Home / Romansa / Mereka Bilang Kakakku Pelakor / Chapter 31 - Chapter 40

All Chapters of Mereka Bilang Kakakku Pelakor: Chapter 31 - Chapter 40

68 Chapters

31. Berbekas

Andai saja ini bukan dalam situsi menegangkan, Kia akan tertawa mlihat para ibu tetangganya yang berbaris seperti antri sembako di halaman rumahnya. Tapi sayang sekali mereka datang ke sini bukan untuk antri sembako... tidak sebaik itu, bahkan lebih buruk  mereka datang untuk menyaksikan pertengkaran. Yah setidaknya mereka melihat kalau ada masalah dengan ibunya saat dia tidak ada di rumah, batin  Kia mencoba menghibur diri. “Lihat, dia mau memukulku.” Kia yang tadi ingin meminta para tetangganya untuk  pulang saja menoleh. Sebuah pemandangan memuakkan tersaji di depan matanya dan Kia menatap sinis dua orang itu. Wanita itu berlari dengan wajah teraniyaya ke pada suaminya. Bukankah ini sangat lucu padahal Kia yang  dari tadi di tampar dan dijambak. “Apa yang kamu lakukan, Ki.” Kia tahu Zafran bukan orang bodoh, atau setidaknya itu yang dia harapkan. “Apa kamu buta, tidak bisa melihat. Aku ingin
Read more

32. Kepo

“Jadi apa rencanamu?”  tanya Dara pada Kia. Mereka baru saja meninggalkan rumah sakit tempat mereka melakukan visum, sebenarnya Kia hanya minta bantuan  Dara untuk mengatakan rumah sakit yang bisa dia gunakan untuk itu, karena jujur saja Kia sangat awam tentang hal itu. Akan tetapi Dara malah mau mengantarnya dan menungguinya hingga proses selesai, Dara memang tidak menuntut Kia menceritakan apa yang terjadi tapi, Kia berjanji jika dia sudah yakin  dia akan menceritakan semuanya pada Dara. Kia berharap setidaknya dia punya satu orang teman yang bisa membantunya dan karena dia tidak mempunyai satupun kenalan detektive atau semacamnya jadi seorang yang ahli obat-obatan pun cukup bagus. “Melaporkan orang yang melakukan ini pada polisi tentu saja.” “Aku tidak tahu kamu punya musuh sampai membuat mukamu tak berbentuk seperti” kata Dara sambil nyengir saat ini mereka sudah ada di sebuah cafe, duduk menunggu makanan mereka datang dengan  tak sabar. “
Read more

33. Bersiap Perang

“Sedang ngintip ya, Nduk.” Kia menoleh kaget dan mendapati pak RT sudah berdiri di belakangnya membawa sebuah kantong plastik dengan aroma harum. “Baru beli bubur ayam, ayo masuk saja,” kata pak Rt. Sebelum Kia menolaknya, pak Rt sudah mengucapkan salam keras-keras, membuat istrinya dan wanita yang tadi bersitegag dengannya menoleh kaget. “Ini anaknya datang, kalian bisa tanya boleh tidak video itu disebarkan,” kata pak RT dengan santai dan melewati mereka begitu saja menuju bagian dalam rumah. Kia menatap bingung pada pak Rt bukannya dia yang harusnya mengatasi masalah warganya ini bukan istrinya. “Oh Kia silahkan masuk,” kata Bu RT sedikit salah tingkah. Tapi tidak dengan wanita tadi yang berdebat dengannya, Kia memang mengenali wanita itu sebagai salah satu tetangga yang kemarin ikut berkerumun di rumahnya tapi dia tidak tahu namanya, dan dia menatap Kia dengan sinis. “Ehm... saya hanya ingin memberikan ini,” kata Kia mengangsurkan kantong plastik yang dia bawa. “Saya permi
Read more

