Share

Bab 5

Author: Evie Yuzuma
last update Last Updated: 2024-07-03 19:50:17

Sudah dua minggu lebih aku berada di rumah ini. Setiap hari, aku terus mencoba mendekatkan diri dengan Bi Narti. Dia tampak senang dan berterima kasih karena merasa terbantu. Aku memaksimalkan waktu-waktu senggang ini sebelum mendapatkan pekerjaan yang kuinginkan. Aku harus bisa mengambil hati Bi Narti secepatnya.

“Bibi sudah lama ya kerja di sini? Kata Mas Wisnu dari dia masih kecil?” tukasku sambil membantu mencuci potongan iga sapi. Bi Narti mau masak sop iga sapi hari ini.

“Iya, Non. Bahkan dulu Bibi sendiri yang momong Den Wisnu sebelum Bu Rida datang. Dia itu dulu baby sitter di rumah ini, Non.”

“Oalah, masa? Kok gak keliatan dia baby sitter sih, Bi? Mama Rida malah cantik banget.” Aku menimpali. Kubuat percakapan ini sesantai mungkin agar Bi Narti tak merasa aku sedang mengorek informasi.

“Iya, Non. Dulu itu setahu Bibi, keluarga Pak Hutama itu gak setuju kalau Pak Hutama itu nikah sama Bu Ratna. Tapi aneh, pas Bu Rida hamil sama Pak Hutama, mereka kelihatan seneng banget. Sampai-sampai Nyonya besar datang ke sini.”

“J--Jadi, Mama Rida hamil dulu sebelum nikah, Bi? Terus Bu Ratna gimana nasibnya?” Aku memasang wajah kaget. Tepatnya pura-pura kaget.

“Duh … jadi ngomongin orang ya, Non.” Bi Narti mulai terlihat takut. Dia celingukkan kanan kiri.

“Gak ada orang kok, Bi. Gak usah takut. Bibi cerita saja.” Aku meyakinkan.

“Bukan gitu, Non. Setahu Bibi, Bu Rida itu pasang CCTV banyak banget. Dulu pas mau masangnya, Bibi disuruh ke pasar. Jadi gak tahu di mana saja letaknya. Kalau di depan rumah itu kan kelihatan. Nah ini yang di dalam, takutnya ada di tempat-tempat yang gak kelihatan. Bibi takut, Non.”

Aku bergeming. Satu hal yang tak kuwaspadai yaitu CCTV. Gi la, apa setiap sudut rumah mereka pasang benda itu. Apa yang sebetulnya mereka takutkan?

Hanya saja ini bisa jadi satu point yang melemahkan, tapi bisa jadi juga menguntungkan. Berarti kejadian kemarin waktu Sandy dan Maria menyerang mentalku akan ada rekamannya. Namun, andai di sini ada CCTV, maka aku harus bersiap. Aku harus bisa mempengaruhi Mas Wisnu dengan bukti-bukti seadanya jika terdesak.

“Oalah, Bu Rida itu hati-hati sekali ya jadi orang. Semua tempat dipasangin CCTV.” Aku terkekeh. Sebal sebetulnya. Lalu pandanganku mengedar. Namun, aku tak melihat benda mencurigakkan itu di sini. Namun, entah kalau di tempat tersembunyi. Hanya saja sudah kadung nanya-nanya. Sebaiknya kulanjutkan saja.

“Saya jadi penasaran wajah Mamanya Mas Wisnu, pasti cantik ya, Bi? Soalnya Mas Wisnu juga tampan.”

“Non, boleh jangan bahas Bu Ratna lagi, gak? Bibi takut.” Dia tampak mulai gelisah tak nyaman.

Aku menautkan alis dan menatapnya, “Bibi takut kenapa? Apa dia jadi hantu gentayangan setelah meninggal karena kecelakaan itu?”

