“Mas, aku mau kerja, boleh? Bosan kalau di rumah terus.” Misi pertama aku lancarkan. Sebetulnya bekerja adalah sebuah alasan saja. Aku harus punya akses keluar rumah dengan bebas tanpa mendapatkan banyak pertanyaan.
“Ya sudah, nanti Mas check ke bagian HRD. Di divisi mana yang butuh tenaga tambahan.” “Gak enak kalau di kantornya, Mas. Aku mau nyari kerja sendiri, Mas.” “Loh, kenapa gak enak? Justru ‘kan gak usah pusing. Bisa langsung masuk.” “Ya gak gitu juga konsepnya. Mas sadar, gak, sih? Mama Rida sama kedua adik Mas itu kayak gak suka sama aku. Mungkin mereka mikir aku ini cuma numpang dan manfaatin kekayaan kamu saja. Aku gak mau, Mas.” Mas Wisnu yang sejak tadi berkutat dengan laptop menoleh. Aku masih tiduran di tempat tidur sambil menatap ke arahnya. “Jadi, mau nyari kerja sendiri?” “Iya, Mas. Boleh?” Aku memasang wajah memelas. Mas Wisnu tersenyum dan mengangguk juga pada akhirnya. “Ya sudah, atur saja, Sayang. Hanya saja … Mas harap kamu nyari kerja yang waktu kerjanya flexibel. Jadi, selalu sudah ada di rumah sebelum Mas pulang. Bisa?” “Oke, Mas. Aku paling mau coba gabung di konsultant & training. Ya, setidaknya keluar rumahnya pas ada project saja.” “Nah ide bagus. Ya sudah, atur saja selama kamu nyaman.” *** Keesokan harinya, setelah Mas Wisnu pergi ngantor. Aku sibuk berkutat dengan ponsel. Sekarang ini, laptop sudah tak terlalu diperlukan bagiku. Semua sudah bisa diakses di ponsel pintar. Lagipula surat lamaran kerjaku sudah ada draftnya hanya tinggal menyesuaikan sedikit-sedikit. Jadi, tak terlalu sulit. Aku duduk di tepi kolam ikan. Rumah Mas Wisnu ini luas, halamannya juga. Di samping kanan ada kolam ikan yang langsung tersambung pada dinding batu alam setinggi tiga meter. Pohon-pohon anggrek dalam pot tampak menghias indah, menempel pada tembok-tembok dari batu alam tersebut. Beberapa perusahaan sudah kukirimi lamaran. Namun pada saat tengah asik mengirim CV ke sana sini, tiba-tiba kudengar suara tertawa sumbang. “Eh lihat tuh ada OKB, Mbak.” “OKB sih apa, Mar?” “Orang Kaya Babu.” "Bukannya Orang Kaya Baru, ya?" "Orang Kaya Baru yang kaya babu." Keduanya lalu tergelak. Aku tak menggubrisnya. Masih asik menyaksikan riak-riak air dan kecipak ikan di kolam sana. “Eh, tu li, ya! Sini kamu!” Suara Sandy terdengar lantang. “Hey! Beneran tu li, ya?” Kali ini Maria menyahuti. Aku pura-pura gak paham. “Eh, Mbak Arunika. Kamu gak denger dipanggil-panggil dari tadi?! Be go, lo!” Aku yakin itu suara Sandy. Cempreng dan kasar. Aku masih bergeming, hingga akhirnya kudengar suara dua orang itu sudah tiba di samping. Prang! Aku menoleh ketika dia menendang gelas berisi teh hangat yang kubawa tadi. Belingnya berhamburan. Gelasnya pecah berserakan. “Kamu itu dablek banget, ya, jadi orang! Kamu itu jangan mimpi akan selamanya jadi istri Mas Wisnu, ya! Asal kamu tahu, Mama itu gak pernah setuju sama pernikahan kalian.” Sandy bicara sambil terkekeh. “Kenapa memangnya, San? Bukannya kemarin Mama bilang ikut bahagia, ya?” tanyaku sambil menatap wajah Sandy. Wajah pura-pura sedih kupasang biar mereka senang. “Itu cuma acting. Jangan ngarep lo gadis udik bakal jadi bagian dari keluarga kami. Asal lo tahu, Arunika. Yang cocok buat Mas Wisnu itu cuma Mbak Bella.” “Kenapa kalian seperti itu? Memangnya apa salah, Mbak?” tanyaku dengan suara