Kia berjalan cepat di lorong rumah sakit dengan banyak barang bawaan di tangannya. Dia sudah menghubungi bi Asih dan memintanya untuk membantu menjaga ibunya selama Kia pergi bekerja, dia baru saja masuk kerja dan tidak mungkin bisa libur lama meski dengan alasan ibunya sakit. Akan tetapi bibinya itu tidak bisa segera datang karena anaknya juga sedang sakit. Kia yang menolak dengan tegas saat ibunya ingin pulang ke kontrakan saja meski kondisinya belum membaik, bagi Kia tidak masalah mengeluarkan uang lebih asal ibunya ada yang merawat di sini. Kia baru saja membuka ruang rawat ibunya dan akan mengumpat saat melihat tamu yang tak diundang ini. “Kenapa kamu di sini?” Biru hanya mengangkat alisnya sekilas, lalu memutuskan kembali bicara dengan ibu Kia, dan menganggap Kia hanya meja pajangan yang tidak berarti, dan sialnya sang ibu juga mengabaikan kehadiaran Kia. Apa sih yang sebenarnya membuat ibu suka sekali bica
Kadang kita setengah mati menghindari masalah tapi masalah itu malah datang sendiri tanpa diundang. Keheningan langsung melingkupi ruangan itu, dingin dan mencekam, seolah berton-ton salju dijejalkan ke dalamnya dan Kia memecahkan semuanya. “Kau! Untuk apa ada di sini!” katanya dengan kasar. Rasa kecewa itu selalu datang saat Kia mengingat kakaknya dan Zafran, beberapa hari yang lalu dia memang sangat ingin bertemu dengan Zafran d an mengorek keterangan darinya tentang ini semua, akan tetapi Kia sadar seseorang yang telah membuang kakaknya begitu saja di hari kematiannya tidak akan mau mengatakan kalau dia juga turut bersalah dalam pernikahan itu, apalagi alasan yang dapat menyudutkannya sekecil apapun itu. Dan Kia memutuskan tidak akan bertanya pada Zafran lagi, kecuali dia punya bukti nyata yang tak terbantahkan. “Kia.” Kia menoleh saat mendengar teguran ibunya. Dia langsung cemberut, tentu saja ibunya yang baik hati itu tidak akan setuju dengan tindakan kasarnya, meski Zafran
Ini lima belas menit yang menegangkan dan terasa sangat lama bagi Kia. “Mereka sudah terlalu lama di dalam,” kata Kia sambil menatap arlojinya dengan tidak sabar. “Mereka baru lima belas menit lebih, kalau kamu lupa,” jawab Biru sinis. “Itu lama, waktu yang cukup untuk Zafran menyakiti ibuku,” Ketus Kia. Biru langsung menatap Kia tajam, tapi mana mau gadis itu peduli, Biru bukan siapa-siapanya, hanya orang usil yang kebetulan adalah atasannya. Kia membuka ruang rawat ibunya tanpa mengetuk lagi dan dua orang yang ada di dalam sana menatap dengan kaget kehadiran Kia. “Waktu kalian sudah habis,” katanya tenang sambil menunjuka arlojinya. Baik sang ibu maupun Zafran hanya diam tak bergerak. “Di sini pintu keluarnya,” kata Kia lagi menekankan maksudnya, dan matanya menatap tajam pada Zafran. Laki-laki itu mengangguk dan berpamitan pada sang ibu, tapi saat Zafran mengambil tangan sang ibu untuk dicium, Kia bur
"Ada apa rame-rame di rumah kita, KI?" Kia menatap melongok ke luar jendela mobil dan matanya membulat sempurna saat beberapa tetangga telah berkerumun di depan rumahnya. Peraasaannya langsung tak enak, terakhir kali banyak orang di depan rumah kontrakannya adalah saat ibunya sedang sakit, tapi ibu sedang bersamanya sekarang dan dalam keadaan baik-baik saja. "Mungkin mereka ingin menjenguk ibu," kata Zaffan dari kursi pengemudi. Mereka memang akhirnya pulang bersama Zafran, karena sang ibu melarang Kia memanggil taksi dan dia terpaksa menuruti permintaan sang ibu.Perlahan KIa membantu sang ibu turun dari mobil, sedangkan Zafran tanpa diminta membawakan barang bawaan mereka. "Akhirnya bu Munaroh pulang juga dari rumah sakit," kata Bu RT yang mewakili ibu-ibu yang lain. "Ada apa, Bu?" tanya Kia dengan bingung matanya menatap semua orang yang hari ini memadati teras rumahnya. KIa buru-buru membuka pintu dan mempersilahkan mereka masuk, apapun yang mereka inginkan akan lebih baik
Kau tahu rasanya saat sebuah harapan yang sedikit berkembang langsung menghilang dalam sekejap mata dan kita bahkan tak mampu untuk mencegahnya. Itulah yang saat ini terlihat di mata sang ibu, dan Kia sekali lagi menyesalkan harapan sang ibu yang kadung tersemai, meski dia tidak tahu harapan apa yang Zafran berikan pada ibunya. "Kia membencinya... sangat membencinya," kata Kia tegas. Pandangan mereka bertemu dan tak perlu kata untuk mereka saling mengerti satu sama lain, mereka memikirkan orang yang sama yang kemungkinan mengalami ini semua. "Ki, kita dan mbak Nina berbeda posisi." "Benar, kita memang berbeda tapi kemungkinan mendapat perlakuan yang sama, satu hal yang wajar memang," kata Kia dengan pandangan menerawang jauh, dia sama sekali tidak mengerti dengan pilihan mbak Nina, dan dia semakin yakin ini bukan hanya soal cinta semata. "Apa yang tidak ibu ketahui tentang mereka tapi tidak KIa tahu?" "Apa maks
Kia menyelesaikan laporannya dengan otak penuh, dia bahkan sangat khawatir kalau laporannya akan berantakan. Tapi tidak mungkin juga dia tidak mengerjakannya. “Aduh otakku mohon kerja samanya dong,” gerutu Kia kesal. Dia menengok Lita yang sudah asyik dengan komputernya sendiri, sama sekali tidak terganggu dengan cerita yang baru saja dia sampaikan. Sampai jam istirahat siang, Kia berusaha keras berkonsentrasi pada laporan yang sedang dia kerjakan, bahkan beberapa kali dia salah mengetikkan angka dan harus mengulang dari awal, baru saat atasannya muncul setengah jam sebelum makan siang, Kia baru mendapatkan moodnya untuk kembali ke laporannya. “Tumben kamu lama sekali mengerjakan laporan kecil itu,” komentar Lita, saat Kia buru-buru mengirim laporannya pada atasan mereka saat jam makan siang sudah hampir berlalu. Kia langsung cemberut melihat Lita, apalagi dia meliihat wanita itu meminum es buah yang segar dan dia yang kelaparan dan kehausan hanya bisa meminum air putih di meja
Hari ini Zafran kembali datang ke kontrakan mereka. Kia yang baru saja turun dari ojek langsung menghela napas kesal saat melihat mobil yang terparkir di halaman rumah. “Tu orang nggak ada kapoknya sudah aku usir,” gerutu Kia. “Kembaliannya, mbak.” Kia menoleh dan menatap uang kembalian yang disodorkan tukang ojek. “Buat bapak saja, terima kasih sudah diantar.” Kia yakin muka tersenyumnya pasti sedikit aneh saat melihat wajah melongo tukang ojek yang membawanya. “Oh... sama-sama, mbak,” katanya. Kia sudah akan mencapai pintu saat dia mendengar suara motor tukang ojek meninggalkan halaman rumahnya. “Ini tidak bisa menerima ini, Nak. Maaf sebaiknya kamu bawa pulang saja.” terdengar suara ibunya dan Kia buru-buru melepas sepatunya dan mengumumkan kehadirannya dengan mengucapkan salam. Kia sempat melirik tangan sang ibu yang menyembunyikan sebuah kertas di balik tubuhnya. Kia menyipitkan mata curig
Akhir minggu yang Kia tunggu-tunggu akhirnya datang juga. Kia sudah mandi dan berdandan, dia hanya tinggal menunggu Bi Asih yang katanya akan datang dari kampung. Anak-anak Bi Asih libur sekolah dan suaminya yang bekerja di salah satu penggilingan padi di desa mereka juga libur, dan rencana kedatangan Bi Asih di sambut baik. “Kamu jadi pergi, Ki. Bibimu jauh-jauh dari desa kamu malah tidak di rumah,” kata ibunya. Kia hanya nyengir, dia tidak mungkin mengatakan pada ibunya apa yang akan dia lakukan. Kia yakin ibunya tidak akan setuju. Bagi ibunya kasus meninggalnya mbak Nina sudah selesai dan mereka harus mengihlaskan kepergiaan mbak Nina dan bapak, tapi mengihlaskan bukan berarti melupakan bukan. “Maaf bu. Kia sudah janji mau main ke rumah teman, tidak enak kalau tiba-tiba dibatalkan, sebentar nanti pulang,” kata Kia dengan senyum semanis mungkin supaya ibunya luluh. Kia membantu ibunya menyiapkan beberapa makanan untuk menyambut kedatangan bi Asih dan keluarganya. Tepat puk
Kia sama sekali tidak pernah mendengar kabar Renata lagi sejak Zafran mengatakan akan menceraikan wanita itu. Bahkan Biru yang biasanya akan sibuk membela kakak sepupunya itu terlihat juga enggan untuk membicarakan wanita itu, dan Kia juga berusaha keras menjaga mulutnya meski rasa penasaran menderanya Tapi hari ini tiba-tiba saja Biru menghampirinya dengan wajah panik. "Ki, aku ingin menjenguk mbak Rena apa kamu mau ikut?" tanyanya. Kia mengangkat alis. "Apa harus?" tanyanya. "Bagaimanapun mereka yang sudah membesarkanku dan mbak Rena pernah memperlakukan aku dengan baik, aku hanya-" "Bukan itu maksudku tapi apa aku harus ikut kamu ke sana? kamu tahu sendiri bagaimana mereka?" Biru menghela napas, dan mengangguk dengan mantap. "Kamu calon istriku, aku hanya ingin terbiasa terbuka padamu, lagi pula aku tahu mbak Rena dan bibiku, mereka pasti akan membuat dr
Kia terus saja menarik tangan Biru keluar dari rumah, mengabaikan panggilan ibunya dan juga protes Biru yang kepalanya langsung pusing. "Kia kamu mengajakku kemana, kalau masalah mahar dan kapan kita menikah kenapa tidak dibicarakan dengan mereka juga," gerutu Biru, tapi Kia sama sekali tak peduli dia terus menarik tangan Biru dan baru berhenti saat mereka sudah ada di samping rumah Kia barus melepaskannya. "Bapak seharusnya balik lagi ke rumah sakit, benar kata dokter bapak belum sembuh benar." Bukannya menjawab Biru malah menatap Kia dengan wajah kesal. "Siapa yang kamu panggil bapak," katanya. Kia menghela napas panjang menatap Biru dengan kesal. "Apa sebenarnya maksudmu mengatakan itu pada ibuku?" tanya Kia judes, bukan apa-apa, setelah kematian mbak Nina dan mereka pindah ke sini ibunya sudah terjangkit virus, ibu minta mantu. Dan tiba-tiba saja ada laki-laki yang melamar putrinya,Kia yakin sang ibu tak akan pikir pan
"Sudah aku duga," kata Kia terkesan tak peduli.Sekarang dua laki-laki di depannya itu yang terkejut. "Kenapa kamu berpikir begitu?" tanya Biru. Kia menatap Biru seolah laki-laki itu datang dari dunia lain. "Wanita itu, Felly masih muda dan sangat cantik, juga kaya. Sayang sekali, padahal aku ingin melihat drama istri pertama dan istri ketiga, kalau mbak Nina aku tak yakin dia bisa menentang Renata yang berkuasa dan dicintai suaminya." Sunyi yang menegangkan langsung tercipta setelah Kia mengatakan kalimat panjangnya. Dia sadar kedua laki-laki di depannya ini pasti tidak akan suka dengan kelimatnya, tapi Kia tidak mau peduli. "Makanlah buburmu keburu dingin," kata Kia mengambil sendoknya lagi dan menyuapkan makanan dengan nikmat seolah tak terjadi apapun." "Kamu masih menyalahkan, Mas atas kematian mbakmu, KI?" tanya Zafran pelan. "Tidak penting bukan bagaimana perasaanku, karena kamu salah atau tidak kam
Pantas saja Biru meminta Kia untuk merawatnya tanpa khawatir dijulitin tetangga, ternyata laki-laki itu tinggal di salah satu apartemen yang biasanya hanya Kia lihat iklannya di televisi. "Kamu tinggal di sini?" pertanyaan konyol sebenarnya, karena jelas-jelas Biru mengajaknya ke mari setelah pulang dari rumah sakit, dan perlu digaris bawahi 'pulang paksa' yang kecil kemungkinan membuatnya harus mampir main ke rumah teman dulu. "Ada yang aneh?" tanya Biru. Kia tak menjawab dia lalu menatap ke luar. Jarak kantor dengan apartemen ini mungkin kira-kira hanya sepuluh menit perjalanan dengan menggunakan mobil atau Kira-kira lima belas menit dengan rumah kontrakan KIa dan juga rumah milik Biru. "Aku kira kamu tinggal di dekat rumah kontrakanmu," kata Kia, tapi mungkin dia langsung sadar orang seperti Biru tidak mungkin selevel tinggal di kampung seperti dirinya. "Aku hanya tidak ingin ribet urusan kecil masalah kebersihan dan keamanan misalnya, di sini semuanya sudah ditangani menagem
"Kulihat lukamu tidak terlalu parah." Ini kejutan, bahkan Biru sepertinya tidak menyangka kalau sang bibi akan datang menjenguknya, tanpa Zafran, Renata atau suaminya. "Bibi datang," kata Biru setelaj berhasil mengatasi keterkejutannya, Kia sendiri langsung melompat dari duduknya saat tahu siapa yang datang, dan dia yang tahu diri segera menyingkir karena wanita itu menatap Kia seolah dia adalah hama penggangu. Tidak heran sih, apalagi setelah kejutan yang Kia tampilkan dalam pesta waktu itu. "Ckk kamu memang benar-benar merepotkan, untuk apa kamu mengumpankan diri hingga terluka." Biru terlihat tak setuju dengan kata-kata sang bibi, dan ingin membantah. Dia menatap Kia sejenak dan melihat Kia yang menggeleng tak kentara. Bukan Kia sok baik atau apa sih, tapi dia hanya tidak ingin Biru merasa sendiri, dia tahu meski sang bibi tak terlalu memperhatikannya, Biru sangat menyayangi bibinya. "Aku datang bersama Kia," kata Biru singkat. "Aku tidak tahu dari sekian banyak wanita ya
"Apa aku perlu menghubungi keluargamu yang lain?" tanya Kia. Biru menggeleng. "Kamu bisa pulang, maaf tidak bisa mengantarmu," katanya datar. Kia menatap laki-laki itu tak enak hati. Miris memang setahunya di saat Renata sakit waktu itu, Biru bilang ikut menjaganya di rumah sakit, tapi sekarang saat laki-laki itu sakit dan itu karena uah Renata, tidak ada satupun dari mereka yang bahkan datang menyusul. Kia menggeleng bukankah dia tidak boleh berburuk sangka, mungkin saja mereka masih capek atau sibuk dengan pesta itu. "Aku sudah menghubungi temanku, untuk mengatakan pada ibu, aku akan menemanimu di sini." Biru menatap Kia dengan pandangan antara ingin tersenyum juga tak percaya. "Kenapa kamu melakukan ini?" tanya Biru. Kia meluruskan duduknya dan membenarkan rambutnya. "Melakukan apa?" tanyanya tak mengerti. "Membawaku ke rumah sakit dan mengurus semuanya, padahal kamu bilang tidak mau jadi pacarku apa