Bi Narti tampak menelan saliva. Dia menatapku sekilas dengan wajah tegang lalu bicara, “S--sebetulnya … Bu Ratna itu ….”

“Spadaaa!”

Suara seseorang yang memijit bell dan berteriak-teriak di luar membuat Bi Narti tak jadi melanjutkan ucapannya. Dia meninggalkan siung-siung bawang yang sedang dia siangi. Lalu tergopoh ke dalam. Sementara itu, aku segera mematikan tombol rekam pada ponselku. Tak satupun kegiatan yang sekiranya bisa menjadi bukti tak aku rekam. Ini akan menjadi bukti berikutnya untuk memperkuat ceritaku di depan Mas Wisnu nanti.

Setelah itu, jemariku sigap membersihkan bawang merah dan bawang putih untuk membuat bumbu sop. Bi Narti sudah menyiapkan bakal bumbu lainnya di atas ulekan. Katanya masak dengan diulek sendiri atau pakai blender itu beda rasanya. Aku sih, manut saja. Yang penting masakannya matang dan enak.

“Mbak, buatin minum, dong!” Suara itu membuatku menoleh. Seorang perempuan dengan gaya sebeleas dua belas dengan Sandy berdiri. Tasnya tampak bermerk. Sepatunya hak tinggi. Tampaknya dia memakain stocking hingga ke p*h*, hingga ujung stockingnya saling bersentuhan dengan rok mini yang dikenakannya.

“Eh, kamu ini siapa, ya? Tamu?” tanyaku. Kurasa gelagatnya sudah tak sopan.

“Eh, pembokat saja banyak tanya. Bi Narti, ajarin tuh anaknya! Disuruh buat minum saja, ngeyel!” ocehnya sambil mendelik ke arah Bi Narti yang baru saja datang.

“Maaf, Non Bella. Ini Non Arunika, istrinya Den Wisnu.” Bi Narti mengangguk hormat pada perempuan dengan baju pas-pasan tadi. Lalu dia mengangguk ke arahku.

Perempuan yang dipanggil Bella tadi memicing. Dia menatapku dari atas hingga bawah dengan pandangan merendahkan. Lalu terlihat seringai pada bibirnya yang berwarna merah cerry.

“Ooo … maaf, habisnya gak kelihatan tampang majikan. Ya sudah, Bibi tolong buatin minum! Bibi tahu ‘kan minuman kesukaan saya?” Bella mengerling ke arah Bi Narti.

“Iya, baik, Non!” Bi Narti mengangguk sopan. Sementara itu, Bella melirik sinis ke arahku. Dia pun berlalu pergi meninggalkan dapur.

“Siapa dia, Bi?” tanyaku hanya sekadar memastikan. Aku sudah tahu kemarin dari Sandy dan Maria kalau dia itu siapa.

“D--dia … anu, Non.” Bi Narti menggaruk kepala dan tampak bingung. Namun, tanpa kusangka ternyata Bella balik lagi. Dia menjawab dengan lantang dan tak tahu malu.

“Saya ini kekasihnya Mas Wisnu, sebentar lagi akan jadi satu-satunya Nyonya Wisnu Hutama.” Dia bicara sambil membusungkan dada. Aku hanya menggeleng dan terkekeh pelan,”Hanya kekasih, ya? Itu pun sudah man-tan.”

Senang sekali ketika kulihat raut wajahnya berubah memerah. Sepertinya dia merasa tersinggung dengan ucapanku barusan.

Dari status saja kalah telakkkan? Mau coba-coba menyerang. Dia pikir, aku takut?

