Adinda, seorang gadis kota lugu. Ternyata jatuh cinta kepada ketua gangster kampung. Giyo Ramadhan. Kisah cintanya diiringi air mata. Pengorbanan dan juga pertengkaran antara, Adinda dan keluarganya. Terlebih ketika keduanya sudah sangat berani menampakkan jalinan kasih antara keduanya. Adinda dengan latar keluarga baik-baik tentunya akan mendapatkan penolakan dari keluarganya akan status hubungan dengan Giyo. Si pemuda tampan. Namun berandal. Bagaimanakah kelanjutan kisah cinta keduanya? Baca dan ikuti perjalanan kisah cinta si lugu dan si berandal.
Lihat lebih banyakMalam itu adalah malam yang paling ditunggu kalangan muda-mudi di Desa Tanjung Agung. Segala persiapan menyambut pesta tahun baru sudah diatur—sebaik mungkin. Agar segalanya berjalan dengan lancar. Adinda, masih duduk di kamarnya sambil membaca sebuah buku yang baru saja dibelikan oleh sang ibu. Tadi siang di Balai Minggu (Pekan Minggu). Ia tampak larut dengan kisah yang diceritakan dalam buku cerita fiksi tersebut, —mengangkat tema percintaan yang tidak mendapat restu dari pihak sang wanita.
Tidak lama sang ayah memanggilnya dari luar.
“Din ... Dinda. Sini sebentar, Nak.” Suara sang ayah, langsung membuatnya bangkit dari tempat tidur. Gadis itu kini berjalan keluar kamarnya.
“Ada apa, Yah. Dinda ‘kan lagi—” kalimatnya terhenti ketika melihat satu karung mentimun di samping sang ayah yang tersenyum riang.
Dengan wajah berseri-seri, Dinda berlari menghampiri karung yang berisi penuh dengan buah timun. Ia meletakkan buku yang sejak tadi dipegangnya ke lantai. Setelah itu, ia langsung mengambil satu biji buah atau, sayuran berwarna hijau yang terlihat sangat segar itu. masih melekat sedikit getah pada bagian pangkal tangkainya. Tanpa mencucinya terlebih dahulu, Adinda langsung melahapnya.
Raut wajah gadis itu menunjukkan, sebuah rasa kenikmatan yang tak terbandingkan. Sang ayah, yang memperhatikan tingkah cinta matinya tersebut hanya mampu tersenyum penuh rasa kepuasan yang nyata. Sang ibu keluar dari kamar belakang dan menghampiri sang putri dan suaminya. Adinda sudah hampir menghabiskan satu buah utuh timun segar.
“Adek, pasti timunnya belum dicuci ‘kan sudah langsung di lahap saja,” ujar sang ibu seraya duduk tepat di samping, Adinda yang masih belum ingin menghentikan kegiatan mengunyahnya.
“Biarkan saja dia makan apa yang diinginkannya,” jawab sang ayah yang langsung membelanya.
“Bela saja terus ... itulah yang membuat anak ini, jadi manja.” Akan tetapi sang ibu malah ikutan mengambil beberapa buah mentimun segar. Beliau terlihat memisahkannya.
“Mau kamu apa ‘kan timun itu?” tanya ayah, Adinda dengan dahi berkerut.
“Bagi-bagi ke tetangga.” Sang ibu menjawab singkat. Lalu pergi ke dapur meninggalkan kedua orang terkasihnya masih di hadapan karung yang terisi penuh buah mentimun.
“Never mind, I'll find someone like youI wish nothing but the best for you, too—“
Beberapa saat kemudian,telepon genggam milik Adinda berbunyi. Dengan cepat gadis dengan wajah cantik itu berjalan cepat menuju kamarnya. Dia tersenyum ketika melihat nama yang tertera pada layar teleponnya.
“Teman Terbaik.”
Begitulah ia menulis nama seseorang itu dalam daftar kontaknya. Dari cara ia tersenyum, jelas sekali seseorang itu bukan teman biasa bagi, Adinda. Yah, sebagai wanita dengan reputasi paling cantik di desa itu dia pastilah memiliki banyak teman lelaki. Namun, kali ini bukan teman biasa. Pria itu yang selalu menjaga dan menemaninya ke mana pun. Dan pria itu juga yang telah dipercaya oleh orang tua, Adinda sebagai teman dekat anak semata wayang mereka.
