Setelah sedikit berdebat dengan Mas Wisnu, akhirnya kami berangkat. Mama Rida terdengar menyelidik. Namun, aku minta Mas Wisnu jangan bilang tujuan yang sebenarnya. Aku bilang, nenek mendadak menelpon nyuruh pulang. Sudah, itu saja. Perjalanan menuju Bogor memakan waktu kurang lebih tiga jam, ditambah dengan kemacetan. Berbekal dengan arahan google maps akhirnya mobil yang aku tumpangi dengan Mas Wisnu tiba di depan sebuah rumah mungil dengan halaman yang tak terlalu luas. Pohon jambu air tampak rimbun di bagian kiri halamannya.“Betul ini rumahnya, Mas?” Aku menatap Mas Wisnu.“Kalau dari maps sih, betul.” Dia pun memeriksa kembali layar ponselnya. Aku bergegas turun. Lalu mengucap salam. Muncul seorang perempuan berusia mungkin sekitar tiga puluh tahunan. Aku pun mengutarakan maksud kedatanganku yaitu untuk menemui Bi Narti. “Ibu bekerja jadi ART, Mbak. Dia kerja di kota. Jadi gak ada di rumah.” “Sejak kapan berangkatnya? Bukannya baru saja pulang, ya?” Aku mengejar pertanyaann
Pov Mama RidaMenjadi Nyonya Hutama merupakan pencapaian terbesar dalam hidupku. Hal yang aku perjuangkan dengan susah payah, akhirnya berbuah indah. Kini semua terasa manis. Berjalan sempurna sesuai rencana. Mas Hutama sudah bertekuk lutut. Aku sudah tahu betul kelemahan Mas Hutama yaitu Wisnu. Selama Wisnu menyayangiku dan menganggapku seperti Ibu kandungnya sendiri, tak ada hal yang perlu dikhawatirkan. Semua hal dengan mudah kukendalikan. Termasuk pembagian warisan. Aku sudah meminta Mas Hutama membagi rata semua harta. Jadi tak ada Wisnu yang lebih besar bagiannya. Semua akan sama saja. Hanya saja, masih menunggu waktu. Mas Hutama bilang, nanti akan meminta notarisnya membuatkan surat pembagian dengan kategori hibah. Ah, tak sabar menunggu saat itu datang. Wisnu pun adalah anak yang mudah dikendalikan. Hatinya terlalu lembut dan penurut seperti Ratna. Jadi tak ada hal yang terlalu harus kukhawatirkan. Semua akan berjalan sesuai rencana. Kebaikan Wisnu adalah kelemahannya. Hany
Aku dan Mas Wisnu baru saja masuk ke dalam kamar di mana Wak Ratna berada. Dia masih duduk tepekur sambil memeluk boneka panda yang dia anggap bayinya. Duduk bersandar pada pojokkan tembok. Duduk mengkerut seperti orang ketakutan.“Inu … sayang … Inu aman sama Ibu. Inu aman sama Ibu. Jangan nangis ya, Nak, ya ….” Kalimat itu berulang-ulang dia ucapkan. Tangan ringkihnya tampak bergetar memeluk boneka panda yang dulu aku belikan. Wak Ratna mendekapnya. Sesekali dia mencium pipi boneka itu, lalu dipeluknya lagi. “Ibu gak jahat, Inu. Mereka yang jahat! Ibu sayang Inu ….” Lirih dan dalam suara yang terdengar. Beberapa saat saja bertahan. Lalu setelahnya dia tiba-tiba histeris lalu melempar boneka itu sambil memekik kencang. “Kamu bukan Inu! Di mana Inu? Di mana Inu?” Lalu Wak Ratna akan menangis. Nek Ecih bilang, dia akan terus menangis hingga dia kelelahan dan tidur. Sekarang pun mulai tangisan itu memenuhi ruangan. Aku, selalu tak tega. Air mata ini luruh begitu saja. Aku bisa meras