Related chapters

  • BUKAN IPAR SEMBARANGAN   Bab 6

    “Saya ini kekasihnya Mas Wisnu, sebentar lagi akan jadi satu-satunya Nyonya Wisnu Hutama.” Dia bicara sambil membusungkan dada. Aku hanya menggeleng dan terkekeh pelan,”Hanya kekasih, ya? Itu pun sudah man-tan.” Senang sekali ketika kulihat raut wajahnya berubah memerah. Sepertinya dia merasa tersinggung dengan ucapanku barusan. Dari status saja kalah telakk kan? Arunika dilawan.Kukira dia sudah kalah. Namun, rupanya dia memiliki nyawa cadangan. Gadis bernama Bella itu mengangkat dagu, beberapa detik kemudian, bibirnya menyeringai, lalu dia merogoh sesuatu dari dalam tasnya. Lalu kekehan terdengar seiring dengan helai demi helai foto dia sebar. “Lihat, ini cewek kampungan! Lihat semua ini! Aku jauh lebih dulu dari pada kamu yang berada di pelukkan Mas Wisnu,” tukasnya. Satu per satu lembaran foto berukuran kartu pos yang cukup banyak jumlahnya itu berjatuhan. Aku merasa detik menjadi lebih lambat seiring dengan adegan demi adegan dalam foto mesra itu. Tampak sekali berbagai fose y

    Last Updated : 2024-07-03
  • BUKAN IPAR SEMBARANGAN   Bab 7

    Makan malam pun usai. Aku masih senyum-senyum sendiri. Pemandangan yang tadi cukup menghibur. Apalagi Bella sempat-sempatnya buang angin di depan Papa Hutama dan semua yang ada di meja makan. Wajahnya yang merah karena malu, bertambah parah ketika dia harus menumpahkan air dalam gelas itu. Sengaja kuprovokasi agar sisa air dalam gelas yang sudah kucampur serbuk pencuci perut itu tumpah. Siapa suruh ngeyel. Sudah kubilang kalau Mas Wisnu itu suamiku. Dia masih saja keukeuh. “Maaf, Papa, Mama … ini kecapekkan ngurusin mau launching bisnis. Jadi kayak gini. Sepertinya masuk angin,” tukasnya sambil berdiri dan mengangguk. Lalu tanpa menunggu jawaban dari semuanya. Bella berlari ke kamar mandi. Bi Narti yang sibuk membersihkan tumpahan air, hanya diam menunduk. Dia tampak terkejut dengan sakit perutnya Bella. Mungkin dia takut disalahkan.Tenang, Bi … semua lauk yang dimakan, aman. Bella sakit perut karena minumannya saja. “Sayang!” Suara Mas Wisnu membuatku menoleh. “Ya, Mas?” tanyak

    Last Updated : 2024-07-18
  • BUKAN IPAR SEMBARANGAN   Bab 8

    Sebuah butik yang terlihat berkelas, kami masuki. Pelayan yang ramah menyambut kami. Setelah itu, kami ke sebuah salon yang cukup besar. “Mas, ke salon yang biasa saja boleh?” rengekku. Kubuat wajah memelas. “Nanti gak bagus hasilnya. Mama Rida langganan ke salon ini, Sayang. Dia bilang di sini kebanyakan pakai produk dari klinik kecantikan ternama.” Aku hanya menghela napas pasrah. Beberapa detik otakku berputar mencari cara. Jangan sampai terkuak identitasku yang sebenarnya sebelum berhasil membuat Mas Wisnu percaya jika Maminya masih ada. Tiba-tiba sebuah ide terlintas. “Aduh, duh, duh, Mas … aku sakit perut. Ke toilet sebentar, ya! Mas daftarin saja dulu.” “Kamu salah makan, tah? Oke, Mas ketemu dulu sama yang punya salon. Sudah kenal, sering banget nganter Mama Rida ke sini dulu.” “Iya, Mas.” Lalu, aku berjalan cepat. Sudah tahu betul letak toilet di mana. Ada tembusan dari pintu samping juga. Sementara itu, Mas Wisnu masuk. Aku tak tahu mereka berbincang apa. Aku masih d

