Semua Bab BUKAN IPAR SEMBARANGAN: Bab 1 - Bab 10

47 Bab

Bab 1

“Kalau kamu mau tinggal di sini, beresin nih barang-barang kami. Ingat, ya, Mbak. Kamu itu di sini Cuma numpang!” bisik Sandy---adik pertama dari Mas Wisnu. Dia mendorong koper miliknya ke arahku. Sandy Hutama namanya. Selangit gayanya. Kadang aku heran. Bisa-bisanya orang sebaik Mas Wisnu harus berada di tengah-tengah keluarga dengan tabiat yang luar biasa. “Eh, San … dy … sekarang, aku ini Mbak kamu, ya! Istri sah dari Mas Wisnu Hutama. Bukan pem-ban-tu.” Aku menarik ujung kaos Sandy yang kekecilan itu. Sepertinya harus kutatar gadis ini agar bisa memilih baju yang elok dipandang. Harus kuajarkan bagaimana bicara pada orang yang lebih tua dan dituakkan. “Maria! Lihat, nih! Mbak diserang orang udik!” Tanpa kusangka, dia berteriak, meminta tolong pada adiknya. Iparku yang kedua. “Astagaaa! Mbak Nika, kamu apain Mbak Sandy. Harus tahu diri, ya, jadi perempuan! Kamu itu di sini Cuma num-pang.” Keduanya kini saling berkacak pinggang dan memandangku penuh kebencian. Aku mengusap waja
Baca selengkapnya

Bab 2

“Sudah lama, Sayang. Kata Papi, waktu usia Mas masih dua tahun. Mami meninggal karena kecelakaan. Untung ada Mami Rida yang mau mengurusi Mas hingga sekarang.” Aku menghela napas lalu kutatap manik hitam yang selalu tampak sendu itu sambil bicara pelan, “Aku sekarang sudah resmi jadi istrimu, Mas. Aku ingin Mas cerita padaku. Apa … Mas ingin bertemu dengan Ibu kandung, Mas?” tanyaku hati-hati.“Kenapa kamu bertanya begitu, Sayang? Anak mana yang gak ingin bertemu Ibunya. Hanya saja, Mas tak mau mengandaikan yang tak mungkin lagi terjadi. Mami sudah tenang di surga-Nya. Dia pun pasti akan sedih kalau melihat Mas tak bahagia.” Aku mengangguk. Sangat paham atas apa yang dia rasakan. “Aku jadi penasaran, foto Mami mas seperti apa, ya? Pasti sangat cantik. Sejak ke rumah ini, tak ada satupun foto Mami Mas yang dipajang.” “Oh, itu … Mas ada simpan satu di laci. Papa meminta ART menurunkan semua foto Mami takut Mama Rida tersinggung, katanya. Dulu waktu Mas masih kecil, Mas masih inget n
Baca selengkapnya

Bab 3

Papa Hutama tersenyum ramah ketika kami datang. Mas Wisnu menarikkan kursi untukku. Semua sudah duduk di meja makan dan tampak beragam hidangan yang sudah ditata. “Duduk, Sayang …,” bisik Mas Wisnu sambil memegangi belakang kursi. Sepasang matanya melirik ke arahku. “Iya, Mas.”Aku pun menurut. Lalu duduk. Mas Wisnu sendiri duduk di sampingku. Jadi kini di sisiku kananku ada Sandy dan Maria. Sementara itu, di depanku ada Papa Hutama dan Mama Rida. Mas Wisnu berada di samping kiriku. Meja makan ini menjadi gak balance. Di depan sana memang hanya didominasi dua orang. “Semoga kamu suka makanan di sini, Nika.” Papa Hutama membuka suara. Aku tersenyum sambil mengangguk. “InsyaAllah, Pa. Nika bukan pemilih makanan, kok.” "Syukurlah! Kalau ada rasa yang kurang, bilang saja sama Bi Narti." "Iya, Pa."Papa Hutama pun lanjut mengambil lauk. Mama Rida tampak sekali cekatan melayaninya. “Ini, nasinya, Sayang!” Mas Wisnu menyendokkanku nasi. Perhatianku pada sepasang suami istri di depanku
Baca selengkapnya