sedih. Lagi-lagi ini hanya pura-pura. “Eh, pake nanya salahnya apa? Mar coba lo kasih kaca. Suruh dia ngaca biar dia tahu diri. Sosok udik kayak gitu gak cocok menjadi bagian dari keluarga Hutama.” Aku hanya mengulum senyum ketika keduanya tertawa terbahak-bahak. Lalu aku mendongak dan memasang mimik penuh kesedihan. “Ya ampuuun, Mbak gak nyangka kalian serendah itu mandang Mbak.” Keduanya tergelak lalu saling senggol dan memainkan mata. “Ya emang lo rendahan, Mbak. Berasa oke gegara Mas Wisnu lamar, ya! Lo siap-siap saja … asal lo tahu, Mbak Bella sedang di kantor bareng Mas Wisnu. Paling bentar lagi dia lemparin lo jauh-jauh.” Sandy tergelak. Tampak sekali wajahnya riang dan suaranya nyaring. “Apa karena kalian bukan suadara kandung Mas Wisnu, makanya kalian begitu sama Mbak, ya?” “Hmmm … gak perlu lo tahu alasannya kenapa. Kita gak suka saja ada kelas rendahan kayak lo, tiba-tiba datang dan mengacaukan rencana kita.” “Andai Mama kandung Mas Wisnu masih ada, mungkin dia akan membela Mbak di rumah ini,” tukasku sambil menunduk, pura-pura sedih. “Kamu pikir dia masih dianggap. Mama bilang, dia itu cuma pecundang. Dia sudah diusir secara tidak hormat dari keluarga Hutama. Jadi, walaupun dia masih hidup, jangan ha-rap. Jangan harap dia bisa bantu lo.” Bagus … ikan mulai memakan pancingan. “Dia masih hidup? Mami Mas Wisnu masih hidup?” Aku berpura-pura heran. “Ck, sudah … gak usah banyak bac*tlah. Hidup maupun Gak hidup. Maminya Mas Wisnu gak mungkin bisa bela lo.” “Kita saranin, lo mundur jadi istri Mas Wisnu … sebelum nanti lebih sakit hati lagi, tahu-tahu Mas Wisnu nikah sama Mbak Bella. Nangis darah tar yang ada.” Lalu keduanya tertawa bersama. Setelah itu berjalan melewatiku sambil menyenggol bahuku. Lalu dia duduk di tepi kolam dan mengambil alih tempatku. Sepertinya cukup dulu untuk kali ini. Kalau terlalu kelihatan, mereka akan waspada. Aku mematikan tombol rekam yang sejak tadi kunyalakan. Perlan-pelan aku akan membuat mereka mengakui apa yang mereka lakukan pada Maminya Mas Wisnu. Akan kukumpulkan semua bukti dan membuat Mas Wisnu percaya. Semua yang terlihat baik di depannya, tak sebaik yang terlihat sebenarnya. Hmmm … tapi apa tadi dia bilang, Bella? Siapa perempuan itu? Sepertinya aku harus segera mencari tahu dan menggagalkan rencana jahatnya.Sudah dua minggu lebih aku berada di rumah ini. Setiap hari, aku terus mencoba mendekatkan diri dengan Bi Narti. Dia tampak senang dan berterima kasih karena merasa terbantu. Aku memaksimalkan waktu-waktu senggang ini sebelum mendapatkan pekerjaan yang kuinginkan. Aku harus bisa mengambil hati Bi Narti secepatnya. “Bibi sudah lama ya kerja di sini? Kata Mas Wisnu dari dia masih kecil?” tukasku sambil membantu mencuci potongan iga sapi. Bi Narti mau masak sop iga sapi hari ini. “Iya, Non. Bahkan dulu Bibi sendiri yang momong Den Wisnu sebelum Bu Rida datang. Dia itu dulu baby sitter di rumah ini, Non.” “Oalah, masa? Kok gak keliatan dia baby sitter sih, Bi? Mama Rida malah cantik banget.” Aku menimpali. Kubuat percakapan ini sesantai mungkin agar Bi Narti tak merasa aku sedang mengorek informasi. “Iya, Non. Dulu itu setahu Bibi, keluarga Pak Hutama itu gak setuju kalau Pak Hutama itu nikah sama Bu Ratna. Tapi aneh, pas Bu Rida hamil sama Pak Hutama, mereka kelihatan seneng banget.