“Halo, iya, And. Ada apa?” tanya Adinda dengan tersenyum kecil.
“Kamu lagi apa, Din? Nanti malam mau aku jemput enggak?” tanya, Andara dengan nada yang lembut.
“Ya ampun! Aku lupa! Aku belum kasih tahu Ayah sama Bundaku. Gimana, dong, And?” Adinda terlihat panik kali ini.
“Kalau kayak gitu. Biar aku ke sana sekarang. Jadi nanti malam kita bisa langsung pergi.” Andara terdengar sangat bertanggung jawab dan berani.
Tanpa disadari oleh pemuda berwajah tampan dengan keahlian bela diri yang mumpuni itu, bahwa sebenarnya Adinda tengah tersipu malu. Akibat mendengar ungkapan pertanggung jawaban dari pria yang sejatinya lebih muda darinya. Namun, kedewasaan tak pernah dapat ditentukan oleh usia. Tapi pola pikir dan sudut pandanglah yang menjadikan seseorang itu dewasa.
“Memangnya kamu enggak takut sama, Ayah?” pancingan yang sengaja dikatakan oleh, Adinda.
“Kenapa aku harus takut? Ayah kamu itu baik banget sama aku,” jawab Andara dengan percaya diri.
“Iya juga, sih. Kamu memang yang paling dekat sama Beliau, dibandingkan keempat sahabatmu.” Adinda juga menyadari bahwa apa yang dikatakan, Andara benar adanya.
“Ya sudah. Aku mau mandi dulu. Kamu mau aku bawakan apa?” tanya Andara lagi.
“Hmmm. Alpokat matang. Kemarin kata, Indri banyak yang matang di belakang rumah kamu,” ujar Adinda tanpa merasa ragu.
“Oke! Tunggu aku sebentar lagi akan datang membawa pesanan, Kakak cantikku,” goda, Andara sebelum mengakhiri panggilannya.
“Hishhh.”
Adinda sebenarnya tengah dekat dengan banyak pemuda di kampung tersebut, akan tetapi hanya Andara dan keempat sahabatnya yang mampu akrab dengan gadis cantik itu. Adinda bahkan lebih terkesan sangat manja kepada Andara, dibandingkan dengan yang lainnya. Yah. Itu semua didukung dengan orang tua mereka yang saling kenal.
Adinda Maharani. Seorang gadis pindahan, beberapa bulan yang lalu dari ibu kota provinsi lain. Ia dan kedua orang tuanya pindah ke desa ini karena hal tertentu. Yang mengharuskan mereka meninggalkan tanah kelahiran mereka. Sejak hari pertama kedatangannya di kampung tersebut, ia sudah berhasil mencuri banyak perhatian. Terlebih dari para pemuda yang memang terpesona akan kecantikan wajahnya.
Setelah panggilannya berakhir. Adinda bermaksud akan merebahkan tubuhnya kembali ke atas kasur. Namun, tiba-tiba terdengar suara seseorang pemuda sedang berbicara dengan ayahnya di teras rumah mereka. Dia mulai terlihat penasaran. Dan akhirnya mengintip dari balik gorden jendela kamarnya.
“Hah. Kak Giyo!” gumamnya dengan menutupi mulut imutnya.
Kamar Adinda memang langsung berhadapan dengan teras rumah. Seketika, Adinda dibuat kembali tersipu oleh pria berperawakan atletis dan memiliki wajah terkesan dingin. Giyo Ramadhan. Pemuda kampung sini yang dipilih menjadi kapten voli. Di setiap pertandingan mewakili nama kampung.
Rumah mereka cukup dekat, jika dibandingkan dengan Andara. Hanya berjarak 250 meter dari kediaman Adinda. Maka akan tiba pada rumah sang pemuda bersama ibunya. Giyo dikenal warga sekitar sebagai pemuda yang memimpin sebuah kelompok perkumpulan anak muda. Di mana kelompok itu sering melakukan tindak kekacauan dan keributan di kampung mereka.
Hanya saja, tak ada yang berani menghentikan kegiatan mereka. Karena jika nekat melawan. Maka dapat dipastikan akan mengalami sesuatu yang buruk. Giyo baru saja kembali dari luar kota. Selama 6 bulan terakhir pemuda itu pergi entah ke mana. Namun, dua bulan yang lalu dia kembali. Dan mulai berkenalan dan dekat dengan Adinda.