Bab 4

“Mas, aku mau kerja, boleh? Bosan kalau di rumah terus.” Misi pertama aku lancarkan. Sebetulnya bekerja adalah sebuah alasan saja. Aku harus punya akses keluar rumah dengan bebas tanpa mendapatkan banyak pertanyaan. “Ya sudah, nanti Mas check ke bagian HRD. Di divisi mana yang butuh tenaga tambahan.”“Gak enak kalau di kantornya, Mas. Aku mau nyari kerja sendiri, Mas.” “Loh, kenapa gak enak? Justru ‘kan gak usah pusing. Bisa langsung masuk.” “Ya gak gitu juga konsepnya. Mas sadar, gak, sih? Mama Rida sama kedua adik Mas itu kayak gak suka sama aku. Mungkin mereka mikir aku ini cuma numpang dan manfaatin kekayaan kamu saja. Aku gak mau, Mas.” Mas Wisnu yang sejak tadi berkutat dengan laptop menoleh. Aku masih tiduran di tempat tidur sambil menatap ke arahnya. “Jadi, mau nyari kerja sendiri?” “Iya, Mas. Boleh?” Aku memasang wajah memelas. Mas Wisnu tersenyum dan mengangguk juga pada akhirnya. “Ya sudah, atur saja, Sayang. Hanya saja … Mas harap kamu nyari kerja yang waktu kerjan
Baca selengkapnya

Bab 5

Sudah dua minggu lebih aku berada di rumah ini. Setiap hari, aku terus mencoba mendekatkan diri dengan Bi Narti. Dia tampak senang dan berterima kasih karena merasa terbantu. Aku memaksimalkan waktu-waktu senggang ini sebelum mendapatkan pekerjaan yang kuinginkan. Aku harus bisa mengambil hati Bi Narti secepatnya. “Bibi sudah lama ya kerja di sini? Kata Mas Wisnu dari dia masih kecil?” tukasku sambil membantu mencuci potongan iga sapi. Bi Narti mau masak sop iga sapi hari ini. “Iya, Non. Bahkan dulu Bibi sendiri yang momong Den Wisnu sebelum Bu Rida datang. Dia itu dulu baby sitter di rumah ini, Non.” “Oalah, masa? Kok gak keliatan dia baby sitter sih, Bi? Mama Rida malah cantik banget.” Aku menimpali. Kubuat percakapan ini sesantai mungkin agar Bi Narti tak merasa aku sedang mengorek informasi. “Iya, Non. Dulu itu setahu Bibi, keluarga Pak Hutama itu gak setuju kalau Pak Hutama itu nikah sama Bu Ratna. Tapi aneh, pas Bu Rida hamil sama Pak Hutama, mereka kelihatan seneng banget.
Baca selengkapnya

Bab 6

“Saya ini kekasihnya Mas Wisnu, sebentar lagi akan jadi satu-satunya Nyonya Wisnu Hutama.” Dia bicara sambil membusungkan dada. Aku hanya menggeleng dan terkekeh pelan,”Hanya kekasih, ya? Itu pun sudah man-tan.” Senang sekali ketika kulihat raut wajahnya berubah memerah. Sepertinya dia merasa tersinggung dengan ucapanku barusan. Dari status saja kalah telakk kan? Arunika dilawan.Kukira dia sudah kalah. Namun, rupanya dia memiliki nyawa cadangan. Gadis bernama Bella itu mengangkat dagu, beberapa detik kemudian, bibirnya menyeringai, lalu dia merogoh sesuatu dari dalam tasnya. Lalu kekehan terdengar seiring dengan helai demi helai foto dia sebar. “Lihat, ini cewek kampungan! Lihat semua ini! Aku jauh lebih dulu dari pada kamu yang berada di pelukkan Mas Wisnu,” tukasnya. Satu per satu lembaran foto berukuran kartu pos yang cukup banyak jumlahnya itu berjatuhan. Aku merasa detik menjadi lebih lambat seiring dengan adegan demi adegan dalam foto mesra itu. Tampak sekali berbagai fose y
Baca selengkapnya

Bab 7

Makan malam pun usai. Aku masih senyum-senyum sendiri. Pemandangan yang tadi cukup menghibur. Apalagi Bella sempat-sempatnya buang angin di depan Papa Hutama dan semua yang ada di meja makan. Wajahnya yang merah karena malu, bertambah parah ketika dia harus menumpahkan air dalam gelas itu. Sengaja kuprovokasi agar sisa air dalam gelas yang sudah kucampur serbuk pencuci perut itu tumpah. Siapa suruh ngeyel. Sudah kubilang kalau Mas Wisnu itu suamiku. Dia masih saja keukeuh. “Maaf, Papa, Mama … ini kecapekkan ngurusin mau launching bisnis. Jadi kayak gini. Sepertinya masuk angin,” tukasnya sambil berdiri dan mengangguk. Lalu tanpa menunggu jawaban dari semuanya. Bella berlari ke kamar mandi. Bi Narti yang sibuk membersihkan tumpahan air, hanya diam menunduk. Dia tampak terkejut dengan sakit perutnya Bella. Mungkin dia takut disalahkan.Tenang, Bi … semua lauk yang dimakan, aman. Bella sakit perut karena minumannya saja. “Sayang!” Suara Mas Wisnu membuatku menoleh. “Ya, Mas?” tanyak
Baca selengkapnya