    Last Updated : 2024-07-18
  • BUKAN IPAR SEMBARANGAN   Bab 9

    Kami tiba di tempat acara sesuai waktu yang ditentukan. Mas Wisnu malah senang berlama-lama di jalan. Bahkan dia mengajakku dulu berputar-putar sehingga datang tak terlalu awal. “Duh, tapi kok Mas gak ridho ya, Sayang.” Mas Wisnu bergeming ketika mobil sudah terparkir di sebuah bangunan yang tampaknya baru mau jadi. “Gak ridho apanya?” Aku menatap wajah Masa Wisnu heran. “Kamu terlalu cantik hari ini. Gak rela kalau orang-orang ikut mengagumi kecantikanmu.” Dia mengulum senyum sambil melirik ke arahku. Seketika aku terkekeh melihat tingkahnya. “Ya Allah, kirain kenapa, Mas? Ya sudah, aku gak usah ikut saja. Diam di mobil gimana?” “Hush jangan! Nanti kalau ilang, repot nyarinya! Ayo, kita paling telat nih, Sayang.” Mas Wisnu lekas melepas seat bealt. Lalu berjalan keluar. Aku pun mengikutinya. Kini kami berada di sebuah bangunan pabrik yang tampaknya baru selesai. Banyak sudah mobil terparkir di depan. “Ini pabrik ya, Mas?” tanyaku. “Iya, Sayang. Baru selesai bangun. Ownernya ke

    Last Updated : 2024-07-21
  • BUKAN IPAR SEMBARANGAN   Bab 10

    “Perkenalkan, saya Mbok Juminem, pengganti Bi Narti. Hari ini mulai kerja di sini. Mohon petunjuknya!” Deg!Aku merasa kaget luar biasa. Lalu kutatap wajah Mas Wisnu yang terlihat sama bingungnya. “Sejak kapan Bi Narti berhenti kerja, kemarin gak bilang apa-apa.” Aku bermonolog sendirian. Namun sepertinya Mbok Juminem mendengarnya. Dia pun menanggapi dengan cepat. “Ndak tahu, Non. Si Mbok memang mendadak juga tadi pagi dikirim dari yayasan. Permisi, nggih. Kalau ada perlu boleh panggil si Mbok ya, Tuan, Nona.” Aku termangu. Sampai-sampai lupa menyahutinya. “Kenapa Bi Narti mendadak mengundurkan diri? Padahal kemarin sudah janji, hari ini dia akan menceritakan semuanya.” Aku masih termangu hingga punggung Mbok Juminem menghilang di balik ruangan. Suara Mas Wisnu membuatku tersadar, “Sayang .…”“Eh, iy--iya, Mas?” “Kok malah melamun?” “I---ini a--aku lagi ada janji sama Bi Narti, Mas. Kok tiba-tiba ngundurin diri, ya? Apa Mas Wisnu tahu rumahnya?” Aku melirik ke arahnya. Pandang

    Last Updated : 2024-07-21
  • BUKAN IPAR SEMBARANGAN   Bab 11

    Aruna-Deep beatuy Skin Clinic adalah usaha yang susah payah aku rintis semenjak lulus kuliah kedokteran dan kini sudah memiliki 4 cabang. Semua itu tak kudapatkan dengan mudah. Semua itu tak lepas dari dukungan Mamaku yang bernama Aruna Ratih Eka Putri karena itu juga, nama klinik ini kuambil dari nama Mama---Aruna, dan bukan dari namaku Arunika. Mama terlahir dari keluarga sederhana di kota Bandung sana. Hanya saja keberuntungan berpihak. Dia mendapat jodoh salah seorang pengusaha sawit dari Riau, hanya saja semua harus ditebusnya dengan meninggalkan kampung halaman. Akulah yang kemudian tinggal di Bandung semenjak mulai kuliah dan membuat Nenek kembali merasa tak kesepian. Nenek hanya memiliki dua anak. Ibuku dan adiknya yang kini bekerja di luar pulau juga. Dari dukungan kedua orang tuaku inilah akhirnya aku bisa menyelesaikan kuliah kedokteran. Walaupun memang Papa terkesan tak peduli dengan kehidupan anaknya. Dia adalah seorang warkaholic yang gila kerja. Itu juga yang membuat

