya apa kamu pernah bertanya pada dokter apa yang menyebabkan Nina pendarahan?" Kali ini KIa yang terdiam. "Ti... tidak mbak, tapi di surat kematiannya ada keterangan penyebab kematiannya karena pendarahan," jawabanya. "Apa kamu tidak berpikir untuk bertanya?" "Apa itu perlu mbak, mbak NIna tidak mungkin pendarahan dengan sengaja, dia terdengar sangat bahagia saat mengabariku waktu itu." "Ki, aku yakin Nina memang menginginkan bayinya, tapi dia juga tidak bisa tahu apa yang akan terjadi ke depannya, jadi k
Baca selengkapnya

55. Menghindar

Entah sudah berapa gayung air Kia guyurkan di atas kepalanya, tangannya sudah terasa kebas dan kakinya juga kesemutan, tapi dia sama sekali tidak mau berhenti mengguyur kepalanya, rasanya dia ingin menenggelamkan kepalanya selama mungkin di dalam air agar pikiran itu menyingkir dari sana, mengalir terbawa air yang mengalir"Kia sampai kapan kamu mau mandi, ayo cepat nanti masuk angin!" Terdengar suara sang ibu dari luar kamar mandi. "Iya sebentar." Bukannya berhenti Kia malah kembali mengguyur kepalanya dengan air. "Sial kenapa tidak hilang juga ingatan itu... akhhhh!" "Kia kamu baik-baik saja, Nduk? Apa kamu terpeleset?" terdengar nada panik sang ibu, juga gedoran di pintu kamar mandi. Kia menghela napas, sedikit kesal dengan panggilan sang ibu, tapi dia sadar kalau kelakuan konyolnya pasti membuat sang ibu khawatir. "Kia baik-baik saja, Bu!" "Kalau begitu cepat mandinya!""IYa!" Kia mengguyur kembali kepalanya, air yang dingin seakan tak terasa sama sekali, hatinya lebih
Baca selengkapnya

56. Cowok Resek

Tak ingin banyak drama yang pastinya akan mengundang banyak mata menatap mereka, Kia menurut saja saat Biru membimbingnya seperti orang buta ke dalam mobil, tapi saat mobil sudah melaju dia malah ngomel. "Apa sih maksud bapak dengan ini semua? apa kalian mau menunjukkan kalau kami hanya orang matre yang mengejar harta kalian, kalau memang iya jangan terlalu percaya diri deh masih banyak orang yang lebih kaya dari kalian." Kia mengatur napasnya, berbicara panjang lebar dan cepat ternyata melelahkan juga, tapi sialnya mahluk di sampingnya masih menampilkan wajah tenang yang minta digampar. "Sepertinya kamu tidak pernah berpikiran baik padaku," kata Biru sambil menggelengkan kepalanya dengan penuh kekecewaan. Kia mendengus dengan keras, sengaja supaya Biru mendengarnya. Apa laki-laki ini lupa soal baju pesta dan segala pernak-perniknya yang ternyata dari Zafran, tapi kalau dipikir-pikir memang Biru tak pernah mengatakan kalau itu darinya, dia hanya mengatakan itu untuk KIa dan san
Baca selengkapnya

57. Sebuah Pilihan

"Sudah aku duga."Untuk ukuran orang yang baru saja ditolak Biru terlalu biasa saja dan itu membuat Kia merasa terhina. Kia menatap Biru dengan pandangan datar. "Aku sudah memberikan jawabanku, aku permisi kalau begitu," kata Kia. Gadis itu mengambil tasnya dan menggeser kursinya, tapi perkataan Biru menghentikan gerakannya. "Apa kamu tidak ingin tahu kenapa kakakmu mengalami stress." Kia menghela napasnya, dia sudah memikirkan ini semua dan dia yakin dengan keputusannya dan sang ibu juga sangat mendukung. "Meski aku tahu, itu tidak akan membuat pelakunya di penjara, lagi pula kalian orang kaya, penjara bukan momok yang menakutkan untuk kalian," kata Kia dengan nada sinis dalam kalimatnya. "Kamu benar, meski tak sepenuhnya, jadi kamu sudah menyerah untuk mendapat keadilan." "Menyerah? tentu saja belum aku sudah menyerahkan pada Tuhan, biarkan tangannya yang bekerja, lagi pula tujuan awalku sudah tercapai, yah untuk mengembalikan nama baik mbak Nina." Biru mengangguk. "Bisa dime
Baca selengkapnya