Aku tak menunda rencana. Beberapa helai rambut Mas Wisnu sudah ada dalam kantong plastik kecil. Kusimpan baik-baik di dalam lemari. Tadi malam, dengan alasan rambutnya sudah beruban, aku mencabut beberapa helai. “Masa sih, rambut Mas sudah ubanan? Mana coba lihat?” tanyanya setelah aku memaksa ingin mengambil uban di atas kepalanya. “Sudah aku buang lah, Mas. Ngapain sih, malah pengen lihatin uban?” Aku memberengut. Sementara itu, tangan yang sudah berhasil mengambil beberapa helai rambut, masuk ke dalam saku piyama. “Ya aneh saja. Mas ‘kan masih muda. Kenapa tiba-tiba sudah tumbuh uban,” tukasnya lagi sambil memandang pantulan wajah kami dari cermin meja rias. “Dari pada numbuh jamur, Mas. Gak masuk akal. Mending uban, sesama jenis rambut juga.” Dia pun terkekeh. Aku tak tahu apa yang lucu dari kalimatku, tapi lebih baik ikut tertawa juga. Setidaknya, aku bisa terlepas dari teroran uban-uban itu. Beruntung, obrolan lekas teralihkan. Aku jadi tak harus berbohong lebih banyak lagi
Astaghfirulloh! Tiba-tiba pikiranku menjadi suudzon. Apakah ini sebagian dari rencana Mama Rida untuk membuat Mas Wisnu membuangku. Jika rahimku kering, maka kemungkinan kecil aku akan susah hamil. Gigiku gemelutuk. Tanganku mengepal. Perang dalam diam lebih membuatku harus waspada rupanya. Lawan yang berpura-pura baik di depan, itu jauh lebih berbahaya. Lekas aku mengambil satu sachet. Mumpung di rumah tak ada orang. Aku harus bertanya langsung pada Mbok Jum. Aku ingin tahu, apa yang ditawarkan Mama Rida padanya. Marilah … kita bertaruh, tawaran siapa yang lebih menarik nantinya? Aku harus membuat Mbok Jum, diam-diam balik menyerang mereka. Pintu kamar Mbok Jum yang tertutup itu kuketuk. Tak berapa lama, perempuan paruh baya itu keluar. Rambutnya yang biasa dibalut ciput, tampak tergerai. Dia sedang menyisir rambut rupanya. “Eh, Non Nika. Nggih, Non. Ada apa?”Mbok Jum tersenyum sambil mengangguk sopan.“Mbok Jum, bolah bicara sebentar?” tanyaku sopan. Senyum tak lupa kusematkan.
“Gak apa-apa sih, Mas. Aku … hmmm … cuma ingin memberi Papa dan Mama kejutan. Tiba-tiba aku hamil, kan mereka pasti senang!” ocehku sambil tersenyum. “Wah, ide bagus! Pinter memang ya, istri, Mas!” “Iyalah, kalau gak pinter, gak mungkin aku sekarang ada di sini, Mas.” Aku menimpali. Namun, bicara lain dalam hati, “Kalau aku tak pintar, baru seminggu saja pasti aku sudah terlempar dari rumah ini, Mas. Orang-orang di sekitar kamu semua memakai topeng. Wajahnya mulus, tapi hatinya busuk. Aku tak sabar ingin segera hamil. Lalu memberikan kejutan kehamilanku pada Mama Rida. Dia pasti shock, rencananya untuk memasukkan Bella dalam kehidupan kami, akan semakin tidak mungkin. Dia tak memiliki alasan lagi.”Jadi, pagi ini kami ke dokter kandungan dulu. Mas Wisnu agak heran karena aku bisa izin dengan mudah, padahal baru kerja. Namun, bukan Arunika kalau tak memiliki jawaban yang bisa Mas Wisnu percaya. Dokter kandungan melakukan pemeriksaan. Dia mengatakan kalau kesuburan di antara kami tak
Mas Wisnu sudah memakai piyama tidur ketika pintu diketuk berulang. Aku benar-benar merasa terganggu. Baru saja kutata makanan di meja kecil yang ada di balkon ketika ketukan itu berulang-ulang. “Siapa, sih?” Mas Wisnu sudah hendak menuju ke arah pintu. Namun, reflek tanganku menahannya. “Sepertinya aku tahu dia siapa, Mas. Mas diam di sini, ya!” Aku berbisik pada Mas Wisnu. Dia pun menurut lalu duduk pada sofa balkon. Setelah itu, lekas aku menutup pintu balkon dan gorden. Lalu berjalan ke arah hunger di mana ada kimonoku di sana. Lekas kugunakan dan rambutku kubuat kusut. Lipstik kuhapus asal agar beleber. Setelah itu, kupadamkan lampu dan kuganti dengan lampu temaram. Aku berjalan mendekat ke arah pintu. Lalu perlahan aku membukanya, kubuka sedikit saja. Benar saja tebakanku, Bella, dia masih ada di sana. Di tangannya tampak menggenggam ponsel. “Aku ada perlu sama Mas Wisnu.” Dia berkata ketus. Kulihat sepasang matanya memindaiku. Aku tahu, otaknya pasti langsung travelling mel