“Kira-kira nanti kalau, Andara ke sini. Apa dia akan cemburu?” tanya Adinda pada dirinya sendiri.
Giyo membuatnya mabuk kepayang beberapa waktu belakangan ini. Awalnya, memang Adinda tak pernah menghiraukan Giyo. Namun, semenjak pria itu menolong ayahnya yang terjatuh di jalan saat membawa hasil panen kopi. Dari sanalah, gadis lugu ini mulai terpesona akan sosok pemuda yang ia benci di awal pertemuan.
Bahkan, Adinda terlihat semakin dekat dengan pemuda itu tanpa sepengetahuan kedua orang tuanya. Mereka juga suka bertindak layaknya pasangan kekasih. Ketika ada orang lain yang membuat mereka merasa cemburu. sayangnya status keduanya masih belum diperjelas. Berulang kali Giyo hanya meminta Adinda untuk sabar menanti.
Kini pemuda itu tengah duduk pada bangku kayu. Yang langsung mengharap ke arah jendela kamar Adinda. Gadis itu yang tadinya ingin berbaring. Sepertinya kehilangan selera untuk bersantai. Kini ia lebih memilih berdiri di samping jendela. Sambil memperhatikan pria pujaan hatinya. Kedua pipi menggemaskan miliknya bersemu merah merona. Dengan dihiasi senyuman malu-malu.
Tok! Tok! “Siapa?” ujar Tiwi dari balik pintu rumah Adinda. “Wi, ini aku Zenix. Aku mau ngomong sama Kak Dinda,” sahut Zenix dari balik pintu. Tiwi menoleh ke arah Adinda dan juga Angel yang di mana ia seolah meminta persetujuan. Setelah kedua sahabatnya mengangguk. Barulah Tiwi berani membukakan pintu. Saat pintu terbuka Giyo berdiri di sana dengan Zenix berada di sebelahnya. Begitu pula dengan Andika. Giyo masuk dengan raut wajah datar. Tanpa basa-basi ia menghampiri Adinda dan berhenti tepat di hadapan gadis itu. Adinda tampak gugup menghadapi Giyo yang jelas-jelas sudah ada di depannya. Zenix memberikan kode kepada Angel untuk menjauh. Gadis itu mengerti dan memilih untuk duduk bersama Tiwi di sofa ruang tamu. “Kapan aku mengiyakan kita putus? Kapan aku menyetujui omongan kamu? Kapan!” bentak Giyo dengan raut wajah memerah menahan gejolak amarah. “Tapi aku—” kalimat Adinda mendadak berhenti saat jari telunjuk Giyo menutupi bibir tipisnya. “Kamu masih pacar aku. Enggak ada pe
Giyo sudah pulih dan kembali ke rumahnya. Di sana Adinda terus berusaha mencari kesempatan untuk menjenguk kekasihnya itu. Hari itu suasana kediaman Giyo memang sangat sepi. Sedangkan kedua orang tua Adinda menghadiri pesta pernikahan saudaranya yang mengharuskan keduanya menginap selama beberapa hari di sana. Hal itu dimanfaatkan Adinda untuk merawat Giyo. “Sayang, sini aku periksa dulu lukanya,” ujar Adinda yang baru saja masuk ke kamar Giyo dengan membawa nampan berisi, perban, obat merah, dan beberapa kain kasa. “Ternyata enak juga kalau ada istri yang merawat kayak begini,” balas Giyo yang membuat Adinda tersipu malu. Wajahnya bersemu merah jambu. “Permisi, ya Sayang. Maaf kalau sakit.” “Kalau cuman kayak begini enggak ngaruh sedikit pun. Kalau kamu yang ngurusin, digosok-gosok juga aku mau.” Adinda menekan luka Giyo yang membuat pria itu meringis. Adinda tertawa. Giyo membalik tubuhnya yang membuat Adinda terkejut dan spontan mengelak. Giyo mendesak hingga tubuh Adinda berad
