“Saya ini kekasihnya Mas Wisnu, sebentar lagi akan jadi satu-satunya Nyonya Wisnu Hutama.” Dia bicara sambil membusungkan dada. Aku hanya menggeleng dan terkekeh pelan,”Hanya kekasih, ya? Itu pun sudah man-tan.”
Senang sekali ketika kulihat raut wajahnya berubah memerah. Sepertinya dia merasa tersinggung dengan ucapanku barusan. Dari status saja kalah telakk kan? Arunika dilawan. Kukira dia sudah kalah. Namun, rupanya dia memiliki nyawa cadangan. Gadis bernama Bella itu mengangkat dagu, beberapa detik kemudian, bibirnya menyeringai, lalu dia merogoh sesuatu dari dalam tasnya. Lalu kekehan terdengar seiring dengan helai demi helai foto dia sebar. “Lihat, ini cewek kampungan! Lihat semua ini! Aku jauh lebih dulu dari pada kamu yang berada di pelukkan Mas Wisnu,” tukasnya. Satu per satu lembaran foto berukuran kartu pos yang cukup banyak jumlahnya itu berjatuhan. Aku merasa detik menjadi lebih lambat seiring dengan adegan demi adegan dalam foto mesra itu. Tampak sekali berbagai fose yang cukup intim dan menampilkan wajah Mas Wisnu dan perempuan itu. Beberapa lembar jatuh telungkup, beberapa terpampang jelas gambarnya. Aku menatapnya, kedua tangan bersedekap di depan dada, kutatap dia sambil bicara“Ooo … terus?” Aku menautkan alis. Kupandang sepasang mata itu dengan pandangan menantang. “Dari awal, kamu sudah kalah, Mbak. Mas Wisnu itu sama kamu … cuma cinta sesaat. Lihat saja. Sebentar lagi, dia akan berpaling.” “Ooo … begitu?” Aku mengangguk-angguk sambil mengetuk-ngetukkan jemari ke ujung dagu. Wajah dia tampak makin kesal dan aku suka. Dia kira aku bisa dismash hanya dengan foto-foto itu. Aku percaya dan yakin jika itu adalah editan. Semua orang bisa dengan mudah mengedit foto dan video sekarang. “Habis berapa duit bayar orang buat editin foto, Mbak? Kamu kira, aku anak TK. Terus meraung-raung dan merana?” Aku menyeringai. Dia tampak makin kesal. “Terserah kamu beranggapan apa. Ini foto asli. Kamu bisa tanya teman-teman kantor Mas Wisnu.” Dia bersedekap, tak mau kalah juga rupanya. Aku membuang napas kasar, lalu kembali bicara, “Ya, terserah … walaupun itu bukan editan. Itu hanya membuat kamu lebih menyedihkan. Selama ini ternyata, kamu cuma sedang jagain jodoh orang.” Aku bicara pelan. Namun, kulihat dua tangan perempuan itu mengepal. Kalah telak lagi ‘kan? “Bener yang Sandy bilang. Kamu ndablek. Sok cantik. Sok PD!” Akhirnya dia meluahkan unek-unek di hatinya. Lalu berjalan mendekat ke arahku sambil memicing. Setelah itu dia membisikkan sesuatu, “Kamu boleh merasa menang sekarang … tapi siap-siap, ya … ini baru permulaan. Kamu pasti shock dengan rencana besar yang sudah kami siapkan.” Lalu dia menepuk bahuku, kuusap bekasnya sambil tersenyum. Otak mulai menerka dan mengatur siasat. Rencana apa saja yang paling mungkin dilakukan oleh perempuan itu. Aku tak sempat menjawab ketika dia langsung mengangkat telepon. “Ya, Mam … ini sudah di rumah. Sandy sama Maria gak ada juga … iya, gak ada siapa-siapa saja … yang ada cuma … hmmm pembokat.” Dia terkekeh sambil memicing ke arahku. Lalu berjalan meninggalkanku. Sepertinya sedang berbicara dengan Mama Rida. Aku sendiri bergegas kembali menuju dapur. Lalu membantu Bi Narti lagi. Pelan-pelan aku bertanya lagi. Pas Bi Narti mau cerita. Tiba-tiba suara mobil Mama Rida terdengar. “Besok saja ya Bibi ceritakannya ya. Intinya gini kalau Non Nika bener-bener penasaran. Waktu dulu keluar dari rumah ini, Bu Ratna masih hidup hanya saja … ah besok saja. Itu suara Nyonya Rida sudah terdengar. Kita juga gak bisa bicara di sini. Bibi takut di sini ada CCTV.” Bi Narti bicara sambil