“Saya ini kekasihnya Mas Wisnu, sebentar lagi akan jadi satu-satunya Nyonya Wisnu Hutama.” Dia bicara sambil membusungkan dada. Aku hanya menggeleng dan terkekeh pelan,”Hanya kekasih, ya? Itu pun sudah man-tan.” Senang sekali ketika kulihat raut wajahnya berubah memerah. Sepertinya dia merasa tersinggung dengan ucapanku barusan. Dari status saja kalah telakk kan? Arunika dilawan.Kukira dia sudah kalah. Namun, rupanya dia memiliki nyawa cadangan. Gadis bernama Bella itu mengangkat dagu, beberapa detik kemudian, bibirnya menyeringai, lalu dia merogoh sesuatu dari dalam tasnya. Lalu kekehan terdengar seiring dengan helai demi helai foto dia sebar. “Lihat, ini cewek kampungan! Lihat semua ini! Aku jauh lebih dulu dari pada kamu yang berada di pelukkan Mas Wisnu,” tukasnya. Satu per satu lembaran foto berukuran kartu pos yang cukup banyak jumlahnya itu berjatuhan. Aku merasa detik menjadi lebih lambat seiring dengan adegan demi adegan dalam foto mesra itu. Tampak sekali berbagai fose y
Makan malam pun usai. Aku masih senyum-senyum sendiri. Pemandangan yang tadi cukup menghibur. Apalagi Bella sempat-sempatnya buang angin di depan Papa Hutama dan semua yang ada di meja makan. Wajahnya yang merah karena malu, bertambah parah ketika dia harus menumpahkan air dalam gelas itu. Sengaja kuprovokasi agar sisa air dalam gelas yang sudah kucampur serbuk pencuci perut itu tumpah. Siapa suruh ngeyel. Sudah kubilang kalau Mas Wisnu itu suamiku. Dia masih saja keukeuh. “Maaf, Papa, Mama … ini kecapekkan ngurusin mau launching bisnis. Jadi kayak gini. Sepertinya masuk angin,” tukasnya sambil berdiri dan mengangguk. Lalu tanpa menunggu jawaban dari semuanya. Bella berlari ke kamar mandi. Bi Narti yang sibuk membersihkan tumpahan air, hanya diam menunduk. Dia tampak terkejut dengan sakit perutnya Bella. Mungkin dia takut disalahkan.Tenang, Bi … semua lauk yang dimakan, aman. Bella sakit perut karena minumannya saja. “Sayang!” Suara Mas Wisnu membuatku menoleh. “Ya, Mas?” tanyak
Sebuah butik yang terlihat berkelas, kami masuki. Pelayan yang ramah menyambut kami. Setelah itu, kami ke sebuah salon yang cukup besar. “Mas, ke salon yang biasa saja boleh?” rengekku. Kubuat wajah memelas. “Nanti gak bagus hasilnya. Mama Rida langganan ke salon ini, Sayang. Dia bilang di sini kebanyakan pakai produk dari klinik kecantikan ternama.” Aku hanya menghela napas pasrah. Beberapa detik otakku berputar mencari cara. Jangan sampai terkuak identitasku yang sebenarnya sebelum berhasil membuat Mas Wisnu percaya jika Maminya masih ada. Tiba-tiba sebuah ide terlintas. “Aduh, duh, duh, Mas … aku sakit perut. Ke toilet sebentar, ya! Mas daftarin saja dulu.” “Kamu salah makan, tah? Oke, Mas ketemu dulu sama yang punya salon. Sudah kenal, sering banget nganter Mama Rida ke sini dulu.” “Iya, Mas.” Lalu, aku berjalan cepat. Sudah tahu betul letak toilet di mana. Ada tembusan dari pintu samping juga. Sementara itu, Mas Wisnu masuk. Aku tak tahu mereka berbincang apa. Aku masih d
