Wanita itug masih secantik yang terakhir dia lihat, penampilan mahal juga membantu menyokong kecantikannya. Pantas saja Zafran cinta mati padanya sampai membuatnya buta dan tega menggadaikan segalanya. "Akhirnya kamu turun juga," kata Wanita itu begitu Kia berjalan keluar dari dalam kantor dan menghampiri meja resepsionis. Kia melirik dua orang resepsionis yang menatap dengan penasaran. "Ada apa sepertinya kamu sangat pandai membuat keributan." Kia tahu cara bicaranya sangat tidak sopan. "Hanya ingin sedikit bicara." Kia menaikkan alisnya menatap wanita itu yang menatapnya dengan dagu terangkat. "Aku sedang bekerja, aku bukan orang kaya yang bisa hidup mendahkan tangan saja," kata Kia tenang, sebenarnya dia sama sekali tidak bermaksud menyindir kok, tapi melihat wajah merah padam wanita di depannya... jujur saja Kia sangat menikmatinya. Kia berjalan keluar dari kantornya, dia tidak mau nanti pembicaraan mereka apapun itu akan di dengar oleh orang lain. Ini bukan cafe mem
Kia tidak pernah punya perasaan yang baik untuk Renata, bahkan dipertemuan pertama mereka, atau barang kali sejak mendengar wanita itu ada dalam hidup Zafran. "Aku tidak terlalu kenal dia sih, tapi yang aku tahu memamg dia bukan wanita yang baik hati dan tidak sombong." Kia nyengir, merasa dia punya komplotan untuk menjelek-jelekkan Renata, kalau dengan sang ibu yang ada dia akan dapat omelan. "Jadi menurut mbak apa aku tidak usah datang?" tanya Kia. Saat ini dia memang menyempatkan diri ke rumah orang tua mbak Ratih sebelum minggu depan wanita itu akan kembali ke pulau sebrang. "Ya mbak nggak bilang begitu juga sih, mbak hanya bilang terserah kamu, kalau kamu tidak datang mereka akan semakin menekanmu, kalau menurut ceritamu kalau dia sudi berlama-lama di lobi kantormu hanya untuk bicara." "Jadi mbak sependapat denganku kalau undangan itu pasti punya maksud tertentu." Mbak Ratih meringis. "Sulit untuk tidak berprasangka begitu," katanya. "Apa menurut mbak dokumen itu bis
"Ih cantik banget yei, tuh sampai ada yang air liurnya netes." MUA yang gemulai munjuk Biru sambil tertawa terkikik dan benar saja, di sofa tempatnya tadi menunggu, Biru sudah berdiri sambil membawa korannya menatapnya dengan ternganga. "Bagaimana hasil karya eike?" tanyanya sambil menggandeng Kia mendekati Biru. Hells ini begitu menyusahkan harus membuatnya berjalan ekstra hati-hatib kalau tidak mau terjengkang, belum lagi gaun panjang yang membuatnya makin sulit untuk berjalan. fix dia butuh tongkat penyangga supaya tidak jatuh. "Bagus sekali," kata Biru yang cepat-cepat menaruh koran yang dia bawa ke tempatnya dan tanpa menatap lagi pada Kia buru-buru membuka pintu dan berjalan keluar. "Lho mas ganteng mau kemana? ini mbaknya masak ditinggal nanti nyusuk," teriak si MUA dengan gayanya yang gemulai. Biru yang kesal diteriaki seperti itu langsung berbalik dan menghampiri Kia. "Memangnya kamu tidak bisa jalan sendiri, manja banget sih," gerutunya saat di depan Kia. "Eh gante