berbisik-bisik. Aku pun mengedarkan pandangan ke sekeliling dapur. Namun, tak terlihat olehku benda mencurigakkan itu. “Ya sudah, Bi! Besok kita pasar, ya. Ini bahan-bahan sudah habis.” Aku mengeraskan suara agar terdengar oleh orang lain. Kalau ada yang mungkin sedang mencuri dengar. “Iya, Non.” Bi Rida mengerti kode yang diberikan. Aku sendiri bergegas berjalan menuju kamar. Tampak di ruang keluarga Mama Rida tengah berbincang dengan Bella. Mereka memang tampak akrab dan chemistrynya memang terlihat kuat. Mama Rida tak menyapaku, hanya melirik sekilas dan seperti tak menganggapku ada. Hanya saja mereka pun tak berani menyuruh-nyuruhku. Masih untung ada rasa takut pada Papa Hutama dan Mas Wisnu juga. Mereka takut image baiknya luntur di depan Papa Hutama. Menjelang maghrib, mobil Mas Wisnu terdengar. Aku sudah hapal. Lekas aku turun setelah mengenakan pakaian ganti yang bersih. Kulihat Bella sudah berdiri dan merapikan rok mininya. Senyum pada bibirnya mengembang ketika Mas Wisnu baru saja membuka pintu. “Hay, Mas! Baru pulang?” sapa Bella. “Iya, Bell. Sudah lama?” tanya Mas Wisnu dengan senyuman. “Ya, dari siang. Biasa lagi ada urusan bisnis sama Mama.” Bella tampak begitu percaya diri. “Oooo ….” Mas Wisnu baru selesai melepas sepatu dan menyimpannya pada rak ketika aku mendekat. Bella tersenyum dan berjalan mendekat ke arah suamiku. Hanya saja, aku pun susah selesai menuruni anak tangga. Lalu aku berjalan dengan elegan mendekat ke arah mereka yang kini berhadap-hadapan. “Hay, Sayang! Cantik banget istri Mas!” sapanya. Dia langsung menghampiriku dan melewati Bella begitu saja. “Ahm, alhamdulilah … kan biasanya juga cantik,” ocehku sambil tersenyum. “Kangen, ya? Maaf kesorean pulangnya,” kekeh Mas Wisnu yang kusambut dengan pelukan singkat. Dia mencium pipi kanan kiriku dan sekilas pada bibir. Lalu aku membawakan tas kerjanya. Sudut mataku memicing ke arah Bella. Wajahnya tampak merah padam. “Iya, Mas. Aku tadi sudah masak masakan kesukaan Mas. Ayo sekarang mandi dulu. Airnya sudah aku siapin juga.” Aku sengaja menggandeng lengan Mas Wisnu. Biar Bella tahu, ini adalah adegan mesra yang sesungguhnya bukan hanya rekaan dalam gambar atau video. “Oalah, jadi gak sabar pengen makan … tapi makan kamu,” canda Mas Wisnu. Dia tampak cuek juga pada Bella. Syukurlah … padahal aku sedikit khawatir juga tadi. Secara, aku tak terlalu tahu sedekat apa Bella dengan Mas Wisnu di masa lalu. Aku pun melangkah penuh kemenangan dan menggandeng Mas Wisnu menuju kamar. “Lihat ya, Bella … benar yang kamu bilang, ini baru permulaan. Pas makan malam nanti, aku juga sudah menyiapkan sebuah kejutan buat kamu. Ya, hanya sedikti, sih. Semoga saja berkesan,”gumamku setelah menyelesaikan titian anak tangga. Aku menoleh ke bawah. Tampak Bella duduk kembali sambil menekuk wajah.Makan malam pun usai. Aku masih senyum-senyum sendiri. Pemandangan yang tadi cukup menghibur. Apalagi Bella sempat-sempatnya buang angin di depan Papa Hutama dan semua yang ada di meja makan. Wajahnya yang merah karena malu, bertambah parah ketika dia harus menumpahkan air dalam gelas itu. Sengaja kuprovokasi agar sisa air dalam gelas yang sudah kucampur serbuk pencuci perut itu tumpah. Siapa suruh ngeyel. Sudah kubilang kalau Mas Wisnu itu suamiku. Dia masih saja keukeuh. “Maaf, Papa, Mama … ini kecapekkan ngurusin mau launching bisnis. Jadi kayak gini. Sepertinya masuk angin,” tukasnya sambil berdiri dan mengangguk. Lalu tanpa menunggu jawaban dari semuanya. Bella berlari ke kamar mandi. Bi Narti yang sibuk membersihkan tumpahan air, hanya diam menunduk. Dia tampak terkejut dengan sakit perutnya Bella. Mungkin dia takut disalahkan.Tenang, Bi … semua lauk yang dimakan, aman. Bella sakit perut karena minumannya saja. “Sayang!” Suara Mas Wisnu membuatku menoleh. “Ya, Mas?” tanyak