“Bangsat lu! Hia!”Giyo menyerang Dragon. Perkelahian antar keduanya tidak terhindarkan. Giyo sudah nyaris hampir mengalahkan Dragon. Sesaat sebelum sebuah belati menancap dipunggung kirinya. Saat menoleh Giyo melihat sang ketua berada di sana. “Apa yang buat lu rela mati demi cewek itu Gi?” ujarnya dengan tatapan kosong.“Lu rela mau ngebunuh rekan lu sendiri hanya demi satu orang gadis yang belum tentu lu bisa dapatin.”“Kenapa lu jadi sebegok ini?”Giyo tidak peduli dengan ocehan sang ketua. Kini ia malah berusaha menyerang sang ketua. Namun ia kalah jumlah, Giyo terpojok. Tubuhnya mengalami banyak luka memar. Dari punggungnya pun masih mengalir geti segar.Perlahan Giyo tampak melemah. Dan akhirnya dia terjatuh. Sang ketua membawanya ke rumah sakit. Giyo dirawat di sana. Setelah ia siuman Giyo menyadari di sampingnya ada Adinda yang terlihat lelah dan sangat khawatir. Giyo membelai kepala Adinda dengan perlahan.“Sayang aku ada di mana?” ucap Giyo lirih dengan nada yang le
Setelah perdebatan cukup panjang dengan berat hati Adinda mengizinkan Giyo pergi. Sebelum pria itu melangkah memasuki mobil berwarna hitam dengan kaca film berwarna hitam pula. Giyo memeluk erat dan memberikan ciuman kecil di kening Adinda. Air mata di sudut mata wanita itu tidak bisa dibendung lagi. Setelah Giyo benar-benar menghilang dari pandangan, Adinda terduduk dengan lemah. “Aku cuman takut. Takutku adalah takut aku yang akan kehilangan dia,” ungkap Adinda lirih dalam pelukan Tiwi. “Kamu tenang aja Din. Kak Giyo enggak akan kenapa-kenapa,” ungkap Tiwi menenangkan sahabatnya. “Aku takut Wi.” “Kakak Ipar tenang aja. Bang Giyo itu jagoan. Mana mungkin dia kalah,” sambung Zenix terlihat simpati pada kekasih ketua kelompok mereka. “Zen, apa yang bisa aku lakukan supaya abangmu bisa keluar dari gang ini?” “Enggak ada Kak. Kalian menikah pun. Abang harus tetap berada di dalam sini. Apalagi Abang terlalu banyak memegang kunci kelompok.” “Ancamannya nyawa ‘kan Zen?” setelah menye
“Din, entar siang kami main ke rumah kamu, ya,” ujar Tiwi saat bertemu di balai. “Maaf Wi. Nanti siang aku ada keperluan sama Kak Giyo,” sahut Adinda dengan santai seraya menaiki motornya. “Tapi, kita sudah lama enggak kumpul. Kamu sekarang suka menyendiri, kalau enggak pasti sama Kak Giyo.” “Iya namanya juga dia pacar aku. Udah, ya Wi aku duluan.” Semenjak kejadian hari itu, Adinda memang menutup diri. Dia menjauhi, Andara, dua sahabatnya, dan teman-temannya yang lain. Semenjak itu pula, ia terlihat sangat patuh kepada, Giyo. Sang ibu sempat merasa curiga dengan perubahan Adinda. Ibunya pernah mendesak agar, Adinda jujur mengatakan ada apa yang sebenarnya terjadi. Namun, Adinda memilih tetap bungkam dan berusaha menutupi aibnya. Para tetangga pun mulai banyak membicarakan kedekatan Adinda dan Giyo yang dinilai terlalu fulgar. Banyak aduan yang diterima orang tua Adinda, akan kedekatan dirinya dan Giyo. Bahkan ada salah satu tetangga yang mengaku melihat Adinda dan Giyo berlaku ti
Setelah dua hari sehabis pertemuan keduanya di danau. Hari ini Giyo mengajak Adinda berkunjung ke rumah pamannya yang jaraknya cukup jauh dari daerah tempat tinggal mereka. Adinda beralasan kepada kedua orang tuanya ingin membeli sesuatu di kota. Yang mana sang ayah awalnya meminta Adinda untuk pergi bersama Andara saja. Namun dengan manis, Adinda beralasan kalau Andara tidak bisa menemaninya. Akhirnya sang ayah pun mengizinkan Adinda untuk pergi bersama Giyo. Sebelum keduanya berangkat, berkali-kali sang ayah berpesan agar Giyo menjaga Adinda sebagai adik. Dan Giyo tentu saja menyanggupi permintaan Pak Anjas. Keduanya pergi dengan mengendarai motor gede milik Giyo. “Good luck, Bang!” kalimat yang dilontarkan Zenix tampaknya membuat Adinda seakan bertanya-tanya. Di perjalanan Giyo banyak bercerita akan perjalanan hidupnya. Kedua tangan Adinda yang melingkar di pinggang Giyo. Membuat keduanya tidak memiliki batas. Kepala Adinda yang tidak mengenakan helm pengaman pun bersandar pada p