“Jadi, apa aku boleh pergi sendiri? Mas lihat ‘kan aku sudah pandai mengemudi?” tanyaku pada akhirnya. Untuk test DNA itu, sepertinya tak bisa lagi kutunda lebih lama. Bella dan Mama Rida sedang berkonspirasi untuk mengusirku dari kehidupan Mas Wisnu sejauh-jauhnya. Anggukkan Mas Wisnu sudah bisa membuatku bernapas lega. Menunggu weekend terlalu lama. Keesokan harinya, aku memutuskan untuk pergi. Hanya saja, satu hal yang harus aku ambil risikonya. Aku tak bisa bicara pada Mas Wisnu. Dia pasti akan heran dan banyak tanya. Kenapa tak menunggu weekend saja. Lagipula, dia pasti heran, soalnya aku kerja. Sepertinya, Mas Wisnu pun sibuk. Dia tak akan tahu juga aku pergi ke mana. Perjalanan ke Bandung tak terlalu jauh juga. Aku bisa kembali sebelum Mas Wisnu pulang nanti. Tiba ke klinik, aku hanya menyapa beberapa karyawan. Lalu, setelahnya menginformasikan pada orang kepercayaanku, aku sedang ada janji dengan klien. Dia pun tak banyak tanya, aku ownernya. Yang penting, aku sudah menanda
Mami Ratna yang sudah mangayun langkah, mau tak mau berhenti. Dia menatap wajah panik Mas Wisnu dan Arunika yang membopong Papa Hutama. Melihat wajah panik itu, hati Mami Ratna tak tega. Dia pun menoleh pada Pak Benny dan bicara. “Pak Benny, sepertinya saya tak jadi ke Bandung. Mohon maaf kalau saya ambil kesempatan tadi.” “M--Maksud Bu Ratna?” “Saya gak jadi pulang, Pak.” “Ya sudah gak apa. Lain kali saja. Saya juga gak terburu-buru, lagipula kita belum lama saling mengenal. Sambil jalan saja, Bu Ratna. Yang penting saya sudah mendapat lampu hijau dari keluarga Ibu.” Mami Ratna mematung. Dia pun mengusap wajah, lalu berjalan ke arah sofa. Di luar sana, mobil Mas Wisnu terdengar menjauh. Papa Hutama langsung dibawa ke rumah sakit sepertinya. “Maaf, Pak Benny. Sepertinya ada yang harus kita luruskan! Duduklah ….” Mami Ratna mengusap wajah, lalu mempersilakan Pak Benny untuk duduk pada kursi yang ada di depannya. “Maksud Bu Ratna apa, ya?” Pak Benny menatap wajah per
Sore itu, aku sedang duduk bersandar pada kursi di teras rumah. Baru saja aku selesai melakukan video call dengan Mama dan Papa. Sebentar lagi, usia kandunganku memasuki empat bulan. Mereka tengah bersiap-siap untuk ke sini pas acara nanti. Mami Ratna, seperti biasa, dia senang sekali menyirami tanaman. Meskipun Bi Asih sudah berulang kali melarangnya. Namun, Mami Ratna bersikeras. Dia bosan, katanya. Jadi setiap pagi dan sore, dia rutin Aku masih duduk berselonjor ketika mobil yang kukenali berhenti di depan gerbang. Mami Ratna menoleh lalu berjalan dan membukakan pintu. Lalu, lelaki yang akhir-akhir ini sering banget datang pun turun. Mereka mengobrol sebentar lalu mendekat ke arahku. Sementara itu, Mami Ratna beranjak ke dalam. “Sore Pak Benny! Sehat, Pak!” “Sore, Bu Nika! Alhamdulilah sehat.” “Silakan duduk, Pak. Hmmm ada perlu sama Mas Wisnu, ya? Dia belum pulang ngantor sebetulnya.” “Ahm baik, Bu Nika, terima kasih. Oh iya, Bu Nika … begini … saya ada perlu sebetulnya sama