34. Dunia Terbalik

Duduk di dalam angkot dengan  banyak orang asing tak dikenal menurut Kia lebih baik dari pada duduk di dalam mobil mewah Biru yang seakan joknya berlapir duri landak. Kia capek sendiri sesekali hapus terlonjak kaget saat ada gerakan Biru yang aneh, tangannya sejak tadi masuk ke dalam tas di pangkuannya, siap mengeluarkan senjata yang telah dia persiapkan. “Kamu kenapa?” Biru menatap Kia seolah gadis di sebelahnya itu gila. Dan memang demikian adanya Kia sendiri merasa  hampir gila, perjalanan ke kantornya yang biasnaya bisa ditempuh dengan lima belas menit dengan berjalan kaki sekarang rasanya seabad. Buang-buang waktu bukan. “Lho kita mau kemana?” tanya Kia saat Biru membelokkan mobilnya ke kiri bukan ke kanan tempat bangunan  megah kantor mereka berada, tangannya mencengkeram lebih erat spay yang berisi ramuan ajaibnya, siap sedia jika diperlukan. “Kamu tidak berencana menggantikan OG bukan?” “Maksudmu?” “Jam ka
Read more

35. Sandiwara

Biru tidak bohong. Dua orang berseragam polisi menyambangi rumah kontrakan Kia saat gadis itu baru saja melepas sepatunya. Untung saja Kia sudah menceritakan kemungkinan itu pada sang ibu meski begitu sang ibu terlihat shock dan ini menjadi beban pikirna tersendiri untuk Kia dan kejutan lainnya adalah. Penghuni kontrakan kembali gempar, dan mungkin menunggu waktu saja Kia akan diminta menandatangani kaos atau mungkin topi mereka, karena dia telah menjadi topik yang menarik untuk dibicarakan jika dua orang bertemu. “Anda harus ikut kami untuk memberi keterangan di kantor.” Kia mengangguk, sedikit banyak ini memang yang dia inginkan, dia hanya berdoa semoga orang-orang ini memang benar ingin melakukan tugasnya bukan polisi yang mudah disuap dengan uang atau sejenisnya. Jika Kia bisa menerima ini dengan lapang dada, meski ada ketakutan di dalamnya lain lagi dengan sang ibu tubuhnya bergetar hebat dan begitu dingin saat Kia mem
Read more

36. Jawaban

"Kia aku minta maaf tidak bisakah kamu menarik kembali laporan  itu." Kia menatap datar Zafran yang mengacak rambutnya dengan putus asa di depannya. "Ki, Rena baru saja keguguran jiwanya belum stabil. Dia masih harus ada dalam pengawasan." "Jadi benar dia gila?" tanya Kia dengan tenang. "Itu alasanmu menikahi kakakku." Zafran yang sedang mondar-mandir di depan Kia langsung berhenti dan menatap Kia dengan terkejut. "Astaga bukan seperti itu maksudku ." Saat ini mereka ada di ruang tunggu kantor polisi, sedangkan Rena sedang diperiksa polisi terkait laporannya tadi juga laporan Kia. Dan tiba-tiba saja Zafran yang tadi mendampingi sang istri melaporkan Kia malah sekarang memohon supaya Kia melupakan semuanya. Kia tidak tahu kalau Zafran ternyata bisa melawak juga. "Lalu apa maksudmu? kamu dan istrimu bisa melaporkanku dengan tuduhan palsu, tapi aku tak
Read more

37. Dipersulit

Saat itu sudah lewat tengah malam. Kia masih berkutat dengan laptopnya, membaca sebentar tulisan yang terpampang di sana, lalu menuliskannya lagi pada buku catatan yang terbuka di depannya. Begitu berulag-ulang hingga tanpa terasa satu halaman buku telah habis dan membaliknya. Matanya terasa sangat pedih, tapi dia tidak ingin berhenti sekarang. Laporan padanya langsung dieksekusi satu hari saja, tapi laporan yang dia buat membutuhkan waktu berhari-hari. Itu sebuah tanda tanya untuknya. Kia tidak akan menutup mata dengan kekuatan uang dan kekuasaan yang dimiliki keluarga istri Zafran, dia sudah mencari tahu siapa istri Zafran juga keluarganya begitu juga dengan keluarga Zafran. Hal yang sangat dia sesali sejak dulu adalah kenapa tidak mencari tahu semuanya saat kakaknya masih ada, dengan begitu dia bisa memaksa mbak Nina untuk melepaskan semuanya tak peduli apapun alasannya. Mungkin dengan begitu mbak Nina dan bapak masih hidup .... Kia menggeleng. Ibunya pasti akan sanga
Read more