Kami tiba di tempat acara sesuai waktu yang ditentukan. Mas Wisnu malah senang berlama-lama di jalan. Bahkan dia mengajakku dulu berputar-putar sehingga datang tak terlalu awal. “Duh, tapi kok Mas gak ridho ya, Sayang.” Mas Wisnu bergeming ketika mobil sudah terparkir di sebuah bangunan yang tampaknya baru mau jadi. “Gak ridho apanya?” Aku menatap wajah Masa Wisnu heran. “Kamu terlalu cantik hari ini. Gak rela kalau orang-orang ikut mengagumi kecantikanmu.” Dia mengulum senyum sambil melirik ke arahku. Seketika aku terkekeh melihat tingkahnya. “Ya Allah, kirain kenapa, Mas? Ya sudah, aku gak usah ikut saja. Diam di mobil gimana?” “Hush jangan! Nanti kalau ilang, repot nyarinya! Ayo, kita paling telat nih, Sayang.” Mas Wisnu lekas melepas seat bealt. Lalu berjalan keluar. Aku pun mengikutinya. Kini kami berada di sebuah bangunan pabrik yang tampaknya baru selesai. Banyak sudah mobil terparkir di depan. “Ini pabrik ya, Mas?” tanyaku. “Iya, Sayang. Baru selesai bangun. Ownernya ke
“Perkenalkan, saya Mbok Juminem, pengganti Bi Narti. Hari ini mulai kerja di sini. Mohon petunjuknya!” Deg!Aku merasa kaget luar biasa. Lalu kutatap wajah Mas Wisnu yang terlihat sama bingungnya. “Sejak kapan Bi Narti berhenti kerja, kemarin gak bilang apa-apa.” Aku bermonolog sendirian. Namun sepertinya Mbok Juminem mendengarnya. Dia pun menanggapi dengan cepat. “Ndak tahu, Non. Si Mbok memang mendadak juga tadi pagi dikirim dari yayasan. Permisi, nggih. Kalau ada perlu boleh panggil si Mbok ya, Tuan, Nona.” Aku termangu. Sampai-sampai lupa menyahutinya. “Kenapa Bi Narti mendadak mengundurkan diri? Padahal kemarin sudah janji, hari ini dia akan menceritakan semuanya.” Aku masih termangu hingga punggung Mbok Juminem menghilang di balik ruangan. Suara Mas Wisnu membuatku tersadar, “Sayang .…”“Eh, iy--iya, Mas?” “Kok malah melamun?” “I---ini a--aku lagi ada janji sama Bi Narti, Mas. Kok tiba-tiba ngundurin diri, ya? Apa Mas Wisnu tahu rumahnya?” Aku melirik ke arahnya. Pandang
Aruna-Deep beatuy Skin Clinic adalah usaha yang susah payah aku rintis semenjak lulus kuliah kedokteran dan kini sudah memiliki 4 cabang. Semua itu tak kudapatkan dengan mudah. Semua itu tak lepas dari dukungan Mamaku yang bernama Aruna Ratih Eka Putri karena itu juga, nama klinik ini kuambil dari nama Mama---Aruna, dan bukan dari namaku Arunika. Mama terlahir dari keluarga sederhana di kota Bandung sana. Hanya saja keberuntungan berpihak. Dia mendapat jodoh salah seorang pengusaha sawit dari Riau, hanya saja semua harus ditebusnya dengan meninggalkan kampung halaman. Akulah yang kemudian tinggal di Bandung semenjak mulai kuliah dan membuat Nenek kembali merasa tak kesepian. Nenek hanya memiliki dua anak. Ibuku dan adiknya yang kini bekerja di luar pulau juga. Dari dukungan kedua orang tuaku inilah akhirnya aku bisa menyelesaikan kuliah kedokteran. Walaupun memang Papa terkesan tak peduli dengan kehidupan anaknya. Dia adalah seorang warkaholic yang gila kerja. Itu juga yang membuat
