Pov 3Papa Hutama duduk tepekur mendengar penjelasan Bi Narti. Dunianya seperti dijungkirbalikkan. Tiba-tiba saja, semua fakta berjejalan memenuhi kelopak matanya, pendengarannya dan terasa menjejal menyumbat dadanya. “Kenapa Bi Narti diam saja selama ini?” Papa Hutama menatap perempuan paruh baya itu. Bi Narti tampak membasahi bibirnya dan menatap takut-takut sebelum menjawab. “Maaf, Tuan! Mungkin Tuan lupa, dulu Bibi pernah mengingatkan, tetapi Tuan bilang … Bibi ini hanya pembantu, tak perlu ikut campur urusan majikan!” Papa Hutama memijit pelipisnya. Dia ingat, ingat betul. Dia tak suka orang lain ikut campur atas keputusannya. “Ya, sorry, sorry … dulu, entah kenapa saya begitu bod*h, selalu saja percaya pada apa yang dikatakan Rida.” Papa Hutama menghela napas kasar. Saat semua sudah terang benderang, bahkan yang tertinggal hanya sesal. Urusan syahwat yang menggila sewaktu muda dan terpenuhi oleh keliaran Mama Rida membuatnya bertekuk lutut. Apalagi, memang perempuan itu sel
Sore itu, aku sedang duduk bersandar pada kursi di teras rumah. Baru saja aku selesai melakukan video call dengan Mama dan Papa. Sebentar lagi, usia kandunganku memasuki empat bulan. Mereka tengah bersiap-siap untuk ke sini pas acara nanti. Mami Ratna, seperti biasa, dia senang sekali menyirami tanaman. Meskipun Bi Asih sudah berulang kali melarangnya. Namun, Mami Ratna bersikeras. Dia bosan, katanya. Jadi setiap pagi dan sore, dia rutin Aku masih duduk berselonjor ketika mobil yang kukenali berhenti di depan gerbang. Mami Ratna menoleh lalu berjalan dan membukakan pintu. Lalu, lelaki yang akhir-akhir ini sering banget datang pun turun. Mereka mengobrol sebentar lalu mendekat ke arahku. Sementara itu, Mami Ratna beranjak ke dalam. “Sore Pak Benny! Sehat, Pak!” “Sore, Bu Nika! Alhamdulilah sehat.” “Silakan duduk, Pak. Hmmm ada perlu sama Mas Wisnu, ya? Dia belum pulang ngantor sebetulnya.” “Ahm baik, Bu Nika, terima kasih. Oh iya, Bu Nika … begini … saya ada perlu sebetulnya sama
Mami Ratna yang sudah mangayun langkah, mau tak mau berhenti. Dia menatap wajah panik Mas Wisnu dan Arunika yang membopong Papa Hutama. Melihat wajah panik itu, hati Mami Ratna tak tega. Dia pun menoleh pada Pak Benny dan bicara. “Pak Benny, sepertinya saya tak jadi ke Bandung. Mohon maaf kalau saya ambil kesempatan tadi.” “M--Maksud Bu Ratna?” “Saya gak jadi pulang, Pak.” “Ya sudah gak apa. Lain kali saja. Saya juga gak terburu-buru, lagipula kita belum lama saling mengenal. Sambil jalan saja, Bu Ratna. Yang penting saya sudah mendapat lampu hijau dari keluarga Ibu.” Mami Ratna mematung. Dia pun mengusap wajah, lalu berjalan ke arah sofa. Di luar sana, mobil Mas Wisnu terdengar menjauh. Papa Hutama langsung dibawa ke rumah sakit sepertinya. “Maaf, Pak Benny. Sepertinya ada yang harus kita luruskan! Duduklah ….” Mami Ratna mengusap wajah, lalu mempersilakan Pak Benny untuk duduk pada kursi yang ada di depannya. “Maksud Bu Ratna apa, ya?” Pak Benny menatap wajah per
