"Kia aku minta maaf tidak bisakah kamu menarik kembali laporan itu."
Kia menatap datar Zafran yang mengacak rambutnya dengan putus asa di depannya."Ki, Rena baru saja keguguran jiwanya belum stabil. Dia masih harus ada dalam pengawasan.""Jadi benar dia gila?" tanya Kia dengan tenang. "Itu alasanmu menikahi kakakku."Zafran yang sedang mondar-mandir di depan Kia langsung berhenti dan menatap Kia dengan terkejut."Astaga bukan seperti itu maksudku ."Saat ini mereka ada di ruang tunggu kantor polisi, sedangkan Rena sedang diperiksa polisi terkait laporannya tadi juga laporan Kia.Dan tiba-tiba saja Zafran yang tadi mendampingi sang istri melaporkan Kia malah sekarang memohon supaya Kia melupakan semuanya.Kia tidak tahu kalau Zafran ternyata bisa melawak juga."Lalu apa maksudmu? kamu dan istrimu bisa melaporkanku dengan tuduhan palsu, tapi aku takSaat itu sudah lewat tengah malam. Kia masih berkutat dengan laptopnya, membaca sebentar tulisan yang terpampang di sana, lalu menuliskannya lagi pada buku catatan yang terbuka di depannya. Begitu berulag-ulang hingga tanpa terasa satu halaman buku telah habis dan membaliknya. Matanya terasa sangat pedih, tapi dia tidak ingin berhenti sekarang. Laporan padanya langsung dieksekusi satu hari saja, tapi laporan yang dia buat membutuhkan waktu berhari-hari. Itu sebuah tanda tanya untuknya. Kia tidak akan menutup mata dengan kekuatan uang dan kekuasaan yang dimiliki keluarga istri Zafran, dia sudah mencari tahu siapa istri Zafran juga keluarganya begitu juga dengan keluarga Zafran. Hal yang sangat dia sesali sejak dulu adalah kenapa tidak mencari tahu semuanya saat kakaknya masih ada, dengan begitu dia bisa memaksa mbak Nina untuk melepaskan semuanya tak peduli apapun alasannya. Mungkin dengan begitu mbak Nina dan bapak masih hidup .... Kia menggeleng. Ibunya pasti akan sanga
Hal pertama yang harus Kia lakukan adalah mencari kendaraan umum untuk mencapai rumah mbak Ratih. Benar dia berencana langsung ke sana begitu mendengar kabar kalau mbak Ratih sudah tiba di kediaman orang tuanya. Laporan itu bisa dia urus nanti. Dan tentang perutnya yang lapar, Kia juga mengesampingkan hal itu. Kia sampai ke rumah orang tua mbak Ratih begitu matahari sudah akan tergelincir dari singgasananya. “Aku tahu kamu datang, tapi aku tidak menyangka secepat ini,” kata mbak Ratih yang menyambur Kia di depan rumahnya. Kia sedikit meringis, dia tahu dia bukan tamu yang diharpkan oleh sahabat kakaknya ini, tentu saja tidak jika dia datang dengan masalah yang mungkin saja menghampiri. “Ibu mengirimkan salam untuk mbak dan keluarga, juga.” Kia mengulurkan buah tangan yang tadi sempat dia beli diperjalanan. “Aku tak yakin itu buatan ibumu, padahal aku akan sangat kangen kue buatan ibumu.” “Ibu akan denga
Kia pernah menduga tapi tentu saja dia langsung menepis dugaan itu. Itu konyol dan tidak masuk akal. Kia menatap mbak Ratih seperti wanita itu sudah gila dan sama sekali tidak dapat dipercaya. “Aku memang tidak menyimpan salinannya, tapi Nina pasti punya.” “Dimana?” tanya Kia dengan gamang seolah dia bertanya dari dimensi lain. Mbak Ratih menggeleng pelan. “Aku tak tahu, Nina tidak pernah mengatakannya, aku pernah memintanya mengakhiri semua ini, tapi dia tidak menjawab pesanku.” Kia ingat dengan pesan terakhir mbak Ratih di ponsel mbak Nina. “Kenapa mbak meminta seperti itu setelah mereka menikah?” Mbak Ratih menunduk, dia mengambil singkong rebus yang ada di meja dan memakannya, tapi Kia tahu itu hanya pengalihan semata, tangan wanita itu bergetar bahkan beberapa kali singkong rebus itu jatuh di pangkuannya. “Apa itu sesuatu yang buruk?” tanya Kia lagi dengan suara parau. Apa kakaknya begitu menderita selama ini? adik macam apa dia yang sama sekali tidak peduli pada kakak