    Last Updated : 2024-07-22
  • BUKAN IPAR SEMBARANGAN   Bab 12

    Sore harinya, aku dan Mas Wisnu sudah bersiap untuk berangkat ketika Mama Rida memanggil Mas Wisnu. “Ada apa, Ma?” Mas Wisnu yang sudah menggenggam kunci mobil tergopoh menghampiri Mama Rida. “Wisnu bisa anterin Mama dulu gak, please! Ini temen Mama kecelakaan. Papa kamu belum pulang.” “Wah, Wisnu mau berangkat, Ma. Apa gak bisa dianter Sandy atau Maria?” tanya Mas Wisnu. Tatapannya tampak gamang. “Kamu kayak gak tahu saja, Nu. Dua adik kamu kalau bawa mobil kayak gimana. Mama bisa-bisa ikut masuk rumah sakit juga karena jantungan.” “Hmmm … gimana ya, Sayang?” Aku melihat ada sorot kebimbangan yang terpancar di mata Mas Wisnu. “Mama jarak rumah sakitnya jauh, gak?” tanyaku sambil merapikan sling bag di pundak. “Hmmm … lumayan, sih! Kenapa gitu, Nika?” Mama Rida menatapku. “Sekalian kita jalan saja kalau gitu, gimana?” Aku memberikan ide. Mama Rida tampak berpikir sejenak sebelum kemudian mengangguk. “Ya sudah, begitu lebih baik. Memangnya kalian mau ke mana, sih? Sudah malam

    Last Updated : 2024-07-22
  • BUKAN IPAR SEMBARANGAN   Bab 13

    Setelah sedikit berdebat dengan Mas Wisnu, akhirnya kami berangkat. Mama Rida terdengar menyelidik. Namun, aku minta Mas Wisnu jangan bilang tujuan yang sebenarnya. Aku bilang, nenek mendadak menelpon nyuruh pulang. Sudah, itu saja. Perjalanan menuju Bogor memakan waktu kurang lebih tiga jam, ditambah dengan kemacetan. Berbekal dengan arahan google maps akhirnya mobil yang aku tumpangi dengan Mas Wisnu tiba di depan sebuah rumah mungil dengan halaman yang tak terlalu luas. Pohon jambu air tampak rimbun di bagian kiri halamannya.“Betul ini rumahnya, Mas?” Aku menatap Mas Wisnu.“Kalau dari maps sih, betul.” Dia pun memeriksa kembali layar ponselnya. Aku bergegas turun. Lalu mengucap salam. Muncul seorang perempuan berusia mungkin sekitar tiga puluh tahunan. Aku pun mengutarakan maksud kedatanganku yaitu untuk menemui Bi Narti. “Ibu bekerja jadi ART, Mbak. Dia kerja di kota. Jadi gak ada di rumah.” “Sejak kapan berangkatnya? Bukannya baru saja pulang, ya?” Aku mengejar pertanyaann