Sebuah butik yang terlihat berkelas, kami masuki. Pelayan yang ramah menyambut kami. Setelah itu, kami ke sebuah salon yang cukup besar. “Mas, ke salon yang biasa saja boleh?” rengekku. Kubuat wajah memelas. “Nanti gak bagus hasilnya. Mama Rida langganan ke salon ini, Sayang. Dia bilang di sini kebanyakan pakai produk dari klinik kecantikan ternama.” Aku hanya menghela napas pasrah. Beberapa detik otakku berputar mencari cara. Jangan sampai terkuak identitasku yang sebenarnya sebelum berhasil membuat Mas Wisnu percaya jika Maminya masih ada. Tiba-tiba sebuah ide terlintas. “Aduh, duh, duh, Mas … aku sakit perut. Ke toilet sebentar, ya! Mas daftarin saja dulu.” “Kamu salah makan, tah? Oke, Mas ketemu dulu sama yang punya salon. Sudah kenal, sering banget nganter Mama Rida ke sini dulu.” “Iya, Mas.” Lalu, aku berjalan cepat. Sudah tahu betul letak toilet di mana. Ada tembusan dari pintu samping juga. Sementara itu, Mas Wisnu masuk. Aku tak tahu mereka berbincang apa. Aku masih d
Kami tiba di tempat acara sesuai waktu yang ditentukan. Mas Wisnu malah senang berlama-lama di jalan. Bahkan dia mengajakku dulu berputar-putar sehingga datang tak terlalu awal. “Duh, tapi kok Mas gak ridho ya, Sayang.” Mas Wisnu bergeming ketika mobil sudah terparkir di sebuah bangunan yang tampaknya baru mau jadi. “Gak ridho apanya?” Aku menatap wajah Masa Wisnu heran. “Kamu terlalu cantik hari ini. Gak rela kalau orang-orang ikut mengagumi kecantikanmu.” Dia mengulum senyum sambil melirik ke arahku. Seketika aku terkekeh melihat tingkahnya. “Ya Allah, kirain kenapa, Mas? Ya sudah, aku gak usah ikut saja. Diam di mobil gimana?” “Hush jangan! Nanti kalau ilang, repot nyarinya! Ayo, kita paling telat nih, Sayang.” Mas Wisnu lekas melepas seat bealt. Lalu berjalan keluar. Aku pun mengikutinya. Kini kami berada di sebuah bangunan pabrik yang tampaknya baru selesai. Banyak sudah mobil terparkir di depan. “Ini pabrik ya, Mas?” tanyaku. “Iya, Sayang. Baru selesai bangun. Ownernya ke
“Perkenalkan, saya Mbok Juminem, pengganti Bi Narti. Hari ini mulai kerja di sini. Mohon petunjuknya!” Deg!Aku merasa kaget luar biasa. Lalu kutatap wajah Mas Wisnu yang terlihat sama bingungnya. “Sejak kapan Bi Narti berhenti kerja, kemarin gak bilang apa-apa.” Aku bermonolog sendirian. Namun sepertinya Mbok Juminem mendengarnya. Dia pun menanggapi dengan cepat. “Ndak tahu, Non. Si Mbok memang mendadak juga tadi pagi dikirim dari yayasan. Permisi, nggih. Kalau ada perlu boleh panggil si Mbok ya, Tuan, Nona.” Aku termangu. Sampai-sampai lupa menyahutinya. “Kenapa Bi Narti mendadak mengundurkan diri? Padahal kemarin sudah janji, hari ini dia akan menceritakan semuanya.” Aku masih termangu hingga punggung Mbok Juminem menghilang di balik ruangan. Suara Mas Wisnu membuatku tersadar, “Sayang .…”“Eh, iy--iya, Mas?” “Kok malah melamun?” “I---ini a--aku lagi ada janji sama Bi Narti, Mas. Kok tiba-tiba ngundurin diri, ya? Apa Mas Wisnu tahu rumahnya?” Aku melirik ke arahnya. Pandang