Kia merasakan perutnya teramat sakit, dia menunduk di kursinya untuk mengurangi rasa sakit itu. wajahnya pucat dengan lelehan keringat sebiiji jagung di pelipisnya. Bahkan untuk bangkit ke ruang kesehatan pun rasanya Kia tak sanggup, mungkin ini efek kemarin dia melupakan makan siang dan makan malamnya. Hanya beberap potong singkong rebus Kia pikir akan mampu membuatnya tidak perlu makan nasi lagi. Tapi dia salah. “Kenapa disaat seperti ini aku harus sakit,” gerutunya sebal. “Kamu sakit, Ki?” Kia bahkan tak mampu menoleh saat mendengar suara Lita di samoingnya. “Kamu pucat sekali,” katanya lagi saat bisa melihat wajah Kia. “Aku... baik...baik... saja,” kata kia sambil menahan perutnya. “Tidak ada orang baik-baik saja berwajah pucat dan sulit berbicara,” kata Lita dengan galak. “Ayo aku antar ke ruang kesehatan.” Kia merasa seseorang mengangkat tangannya dan berusaha memapahnya berdiri, mengalungkan tangannya di bahu dan men
Lelah dan kelaparan. Kia berinisiatif memesan makanan secara online tidak ada tenaga lagi untuk pergi keluar mencari makanan, tenaga mereka sudah banyak terkuras untuk mengobrak abrik rumah ini juga rasa kesewa karena belum bisa menemukannya. Paling tidak bagi Kia itu adalah solusi yang masuk akal untuk mereka. Dia tidak mungkin membiarkan mbak ratih dan dirinya tumbang hanya karena kurang makan. Itu tidak keren sama sekali. “Mungkin kamu bisa mencoba bertanya pada Zafran tentang dokumen itu,” kata mbak Ratih di sela kunyahannya, tapi kemudian tersedak sambal yang tanpa sengaja dia makan, buru-buru Kia mengangsurkan sebotol air mineral. “Terima kasih,” katanya setelah menghabiskan setengah botol air. Kia hanya tersenyum lalu melanjutkan. “Dia bahkan tak mengatakan apapun tentang itu, dia mungkin berusaha melindungi istrinya,” katanya dengan sebal. “Tidak aneh bahkan dia mau menikahi Nina yang tak terlalu dikenalnya untuk memenuhi permintaan istrinya.” Kia tertawa sumba
Biru benar-benar tidak ingin memberikan Kia kesempatan bernapas lega. Tumpukan pekerjaan memenuhi meja kerja Kia, padahal kemarin dia hanya tidak masuk kurang dari satu hari kalau saat dia sebelum pingsan itu dihitung, tapi tumpukan pekerjaan di mejanya menyaingi menara eiffel. Melebih-lebihkan memang tapi melihat tingginya tumpukan map yang ada di depannya membuat kepala Kia pusing sendiri. “Seperti tidak ada karyawan lain selain aku saja di sini,” gerutunya sebal. “Dia sangat percaya padamu, kerjamu pasti bagus.” Kia menoleh pada Lita yang mengatakannya seoalah tumpukan pekerjaan itu adalah hadiah istimewa dari Biru. Dia menatap iri pada meja Lita yang bersih dan rapi. “Aku lebih suka dia tidak percaya kalau begitu,” kata Kia dengan sebal. Lita menatap Kia seolah-olah gadis itu sudah gila tapi Kia sama sekali tidak peduli, dia sibuk dengan berbagai dokumen yang ada di depannya. Hampir jam makan siang saat Kia s