"Ini dia bintang utama kita sudah datang."Mula-mula Kia kira kalau kata-kata itu ditujukan pada orang lain, tapi saat pandangan Renata tertuju pada mereka, Kia malah mengernyit heran. "Ibu tidak ikut, Ki?" Menggandeng Renata yang malam ini tentu saja luar biasa cantik dengan gaun mewahnya, Zafran mengulurkan tangan pada kia."Tidak," jawab Kia sambil menjabat tangan laki-laki itu, sempat tergoda juga untuk mengabaikan tangan itu, tapi dia langsung ingat pada ibunya. "Ibu merasa bersalah padamu, Nduk. Ibu kira ibu dan bapak sudah mengajarkan sopan santun yang baik padamu." Melihat wajah kecewa sang ibu tentu saja adalah hal terakhir yang diinginkan KIa. Lalu dia menyalami juga Renata yang mengulurkan tangannya, dan wanita itu menarik Kia dalam pelukannya. "Sebuah kehormatan kamu mau datang malam ini," bisiknya dengan lembut, tapi Kia bisa mendengar nada berbahaya d
Ruangan yang semula riuh menjadi senyap, semua orang memperhatikan layar besar di belakang pelaminan, semula dua pengantin yang berbahagia itu tidak menyadari apa yang terjadi sampai sebuah suara yang Kia yakin mereka kenali terdengar di sana. "Memberi kejutan," kata Kia menatap balik Biru yang menatapnya dengan marah. Memangnya hanya orang kaya saja yang berhak marah. Video itu memang tidak terlalu bagus, gambarnya sesekali bergoyang dan tak jelas tertutup oleh entah apa, tapi suaranya terdengar sangat jelas dan mbak Nina membaca semua point-point itu dengan sangat jelas. Bahkan mbak Nina dengan cerdik bisa mendapatkan pernyataan Renata tentang alasan kenapa pernikahan ini berlangsung, meski tidak semua menguntungkan mbak NIna tapi paling tidak, tidak akan lagi yang menyalahkannya. Biru yang semula marah pada Kia, malah memperhatikan apa yang ada di dalam video itu. Sedangkan dua orang yang ada di depan saja wajahnya sud
"Aku tahu mbak siapa yang membeli obat itu." Bahkan Kia belum juga masuk ke dalam rumah, setelah melihat Biru meninggalkan halaman rumahnya. "Benarkah? Siapa?" tanya mbak Ratih dari seberang sana. Kia menarik napas panjang dan menceritakan apa yang baru saja dikatakan Biru. Sejenak tak ada jawaban dari seberang sana, Kia melihat layar ponselnya, curiga mungkin saja sambungan terputus, tapi ternyata tidak. "Mbak masih di sana?" tanya Kia dengan tak sabar. "Ki, mbak boleh tanya apa kamu pernah bertanya pada dokter apa yang menyebabkan Nina pendarahan?" Kali ini KIa yang terdiam. "Ti... tidak mbak, tapi di surat kematiannya ada keterangan penyebab kematiannya karena pendarahan," jawabanya. "Apa kamu tidak berpikir untuk bertanya?" "Apa itu perlu mbak, mbak NIna tidak mungkin pendarahan dengan sengaja, dia terdengar sangat bahagia saat mengabariku waktu itu." "Ki, aku yakin Nina memang menginginkan bayinya, tapi dia juga tidak bisa tahu apa yang akan terjadi ke depannya, jadi k
Entah sudah berapa gayung air Kia guyurkan di atas kepalanya, tangannya sudah terasa kebas dan kakinya juga kesemutan, tapi dia sama sekali tidak mau berhenti mengguyur kepalanya, rasanya dia ingin menenggelamkan kepalanya selama mungkin di dalam air agar pikiran itu menyingkir dari sana, mengalir terbawa air yang mengalir"Kia sampai kapan kamu mau mandi, ayo cepat nanti masuk angin!" Terdengar suara sang ibu dari luar kamar mandi. "Iya sebentar." Bukannya berhenti Kia malah kembali mengguyur kepalanya dengan air. "Sial kenapa tidak hilang juga ingatan itu... akhhhh!" "Kia kamu baik-baik saja, Nduk? Apa kamu terpeleset?" terdengar nada panik sang ibu, juga gedoran di pintu kamar mandi. Kia menghela napas, sedikit kesal dengan panggilan sang ibu, tapi dia sadar kalau kelakuan konyolnya pasti membuat sang ibu khawatir. "Kia baik-baik saja, Bu!" "Kalau begitu cepat mandinya!""IYa!" Kia mengguyur kembali kepalanya, air yang dingin seakan tak terasa sama sekali, hatinya lebih