Sore harinya, aku dan Mas Wisnu sudah bersiap untuk berangkat ketika Mama Rida memanggil Mas Wisnu. “Ada apa, Ma?” Mas Wisnu yang sudah menggenggam kunci mobil tergopoh menghampiri Mama Rida. “Wisnu bisa anterin Mama dulu gak, please! Ini temen Mama kecelakaan. Papa kamu belum pulang.” “Wah, Wisnu mau berangkat, Ma. Apa gak bisa dianter Sandy atau Maria?” tanya Mas Wisnu. Tatapannya tampak gamang. “Kamu kayak gak tahu saja, Nu. Dua adik kamu kalau bawa mobil kayak gimana. Mama bisa-bisa ikut masuk rumah sakit juga karena jantungan.” “Hmmm … gimana ya, Sayang?” Aku melihat ada sorot kebimbangan yang terpancar di mata Mas Wisnu. “Mama jarak rumah sakitnya jauh, gak?” tanyaku sambil merapikan sling bag di pundak. “Hmmm … lumayan, sih! Kenapa gitu, Nika?” Mama Rida menatapku. “Sekalian kita jalan saja kalau gitu, gimana?” Aku memberikan ide. Mama Rida tampak berpikir sejenak sebelum kemudian mengangguk. “Ya sudah, begitu lebih baik. Memangnya kalian mau ke mana, sih? Sudah malam
Mami Ratna yang sudah mangayun langkah, mau tak mau berhenti. Dia menatap wajah panik Mas Wisnu dan Arunika yang membopong Papa Hutama. Melihat wajah panik itu, hati Mami Ratna tak tega. Dia pun menoleh pada Pak Benny dan bicara. “Pak Benny, sepertinya saya tak jadi ke Bandung. Mohon maaf kalau saya ambil kesempatan tadi.” “M--Maksud Bu Ratna?” “Saya gak jadi pulang, Pak.” “Ya sudah gak apa. Lain kali saja. Saya juga gak terburu-buru, lagipula kita belum lama saling mengenal. Sambil jalan saja, Bu Ratna. Yang penting saya sudah mendapat lampu hijau dari keluarga Ibu.” Mami Ratna mematung. Dia pun mengusap wajah, lalu berjalan ke arah sofa. Di luar sana, mobil Mas Wisnu terdengar menjauh. Papa Hutama langsung dibawa ke rumah sakit sepertinya. “Maaf, Pak Benny. Sepertinya ada yang harus kita luruskan! Duduklah ….” Mami Ratna mengusap wajah, lalu mempersilakan Pak Benny untuk duduk pada kursi yang ada di depannya. “Maksud Bu Ratna apa, ya?” Pak Benny menatap wajah per
Sore itu, aku sedang duduk bersandar pada kursi di teras rumah. Baru saja aku selesai melakukan video call dengan Mama dan Papa. Sebentar lagi, usia kandunganku memasuki empat bulan. Mereka tengah bersiap-siap untuk ke sini pas acara nanti. Mami Ratna, seperti biasa, dia senang sekali menyirami tanaman. Meskipun Bi Asih sudah berulang kali melarangnya. Namun, Mami Ratna bersikeras. Dia bosan, katanya. Jadi setiap pagi dan sore, dia rutin Aku masih duduk berselonjor ketika mobil yang kukenali berhenti di depan gerbang. Mami Ratna menoleh lalu berjalan dan membukakan pintu. Lalu, lelaki yang akhir-akhir ini sering banget datang pun turun. Mereka mengobrol sebentar lalu mendekat ke arahku. Sementara itu, Mami Ratna beranjak ke dalam. “Sore Pak Benny! Sehat, Pak!” “Sore, Bu Nika! Alhamdulilah sehat.” “Silakan duduk, Pak. Hmmm ada perlu sama Mas Wisnu, ya? Dia belum pulang ngantor sebetulnya.” “Ahm baik, Bu Nika, terima kasih. Oh iya, Bu Nika … begini … saya ada perlu sebetulnya sama
Pov 3Papa Hutama duduk tepekur mendengar penjelasan Bi Narti. Dunianya seperti dijungkirbalikkan. Tiba-tiba saja, semua fakta berjejalan memenuhi kelopak matanya, pendengarannya dan terasa menjejal menyumbat dadanya. “Kenapa Bi Narti diam saja selama ini?” Papa Hutama menatap perempuan paruh baya itu. Bi Narti tampak membasahi bibirnya dan menatap takut-takut sebelum menjawab. “Maaf, Tuan! Mungkin Tuan lupa, dulu Bibi pernah mengingatkan, tetapi Tuan bilang … Bibi ini hanya pembantu, tak perlu ikut campur urusan majikan!” Papa Hutama memijit pelipisnya. Dia ingat, ingat betul. Dia tak suka orang lain ikut campur atas keputusannya. “Ya, sorry, sorry … dulu, entah kenapa saya begitu bod*h, selalu saja percaya pada apa yang dikatakan Rida.” Papa Hutama menghela napas kasar. Saat semua sudah terang benderang, bahkan yang tertinggal hanya sesal. Urusan syahwat yang menggila sewaktu muda dan terpenuhi oleh keliaran Mama Rida membuatnya bertekuk lutut. Apalagi, memang perempuan itu sel