“Cie ada yang sudah menemukan calon imam nih, aku setuju seratus persen jika itu kamu.” Kia hampir saja menjatuhkan ponselnya, wajahnya bersinar penuh semangat setelah mendapat telepon dari mbak Ratih yang mengatakan kalau dia sudah menemukan dokumen itu, terkubur di bawah pohon mangga di belakang rumah mbak Nina seperti perkiraan mereka malam itu. Mbak Ratih juga minta maaf karena tidak langsung mengabari Kia, karena suaminya menelpon dan memintanya cepat pulang. Telpon mbak Ratih menyelamatkan Kia dari Biru yang dengan entengnya bahkan menyeret Kia ke mushola untuk diajak sholat berjamaah setelah dia menyerah pada makanannya. Dan Kia yang sangat tidak imun dengan wajah laki-laki yang baru saja tersentuh air wudhu – apalagi Biru memang ganteng banget. Jadi salah tingkah dan buru-buru kabur dengan alasan ada telepon, bahkan lmelipat mukenahnya dengan asal.“Apaan sih,” sentak Kia kesal, tapi bukannya takut Lita malah menggodanya habis-habisan. Jika si ember Lita yang punya beri
“Ibu... ibu tidak akan pernah menyangka hubungan kita dengan Zafran akan jadi seburuk ini, mbak Nina sudah meninggal dan ibu pikir tidak ada salahnya kalau kita menjalin hubungan baik dengannya, dia anak yang baik terlepas dari keputusannya dan mbak Nina.” Kia tidak tahu jika hari ini akan menjadi seburuk ini, dia tidak menyangka akan melihat kesedihan dan ... penyesalan di mata ibunya, rasa bersalah yang dirasakan ibunya membuat sang ibu terlihat lebih tua dari usianya. “Ini sudah terjadi, dan bukan salah ibu.” Kia merangkul bahu sang ibu dan membawanya masuk ke dalam. Membuatkannya secangkir teh dan membantunya untuk duduk di ranjangnya yang hangat. “Katakan pada ibu apa yang akan kamu lakukan, kedatangan Ratih pasti bukan hanya untuk mengunjungi ibu.” Kia menghela napas dalam, dia bimbang sesaat tapi tahu ibunya tidak akan berhenti untuk mencercanya hingga mengatakan apa yang sebenarnya. “Mbak Nina menikah dengan Zafran
Kia sama sekali tidak pernah mendengar kabar Renata lagi sejak Zafran mengatakan akan menceraikan wanita itu. Bahkan Biru yang biasanya akan sibuk membela kakak sepupunya itu terlihat juga enggan untuk membicarakan wanita itu, dan Kia juga berusaha keras menjaga mulutnya meski rasa penasaran menderanya Tapi hari ini tiba-tiba saja Biru menghampirinya dengan wajah panik. "Ki, aku ingin menjenguk mbak Rena apa kamu mau ikut?" tanyanya. Kia mengangkat alis. "Apa harus?" tanyanya. "Bagaimanapun mereka yang sudah membesarkanku dan mbak Rena pernah memperlakukan aku dengan baik, aku hanya-" "Bukan itu maksudku tapi apa aku harus ikut kamu ke sana? kamu tahu sendiri bagaimana mereka?" Biru menghela napas, dan mengangguk dengan mantap. "Kamu calon istriku, aku hanya ingin terbiasa terbuka padamu, lagi pula aku tahu mbak Rena dan bibiku, mereka pasti akan membuat dr
Kia terus saja menarik tangan Biru keluar dari rumah, mengabaikan panggilan ibunya dan juga protes Biru yang kepalanya langsung pusing. "Kia kamu mengajakku kemana, kalau masalah mahar dan kapan kita menikah kenapa tidak dibicarakan dengan mereka juga," gerutu Biru, tapi Kia sama sekali tak peduli dia terus menarik tangan Biru dan baru berhenti saat mereka sudah ada di samping rumah Kia barus melepaskannya. "Bapak seharusnya balik lagi ke rumah sakit, benar kata dokter bapak belum sembuh benar." Bukannya menjawab Biru malah menatap Kia dengan wajah kesal. "Siapa yang kamu panggil bapak," katanya. Kia menghela napas panjang menatap Biru dengan kesal. "Apa sebenarnya maksudmu mengatakan itu pada ibuku?" tanya Kia judes, bukan apa-apa, setelah kematian mbak Nina dan mereka pindah ke sini ibunya sudah terjangkit virus, ibu minta mantu. Dan tiba-tiba saja ada laki-laki yang melamar putrinya,Kia yakin sang ibu tak akan pikir pan