Tak ingin banyak drama yang pastinya akan mengundang banyak mata menatap mereka, Kia menurut saja saat Biru membimbingnya seperti orang buta ke dalam mobil, tapi saat mobil sudah melaju dia malah ngomel. "Apa sih maksud bapak dengan ini semua? apa kalian mau menunjukkan kalau kami hanya orang matre yang mengejar harta kalian, kalau memang iya jangan terlalu percaya diri deh masih banyak orang yang lebih kaya dari kalian." Kia mengatur napasnya, berbicara panjang lebar dan cepat ternyata melelahkan juga, tapi sialnya mahluk di sampingnya masih menampilkan wajah tenang yang minta digampar. "Sepertinya kamu tidak pernah berpikiran baik padaku," kata Biru sambil menggelengkan kepalanya dengan penuh kekecewaan. Kia mendengus dengan keras, sengaja supaya Biru mendengarnya. Apa laki-laki ini lupa soal baju pesta dan segala pernak-perniknya yang ternyata dari Zafran, tapi kalau dipikir-pikir memang Biru tak pernah mengatakan kalau itu darinya, dia hanya mengatakan itu untuk KIa dan san
Kia sama sekali tidak pernah mendengar kabar Renata lagi sejak Zafran mengatakan akan menceraikan wanita itu. Bahkan Biru yang biasanya akan sibuk membela kakak sepupunya itu terlihat juga enggan untuk membicarakan wanita itu, dan Kia juga berusaha keras menjaga mulutnya meski rasa penasaran menderanya Tapi hari ini tiba-tiba saja Biru menghampirinya dengan wajah panik. "Ki, aku ingin menjenguk mbak Rena apa kamu mau ikut?" tanyanya. Kia mengangkat alis. "Apa harus?" tanyanya. "Bagaimanapun mereka yang sudah membesarkanku dan mbak Rena pernah memperlakukan aku dengan baik, aku hanya-" "Bukan itu maksudku tapi apa aku harus ikut kamu ke sana? kamu tahu sendiri bagaimana mereka?" Biru menghela napas, dan mengangguk dengan mantap. "Kamu calon istriku, aku hanya ingin terbiasa terbuka padamu, lagi pula aku tahu mbak Rena dan bibiku, mereka pasti akan membuat dr
Kia terus saja menarik tangan Biru keluar dari rumah, mengabaikan panggilan ibunya dan juga protes Biru yang kepalanya langsung pusing. "Kia kamu mengajakku kemana, kalau masalah mahar dan kapan kita menikah kenapa tidak dibicarakan dengan mereka juga," gerutu Biru, tapi Kia sama sekali tak peduli dia terus menarik tangan Biru dan baru berhenti saat mereka sudah ada di samping rumah Kia barus melepaskannya. "Bapak seharusnya balik lagi ke rumah sakit, benar kata dokter bapak belum sembuh benar." Bukannya menjawab Biru malah menatap Kia dengan wajah kesal. "Siapa yang kamu panggil bapak," katanya. Kia menghela napas panjang menatap Biru dengan kesal. "Apa sebenarnya maksudmu mengatakan itu pada ibuku?" tanya Kia judes, bukan apa-apa, setelah kematian mbak Nina dan mereka pindah ke sini ibunya sudah terjangkit virus, ibu minta mantu. Dan tiba-tiba saja ada laki-laki yang melamar putrinya,Kia yakin sang ibu tak akan pikir pan