“Mami, Mami mau ke mana?” Aku terkejut ketika tiba-tiba Mami Ratna muncul mengikuti Bi Asih dengan membawa ransel besar. Wajahnya tampak sekali tak bersemangat seperti biasa. “Pesankan Mami mobil, Nika. Mami mau pulang ke Bandung.” Aku dan Mas Wisnu saling tukar pandang. Wajah Mas Wisnu yang sejak tadi sudah merah padam makin tegang. Aku tahu, dia sedang kesal. Kuusap bahunya pelan-pelan, hingga dia menarik napas panjang dan menghembuskannya. Bahunya perlahan turun dan wajahnya tampak lebih tenang sekarang. “Papa … mintalah maaf pada Mami! Di sini yang salah itu Papa dan Mama Rida. Mintalah maaf padanya. Ucapan-ucapan Papa sepertinya membuat Mami merasa terluka.” Mas Wisnu bicara dengan nada rendah. Namun, wajah Papa Hutama kali ini tampak memberengut tak senang.“Papa gak bersalah, Wisnu. Perempuan itulah yang diam-diam menduakan Papa, dulu dia sering ketemuan dengan lelaki lain di belakang Papa. Asal kamu tahu, Wisnu, dia itu dulu pemakai … mereka sering bersenang-senang berdua
Pagi itu, Mami Ratna tengah menyirami tanaman. Berada satu atap dengan lelaki masa lalu yang sudah menorehkan rasa pahit, nyeri dan segala trauma yang memilukan, membuat kondisinya kembali murung. Kini, dia selalu mencari kegiatan agar terhindar dari rongrongan Papa Hutama. Pernah berniat untuk kembali ke Bandung, tapi Maz Wisnu melarangnya. Pagi itu, dia tengah menyibukkan diri dengan kegiatan yang bisa sedikit mengalihkan pikirannya itu. Namun, suara derit kursi roda, terdengar mendekat. Mami Ratna menoleh, tampak Bi Asih tengah mendorong kursi roda Papa Hutama. Sepasang mata mereka, bersirobok sebentar, hingga akhirnya, Mami Ratna membuang muka. Dia berpindah menyirami tanaman lainnya yang agak jauh dengan lokasi Papa Hutama berjemur. Mami Ratna yang merasa tak nyaman berniat menyegerakan menyirami tanaman-tanaman bunga itu, tetapi suara Papa Hutama keburu membuat langkahnya yang hendak pergi terhenti.“Ratna … boleh bicara?” Mami Ratna menoleh, memindai sekilas wajah Papa Hutam
Mobil yang dikendarai Mama Rida melesat kencang. Dia menyetir dengan tujuan pasti yaitu satu tempat yang sudah dijanjikan. Rasa bencinya pada Berry, benar-benar membuatnya nekat. Kedatangan Berry kali ini, sudah menghancurkan seluruh hidupnya yang selama ini baik-baik saja. Dia harus kehilangan suami yang selama ini jadi pohon uangnya, kedua anaknya harus kehilangan hak warisnya dan kini dia menjadi janda setelah mendapat talak tiga. “Kamu harus lenyap Berry! Kau buat aku hancur, kamu harus membayar lebih dahsyat!” Setelah puluhan menit berkendara, mobil yang dipacu oleh Mama Rida akhirnya tiba di tempat yang dijanjikan, sebuah gudang kosong di tepi area pasar lama yang sudah tak digunakan. Sebuah mobil lain tampak terparkir di sana. Mama Rida tak langsung keluar, dia menghubungi dulu orang itu. “Saya sudah sampai, Bang!” “Ya, saya lihat! Saya di mobil warna hitam di depan kamu! Bawa uangnya ke sini!” Suara itu terdengar memerintah. Mama Rida tergesa keluar dan membawa koper keci