"Sudah aku duga," kata Kia terkesan tak peduli.Sekarang dua laki-laki di depannya itu yang terkejut. "Kenapa kamu berpikir begitu?" tanya Biru. Kia menatap Biru seolah laki-laki itu datang dari dunia lain. "Wanita itu, Felly masih muda dan sangat cantik, juga kaya. Sayang sekali, padahal aku ingin melihat drama istri pertama dan istri ketiga, kalau mbak Nina aku tak yakin dia bisa menentang Renata yang berkuasa dan dicintai suaminya." Sunyi yang menegangkan langsung tercipta setelah Kia mengatakan kalimat panjangnya. Dia sadar kedua laki-laki di depannya ini pasti tidak akan suka dengan kelimatnya, tapi Kia tidak mau peduli. "Makanlah buburmu keburu dingin," kata Kia mengambil sendoknya lagi dan menyuapkan makanan dengan nikmat seolah tak terjadi apapun." "Kamu masih menyalahkan, Mas atas kematian mbakmu, KI?" tanya Zafran pelan. "Tidak penting bukan bagaimana perasaanku, karena kamu salah atau tidak kam
Pantas saja Biru meminta Kia untuk merawatnya tanpa khawatir dijulitin tetangga, ternyata laki-laki itu tinggal di salah satu apartemen yang biasanya hanya Kia lihat iklannya di televisi. "Kamu tinggal di sini?" pertanyaan konyol sebenarnya, karena jelas-jelas Biru mengajaknya ke mari setelah pulang dari rumah sakit, dan perlu digaris bawahi 'pulang paksa' yang kecil kemungkinan membuatnya harus mampir main ke rumah teman dulu. "Ada yang aneh?" tanya Biru. Kia tak menjawab dia lalu menatap ke luar. Jarak kantor dengan apartemen ini mungkin kira-kira hanya sepuluh menit perjalanan dengan menggunakan mobil atau Kira-kira lima belas menit dengan rumah kontrakan KIa dan juga rumah milik Biru. "Aku kira kamu tinggal di dekat rumah kontrakanmu," kata Kia, tapi mungkin dia langsung sadar orang seperti Biru tidak mungkin selevel tinggal di kampung seperti dirinya. "Aku hanya tidak ingin ribet urusan kecil masalah kebersihan dan keamanan misalnya, di sini semuanya sudah ditangani menagem
"Kulihat lukamu tidak terlalu parah." Ini kejutan, bahkan Biru sepertinya tidak menyangka kalau sang bibi akan datang menjenguknya, tanpa Zafran, Renata atau suaminya. "Bibi datang," kata Biru setelaj berhasil mengatasi keterkejutannya, Kia sendiri langsung melompat dari duduknya saat tahu siapa yang datang, dan dia yang tahu diri segera menyingkir karena wanita itu menatap Kia seolah dia adalah hama penggangu. Tidak heran sih, apalagi setelah kejutan yang Kia tampilkan dalam pesta waktu itu. "Ckk kamu memang benar-benar merepotkan, untuk apa kamu mengumpankan diri hingga terluka." Biru terlihat tak setuju dengan kata-kata sang bibi, dan ingin membantah. Dia menatap Kia sejenak dan melihat Kia yang menggeleng tak kentara. Bukan Kia sok baik atau apa sih, tapi dia hanya tidak ingin Biru merasa sendiri, dia tahu meski sang bibi tak terlalu memperhatikannya, Biru sangat menyayangi bibinya. "Aku datang bersama Kia," kata Biru singkat. "Aku tidak tahu dari sekian banyak wanita ya
"Apa aku perlu menghubungi keluargamu yang lain?" tanya Kia. Biru menggeleng. "Kamu bisa pulang, maaf tidak bisa mengantarmu," katanya datar. Kia menatap laki-laki itu tak enak hati. Miris memang setahunya di saat Renata sakit waktu itu, Biru bilang ikut menjaganya di rumah sakit, tapi sekarang saat laki-laki itu sakit dan itu karena uah Renata, tidak ada satupun dari mereka yang bahkan datang menyusul. Kia menggeleng bukankah dia tidak boleh berburuk sangka, mungkin saja mereka masih capek atau sibuk dengan pesta itu. "Aku sudah menghubungi temanku, untuk mengatakan pada ibu, aku akan menemanimu di sini." Biru menatap Kia dengan pandangan antara ingin tersenyum juga tak percaya. "Kenapa kamu melakukan ini?" tanya Biru. Kia meluruskan duduknya dan membenarkan rambutnya. "Melakukan apa?" tanyanya tak mengerti. "Membawaku ke rumah sakit dan mengurus semuanya, padahal kamu bilang tidak mau jadi pacarku apa