    Last Updated : 2024-07-25

Latest chapter

  • BUKAN IPAR SEMBARANGAN   Bab 47 - End

    Mami Ratna yang sudah mangayun langkah, mau tak mau berhenti. Dia menatap wajah panik Mas Wisnu dan Arunika yang membopong Papa Hutama. Melihat wajah panik itu, hati Mami Ratna tak tega. Dia pun menoleh pada Pak Benny dan bicara. “Pak Benny, sepertinya saya tak jadi ke Bandung. Mohon maaf kalau saya ambil kesempatan tadi.” “M--Maksud Bu Ratna?” “Saya gak jadi pulang, Pak.” “Ya sudah gak apa. Lain kali saja. Saya juga gak terburu-buru, lagipula kita belum lama saling mengenal. Sambil jalan saja, Bu Ratna. Yang penting saya sudah mendapat lampu hijau dari keluarga Ibu.” Mami Ratna mematung. Dia pun mengusap wajah, lalu berjalan ke arah sofa. Di luar sana, mobil Mas Wisnu terdengar menjauh. Papa Hutama langsung dibawa ke rumah sakit sepertinya. “Maaf, Pak Benny. Sepertinya ada yang harus kita luruskan! Duduklah ….” Mami Ratna mengusap wajah, lalu mempersilakan Pak Benny untuk duduk pada kursi yang ada di depannya. “Maksud Bu Ratna apa, ya?” Pak Benny menatap wajah per

  • BUKAN IPAR SEMBARANGAN   Bab 46

    Sore itu, aku sedang duduk bersandar pada kursi di teras rumah. Baru saja aku selesai melakukan video call dengan Mama dan Papa. Sebentar lagi, usia kandunganku memasuki empat bulan. Mereka tengah bersiap-siap untuk ke sini pas acara nanti. Mami Ratna, seperti biasa, dia senang sekali menyirami tanaman. Meskipun Bi Asih sudah berulang kali melarangnya. Namun, Mami Ratna bersikeras. Dia bosan, katanya. Jadi setiap pagi dan sore, dia rutin Aku masih duduk berselonjor ketika mobil yang kukenali berhenti di depan gerbang. Mami Ratna menoleh lalu berjalan dan membukakan pintu. Lalu, lelaki yang akhir-akhir ini sering banget datang pun turun. Mereka mengobrol sebentar lalu mendekat ke arahku. Sementara itu, Mami Ratna beranjak ke dalam. “Sore Pak Benny! Sehat, Pak!” “Sore, Bu Nika! Alhamdulilah sehat.” “Silakan duduk, Pak. Hmmm ada perlu sama Mas Wisnu, ya? Dia belum pulang ngantor sebetulnya.” “Ahm baik, Bu Nika, terima kasih. Oh iya, Bu Nika … begini … saya ada perlu sebetulnya sama

  • BUKAN IPAR SEMBARANGAN   Bab 45

    Pov 3Papa Hutama duduk tepekur mendengar penjelasan Bi Narti. Dunianya seperti dijungkirbalikkan. Tiba-tiba saja, semua fakta berjejalan memenuhi kelopak matanya, pendengarannya dan terasa menjejal menyumbat dadanya. “Kenapa Bi Narti diam saja selama ini?” Papa Hutama menatap perempuan paruh baya itu. Bi Narti tampak membasahi bibirnya dan menatap takut-takut sebelum menjawab. “Maaf, Tuan! Mungkin Tuan lupa, dulu Bibi pernah mengingatkan, tetapi Tuan bilang … Bibi ini hanya pembantu, tak perlu ikut campur urusan majikan!” Papa Hutama memijit pelipisnya. Dia ingat, ingat betul. Dia tak suka orang lain ikut campur atas keputusannya. “Ya, sorry, sorry … dulu, entah kenapa saya begitu bod*h, selalu saja percaya pada apa yang dikatakan Rida.” Papa Hutama menghela napas kasar. Saat semua sudah terang benderang, bahkan yang tertinggal hanya sesal. Urusan syahwat yang menggila sewaktu muda dan terpenuhi oleh keliaran Mama Rida membuatnya bertekuk lutut. Apalagi, memang perempuan itu sel