"Sudah aku duga," kata Kia terkesan tak peduli.Sekarang dua laki-laki di depannya itu yang terkejut. "Kenapa kamu berpikir begitu?" tanya Biru. Kia menatap Biru seolah laki-laki itu datang dari dunia lain. "Wanita itu, Felly masih muda dan sangat cantik, juga kaya. Sayang sekali, padahal aku ingin melihat drama istri pertama dan istri ketiga, kalau mbak Nina aku tak yakin dia bisa menentang Renata yang berkuasa dan dicintai suaminya." Sunyi yang menegangkan langsung tercipta setelah Kia mengatakan kalimat panjangnya. Dia sadar kedua laki-laki di depannya ini pasti tidak akan suka dengan kelimatnya, tapi Kia tidak mau peduli. "Makanlah buburmu keburu dingin," kata Kia mengambil sendoknya lagi dan menyuapkan makanan dengan nikmat seolah tak terjadi apapun." "Kamu masih menyalahkan, Mas atas kematian mbakmu, KI?" tanya Zafran pelan. "Tidak penting bukan bagaimana perasaanku, karena kamu salah atau tidak kam
Pantas saja Biru meminta Kia untuk merawatnya tanpa khawatir dijulitin tetangga, ternyata laki-laki itu tinggal di salah satu apartemen yang biasanya hanya Kia lihat iklannya di televisi. "Kamu tinggal di sini?" pertanyaan konyol sebenarnya, karena jelas-jelas Biru mengajaknya ke mari setelah pulang dari rumah sakit, dan perlu digaris bawahi 'pulang paksa' yang kecil kemungkinan membuatnya harus mampir main ke rumah teman dulu. "Ada yang aneh?" tanya Biru. Kia tak menjawab dia lalu menatap ke luar. Jarak kantor dengan apartemen ini mungkin kira-kira hanya sepuluh menit perjalanan dengan menggunakan mobil atau Kira-kira lima belas menit dengan rumah kontrakan KIa dan juga rumah milik Biru. "Aku kira kamu tinggal di dekat rumah kontrakanmu," kata Kia, tapi mungkin dia langsung sadar orang seperti Biru tidak mungkin selevel tinggal di kampung seperti dirinya. "Aku hanya tidak ingin ribet urusan kecil masalah kebersihan dan keamanan misalnya, di sini semuanya sudah ditangani menagem
"Kulihat lukamu tidak terlalu parah." Ini kejutan, bahkan Biru sepertinya tidak menyangka kalau sang bibi akan datang menjenguknya, tanpa Zafran, Renata atau suaminya. "Bibi datang," kata Biru setelaj berhasil mengatasi keterkejutannya, Kia sendiri langsung melompat dari duduknya saat tahu siapa yang datang, dan dia yang tahu diri segera menyingkir karena wanita itu menatap Kia seolah dia adalah hama penggangu. Tidak heran sih, apalagi setelah kejutan yang Kia tampilkan dalam pesta waktu itu. "Ckk kamu memang benar-benar merepotkan, untuk apa kamu mengumpankan diri hingga terluka." Biru terlihat tak setuju dengan kata-kata sang bibi, dan ingin membantah. Dia menatap Kia sejenak dan melihat Kia yang menggeleng tak kentara. Bukan Kia sok baik atau apa sih, tapi dia hanya tidak ingin Biru merasa sendiri, dia tahu meski sang bibi tak terlalu memperhatikannya, Biru sangat menyayangi bibinya. "Aku datang bersama Kia," kata Biru singkat. "Aku tidak tahu dari sekian banyak wanita ya
"Apa aku perlu menghubungi keluargamu yang lain?" tanya Kia. Biru menggeleng. "Kamu bisa pulang, maaf tidak bisa mengantarmu," katanya datar. Kia menatap laki-laki itu tak enak hati. Miris memang setahunya di saat Renata sakit waktu itu, Biru bilang ikut menjaganya di rumah sakit, tapi sekarang saat laki-laki itu sakit dan itu karena uah Renata, tidak ada satupun dari mereka yang bahkan datang menyusul. Kia menggeleng bukankah dia tidak boleh berburuk sangka, mungkin saja mereka masih capek atau sibuk dengan pesta itu. "Aku sudah menghubungi temanku, untuk mengatakan pada ibu, aku akan menemanimu di sini." Biru menatap Kia dengan pandangan antara ingin tersenyum juga tak percaya. "Kenapa kamu melakukan ini?" tanya Biru. Kia meluruskan duduknya dan membenarkan rambutnya. "Melakukan apa?" tanyanya tak mengerti. "Membawaku ke rumah sakit dan mengurus semuanya, padahal kamu bilang tidak mau jadi pacarku apa