Tidak ada senyum di wajah Renata sepanjag acara itu berlangsung. Bagi Kia hal itu cukup wajar, Jika dia yang mendapati suaminnya menikah lagi, mungkin bukan hanya wajahnya yang masam, tapi dia akan langsung balik badan dan tak akan mau melihat wajah mereka lagi. Kia akan sangat mengagumi ketegaran Renata, andai saja.... "Kenapa tidak langsung menikah?" bisik Kia pada Biru yang pandangannya masih terpaku pada prosesi tukar cincin pada pasangan calon pengantin. "Wanita itu anak orang kaya bukan, dia pasti ingin pesta yang selayaknya." "Meski dia istri kedua," kata KIa sinis. "Yah mau bagaimana lagi, dia cintanya sama mas Zafran.""Kamu yakin itu cinta, bukan karena tujuan lain?" Sepertinya Kia sudah ketularan penyakit julid LIta. Biru kembali mengangkat bahunya. "Kamu bilang ingin melihat mereka menikah, tapi kamu kenapa pertanyaanmu seolah kamu tidak suka dengan calon istri mas Zafran." "Bukan tidak suka sih, hanya kok tidak masuk akal saja." "Bukankah cinta katanya mem
"Kamu yakin ini rumah calon istri ketiga Zafran?" tanya Kia sekali lagi. Dia sampai melangkah ke depan Biru dan menatap laki-laki itu tajam, seolah mencari kebohongan di wajahnya. "Tentu saja mbak Rena minggu lalu mengajakku kemari, dan maaf kali ini tidak seperti pernikahan mas Zafran dan kakakmu yang hanya diketahui mereka saja, sekarang semua keluarga besar tahu." "Mereka juga mendukung, termasuk om dan tantemu?" tanya Kia dan anggukan yang diberikan Biru membuat Kia menggelenng tak percaya. "Dan kamu juga mendukungnya?" "Kalau bisa aku ingin menghentikannya, untuk itulah aku mengajakmu ke sini." "Aku tidak punya hak." "Aku tahu, tapi kamu akan mengingatkan mereka pada kasus kakakmu, lagi pula ini acara keluarga dan sudah sepantasnya aku mengajak teman dekatku," jawab Biru mantap. Kia tak menjawab dia kembali berbalik dan menatap bangunan di depannya, bukan bangunan modern yang megah memang, bahkan bagian depan di dominasi oleh kayu berukir rumit khas jawa. "Sepertinya me
"Aku tidak ada bersamanya waktu itu, kamu pasti sudah tahu aku dengar kamu bertanya pada beberapa orang." "Dan mereka pasti mengatakan seperti yang kamu mau." Zafran menatap Kia terkejut tapi tidak menjawab, dan itu menguatkan dugaan Kia. "Aku tidak tahu kalau dia hamil sebenarnya, tapi aku punya dugaan dari perubahan sikap dan bentuk tubuhnya, juga siklus bulanannya, kamu tahu bukan." Kia buru-buru mengangguk. "Aku meminta Biru untuk membelikan obat penggugur kandungan, aku tidak langsung menyuruhnya hanya mengatakan sambil lalu obat apa itu dan mungkin saja dia membutuhkan, NIna waktu itu hanya tersenyum, tapi dia pasti tahu kalau aku tidak menginginkan anak yang dikandungnya, tepatnya aku khawatir dengan masa depan anak itu." "Karena kamu tidak mencintai ibunya." "Aku menyayangi Nina... tapi aku terlalu lemah," jawab Zafran sambil menunduk. Kia menatap Zafran dengan jijik. "Andai aku tahu itu lebih cepat, aku akan menyeret mbak NIna meninggalkanmu, dan kamu pantas untuk itu.