38. Tak Mungkin

Hal pertama yang harus Kia lakukan adalah mencari kendaraan umum untuk mencapai rumah mbak Ratih. Benar dia berencana langsung ke sana begitu mendengar kabar kalau mbak Ratih sudah tiba di kediaman orang tuanya. Laporan itu bisa dia urus nanti. Dan tentang perutnya yang lapar, Kia juga mengesampingkan hal itu. Kia sampai ke rumah orang tua mbak Ratih begitu matahari sudah akan tergelincir dari singgasananya. “Aku tahu kamu datang, tapi aku tidak menyangka secepat ini,” kata mbak Ratih yang menyambur Kia  di depan rumahnya. Kia sedikit meringis, dia tahu dia bukan tamu yang diharpkan oleh sahabat kakaknya ini, tentu saja tidak jika dia datang dengan masalah yang mungkin saja menghampiri. “Ibu mengirimkan salam untuk mbak dan keluarga, juga.” Kia mengulurkan buah tangan yang tadi sempat dia beli diperjalanan. “Aku tak yakin itu buatan ibumu, padahal aku akan sangat kangen kue buatan ibumu.” “Ibu akan denga
Read more

39. Rencana

Kia pernah menduga tapi tentu saja dia langsung menepis dugaan itu. Itu konyol dan tidak masuk akal. Kia menatap mbak Ratih seperti wanita itu sudah gila dan sama sekali tidak dapat dipercaya. “Aku memang tidak menyimpan salinannya, tapi Nina pasti punya.” “Dimana?” tanya Kia dengan gamang seolah dia bertanya dari dimensi lain. Mbak Ratih menggeleng pelan. “Aku tak tahu, Nina tidak pernah mengatakannya, aku pernah memintanya mengakhiri semua ini, tapi dia tidak menjawab pesanku.” Kia ingat dengan pesan terakhir mbak Ratih di ponsel mbak Nina. “Kenapa mbak meminta seperti itu setelah mereka menikah?” Mbak Ratih menunduk, dia mengambil singkong rebus yang ada di meja dan memakannya, tapi Kia tahu itu hanya pengalihan semata, tangan wanita itu bergetar bahkan beberapa kali singkong rebus itu jatuh di pangkuannya. “Apa itu sesuatu yang buruk?” tanya Kia lagi dengan suara parau. Apa kakaknya begitu menderita selama ini? adik macam apa dia yang sama sekali tidak peduli pada kakak
Read more

40. Dimana?

Kia merasakan perutnya teramat sakit, dia menunduk di kursinya untuk mengurangi rasa sakit itu. wajahnya pucat dengan lelehan keringat sebiiji jagung di pelipisnya. Bahkan untuk bangkit ke ruang kesehatan pun rasanya Kia tak sanggup, mungkin ini efek kemarin dia melupakan makan siang dan makan malamnya. Hanya beberap potong singkong rebus Kia pikir akan mampu membuatnya tidak perlu makan nasi lagi. Tapi dia salah. “Kenapa disaat seperti ini aku harus sakit,” gerutunya sebal. “Kamu sakit, Ki?” Kia bahkan tak mampu menoleh saat mendengar suara Lita di samoingnya. “Kamu pucat sekali,” katanya lagi saat bisa melihat wajah Kia. “Aku... baik...baik... saja,” kata kia sambil menahan perutnya. “Tidak ada orang baik-baik saja berwajah pucat dan sulit berbicara,” kata Lita dengan galak. “Ayo aku antar ke ruang kesehatan.” Kia merasa seseorang mengangkat tangannya dan berusaha memapahnya berdiri, mengalungkan tangannya di bahu dan men
Read more
PREV
1234567
DMCA.com Protection Status