Semenjak kejadian itu Adinda mulai dijauhi oleh pemuda dan pemudi desa setempat. Mereka tidak menyangka Adinda yang selugu dan sebaik itu, akan berpacaran dengan pria bejat seperti Giyo. Beberapa pemuda malah berniat memisahkan mereka karena mereka tidak ingin Adinda menjadi rusak. Terlebih si Andara saingan utama Giyo. Brem! Brem! “Pulang juga lu akhirnya Bang,” ujar Zenix yang terlihat senang dengan kedatangan Giyo dengan motor gedenya. “HM.” Giyo hanya menjawab dengan nada datar. Giyo turun dari motornya, lalu melemparkan jaket kulit dengan warna cokelat gelap ke atas sofa. Lalu dengan wajah tampak letih Giyo membanting tubuhnya pada sofa yang sama. Hal pertama yang dilakukannya adalah mengambil dan memeriksa telepon seluler miliknya. Lalu dengan kedua lengan yang bertopang pada paha. Giyo tampak mencoba menghubungi seseorang. “Halo, Sayang. Kamu di mana? Aku sudah sampai di rumah ini, kamu bisa ke rumah atau nanti kita ketemu di tempat biasa?” wajahnya yang semula tampak leti
“Kak Giyo!” pekik Tiwi. “Aku harus bagaimana?” tanya Adinda cemas. “’Loh! Kenapa malah bagaimana, Din? Kamu angkat telepon itu, dan tanya sekarang dia ada di mana?” tuntun Angel yang memang selalu lebih tenang dibanding kedua sahabatnya. “Oke!” “Halo, iya, Kak?” ujar Adinda saat menerima panggilan tersebut. Tiwi memberikan kode agar Adinda mau memperdengarkan perbincangannya dengan Giyo. Dengan melakukan media sepiker yang ada di telepon seluler tersebut, Adinda mengikuti keinginan sahabatnya tersebut hingga keduanya terlihat senang. “Sayang, kamu di mana sekarang?” tanya Giyo dengan suara lembutnya. “Em! Di rumah ada apa, Kak?” sahut Adinda dengan wajah yang merona merah muda karena merasa malu. “Tidak ada apa-apa, Sayang. Aku hanya khawatir sama kamu saja, aku tidak bisa berhenti memikirkan kamu setelah apa yang kudengar.” “Sekarang, Kakak ada di mana? Sudah pulang dari sana?” “Masih di tempat yang aku bilang ingin datangi tadi, aku sekarang baru bisa lega dan tenang.” “Ap
Sebagai orang yang berhasil merebut hati Adinda tentu saja Giyo sangat bangga. Dia bahkan terlihat sangat puas dengan apa yang ia dapatkan saat ini. Selama ini dia suka mendapatkan ejekan dari beberapa orang temannya, bahwa Giyo ini tidak menyukai wanita. Dan kini dia bisa membuktikan bahwa dia normal. Adinda, Tiwi, dan Angel tertawa riang menertawakan cerita yang di suguhkan Tiwi. Gadis-gadis ini terlihat sangat dekat dan kompak. Meski Adinda masih baru di kampung mereka, akan tetapi dia sudah mampu bergaul dengan baik. Kepada semua pemuda dan mudi Kampung Tanjung Agung. “Eh, Din, kamu tahu enggak kalau, Manda itu pernah suka sama pacarmu,” bisik Angel. Dibenarkan oleh Tiwi yang menganggukkan kepala. “Ha? Masa sih begitu? Aku enggak yakin, dia mau sama Giyo,” sahut Adinda dengan mengerutkan dahinya. “Dulu, dia suka banget sore-sore masak, berbenah rumah, dan mencuci baju Giyo,” ujar Tiwi, “orang-orang sini pada memuji dia dan berusaha menyanjung dia. Kalau dia ada di depan mereka,
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen