Home / Romansa / Mereka Bilang Kakakku Pelakor / Chapter 41 - Chapter 50

All Chapters of Mereka Bilang Kakakku Pelakor: Chapter 41 - Chapter 50

68 Chapters

41. Hilang Arah

Lelah dan kelaparan. Kia berinisiatif memesan makanan secara online tidak ada tenaga lagi untuk pergi keluar mencari makanan, tenaga mereka sudah banyak terkuras untuk mengobrak abrik rumah ini juga rasa kesewa karena belum bisa menemukannya. Paling tidak bagi Kia itu adalah solusi yang masuk akal untuk mereka. Dia tidak mungkin membiarkan mbak ratih dan dirinya tumbang hanya karena kurang makan. Itu tidak keren sama sekali. “Mungkin kamu bisa mencoba bertanya pada Zafran tentang dokumen itu,” kata mbak Ratih di sela kunyahannya, tapi kemudian tersedak sambal yang tanpa sengaja dia makan, buru-buru Kia mengangsurkan sebotol air mineral. “Terima kasih,” katanya setelah menghabiskan setengah botol air. Kia hanya tersenyum lalu melanjutkan. “Dia bahkan tak mengatakan apapun tentang itu, dia mungkin berusaha melindungi istrinya,” katanya dengan sebal. “Tidak aneh bahkan dia mau menikahi Nina yang tak terlalu dikenalnya untuk memenuhi permintaan istrinya.” Kia tertawa sumba
Read more

42. Pesona Biru

Biru benar-benar tidak ingin memberikan Kia kesempatan bernapas lega. Tumpukan pekerjaan memenuhi meja kerja Kia, padahal kemarin dia hanya tidak masuk kurang dari satu hari kalau saat dia sebelum pingsan itu dihitung, tapi tumpukan pekerjaan di mejanya menyaingi menara eiffel. Melebih-lebihkan memang tapi melihat tingginya tumpukan map yang ada di depannya membuat kepala Kia pusing sendiri. “Seperti tidak ada karyawan lain selain aku saja di sini,” gerutunya sebal. “Dia sangat percaya padamu, kerjamu pasti bagus.” Kia menoleh pada Lita yang mengatakannya seoalah tumpukan pekerjaan itu adalah hadiah istimewa dari Biru. Dia menatap iri pada meja Lita yang bersih dan rapi. “Aku lebih suka dia tidak percaya kalau begitu,” kata Kia dengan sebal. Lita menatap Kia seolah-olah gadis itu sudah gila tapi Kia sama sekali tidak peduli, dia sibuk dengan berbagai dokumen yang ada di  depannya. Hampir jam makan siang saat Kia s
Read more

43. Panggilan

“Cie ada yang sudah menemukan calon imam nih, aku setuju seratus persen jika itu kamu.” Kia hampir saja menjatuhkan ponselnya, wajahnya bersinar penuh semangat setelah mendapat telepon dari mbak Ratih yang mengatakan kalau dia sudah menemukan dokumen itu, terkubur di bawah pohon mangga di belakang rumah mbak Nina seperti perkiraan mereka malam itu. Mbak Ratih juga minta maaf karena tidak langsung mengabari Kia, karena suaminya menelpon dan memintanya cepat pulang. Telpon mbak Ratih menyelamatkan Kia dari Biru yang dengan entengnya bahkan menyeret Kia ke mushola untuk diajak sholat berjamaah setelah dia menyerah pada makanannya. Dan Kia yang sangat tidak imun dengan wajah laki-laki yang baru saja tersentuh air wudhu – apalagi Biru memang ganteng banget. Jadi salah tingkah dan buru-buru kabur dengan alasan ada telepon, bahkan lmelipat mukenahnya dengan asal.“Apaan sih,” sentak Kia kesal, tapi bukannya takut Lita malah menggodanya habis-habisan. Jika si ember Lita yang punya beri
Read more

44. Syarat

“Ibu... ibu tidak akan pernah menyangka hubungan kita dengan Zafran akan  jadi seburuk ini, mbak Nina sudah meninggal dan ibu pikir tidak ada salahnya kalau kita menjalin hubungan baik dengannya, dia anak yang baik terlepas dari keputusannya dan mbak Nina.” Kia tidak tahu jika hari ini akan menjadi seburuk ini, dia tidak menyangka akan melihat kesedihan dan ... penyesalan di mata ibunya, rasa bersalah yang dirasakan ibunya membuat sang ibu terlihat lebih tua dari usianya. “Ini sudah terjadi, dan bukan salah ibu.” Kia merangkul bahu sang ibu dan membawanya masuk ke dalam. Membuatkannya secangkir teh dan membantunya untuk duduk di ranjangnya yang hangat. “Katakan pada ibu apa yang akan kamu lakukan, kedatangan Ratih pasti bukan hanya untuk mengunjungi ibu.” Kia menghela napas dalam, dia bimbang sesaat tapi tahu ibunya tidak akan berhenti untuk mencercanya hingga mengatakan apa yang sebenarnya. “Mbak Nina menikah dengan Zafran
Read more

45. Sakitnya

Bukankah orang mati itu tidak akan merasakan sakit lagi. Paling tidak jantungnya tidak akan terasa sakit karena sudah berhenti berdetak dan semua saraf-saraf dalam tubuhnya juga tak lagi berfungsi lagi dan tidak akan mampu mengirim sinyal ke otaknya.Kia memang belum pernah mati, tapi dia yakin orang mati tidak akan bisa merasakan sakit lagi, paling tidak sakit di badannya. Untuk pertama kalinya setelah kematian mbak Nina maupun bapak, Kia merasa meninggalnya mereka adalah hal yang terbaik yang bisa terjadi dari pada merasakan semua kesakitan ini. "Ibu!" Begitu sampai di rumah kontrakannya Kia langsung memeluk ibunya dan menangis di pelukan wanita yang telah melahirkannya itu. "Ada apa, Ki? apa ada yang menggaumu? Bagaimana si kantor polisi tadi?" Telinga Kia bisa mendengar semua yang dikatakan ibunya, tapi dia sama sekali tidak bisa menjawab semua pertanyaan itu. Mulutnya terasa kaku tak bisa berucap apapun. Hatinya terasa begitu sakit, sakit yang bahkan tak berdarah tapi me
Read more

46. Si mulut Manis

Jika Kia pikir dia akan dijemput dengan ambulance desa, dia salah besar."Bibimu benar-benar datang KI," kata sang ibu saat sebuah mobil suv memasuki halaman rumah mereka, bukan mobil mewah memang tapi tentu saja bukan pula mobil murahan.Kia meringis, beberapa kali dia menghubungi bibinya menanyakan kebenaran hal itu. Bibinya memang punya selera humor yang tinggi, tapi Kia akan sangat kecewa jika ini adalah salah satu guyonan bibinya. Di sana mereka sudah tidak diterima dan tiba-tiba sang bibi bilang sekarang mereka sangat diharapkan kedatangannya oleh orang nomer satu di sana, setelah sebelum mereka bernapas atau tidak tidak ada yang peduli. "Ayo berangkat, kok malah bengong," kata bi Asih begitu Kia dan ibunya sudah menjawab salamnya, dan tentu saja dia turun tidak sendiri, pak Lurah dan sang istri secar khusus yang menjemput mereka tanpa sopir. "Ehm... si...silahkan masuk dulu, Pak, bu, sebentar saya buatkan minuman dulu." "Tidak usah bu, benar kata bu Asih kita sudah ditunggu
Read more

47. Putus

Zafran menoleh pada Kia dengan pandangan memohon, tapi Kia segera memalingkan wajahnya dengan pedih. Dia tidak suka kebohongan Zafran, tapi dia juga tidak bisa menolak semuanya. Ada yang berdenyut nyeri di hatinya, Kia meraih tangan sang ibu yang begitu dingin di sampingnya. "Semuanya akan baik-baik saja, KI," kata sang ibu. "Iya, Bu. semuanya akan baik-baik saja" kata KIa lebih untuk meyakinkan dirinya sendiri. "Waktu itu istri pertama saya yang sedang hamil begitu terpukul dengan kepergian Nina, jadi dia drop dan mau tak mau saya harus pergi." Kia mendecih sinis mendengar jawaban Zafran. Dia begitu takut istrinya disalahkan, batin KIa geram."Dan keluargamu menawarkan pada keluarga NIna supaya menjauhimu." Kia memperhatikan raut wajah Zafran yang terkejut dengan berita itu. Dia bahkan terdiam menatap tak percaya pada orang yang bertanya tadi, tapi beberapa orang juga menyerukan hal itu. Zafran menoleh pada Kia dan ibunya, dan sekali lagi Kia hanya bisa menerbitkan seny
Read more