Tidak ada senyum di wajah Renata sepanjag acara itu berlangsung. Bagi Kia hal itu cukup wajar, Jika dia yang mendapati suaminnya menikah lagi, mungkin bukan hanya wajahnya yang masam, tapi dia akan langsung balik badan dan tak akan mau melihat wajah mereka lagi. Kia akan sangat mengagumi ketegaran Renata, andai saja.... "Kenapa tidak langsung menikah?" bisik Kia pada Biru yang pandangannya masih terpaku pada prosesi tukar cincin pada pasangan calon pengantin. "Wanita itu anak orang kaya bukan, dia pasti ingin pesta yang selayaknya." "Meski dia istri kedua," kata KIa sinis. "Yah mau bagaimana lagi, dia cintanya sama mas Zafran.""Kamu yakin itu cinta, bukan karena tujuan lain?" Sepertinya Kia sudah ketularan penyakit julid LIta. Biru kembali mengangkat bahunya. "Kamu bilang ingin melihat mereka menikah, tapi kamu kenapa pertanyaanmu seolah kamu tidak suka dengan calon istri mas Zafran." "Bukan tidak suka sih, hanya kok tidak masuk akal saja." "Bukankah cinta katanya mem
"Kamu yakin ini rumah calon istri ketiga Zafran?" tanya Kia sekali lagi. Dia sampai melangkah ke depan Biru dan menatap laki-laki itu tajam, seolah mencari kebohongan di wajahnya. "Tentu saja mbak Rena minggu lalu mengajakku kemari, dan maaf kali ini tidak seperti pernikahan mas Zafran dan kakakmu yang hanya diketahui mereka saja, sekarang semua keluarga besar tahu." "Mereka juga mendukung, termasuk om dan tantemu?" tanya Kia dan anggukan yang diberikan Biru membuat Kia menggelenng tak percaya. "Dan kamu juga mendukungnya?" "Kalau bisa aku ingin menghentikannya, untuk itulah aku mengajakmu ke sini." "Aku tidak punya hak." "Aku tahu, tapi kamu akan mengingatkan mereka pada kasus kakakmu, lagi pula ini acara keluarga dan sudah sepantasnya aku mengajak teman dekatku," jawab Biru mantap. Kia tak menjawab dia kembali berbalik dan menatap bangunan di depannya, bukan bangunan modern yang megah memang, bahkan bagian depan di dominasi oleh kayu berukir rumit khas jawa. "Sepertinya me
"Aku tidak ada bersamanya waktu itu, kamu pasti sudah tahu aku dengar kamu bertanya pada beberapa orang." "Dan mereka pasti mengatakan seperti yang kamu mau." Zafran menatap Kia terkejut tapi tidak menjawab, dan itu menguatkan dugaan Kia. "Aku tidak tahu kalau dia hamil sebenarnya, tapi aku punya dugaan dari perubahan sikap dan bentuk tubuhnya, juga siklus bulanannya, kamu tahu bukan." Kia buru-buru mengangguk. "Aku meminta Biru untuk membelikan obat penggugur kandungan, aku tidak langsung menyuruhnya hanya mengatakan sambil lalu obat apa itu dan mungkin saja dia membutuhkan, NIna waktu itu hanya tersenyum, tapi dia pasti tahu kalau aku tidak menginginkan anak yang dikandungnya, tepatnya aku khawatir dengan masa depan anak itu." "Karena kamu tidak mencintai ibunya." "Aku menyayangi Nina... tapi aku terlalu lemah," jawab Zafran sambil menunduk. Kia menatap Zafran dengan jijik. "Andai aku tahu itu lebih cepat, aku akan menyeret mbak NIna meninggalkanmu, dan kamu pantas untuk itu.