Pov 3Papa Hutama duduk tepekur mendengar penjelasan Bi Narti. Dunianya seperti dijungkirbalikkan. Tiba-tiba saja, semua fakta berjejalan memenuhi kelopak matanya, pendengarannya dan terasa menjejal menyumbat dadanya. “Kenapa Bi Narti diam saja selama ini?” Papa Hutama menatap perempuan paruh baya itu. Bi Narti tampak membasahi bibirnya dan menatap takut-takut sebelum menjawab. “Maaf, Tuan! Mungkin Tuan lupa, dulu Bibi pernah mengingatkan, tetapi Tuan bilang … Bibi ini hanya pembantu, tak perlu ikut campur urusan majikan!” Papa Hutama memijit pelipisnya. Dia ingat, ingat betul. Dia tak suka orang lain ikut campur atas keputusannya. “Ya, sorry, sorry … dulu, entah kenapa saya begitu bod*h, selalu saja percaya pada apa yang dikatakan Rida.” Papa Hutama menghela napas kasar. Saat semua sudah terang benderang, bahkan yang tertinggal hanya sesal. Urusan syahwat yang menggila sewaktu muda dan terpenuhi oleh keliaran Mama Rida membuatnya bertekuk lutut. Apalagi, memang perempuan itu sel
“Mami, Mami mau ke mana?” Aku terkejut ketika tiba-tiba Mami Ratna muncul mengikuti Bi Asih dengan membawa ransel besar. Wajahnya tampak sekali tak bersemangat seperti biasa. “Pesankan Mami mobil, Nika. Mami mau pulang ke Bandung.” Aku dan Mas Wisnu saling tukar pandang. Wajah Mas Wisnu yang sejak tadi sudah merah padam makin tegang. Aku tahu, dia sedang kesal. Kuusap bahunya pelan-pelan, hingga dia menarik napas panjang dan menghembuskannya. Bahunya perlahan turun dan wajahnya tampak lebih tenang sekarang. “Papa … mintalah maaf pada Mami! Di sini yang salah itu Papa dan Mama Rida. Mintalah maaf padanya. Ucapan-ucapan Papa sepertinya membuat Mami merasa terluka.” Mas Wisnu bicara dengan nada rendah. Namun, wajah Papa Hutama kali ini tampak memberengut tak senang.“Papa gak bersalah, Wisnu. Perempuan itulah yang diam-diam menduakan Papa, dulu dia sering ketemuan dengan lelaki lain di belakang Papa. Asal kamu tahu, Wisnu, dia itu dulu pemakai … mereka sering bersenang-senang berdua
Pagi itu, Mami Ratna tengah menyirami tanaman. Berada satu atap dengan lelaki masa lalu yang sudah menorehkan rasa pahit, nyeri dan segala trauma yang memilukan, membuat kondisinya kembali murung. Kini, dia selalu mencari kegiatan agar terhindar dari rongrongan Papa Hutama. Pernah berniat untuk kembali ke Bandung, tapi Maz Wisnu melarangnya. Pagi itu, dia tengah menyibukkan diri dengan kegiatan yang bisa sedikit mengalihkan pikirannya itu. Namun, suara derit kursi roda, terdengar mendekat. Mami Ratna menoleh, tampak Bi Asih tengah mendorong kursi roda Papa Hutama. Sepasang mata mereka, bersirobok sebentar, hingga akhirnya, Mami Ratna membuang muka. Dia berpindah menyirami tanaman lainnya yang agak jauh dengan lokasi Papa Hutama berjemur. Mami Ratna yang merasa tak nyaman berniat menyegerakan menyirami tanaman-tanaman bunga itu, tetapi suara Papa Hutama keburu membuat langkahnya yang hendak pergi terhenti.“Ratna … boleh bicara?” Mami Ratna menoleh, memindai sekilas wajah Papa Hutam
Mobil yang dikendarai Mama Rida melesat kencang. Dia menyetir dengan tujuan pasti yaitu satu tempat yang sudah dijanjikan. Rasa bencinya pada Berry, benar-benar membuatnya nekat. Kedatangan Berry kali ini, sudah menghancurkan seluruh hidupnya yang selama ini baik-baik saja. Dia harus kehilangan suami yang selama ini jadi pohon uangnya, kedua anaknya harus kehilangan hak warisnya dan kini dia menjadi janda setelah mendapat talak tiga. “Kamu harus lenyap Berry! Kau buat aku hancur, kamu harus membayar lebih dahsyat!” Setelah puluhan menit berkendara, mobil yang dipacu oleh Mama Rida akhirnya tiba di tempat yang dijanjikan, sebuah gudang kosong di tepi area pasar lama yang sudah tak digunakan. Sebuah mobil lain tampak terparkir di sana. Mama Rida tak langsung keluar, dia menghubungi dulu orang itu. “Saya sudah sampai, Bang!” “Ya, saya lihat! Saya di mobil warna hitam di depan kamu! Bawa uangnya ke sini!” Suara itu terdengar memerintah. Mama Rida tergesa keluar dan membawa koper keci
