Semua Bab Mereka Bilang Kakakku Pelakor: Bab 11 - Bab 20

68 Bab

11. Juragan

Kupu-kupu yang indah memang lebih disukai orang dari pada ulat yang menggelikan. Kia bergidik sendiri saat menganalogikan dirinya sebagai ulat dan Biru sebagai kupu-kupu, ada rasa tak terima tapi itulah yang terjadi sekarang. Jika Biru yang bicara dan mengurus semuanya, semua dokter dan perawat itu memperlakukannya seperti pasien prioritas yang sedang sekarat.Meski ada untungnya juga mereka tak perlu menunggu lama untuk mendapatkan perawatan dan perawat muda tadi juga dengan senang hati mengambilkan obat untuk Kia, ‘adik Biru’ yang telah membuatnya terpesona. Dan Biru yang sadar betul dengan semua pesona yang dia miliki memanfaatkan itu sebaik mungkin untuk mempermudah urusannya meski masih dengan wajah datar tanpa senyum. Kia sampai heran sendiri, apa yang menarik dari laki-laki berwajah papan seperti itu? apa selera para wanita sekarang sudah berubah atau memang dia yang ketinggalan jaman? “Aku akan mengantarmu ke kontrakanmu,” gumam Biru tanpa menatap Kia. “Kamu tahu kontrak
Baca selengkapnya

12. Zafran

Hidup memang penuh dengan pilihan. Bahkan kadang dia tidak mampu untuk memilih satupun di antara, tapi tetap saja kita harus memilih yang terbaik dari yang terburuk sekalipun bukan. Setidaknya itulah yang dilakukan Kia saat ini. Dia dan sang ibu sudah membayar lunas rumah kontrakan ini selama satu tahun ke depan dan karena mereka bukan orang kaya yang bisa menghamburkan uang seenaknya, jadi pilihan mereka tinggal tetap menempati rumah kontrakan ini meski tidak menyukai pemiliknya kalau mereka masih ingin makan dengan benar paling tidak sebulan ke depan. “Jadi apa yang kamu lakukan dengan bapak ganteng itu, dek. Gosipnya menyebar dengan cepat.” Pagi-pagi sekali mbak Dilla memang sudah menyambangi kontrakannya dengan alasan akan mengajaknya berbelanja bulanan, tapi Kia curiga kalau itu hanya alasan saja supaya dia mendengar berita tadi malam dari mulutnya. “Dia menabrakku dan mengantarku pulang,” kata Kia sengaja menghilangkan bagian d
Baca selengkapnya

13. Dia

“Kia apa yang kamu lakukan! Siapa dia!” Kia menoleh pada mbak Dila yang berdiri dengan napas terangah-engah, mungkin wanita itu berlari mengikutinya juga. “Mbak ayo kejar mobil itu,” kata Kia yang membuat mbak Dila menotot. “Kita tidak bawa kendaraan Ki, dengan apa mengejar dan kita juga tidak punya sayap, kalau kamu lupa,” kata mbak Dila lambat-lambat seperti menerangkan pada anak kecil bandel, membuat Kia kesal. “Taksi pesan taksi... ponselku mati.. ayolah, mbak!” kata Kia mendesak.“Jika dia memang tidak ingin bicara denganmu percuma saja kamu mengejarnya.”  Kata mbak Dilla yang dengan perlahan membuka tasnya dan mengerluarkan ponselnya dari sana. Kia diam tidak ingin mengganggu, meski dia sudah tak sabar untuk mendapatkan taksi untuk mengejar mobil Zafran. “Aku sudah pesan tapi perlu waktu.” “Apa disekitar sini tidak ada taksi offline, biasanya mereka banyak di-“ “Memang tapi itu di depan sa
Baca selengkapnya