Bab 8

Sebuah butik yang terlihat berkelas, kami masuki. Pelayan yang ramah menyambut kami. Setelah itu, kami ke sebuah salon yang cukup besar. “Mas, ke salon yang biasa saja boleh?” rengekku. Kubuat wajah memelas. “Nanti gak bagus hasilnya. Mama Rida langganan ke salon ini, Sayang. Dia bilang di sini kebanyakan pakai produk dari klinik kecantikan ternama.” Aku hanya menghela napas pasrah. Beberapa detik otakku berputar mencari cara. Jangan sampai terkuak identitasku yang sebenarnya sebelum berhasil membuat Mas Wisnu percaya jika Maminya masih ada. Tiba-tiba sebuah ide terlintas. “Aduh, duh, duh, Mas … aku sakit perut. Ke toilet sebentar, ya! Mas daftarin saja dulu.” “Kamu salah makan, tah? Oke, Mas ketemu dulu sama yang punya salon. Sudah kenal, sering banget nganter Mama Rida ke sini dulu.” “Iya, Mas.” Lalu, aku berjalan cepat. Sudah tahu betul letak toilet di mana. Ada tembusan dari pintu samping juga. Sementara itu, Mas Wisnu masuk. Aku tak tahu mereka berbincang apa. Aku masih d
Baca selengkapnya

Bab 9

Kami tiba di tempat acara sesuai waktu yang ditentukan. Mas Wisnu malah senang berlama-lama di jalan. Bahkan dia mengajakku dulu berputar-putar sehingga datang tak terlalu awal. “Duh, tapi kok Mas gak ridho ya, Sayang.” Mas Wisnu bergeming ketika mobil sudah terparkir di sebuah bangunan yang tampaknya baru mau jadi. “Gak ridho apanya?” Aku menatap wajah Masa Wisnu heran. “Kamu terlalu cantik hari ini. Gak rela kalau orang-orang ikut mengagumi kecantikanmu.” Dia mengulum senyum sambil melirik ke arahku. Seketika aku terkekeh melihat tingkahnya. “Ya Allah, kirain kenapa, Mas? Ya sudah, aku gak usah ikut saja. Diam di mobil gimana?” “Hush jangan! Nanti kalau ilang, repot nyarinya! Ayo, kita paling telat nih, Sayang.” Mas Wisnu lekas melepas seat bealt. Lalu berjalan keluar. Aku pun mengikutinya. Kini kami berada di sebuah bangunan pabrik yang tampaknya baru selesai. Banyak sudah mobil terparkir di depan. “Ini pabrik ya, Mas?” tanyaku. “Iya, Sayang. Baru selesai bangun. Ownernya ke
Baca selengkapnya

Bab 10

“Perkenalkan, saya Mbok Juminem, pengganti Bi Narti. Hari ini mulai kerja di sini. Mohon petunjuknya!” Deg!Aku merasa kaget luar biasa. Lalu kutatap wajah Mas Wisnu yang terlihat sama bingungnya. “Sejak kapan Bi Narti berhenti kerja, kemarin gak bilang apa-apa.” Aku bermonolog sendirian. Namun sepertinya Mbok Juminem mendengarnya. Dia pun menanggapi dengan cepat. “Ndak tahu, Non. Si Mbok memang mendadak juga tadi pagi dikirim dari yayasan. Permisi, nggih. Kalau ada perlu boleh panggil si Mbok ya, Tuan, Nona.” Aku termangu. Sampai-sampai lupa menyahutinya. “Kenapa Bi Narti mendadak mengundurkan diri? Padahal kemarin sudah janji, hari ini dia akan menceritakan semuanya.” Aku masih termangu hingga punggung Mbok Juminem menghilang di balik ruangan. Suara Mas Wisnu membuatku tersadar, “Sayang .…”“Eh, iy--iya, Mas?” “Kok malah melamun?” “I---ini a--aku lagi ada janji sama Bi Narti, Mas. Kok tiba-tiba ngundurin diri, ya? Apa Mas Wisnu tahu rumahnya?” Aku melirik ke arahnya. Pandang
Baca selengkapnya
Sebelumnya
12345
DMCA.com Protection Status