Tidak ada senyum di wajah Renata sepanjag acara itu berlangsung. Bagi Kia hal itu cukup wajar, Jika dia yang mendapati suaminnya menikah lagi, mungkin bukan hanya wajahnya yang masam, tapi dia akan langsung balik badan dan tak akan mau melihat wajah mereka lagi. Kia akan sangat mengagumi ketegaran Renata, andai saja.... "Kenapa tidak langsung menikah?" bisik Kia pada Biru yang pandangannya masih terpaku pada prosesi tukar cincin pada pasangan calon pengantin. "Wanita itu anak orang kaya bukan, dia pasti ingin pesta yang selayaknya." "Meski dia istri kedua," kata KIa sinis. "Yah mau bagaimana lagi, dia cintanya sama mas Zafran.""Kamu yakin itu cinta, bukan karena tujuan lain?" Sepertinya Kia sudah ketularan penyakit julid LIta. Biru kembali mengangkat bahunya. "Kamu bilang ingin melihat mereka menikah, tapi kamu kenapa pertanyaanmu seolah kamu tidak suka dengan calon istri mas Zafran." "Bukan tidak suka sih, hanya kok tidak masuk akal saja." "Bukankah cinta katanya mem
"Kamu yakin ini rumah calon istri ketiga Zafran?" tanya Kia sekali lagi. Dia sampai melangkah ke depan Biru dan menatap laki-laki itu tajam, seolah mencari kebohongan di wajahnya. "Tentu saja mbak Rena minggu lalu mengajakku kemari, dan maaf kali ini tidak seperti pernikahan mas Zafran dan kakakmu yang hanya diketahui mereka saja, sekarang semua keluarga besar tahu." "Mereka juga mendukung, termasuk om dan tantemu?" tanya Kia dan anggukan yang diberikan Biru membuat Kia menggelenng tak percaya. "Dan kamu juga mendukungnya?" "Kalau bisa aku ingin menghentikannya, untuk itulah aku mengajakmu ke sini." "Aku tidak punya hak." "Aku tahu, tapi kamu akan mengingatkan mereka pada kasus kakakmu, lagi pula ini acara keluarga dan sudah sepantasnya aku mengajak teman dekatku," jawab Biru mantap. Kia tak menjawab dia kembali berbalik dan menatap bangunan di depannya, bukan bangunan modern yang megah memang, bahkan bagian depan di dominasi oleh kayu berukir rumit khas jawa. "Sepertinya me
"Aku tidak ada bersamanya waktu itu, kamu pasti sudah tahu aku dengar kamu bertanya pada beberapa orang." "Dan mereka pasti mengatakan seperti yang kamu mau." Zafran menatap Kia terkejut tapi tidak menjawab, dan itu menguatkan dugaan Kia. "Aku tidak tahu kalau dia hamil sebenarnya, tapi aku punya dugaan dari perubahan sikap dan bentuk tubuhnya, juga siklus bulanannya, kamu tahu bukan." Kia buru-buru mengangguk. "Aku meminta Biru untuk membelikan obat penggugur kandungan, aku tidak langsung menyuruhnya hanya mengatakan sambil lalu obat apa itu dan mungkin saja dia membutuhkan, NIna waktu itu hanya tersenyum, tapi dia pasti tahu kalau aku tidak menginginkan anak yang dikandungnya, tepatnya aku khawatir dengan masa depan anak itu." "Karena kamu tidak mencintai ibunya." "Aku menyayangi Nina... tapi aku terlalu lemah," jawab Zafran sambil menunduk. Kia menatap Zafran dengan jijik. "Andai aku tahu itu lebih cepat, aku akan menyeret mbak NIna meninggalkanmu, dan kamu pantas untuk itu.