Pov 3“R—Ratna … K—kamu bener ‘kan, Ratna?” Arunika, Mas Wisnu dan Mami Ratna menoleh. Rupanya Papa Hutama nekat datang dengan susah payah. Dia menggerakkan kursi roda dengan tangannya yang masih normal.Suara itu, tak banyak berubah. Mami Ranta mematung kaku menatap sepasang mata yang dulu, pernah menghujani dengan tatapan penuh cinta itu. Sepasang bibirnya terkatup rapat seiring dengan gelengan kepala yang reflek. “K--Kamu m--masih hidup?” Suara Papa Hutama bergetar. Jaraknya tak berubah. Dia pun masih berdiam di tempatnya yang tadi. Mami Ratna menggeleng kepala cepat. Namun, tak ada satu patah kata pun terlontar dari bibirnya untuk menjawab. Dia menetralkan degub jantung yang bergemuruh. Degub itu bukan karena hadirnya rasa cinta, tetapi lebih kepada rasa sesak, benci dan segumpal perasaan kecewa. Lalu, bayangan-bayangan adegan menyakitkan itu kembali berlarian dalam benak Mami Ratna. Bagaimana Papa Hutama yang begitu tega menuduhnya gi-la, lalu memasukkannya ke rumah sakit jiwa
Pak Benny masuk ke dalam ruang kerja Papa Hutama. Setengah jam setelah Mas Wisnu memanggilnya dia datang. Papa Hutama tak mau ditemani siapapun, termasuk Mama Rida. Aku melihat, Mama Rida agak gelisah. Namun, dia tak bisa berbuat apa-apa. Papa Hutama sendiri yang tak membolehkannya. Tak berapa lama, Pak Benny keluar dengan Papa Hutama. Lelaki itu mendorong kursi roda yang diduduki Papa Hutama. Mama Rida bangun dari duduknya dan mendekat. Namun, sorot mata dingin Papa Hutama membuat wajah Mama Rida tampak heran.“K--Kamu kenapa, Pa?” tanya Mama Rida. Dia berusaha meraih Papa Hutama, tetapi lengan lelaki itu menepisnya.“Mulai hari ini, detik ini, saya jatuhkan talak tiga padamu, Rida!”“A--Apa, Pa? T--talak tiga?” “Ya, talak tiga dan silakan kemasi barang-barang kamu! Pergi dari rumah ini!” Suara Papa Hutama bergetar. Wajah Mama Rida tampak pucat. Bibirnya bergetar dan dia tampak menelan saliva. “Kamu kenapa, Pa? Kenapa tiba-tiba menceriakan aku tanpa sebab? Apa karena Maria dan S
“Lalu anak siapa mereka? Selama ini, saya lihat, Mama Rida cinta mati sama Papa ….” Mas Wisnu menerawang. “Entah, yang jelas … lelaki yang Pak Hutama minta selidiki itu bernama Berry!” Prang!Kami terkejut dengan suara benda terjatuh. Ketika kami menoleh, Mami Ratna tampak gemetar dan mematung kaku. Sepasang bibirnya terdengar lirih berucap, “B--Berry? … di--dia … m--masih hidup?”“Bu Ratna!”“Mami!” Serempak aku, Mas Wisnu dan Pak Benny menoleh ke arah Mami Ratna. Dia terlihat pucat dan tangannya terlihat tremor. Mas Wisnu bergegas menghampirinya. Lalu kulihat dia membimbingnya ke dalam. Aku pun berdiri dan berpamitan pada Pak Benny. Aku harus memastikan kondisinya Mami baik-baik saja. Bi Asih tampak tergesa menuju teras. Dia sibuk membersihkan tumpahan kopi dan serpihan beling yang berserakan. Sementara itu, aku duduk di dekat Mami Ratna yang tengah minum air bening. Mas Wisnu menyimpan gelas itu ke atas meja. “Mami kenapa? Apa yang Mami tahu tentang Om Berry?”Mami Ratna menar