58. Tak Jera

Sebagai salah satu staff yang bertanggung jawab pada anggaran yang digunakan untuk biaya promosi dan pemasaran, tentu Kia harus mempunyai ketelitian tingkat dewa. Kia  yang memang orang yang cermat dan teliti, tentu itu bukan masalah, akan tetapi namanya orang pasti ada saja kesalahan yang dia buat, dan kali ini Kia melakukan kesalahan itu. Hanya sedikit sebenarnya, dia hanya lupa menambahkan angka nol pada angka yang dia tulis pada laporannya. Tapi kalau berhubungan dengan uang salah satu angka saja tentu sangat fatal, bayangkan jika angka satu juta, kehilangan satu nol jadi seratus ribu, dan kekurangan sembilan ratus ribu bukan angka yang kecil apalagi jika itu diikuti dengan juta atau bahkan milyar, kurus kering jadinya. "Kalau kamu nggak becus bekerja, mundur saja!" laporan itu dia lempar di dada Kia. Kia hanya bisa menunduk tanpa berani mengangkat wajahnya, ini memang salahnya yang kurang hati-hati dan sialnya laporan ini digunakan untuk rapat atas
Baca selengkapnya

59. Lelah

Penyakit lama Kia kambuh lagi. Penasaran. Dan itu membuatnya sangat kesal, dia tidak perlu menjadi jenius untuk tahu bahwa dia nanti akan mendapatkan kesulitan di sana, apalagi dengan yang dia lakukan pada Renata waktu itu. Bukannya dia takut, tapi dia sudah bertenkad untuk tidak lag peduli dengan Zafran dan juga Renata. Akan tetapi perkataan Biru berhasil mengusiknya. "Apa kamu ingin melihat mbak Nina yang lain lagi." Sialan memang laki-laki ini kenapa bukan dia saja yang mencegahnya. Biru memang benar, Kia memang sudah rela dengan kepergian mbak Nina tapi jika ada kesempatan untuk mencegah orang lain bernasib seperti mbak NIna tentu dia akan mencegahnya. Kia mengambil ponsel milik mbak NIna yang dia simpan di laci nakasnya dan iseng membuka-buka ponsel itu, membuka semua kontak, percakapan terakhir mbak Nina juga panggilan yang di lakukan kakaknya terakhir kali.
Baca selengkapnya

60. Tak Sama

"Aku tidak ada bersamanya waktu itu, kamu pasti sudah tahu aku dengar kamu bertanya pada beberapa orang." "Dan mereka pasti mengatakan seperti yang kamu mau." Zafran menatap Kia terkejut tapi tidak menjawab, dan itu menguatkan dugaan Kia. "Aku tidak tahu kalau dia hamil sebenarnya, tapi aku punya dugaan dari perubahan sikap dan bentuk tubuhnya, juga siklus bulanannya, kamu tahu bukan." Kia buru-buru mengangguk. "Aku meminta Biru untuk membelikan obat penggugur kandungan, aku tidak langsung menyuruhnya hanya mengatakan sambil lalu obat apa itu dan mungkin saja dia membutuhkan, NIna waktu itu hanya tersenyum, tapi dia pasti tahu kalau aku tidak menginginkan anak yang dikandungnya, tepatnya aku khawatir dengan masa depan anak itu." "Karena kamu tidak mencintai ibunya." "Aku menyayangi Nina... tapi aku terlalu lemah," jawab Zafran sambil menunduk. Kia menatap Zafran dengan jijik. "Andai aku tahu itu lebih cepat, aku akan menyeret mbak NIna meninggalkanmu, dan kamu pantas untuk itu.
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1234567
DMCA.com Protection Status