Share

Bab 7

Makan malam pun usai. Aku masih senyum-senyum sendiri. Pemandangan yang tadi cukup menghibur. Apalagi Bella sempat-sempatnya buang angin di depan Papa Hutama dan semua yang ada di meja makan.

Wajahnya yang merah karena malu, bertambah parah ketika dia harus menumpahkan air dalam gelas itu. Sengaja kuprovokasi agar sisa air dalam gelas yang sudah kucampur serbuk pencuci perut itu tumpah. Siapa suruh ngeyel. Sudah kubilang kalau Mas Wisnu itu suamiku. Dia masih saja keukeuh.

“Maaf, Papa, Mama … ini kecapekkan ngurusin mau launching bisnis. Jadi kayak gini. Sepertinya masuk angin,” tukasnya sambil berdiri dan mengangguk. Lalu tanpa menunggu jawaban dari semuanya. Bella berlari ke kamar mandi.

Bi Narti yang sibuk membersihkan tumpahan air, hanya diam menunduk. Dia tampak terkejut dengan sakit perutnya Bella. Mungkin dia takut disalahkan.

Tenang, Bi … semua lauk yang dimakan, aman. Bella sakit perut karena minumannya saja.

“Sayang!” Suara Mas Wisnu membuatku menoleh.

“Ya, Mas?” tanyaku sambil tersenyum. Aku sedang menggunakan krim malam di depan meja rias.

“Besok bisa temani Mas ‘kan?” tanyanya sambil mengusap pipiku. Dia mendekat dan berdiri di sampingku.

Aku bergeming. Bukan tak mau. Namun, aku ada janji dengan Bi Narti. Dia mau menceritakan detail kejadiannya. Aku butuh itu untuk membuka mata Mas Wisnu. Selama ini keluarga besar Mas Wisnu begitu pandai bermain peran. Di depan Mas Wisnu terlihat begitu sempurna. Padahal nyatanya, mereka hanya memupuk sebuah kebohongan puluhan tahun lamanya. Membuat yang salah menjadi benar, dan menyembunyikan kebenaran itu sendiri.

Andai Mas Wisnu tahu sosok perempuan ringkih itu kini seperti apa. Mungkin dia akan terenyuh hatinya. Namun, sudikah dia mengakui seorang wanita setengah Gila itu sebagai Ibu kandungnya? Kurasa tak mudah. Kecuali doktrin jika ibunya yang dinyatakan meninggal itu sudah sirna.

“Sayang? Gimana?” Suara Mas Winu membuyarkan carut marut pikiranku.

“Ahm, lama gak, Mas? Banyak yang datang?” tanyaku.

“Mungkin seharian Yang datang dari kalangan kolega saja sama kerabat. Acaranya barbeque santai. Kebetulan dia teman lama Papa sama Papanya Bella juga.”

Mas Wisnu seperti tahu, aku tak menyukai Bella. Ketika dia menyebut nama itu. Keputusanku langsung bulat. Aku harus ikut. Pasti dia sibuk pedekate sama Mas Wisnu.

“Oh ya sudah, Mas. Tapi aku gak punya baju yang bagus.”

“Mas sudah pesen di butik langganan keluarga. Besok kita mampir ke sana dulu, terus ke salon.”

“Iya, Mas.”

Mau tak mau, acaraku dengan Bi Narti harus terganggu. Namun, tak apa. Dengan Bi Narti masih ada esok lusa. Yang terpenting adalah, Bi Narti sudah menganggapku teman sekarang. Apapun akan lebih mudah kulakukan.

Malam ini, aku tak sempat lagi menemui Bi Narti. Jika Mas Wisnu sudah pulang. Dia begitu manja. Kadang dia hanya memintaku duduk dan menemaninya. Dia kadang masih sibuk dengan laptopnya.

Malam ini pun sama. Dia membahas lagi keinginanku untuk bekerja.

“Sebaiknya di kantor Mas saja, Sayang. Ada posisi yang kosong.”

Aku tertegun. Mas Wisnu tak tahu alasanku yang sebenarnya. Mencari pekerjaan hanya alibi saja. Aku harus bebas keluar dari rumah ini tanpa ada yang curiga. Jika kerja di kantor dia. Ruang gerakku terbatas.

“Gaklah, Mas. Aku biar kerja di tempat lain saja. Kan Mas setuju yang flexible kerjanya. Nih, aku sudah kirim banyak lamaran juga.”

Aku mengambil gawai dan menunjukkan email-email yang beberapa hari lalu aku kirimkan. Tak hanya pada satu pencari kerja. Tetapi, aku mengirim ke beberapa.

“Wah banyak juga, Sayang. Ya sudah … semoga ada yang keterima.”

“Iya, Mas. Makasih.”

Aku menarik napas lega. Untung lamaran-lamaran ini sudah aku kirimkan. Aku jadi punya bukti pada Mas Wisnu. Dia pun tak memaksa lagi agar aku bekerja sekantor dengannya.

***

Keesokan harinya. Pagi-pagi sekali aku sudah bersiap. Kami sarapan bersama seperti biasa. Aku membantu Bi Narti setelah menyiapkan perlengkapan Mas Wisnu.

“Bibi, saya diajak Mas Wisnu pergi. Maaf ya, gak bisa bantu-bantu Bibi siang ini.”

“Gak apa, kok, Non.”

“Bibi mau saya bawain apa?”

“Eh, gak usah. Bibi gak minta apa-apa.”

“Bibi sukanya apa?”

Dia tampak berpikir lalu menggaruk pelipisnya. Aku terkekeh melihat tingkah bingungnya.

“Ya sudah saya beliin Bibi pizza saja, ya!” tawarku.

“Eh, jangan pizza, Non. Bibi gak suka. Kalau memang mau beliin Bibi, beliin martabak manis saja pakai kacang.”

“Nah gitu, dong!”

Aku tersenyum sambil menepuk pundaknya. Lalu, aku pun berpamitan. Aku berangkat dengan Mas Wisnu. Meskipun agak heran ketika melihat Mama Rida dan dua adik ipar masih bersantai.

“Mas, Papa datang sendirian?” tanyaku ketika mobil Mas Wisnu sudah mulai melaju.

“Nanti dia jemput Mama. Acaranya ‘kan mulainya jam sebelas siang.” Mas Wisnu menjawab sambil memutar musik.

“Loh, kok kita pergi sepagi ini?” Aku menautkan alis, heran.

“Kan katanya kamu gak ada baju bagus, gimana sih, Sayang?” kekeh Mas Wisnu sambil menjawil gemas daguku.

“Astaghfirulloh, lupa.” Aku terkekeh. Ingat sekali kalau Mas Wisnu akan mengajakku ke butik dulu terus ke salon.

Sebuah butik yang terlihat berkelas, kami masuki. Pelayan yang ramah menyambut kami. Setelah itu, kami ke sebuah salon yang cukup besar.

“Mas, ke salon yang biasa saja boleh?” rengekku. Kubuat wajah memelas.

“Nanti gak bagus hasilnya. Mama Rida langganan ke salon ini, Sayang. Dia bilang di sini kebanyakan pakai produk dari klinik kecantikan ternama.”

Aku hanya menghela napas pasrah. Beberapa detik otakku berputar mencari cara. Jangan sampai terkuak identitasku yang sebenarnya sebelum berhasil membuat Mas Wisnu percaya jika Maminya masih ada.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status