14. Tak Mudah

"KIa apa yang kamu lakukan, pergilah. Mas mohon," kata Zafran dengan raut wajah khawatir. Tapi Kia sama sekali tidak menggubris hal itu, dia tahu tindakannya ini salah dan sangat ceroboh, tapi rasa sakit dan kecewa dalam hatinya tidak bisa dia tahan lagi. Mbak Nina, kakaknya yang berharga diperlakukan seperti sampah oleh laki-laki yang harusnya melindunginya, apapun alasan pernikahan mereka Kia tidak terima mbak NIna diperlakukan seperti ini. "Kenapa aku harus pergi?" tanya Kia dengan nada menantang. "Ki, mas akan berikan apapun yang kamu inginkan. Mobil, uang yang banyak, rumah barang mewah semuanya, katakan saja, tapi tolong sekarang kamu pergi dulu," kata Zafran penuh permohonan. "Baguslah kalau mas sadar diri dan mau mengabulkan semua keinginanku," kata Kia sambil tersenyum lebar. Zafran menghela napas lega dan menarik tangan KIa ke luar pagar, tapi Kia tetap berdiri di tempatnya. "Tapi sayang bukan itu yang aku inginkan," kata Kia lamat-lamat, memastikan Zafran mendengar u
Baca selengkapnya

15. Pertemuan

Kia langsung menendang selimutnya begitu membuka mata dan mendapati jam dinding sudah menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Tidur lagi setelah subuh membuatnya sulit bangun tepat waktu. Kemarin memang bukan hari yang baik untuknya, tapi dia tidak ingin hari ini juga seburuk hari kemarin. "Ibu kenapa tidak bangunin Kia," protes KIa  sambil menyahut handuk dan berlari ke kamar mandi. Suara heboh guyuran air segera terdengar dan tak lama kemudian Kia sudah keluar dengan tubuh terbungkus handuk karena lupa membawa baju ganti. "Kia menatap ibunya dengan cemberut tapi sang ibu hanya tersenyum kecil. "Itu akibatnya kamu tidak mendengarkan ibu." "Tapi tetap saja, Bu-" "Kamu akan makin telat kalau terus protes." Kalimat itu cukup ampuh untuk membuat Kia berlari kembali ke kamar dan buru-buru mengenakan bajunya, juga buru-buru mengunakan make up ala kadarnya. 
Baca selengkapnya

16. Sama Saja

Ini bukan pertemuan yang diharapkan Kia sebenarnya. Dia memang berharap bertemu dengan Zafran setelah kematian mbak Nina untuk mendapatkan penjelasan dari laki-laki itu, tapi Kia sama sekali tidak mengharapkan bertemu di tempat seperti ini dengan suasana seperti ini. “Maaf.” Kia hanya mengangkat alis, menunggu. Tak ingin berkata apapun, karena tidak ingin ledakan amarah dan tangisnya tumpah. “Aku minta maaf untuk semuanya,” kata Zafran lagi pelan, sampai Kia yakin jika telinganya tidak tajam dia tidak akan bisa mendengarnya dengan jelas. Tapi Kia masih mempertahankan aksi diamnya. “Ki, tolong katakan sesuatu,” kata Zafran akhirnya setelah lama mereka hanya berdiam diri saja. Kia menatap Zafran tajam. “Aku mendengarkan,” katanya singkat. Zafran menghela napas panjang. “Pasti sulit bagimu untuk memaafkanku, aku tahu itu jadi hanya kata maaf yang bisa aku ucapkan.” “Kenapa kamu ingin menemuiku di sini?” tanya Kia akhirnya. Sungguh dia benci permintaan maaf yang diutarakan Zafran
Baca selengkapnya

17. Tak Terduga

Ada sesuatu yang aneh di sini. Zafran menutupi sesuatu dan Kia bisa merasakan itu. Meski mulut laki-laki itu hanya bungkam, tapi Kia bisa merasakannya. Ini tidak adil. Dia dan keluarganya adalah korban dari permainan konyol mereka, tapi kenapa dia sama sekali tidak boleh tahu alasannya, dan Kia sangat yakin seberapa keras pun Kia mendesak Zafran tidak akan buka mulut. Dua tahun menjadi adik iparnya Kia sedikit tahu karakter Zafran. Kia menyandarkan tubuhnya pada tiang dan menatap kejauhan dengan pandangan kosong. Pertemuannya dengan Zafran tidak menghasilkan apapun, semuanya tidak menjadi jelas malah lebih suram lagi dan Kia membenci ini semua. Kia memegang perutnya yang berbunyi, tapi dia tidak merasa lapar, perhatiannya sedang tercurah pada hal lain dan makan adalah hal yang terakhir dia inginkan. Hari sudah semakin malam dan Kia harus buru-buru pulang sebelum ibunya menjadi sangat khawatir d
Baca selengkapnya

