Share

Bab 5

Sudah dua minggu lebih aku berada di rumah ini. Setiap hari, aku terus mencoba mendekatkan diri dengan Bi Narti. Dia tampak senang dan berterima kasih karena merasa terbantu. Aku memaksimalkan waktu-waktu senggang ini sebelum mendapatkan pekerjaan yang kuinginkan. Aku harus bisa mengambil hati Bi Narti secepatnya.

“Bibi sudah lama ya kerja di sini? Kata Mas Wisnu dari dia masih kecil?” tukasku sambil membantu mencuci potongan iga sapi. Bi Narti mau masak sop iga sapi hari ini.

“Iya, Non. Bahkan dulu Bibi sendiri yang momong Den Wisnu sebelum Bu Rida datang. Dia itu dulu baby sitter di rumah ini, Non.”

“Oalah, masa? Kok gak keliatan dia baby sitter sih, Bi? Mama Rida malah cantik banget.” Aku menimpali. Kubuat percakapan ini sesantai mungkin agar Bi Narti tak merasa aku sedang mengorek informasi.

“Iya, Non. Dulu itu setahu Bibi, keluarga Pak Hutama itu gak setuju kalau Pak Hutama itu nikah sama Bu Ratna. Tapi aneh, pas Bu Rida hamil sama Pak Hutama, mereka kelihatan seneng banget. Sampai-sampai Nyonya besar datang ke sini.”

“J--Jadi, Mama Rida hamil dulu sebelum nikah, Bi? Terus Bu Ratna gimana nasibnya?” Aku memasang wajah kaget. Tepatnya pura-pura kaget.

“Duh … jadi ngomongin orang ya, Non.” Bi Narti mulai terlihat takut. Dia celingukkan kanan kiri.

“Gak ada orang kok, Bi. Gak usah takut. Bibi cerita saja.” Aku meyakinkan.

“Bukan gitu, Non. Setahu Bibi, Bu Rida itu pasang CCTV banyak banget. Dulu pas mau masangnya, Bibi disuruh ke pasar. Jadi gak tahu di mana saja letaknya. Kalau di depan rumah itu kan kelihatan. Nah ini yang di dalam, takutnya ada di tempat-tempat yang gak kelihatan. Bibi takut, Non.”

Aku bergeming. Satu hal yang tak kuwaspadai yaitu CCTV. Gi la, apa setiap sudut rumah mereka pasang benda itu. Apa yang sebetulnya mereka takutkan?

Hanya saja ini bisa jadi satu point yang melemahkan, tapi bisa jadi juga menguntungkan. Berarti kejadian kemarin waktu Sandy dan Maria menyerang mentalku akan ada rekamannya. Namun, andai di sini ada CCTV, maka aku harus bersiap. Aku harus bisa mempengaruhi Mas Wisnu dengan bukti-bukti seadanya jika terdesak.

“Oalah, Bu Rida itu hati-hati sekali ya jadi orang. Semua tempat dipasangin CCTV.” Aku terkekeh. Sebal sebetulnya. Lalu pandanganku mengedar. Namun, aku tak melihat benda mencurigakkan itu di sini. Namun, entah kalau di tempat tersembunyi. Hanya saja sudah kadung nanya-nanya. Sebaiknya kulanjutkan saja.

“Saya jadi penasaran wajah Mamanya Mas Wisnu, pasti cantik ya, Bi? Soalnya Mas Wisnu juga tampan.”

“Non, boleh jangan bahas Bu Ratna lagi, gak? Bibi takut.” Dia tampak mulai gelisah tak nyaman.

Aku menautkan alis dan menatapnya, “Bibi takut kenapa? Apa dia jadi hantu gentayangan setelah meninggal karena kecelakaan itu?”

Bi Narti tampak menelan saliva. Dia menatapku sekilas dengan wajah tegang lalu bicara, “S--sebetulnya … Bu Ratna itu ….”

“Spadaaa!”

Suara seseorang yang memijit bell dan berteriak-teriak di luar membuat Bi Narti tak jadi melanjutkan ucapannya. Dia meninggalkan siung-siung bawang yang sedang dia siangi. Lalu tergopoh ke dalam. Sementara itu, aku segera mematikan tombol rekam pada ponselku. Tak satupun kegiatan yang sekiranya bisa menjadi bukti tak aku rekam. Ini akan menjadi bukti berikutnya untuk memperkuat ceritaku di depan Mas Wisnu nanti.

Setelah itu, jemariku sigap membersihkan bawang merah dan bawang putih untuk membuat bumbu sop. Bi Narti sudah menyiapkan bakal bumbu lainnya di atas ulekan. Katanya masak dengan diulek sendiri atau pakai blender itu beda rasanya. Aku sih, manut saja. Yang penting masakannya matang dan enak.

“Mbak, buatin minum, dong!” Suara itu membuatku menoleh. Seorang perempuan dengan gaya sebeleas dua belas dengan Sandy berdiri. Tasnya tampak bermerk. Sepatunya hak tinggi. Tampaknya dia memakain stocking hingga ke p*h*, hingga ujung stockingnya saling bersentuhan dengan rok mini yang dikenakannya.

“Eh, kamu ini siapa, ya? Tamu?” tanyaku. Kurasa gelagatnya sudah tak sopan.

“Eh, pembokat saja banyak tanya. Bi Narti, ajarin tuh anaknya! Disuruh buat minum saja, ngeyel!” ocehnya sambil mendelik ke arah Bi Narti yang baru saja datang.

“Maaf, Non Bella. Ini Non Arunika, istrinya Den Wisnu.” Bi Narti mengangguk hormat pada perempuan dengan baju pas-pasan tadi. Lalu dia mengangguk ke arahku.

Perempuan yang dipanggil Bella tadi memicing. Dia menatapku dari atas hingga bawah dengan pandangan merendahkan. Lalu terlihat seringai pada bibirnya yang berwarna merah cerry.

“Ooo … maaf, habisnya gak kelihatan tampang majikan. Ya sudah, Bibi tolong buatin minum! Bibi tahu ‘kan minuman kesukaan saya?” Bella mengerling ke arah Bi Narti.

“Iya, baik, Non!” Bi Narti mengangguk sopan. Sementara itu, Bella melirik sinis ke arahku. Dia pun berlalu pergi meninggalkan dapur.

“Siapa dia, Bi?” tanyaku hanya sekadar memastikan. Aku sudah tahu kemarin dari Sandy dan Maria kalau dia itu siapa.

“D--dia … anu, Non.” Bi Narti menggaruk kepala dan tampak bingung. Namun, tanpa kusangka ternyata Bella balik lagi. Dia menjawab dengan lantang dan tak tahu malu.

“Saya ini kekasihnya Mas Wisnu, sebentar lagi akan jadi satu-satunya Nyonya Wisnu Hutama.” Dia bicara sambil membusungkan dada. Aku hanya menggeleng dan terkekeh pelan,”Hanya kekasih, ya? Itu pun sudah man-tan.”

Senang sekali ketika kulihat raut wajahnya berubah memerah. Sepertinya dia merasa tersinggung dengan ucapanku barusan.

Dari status saja kalah telakkkan? Mau coba-coba menyerang. Dia pikir, aku takut?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status