  • BUKAN IPAR SEMBARANGAN   Bab 44

    “Mami, Mami mau ke mana?” Aku terkejut ketika tiba-tiba Mami Ratna muncul mengikuti Bi Asih dengan membawa ransel besar. Wajahnya tampak sekali tak bersemangat seperti biasa. “Pesankan Mami mobil, Nika. Mami mau pulang ke Bandung.” Aku dan Mas Wisnu saling tukar pandang. Wajah Mas Wisnu yang sejak tadi sudah merah padam makin tegang. Aku tahu, dia sedang kesal. Kuusap bahunya pelan-pelan, hingga dia menarik napas panjang dan menghembuskannya. Bahunya perlahan turun dan wajahnya tampak lebih tenang sekarang. “Papa … mintalah maaf pada Mami! Di sini yang salah itu Papa dan Mama Rida. Mintalah maaf padanya. Ucapan-ucapan Papa sepertinya membuat Mami merasa terluka.” Mas Wisnu bicara dengan nada rendah. Namun, wajah Papa Hutama kali ini tampak memberengut tak senang.“Papa gak bersalah, Wisnu. Perempuan itulah yang diam-diam menduakan Papa, dulu dia sering ketemuan dengan lelaki lain di belakang Papa. Asal kamu tahu, Wisnu, dia itu dulu pemakai … mereka sering bersenang-senang berdua

  • BUKAN IPAR SEMBARANGAN   Bab 43

    Pagi itu, Mami Ratna tengah menyirami tanaman. Berada satu atap dengan lelaki masa lalu yang sudah menorehkan rasa pahit, nyeri dan segala trauma yang memilukan, membuat kondisinya kembali murung. Kini, dia selalu mencari kegiatan agar terhindar dari rongrongan Papa Hutama. Pernah berniat untuk kembali ke Bandung, tapi Maz Wisnu melarangnya. Pagi itu, dia tengah menyibukkan diri dengan kegiatan yang bisa sedikit mengalihkan pikirannya itu. Namun, suara derit kursi roda, terdengar mendekat. Mami Ratna menoleh, tampak Bi Asih tengah mendorong kursi roda Papa Hutama. Sepasang mata mereka, bersirobok sebentar, hingga akhirnya, Mami Ratna membuang muka. Dia berpindah menyirami tanaman lainnya yang agak jauh dengan lokasi Papa Hutama berjemur. Mami Ratna yang merasa tak nyaman berniat menyegerakan menyirami tanaman-tanaman bunga itu, tetapi suara Papa Hutama keburu membuat langkahnya yang hendak pergi terhenti.“Ratna … boleh bicara?” Mami Ratna menoleh, memindai sekilas wajah Papa Hutam

  • BUKAN IPAR SEMBARANGAN   Bab 42

    Mobil yang dikendarai Mama Rida melesat kencang. Dia menyetir dengan tujuan pasti yaitu satu tempat yang sudah dijanjikan. Rasa bencinya pada Berry, benar-benar membuatnya nekat. Kedatangan Berry kali ini, sudah menghancurkan seluruh hidupnya yang selama ini baik-baik saja. Dia harus kehilangan suami yang selama ini jadi pohon uangnya, kedua anaknya harus kehilangan hak warisnya dan kini dia menjadi janda setelah mendapat talak tiga. “Kamu harus lenyap Berry! Kau buat aku hancur, kamu harus membayar lebih dahsyat!” Setelah puluhan menit berkendara, mobil yang dipacu oleh Mama Rida akhirnya tiba di tempat yang dijanjikan, sebuah gudang kosong di tepi area pasar lama yang sudah tak digunakan. Sebuah mobil lain tampak terparkir di sana. Mama Rida tak langsung keluar, dia menghubungi dulu orang itu. “Saya sudah sampai, Bang!” “Ya, saya lihat! Saya di mobil warna hitam di depan kamu! Bawa uangnya ke sini!” Suara itu terdengar memerintah. Mama Rida tergesa keluar dan membawa koper keci

