Share

Bab 4

“Mas, aku mau kerja, boleh? Bosan kalau di rumah terus.” Misi pertama aku lancarkan. Sebetulnya bekerja adalah sebuah alasan saja. Aku harus punya akses keluar rumah dengan bebas tanpa mendapatkan banyak pertanyaan.

“Ya sudah, nanti Mas check ke bagian HRD. Di divisi mana yang butuh tenaga tambahan.”

“Gak enak kalau di kantornya, Mas. Aku mau nyari kerja sendiri, Mas.”

“Loh, kenapa gak enak? Justru ‘kan gak usah pusing. Bisa langsung masuk.”

“Ya gak gitu juga konsepnya. Mas sadar, gak, sih? Mama Rida sama kedua adik Mas itu kayak gak suka sama aku. Mungkin mereka mikir aku ini cuma numpang dan manfaatin kekayaan kamu saja. Aku gak mau, Mas.”

Mas Wisnu yang sejak tadi berkutat dengan laptop menoleh. Aku masih tiduran di tempat tidur sambil menatap ke arahnya.

“Jadi, mau nyari kerja sendiri?”

“Iya, Mas. Boleh?”

Aku memasang wajah memelas. Mas Wisnu tersenyum dan mengangguk juga pada akhirnya.

“Ya sudah, atur saja, Sayang. Hanya saja … Mas harap kamu nyari kerja yang waktu kerjanya flexibel. Jadi, selalu sudah ada di rumah sebelum Mas pulang. Bisa?”

“Oke, Mas. Aku paling mau coba gabung di konsultant & training. Ya, setidaknya keluar rumahnya pas ada project saja.”

“Nah ide bagus. Ya sudah, atur saja selama kamu nyaman.”

***

Keesokan harinya, setelah Mas Wisnu pergi ngantor. Aku sibuk berkutat dengan ponsel. Sekarang ini, laptop sudah tak terlalu diperlukan bagiku. Semua sudah bisa diakses di ponsel pintar. Lagipula surat lamaran kerjaku sudah ada draftnya hanya tinggal menyesuaikan sedikit-sedikit. Jadi, tak terlalu sulit.

Aku duduk di tepi kolam ikan. Rumah Mas Wisnu ini luas, halamannya juga. Di samping kanan ada kolam ikan yang langsung tersambung pada dinding batu alam setinggi tiga meter. Pohon-pohon anggrek dalam pot tampak menghias indah, menempel pada tembok-tembok dari batu alam tersebut.

Beberapa perusahaan sudah kukirimi lamaran. Namun pada saat tengah asik mengirim CV ke sana sini, tiba-tiba kudengar suara tertawa sumbang.

“Eh lihat tuh ada OKB, Mbak.”

“OKB sih apa, Mar?”

“Orang Kaya Babu.”

"Bukannya Orang Kaya Baru, ya?"

"Orang Kaya Baru yang kaya babu."

Keduanya lalu tergelak. Aku tak menggubrisnya. Masih asik menyaksikan riak-riak air dan kecipak ikan di kolam sana.

“Eh, tu li, ya! Sini kamu!” Suara Sandy terdengar lantang.

“Hey! Beneran tu li, ya?” Kali ini Maria menyahuti.

Aku pura-pura gak paham.

“Eh, Mbak Arunika. Kamu gak denger dipanggil-panggil dari tadi?! Be go, lo!” Aku yakin itu suara Sandy. Cempreng dan kasar.

Aku masih bergeming, hingga akhirnya kudengar suara dua orang itu sudah tiba di samping.

Prang!

Aku menoleh ketika dia menendang gelas berisi teh hangat yang kubawa tadi. Belingnya berhamburan. Gelasnya pecah berserakan.

“Kamu itu dablek banget, ya, jadi orang! Kamu itu jangan mimpi akan selamanya jadi istri Mas Wisnu, ya! Asal kamu tahu, Mama itu gak pernah setuju sama pernikahan kalian.” Sandy bicara sambil terkekeh.

“Kenapa memangnya, San? Bukannya kemarin Mama bilang ikut bahagia, ya?” tanyaku sambil menatap wajah Sandy. Wajah pura-pura sedih kupasang biar mereka senang.

“Itu cuma acting. Jangan ngarep lo gadis udik bakal jadi bagian dari keluarga kami. Asal lo tahu, Arunika. Yang cocok buat Mas Wisnu itu cuma Mbak Bella.”

“Kenapa kalian seperti itu? Memangnya apa salah, Mbak?” tanyaku dengan suara sedih. Lagi-lagi ini hanya pura-pura.

“Eh, pake nanya salahnya apa? Mar coba lo kasih kaca. Suruh dia ngaca biar dia tahu diri. Sosok udik kayak gitu gak cocok menjadi bagian dari keluarga Hutama.”

Aku hanya mengulum senyum ketika keduanya tertawa terbahak-bahak. Lalu aku mendongak dan memasang mimik penuh kesedihan.

“Ya ampuuun, Mbak gak nyangka kalian serendah itu mandang Mbak.”

Keduanya tergelak lalu saling senggol dan memainkan mata.

“Ya emang lo rendahan, Mbak. Berasa oke gegara Mas Wisnu lamar, ya! Lo siap-siap saja … asal lo tahu, Mbak Bella sedang di kantor bareng Mas Wisnu. Paling bentar lagi dia lemparin lo jauh-jauh.” Sandy tergelak. Tampak sekali wajahnya riang dan suaranya nyaring.

“Apa karena kalian bukan suadara kandung Mas Wisnu, makanya kalian begitu sama Mbak, ya?”

“Hmmm … gak perlu lo tahu alasannya kenapa. Kita gak suka saja ada kelas rendahan kayak lo, tiba-tiba datang dan mengacaukan rencana kita.”

“Andai Mama kandung Mas Wisnu masih ada, mungkin dia akan membela Mbak di rumah ini,” tukasku sambil menunduk, pura-pura sedih.

“Kamu pikir dia masih dianggap. Mama bilang, dia itu cuma pecundang. Dia sudah diusir secara tidak hormat dari keluarga Hutama. Jadi, walaupun dia masih hidup, jangan ha-rap. Jangan harap dia bisa bantu lo.”

Bagus … ikan mulai memakan pancingan.

“Dia masih hidup? Mami Mas Wisnu masih hidup?” Aku berpura-pura heran.

“Ck, sudah … gak usah banyak bac*tlah. Hidup maupun Gak hidup. Maminya Mas Wisnu gak mungkin bisa bela lo.”

“Kita saranin, lo mundur jadi istri Mas Wisnu … sebelum nanti lebih sakit hati lagi, tahu-tahu Mas Wisnu nikah sama Mbak Bella. Nangis darah tar yang ada.” Lalu keduanya tertawa bersama. Setelah itu berjalan melewatiku sambil menyenggol bahuku. Lalu dia duduk di tepi kolam dan mengambil alih tempatku.

Sepertinya cukup dulu untuk kali ini. Kalau terlalu kelihatan, mereka akan waspada. Aku mematikan tombol rekam yang sejak tadi kunyalakan. Perlan-pelan aku akan membuat mereka mengakui apa yang mereka lakukan pada Maminya Mas Wisnu. Akan kukumpulkan semua bukti dan membuat Mas Wisnu percaya. Semua yang terlihat baik di depannya, tak sebaik yang terlihat sebenarnya.

Hmmm … tapi apa tadi dia bilang, Bella? Siapa perempuan itu? Sepertinya aku harus segera mencari tahu dan menggagalkan rencana jahatnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status