48. Sedikit Berguna

Normalnya, orang akan sangat senang jika menerima kiriman makanan apalagi makanan mahal. Tapi Saat tahu siapa yang mengirimnya Kia jadi tak berselera makan. "Kapan terakhir kamu pacaran, Ki?" Ditanya seperti itu Kia hanya bisa mengerjapkan matanya bingung. "Kok tiba-tiba tanya gitu?" "Yah kadar kepekaanmu itu nol persen bahkan hampir minus," omel LIta yang membuat Kia sebal. "Apa ini soal makanan ini." kata Kia yang memang bermaksud memberikan makanan mahal ini pada LIta, Kia kira wanita itu akan sangat gembira karena si pengirim makanan adalah orang yang dia kagumi. Akan tetapi rasa kagum LIta ternyata tak lebih besar dari pada jiwa bergosipnya. "Mungkin, kmau harusnya menghargai pemberian orang lain," katanya ketus. Kia memutar kursinya dan sekarang menatap LIta penuh tanpa melakukan apapun, demikian juga wanita itu yang langsung menghadap Kia dan menatapnya dengan sama menantangnya. "Aku akan memberikan padaa yang lain jika kamu mau, aku pkikir kamu tadi-" "A
Read more

49. Undangan

Wanita itug masih secantik yang terakhir dia lihat, penampilan mahal juga membantu menyokong kecantikannya. Pantas saja Zafran cinta mati padanya sampai membuatnya buta dan tega menggadaikan segalanya. "Akhirnya kamu turun juga," kata Wanita itu begitu Kia berjalan keluar dari dalam kantor dan menghampiri meja resepsionis. Kia melirik dua orang resepsionis yang menatap dengan penasaran. "Ada apa sepertinya kamu sangat pandai membuat keributan." Kia tahu cara bicaranya sangat tidak sopan. "Hanya ingin sedikit bicara." Kia menaikkan alisnya menatap wanita itu yang menatapnya dengan dagu terangkat. "Aku sedang bekerja, aku bukan orang kaya yang bisa hidup mendahkan tangan saja," kata Kia tenang, sebenarnya dia sama sekali tidak bermaksud menyindir kok, tapi melihat wajah merah padam wanita di depannya... jujur saja Kia sangat menikmatinya. Kia berjalan keluar dari kantornya, dia tidak mau nanti pembicaraan mereka apapun itu akan di dengar oleh orang lain. Ini bukan cafe mem
Read more

50. Baju Pesta

Kia tidak pernah punya perasaan yang baik untuk Renata, bahkan dipertemuan pertama mereka, atau barang kali sejak mendengar wanita itu ada dalam hidup Zafran. "Aku tidak terlalu kenal dia sih, tapi yang aku tahu memamg dia bukan wanita yang baik hati dan tidak sombong." Kia nyengir, merasa dia punya komplotan untuk menjelek-jelekkan Renata, kalau dengan sang ibu yang ada dia akan dapat omelan. "Jadi menurut mbak apa aku tidak usah datang?" tanya Kia. Saat ini dia memang menyempatkan diri ke rumah orang tua mbak Ratih sebelum minggu depan wanita itu akan kembali ke pulau sebrang. "Ya mbak nggak bilang begitu juga sih, mbak hanya bilang terserah kamu, kalau kamu tidak datang mereka akan semakin menekanmu, kalau menurut ceritamu kalau dia sudi berlama-lama di lobi kantormu hanya untuk bicara." "Jadi mbak sependapat denganku kalau undangan itu pasti punya maksud tertentu." Mbak Ratih meringis. "Sulit untuk tidak berprasangka begitu," katanya. "Apa menurut mbak dokumen itu bis
Read more
PREV
1234567
DMCA.com Protection Status