  • BUKAN IPAR SEMBARANGAN   Bab 41

    Pov 3“R—Ratna … K—kamu bener ‘kan, Ratna?” Arunika, Mas Wisnu dan Mami Ratna menoleh. Rupanya Papa Hutama nekat datang dengan susah payah. Dia menggerakkan kursi roda dengan tangannya yang masih normal.Suara itu, tak banyak berubah. Mami Ranta mematung kaku menatap sepasang mata yang dulu, pernah menghujani dengan tatapan penuh cinta itu. Sepasang bibirnya terkatup rapat seiring dengan gelengan kepala yang reflek. “K--Kamu m--masih hidup?” Suara Papa Hutama bergetar. Jaraknya tak berubah. Dia pun masih berdiam di tempatnya yang tadi. Mami Ratna menggeleng kepala cepat. Namun, tak ada satu patah kata pun terlontar dari bibirnya untuk menjawab. Dia menetralkan degub jantung yang bergemuruh. Degub itu bukan karena hadirnya rasa cinta, tetapi lebih kepada rasa sesak, benci dan segumpal perasaan kecewa. Lalu, bayangan-bayangan adegan menyakitkan itu kembali berlarian dalam benak Mami Ratna. Bagaimana Papa Hutama yang begitu tega menuduhnya gi-la, lalu memasukkannya ke rumah sakit jiwa

  • BUKAN IPAR SEMBARANGAN   Bab 40

    Pak Benny masuk ke dalam ruang kerja Papa Hutama. Setengah jam setelah Mas Wisnu memanggilnya dia datang. Papa Hutama tak mau ditemani siapapun, termasuk Mama Rida. Aku melihat, Mama Rida agak gelisah. Namun, dia tak bisa berbuat apa-apa. Papa Hutama sendiri yang tak membolehkannya. Tak berapa lama, Pak Benny keluar dengan Papa Hutama. Lelaki itu mendorong kursi roda yang diduduki Papa Hutama. Mama Rida bangun dari duduknya dan mendekat. Namun, sorot mata dingin Papa Hutama membuat wajah Mama Rida tampak heran.“K--Kamu kenapa, Pa?” tanya Mama Rida. Dia berusaha meraih Papa Hutama, tetapi lengan lelaki itu menepisnya.“Mulai hari ini, detik ini, saya jatuhkan talak tiga padamu, Rida!”“A--Apa, Pa? T--talak tiga?” “Ya, talak tiga dan silakan kemasi barang-barang kamu! Pergi dari rumah ini!” Suara Papa Hutama bergetar. Wajah Mama Rida tampak pucat. Bibirnya bergetar dan dia tampak menelan saliva. “Kamu kenapa, Pa? Kenapa tiba-tiba menceriakan aku tanpa sebab? Apa karena Maria dan S

  • BUKAN IPAR SEMBARANGAN   Bab 39

    “Lalu anak siapa mereka? Selama ini, saya lihat, Mama Rida cinta mati sama Papa ….” Mas Wisnu menerawang. “Entah, yang jelas … lelaki yang Pak Hutama minta selidiki itu bernama Berry!” Prang!Kami terkejut dengan suara benda terjatuh. Ketika kami menoleh, Mami Ratna tampak gemetar dan mematung kaku. Sepasang bibirnya terdengar lirih berucap, “B--Berry? … di--dia … m--masih hidup?”“Bu Ratna!”“Mami!” Serempak aku, Mas Wisnu dan Pak Benny menoleh ke arah Mami Ratna. Dia terlihat pucat dan tangannya terlihat tremor. Mas Wisnu bergegas menghampirinya. Lalu kulihat dia membimbingnya ke dalam. Aku pun berdiri dan berpamitan pada Pak Benny. Aku harus memastikan kondisinya Mami baik-baik saja. Bi Asih tampak tergesa menuju teras. Dia sibuk membersihkan tumpahan kopi dan serpihan beling yang berserakan. Sementara itu, aku duduk di dekat Mami Ratna yang tengah minum air bening. Mas Wisnu menyimpan gelas itu ke atas meja. “Mami kenapa? Apa yang Mami tahu tentang Om Berry?”Mami Ratna menar

DMCA.com Protection Status