Aruna-Deep beatuy Skin Clinic adalah usaha yang susah payah aku rintis semenjak lulus kuliah kedokteran dan kini sudah memiliki 4 cabang. Semua itu tak kudapatkan dengan mudah. Semua itu tak lepas dari dukungan Mamaku yang bernama Aruna Ratih Eka Putri karena itu juga, nama klinik ini kuambil dari nama Mama---Aruna, dan bukan dari namaku Arunika. Mama terlahir dari keluarga sederhana di kota Bandung sana. Hanya saja keberuntungan berpihak. Dia mendapat jodoh salah seorang pengusaha sawit dari Riau, hanya saja semua harus ditebusnya dengan meninggalkan kampung halaman. Akulah yang kemudian tinggal di Bandung semenjak mulai kuliah dan membuat Nenek kembali merasa tak kesepian. Nenek hanya memiliki dua anak. Ibuku dan adiknya yang kini bekerja di luar pulau juga. Dari dukungan kedua orang tuaku inilah akhirnya aku bisa menyelesaikan kuliah kedokteran. Walaupun memang Papa terkesan tak peduli dengan kehidupan anaknya. Dia adalah seorang warkaholic yang gila kerja. Itu juga yang membuat
Sore harinya, aku dan Mas Wisnu sudah bersiap untuk berangkat ketika Mama Rida memanggil Mas Wisnu. “Ada apa, Ma?” Mas Wisnu yang sudah menggenggam kunci mobil tergopoh menghampiri Mama Rida. “Wisnu bisa anterin Mama dulu gak, please! Ini temen Mama kecelakaan. Papa kamu belum pulang.” “Wah, Wisnu mau berangkat, Ma. Apa gak bisa dianter Sandy atau Maria?” tanya Mas Wisnu. Tatapannya tampak gamang. “Kamu kayak gak tahu saja, Nu. Dua adik kamu kalau bawa mobil kayak gimana. Mama bisa-bisa ikut masuk rumah sakit juga karena jantungan.” “Hmmm … gimana ya, Sayang?” Aku melihat ada sorot kebimbangan yang terpancar di mata Mas Wisnu. “Mama jarak rumah sakitnya jauh, gak?” tanyaku sambil merapikan sling bag di pundak. “Hmmm … lumayan, sih! Kenapa gitu, Nika?” Mama Rida menatapku. “Sekalian kita jalan saja kalau gitu, gimana?” Aku memberikan ide. Mama Rida tampak berpikir sejenak sebelum kemudian mengangguk. “Ya sudah, begitu lebih baik. Memangnya kalian mau ke mana, sih? Sudah malam
Setelah sedikit berdebat dengan Mas Wisnu, akhirnya kami berangkat. Mama Rida terdengar menyelidik. Namun, aku minta Mas Wisnu jangan bilang tujuan yang sebenarnya. Aku bilang, nenek mendadak menelpon nyuruh pulang. Sudah, itu saja. Perjalanan menuju Bogor memakan waktu kurang lebih tiga jam, ditambah dengan kemacetan. Berbekal dengan arahan google maps akhirnya mobil yang aku tumpangi dengan Mas Wisnu tiba di depan sebuah rumah mungil dengan halaman yang tak terlalu luas. Pohon jambu air tampak rimbun di bagian kiri halamannya.“Betul ini rumahnya, Mas?” Aku menatap Mas Wisnu.“Kalau dari maps sih, betul.” Dia pun memeriksa kembali layar ponselnya. Aku bergegas turun. Lalu mengucap salam. Muncul seorang perempuan berusia mungkin sekitar tiga puluh tahunan. Aku pun mengutarakan maksud kedatanganku yaitu untuk menemui Bi Narti. “Ibu bekerja jadi ART, Mbak. Dia kerja di kota. Jadi gak ada di rumah.” “Sejak kapan berangkatnya? Bukannya baru saja pulang, ya?” Aku mengejar pertanyaann
Pov Mama RidaMenjadi Nyonya Hutama merupakan pencapaian terbesar dalam hidupku. Hal yang aku perjuangkan dengan susah payah, akhirnya berbuah indah. Kini semua terasa manis. Berjalan sempurna sesuai rencana. Mas Hutama sudah bertekuk lutut. Aku sudah tahu betul kelemahan Mas Hutama yaitu Wisnu. Selama Wisnu menyayangiku dan menganggapku seperti Ibu kandungnya sendiri, tak ada hal yang perlu dikhawatirkan. Semua hal dengan mudah kukendalikan. Termasuk pembagian warisan. Aku sudah meminta Mas Hutama membagi rata semua harta. Jadi tak ada Wisnu yang lebih besar bagiannya. Semua akan sama saja. Hanya saja, masih menunggu waktu. Mas Hutama bilang, nanti akan meminta notarisnya membuatkan surat pembagian dengan kategori hibah. Ah, tak sabar menunggu saat itu datang. Wisnu pun adalah anak yang mudah dikendalikan. Hatinya terlalu lembut dan penurut seperti Ratna. Jadi tak ada hal yang terlalu harus kukhawatirkan. Semua akan berjalan sesuai rencana. Kebaikan Wisnu adalah kelemahannya. Hany