18. Perhatian

“Ibu saya akan baik-baik saja kan?” tanya Kia dengan air mata berlinang. Ibu yang ada dipangkuannya masih diam seperti tadi, makin diam dan bertambah dingin, dengan tangan gemetar Kia meletakkan jarinya di depan hidung sang ibu dan saat dirasa ada aliran udara meski lemah dia menjadi sangat lega. Kia teringat kematian bapaknya yang begitu mendadak, tanpa pesan dan pemberitahuan, hanya meminta Kia mengambilkan air minum dan saat kembali dia mendapati bapaknya tak bernapas lagi. “Ibumu akan baik-baik saja, Nak. Yang bisa kamu lakukan sekarang hanya berdoa.” Kia hanya mengangguk, tak tahu harus bereksi seperti apa, sejak keluar rumah tadi dia tak henti-hentinya berdo’a dan merintih dalam hati supaya ibunya selamat. Ini memang kejadian yang tidak terduga, Kia pikir setelah kehilangan dua orang yang dia cintai, dia akhirnya bisa hidup tenang dengan sang ibu tanpa bayang-bayang kata karma yang sama sekali tidak bisa dia terima. Kia ingin menjerit dan menangis sekeras mungkin, kenapa h
Baca selengkapnya

19. Dua Orang Lelaki

Kia berjalan cepat di lorong rumah sakit dengan banyak barang bawaan di tangannya. Dia sudah menghubungi bi Asih dan memintanya untuk membantu menjaga ibunya selama Kia pergi bekerja, dia baru saja masuk kerja dan tidak mungkin bisa libur lama meski dengan alasan ibunya sakit. Akan tetapi bibinya itu tidak bisa segera datang karena anaknya juga sedang sakit. Kia yang menolak dengan tegas saat ibunya ingin pulang ke kontrakan saja meski kondisinya belum membaik, bagi Kia tidak masalah mengeluarkan uang lebih asal ibunya ada yang merawat di sini. Kia baru saja membuka ruang rawat ibunya dan akan mengumpat saat melihat tamu yang tak diundang ini. “Kenapa kamu di sini?” Biru hanya mengangkat alisnya sekilas, lalu memutuskan kembali bicara dengan ibu Kia, dan menganggap Kia hanya meja pajangan yang tidak berarti, dan sialnya sang  ibu juga mengabaikan kehadiaran Kia. Apa sih yang sebenarnya membuat ibu suka sekali bica
Baca selengkapnya

20. Tamu Tak Diundang

Kadang kita setengah mati menghindari masalah tapi masalah itu malah datang sendiri tanpa diundang. Keheningan langsung melingkupi ruangan itu, dingin dan mencekam, seolah berton-ton salju dijejalkan ke dalamnya dan Kia memecahkan semuanya. “Kau! Untuk apa ada di sini!” katanya dengan kasar. Rasa kecewa itu selalu datang saat Kia mengingat kakaknya dan Zafran, beberapa hari yang lalu dia memang sangat ingin bertemu dengan Zafran d an mengorek keterangan darinya tentang ini semua, akan tetapi Kia sadar seseorang yang telah membuang kakaknya begitu saja di hari kematiannya tidak akan mau mengatakan kalau dia juga turut bersalah dalam pernikahan itu, apalagi alasan yang dapat menyudutkannya sekecil apapun itu. Dan Kia memutuskan tidak akan bertanya pada Zafran lagi, kecuali dia punya bukti nyata yang tak terbantahkan. “Kia.” Kia menoleh saat mendengar teguran ibunya. Dia langsung cemberut, tentu saja ibunya yang baik hati itu tidak akan setuju dengan tindakan kasarnya, meski Zafran
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1234567
DMCA.com Protection Status