Pov 3“R—Ratna … K—kamu bener ‘kan, Ratna?” Arunika, Mas Wisnu dan Mami Ratna menoleh. Rupanya Papa Hutama nekat datang dengan susah payah. Dia menggerakkan kursi roda dengan tangannya yang masih normal.Suara itu, tak banyak berubah. Mami Ranta mematung kaku menatap sepasang mata yang dulu, pernah menghujani dengan tatapan penuh cinta itu. Sepasang bibirnya terkatup rapat seiring dengan gelengan kepala yang reflek. “K--Kamu m--masih hidup?” Suara Papa Hutama bergetar. Jaraknya tak berubah. Dia pun masih berdiam di tempatnya yang tadi. Mami Ratna menggeleng kepala cepat. Namun, tak ada satu patah kata pun terlontar dari bibirnya untuk menjawab. Dia menetralkan degub jantung yang bergemuruh. Degub itu bukan karena hadirnya rasa cinta, tetapi lebih kepada rasa sesak, benci dan segumpal perasaan kecewa. Lalu, bayangan-bayangan adegan menyakitkan itu kembali berlarian dalam benak Mami Ratna. Bagaimana Papa Hutama yang begitu tega menuduhnya gi-la, lalu memasukkannya ke rumah sakit jiwa
Pak Benny masuk ke dalam ruang kerja Papa Hutama. Setengah jam setelah Mas Wisnu memanggilnya dia datang. Papa Hutama tak mau ditemani siapapun, termasuk Mama Rida. Aku melihat, Mama Rida agak gelisah. Namun, dia tak bisa berbuat apa-apa. Papa Hutama sendiri yang tak membolehkannya. Tak berapa lama, Pak Benny keluar dengan Papa Hutama. Lelaki itu mendorong kursi roda yang diduduki Papa Hutama. Mama Rida bangun dari duduknya dan mendekat. Namun, sorot mata dingin Papa Hutama membuat wajah Mama Rida tampak heran.“K--Kamu kenapa, Pa?” tanya Mama Rida. Dia berusaha meraih Papa Hutama, tetapi lengan lelaki itu menepisnya.“Mulai hari ini, detik ini, saya jatuhkan talak tiga padamu, Rida!”“A--Apa, Pa? T--talak tiga?” “Ya, talak tiga dan silakan kemasi barang-barang kamu! Pergi dari rumah ini!” Suara Papa Hutama bergetar. Wajah Mama Rida tampak pucat. Bibirnya bergetar dan dia tampak menelan saliva. “Kamu kenapa, Pa? Kenapa tiba-tiba menceriakan aku tanpa sebab? Apa karena Maria dan S
“Lalu anak siapa mereka? Selama ini, saya lihat, Mama Rida cinta mati sama Papa ….” Mas Wisnu menerawang. “Entah, yang jelas … lelaki yang Pak Hutama minta selidiki itu bernama Berry!” Prang!Kami terkejut dengan suara benda terjatuh. Ketika kami menoleh, Mami Ratna tampak gemetar dan mematung kaku. Sepasang bibirnya terdengar lirih berucap, “B--Berry? … di--dia … m--masih hidup?”“Bu Ratna!”“Mami!” Serempak aku, Mas Wisnu dan Pak Benny menoleh ke arah Mami Ratna. Dia terlihat pucat dan tangannya terlihat tremor. Mas Wisnu bergegas menghampirinya. Lalu kulihat dia membimbingnya ke dalam. Aku pun berdiri dan berpamitan pada Pak Benny. Aku harus memastikan kondisinya Mami baik-baik saja. Bi Asih tampak tergesa menuju teras. Dia sibuk membersihkan tumpahan kopi dan serpihan beling yang berserakan. Sementara itu, aku duduk di dekat Mami Ratna yang tengah minum air bening. Mas Wisnu menyimpan gelas itu ke atas meja. “Mami kenapa? Apa yang Mami tahu tentang Om Berry?”Mami Ratna menar