“Kalau kamu mau tinggal di sini, beresin nih barang-barang kami. Ingat, ya, Mbak. Kamu itu di sini Cuma numpang!” bisik Sandy---adik pertama dari Mas Wisnu. Dia mendorong koper miliknya ke arahku. Sandy Hutama namanya. Selangit gayanya. Kadang aku heran. Bisa-bisanya orang sebaik Mas Wisnu harus berada di tengah-tengah keluarga dengan tabiat yang luar biasa. “Eh, San … dy … sekarang, aku ini Mbak kamu, ya! Istri sah dari Mas Wisnu Hutama. Bukan pem-ban-tu.” Aku menarik ujung kaos Sandy yang kekecilan itu. Sepertinya harus kutatar gadis ini agar bisa memilih baju yang elok dipandang. Harus kuajarkan bagaimana bicara pada orang yang lebih tua dan dituakkan. “Maria! Lihat, nih! Mbak diserang orang udik!” Tanpa kusangka, dia berteriak, meminta tolong pada adiknya. Iparku yang kedua. “Astagaaa! Mbak Nika, kamu apain Mbak Sandy. Harus tahu diri, ya, jadi perempuan! Kamu itu di sini Cuma num-pang.” Keduanya kini saling berkacak pinggang dan memandangku penuh kebencian. Aku mengusap waja
“Sudah lama, Sayang. Kata Papi, waktu usia Mas masih dua tahun. Mami meninggal karena kecelakaan. Untung ada Mami Rida yang mau mengurusi Mas hingga sekarang.” Aku menghela napas lalu kutatap manik hitam yang selalu tampak sendu itu sambil bicara pelan, “Aku sekarang sudah resmi jadi istrimu, Mas. Aku ingin Mas cerita padaku. Apa … Mas ingin bertemu dengan Ibu kandung, Mas?” tanyaku hati-hati.“Kenapa kamu bertanya begitu, Sayang? Anak mana yang gak ingin bertemu Ibunya. Hanya saja, Mas tak mau mengandaikan yang tak mungkin lagi terjadi. Mami sudah tenang di surga-Nya. Dia pun pasti akan sedih kalau melihat Mas tak bahagia.” Aku mengangguk. Sangat paham atas apa yang dia rasakan. “Aku jadi penasaran, foto Mami mas seperti apa, ya? Pasti sangat cantik. Sejak ke rumah ini, tak ada satupun foto Mami Mas yang dipajang.” “Oh, itu … Mas ada simpan satu di laci. Papa meminta ART menurunkan semua foto Mami takut Mama Rida tersinggung, katanya. Dulu waktu Mas masih kecil, Mas masih inget n
Papa Hutama tersenyum ramah ketika kami datang. Mas Wisnu menarikkan kursi untukku. Semua sudah duduk di meja makan dan tampak beragam hidangan yang sudah ditata. “Duduk, Sayang …,” bisik Mas Wisnu sambil memegangi belakang kursi. Sepasang matanya melirik ke arahku. “Iya, Mas.”Aku pun menurut. Lalu duduk. Mas Wisnu sendiri duduk di sampingku. Jadi kini di sisiku kananku ada Sandy dan Maria. Sementara itu, di depanku ada Papa Hutama dan Mama Rida. Mas Wisnu berada di samping kiriku. Meja makan ini menjadi gak balance. Di depan sana memang hanya didominasi dua orang. “Semoga kamu suka makanan di sini, Nika.” Papa Hutama membuka suara. Aku tersenyum sambil mengangguk. “InsyaAllah, Pa. Nika bukan pemilih makanan, kok.” "Syukurlah! Kalau ada rasa yang kurang, bilang saja sama Bi Narti." "Iya, Pa."Papa Hutama pun lanjut mengambil lauk. Mama Rida tampak sekali cekatan melayaninya. “Ini, nasinya, Sayang!” Mas Wisnu menyendokkanku nasi. Perhatianku pada sepasang suami istri di depanku
“Mas, aku mau kerja, boleh? Bosan kalau di rumah terus.” Misi pertama aku lancarkan. Sebetulnya bekerja adalah sebuah alasan saja. Aku harus punya akses keluar rumah dengan bebas tanpa mendapatkan banyak pertanyaan. “Ya sudah, nanti Mas check ke bagian HRD. Di divisi mana yang butuh tenaga tambahan.”“Gak enak kalau di kantornya, Mas. Aku mau nyari kerja sendiri, Mas.” “Loh, kenapa gak enak? Justru ‘kan gak usah pusing. Bisa langsung masuk.” “Ya gak gitu juga konsepnya. Mas sadar, gak, sih? Mama Rida sama kedua adik Mas itu kayak gak suka sama aku. Mungkin mereka mikir aku ini cuma numpang dan manfaatin kekayaan kamu saja. Aku gak mau, Mas.” Mas Wisnu yang sejak tadi berkutat dengan laptop menoleh. Aku masih tiduran di tempat tidur sambil menatap ke arahnya. “Jadi, mau nyari kerja sendiri?” “Iya, Mas. Boleh?” Aku memasang wajah memelas. Mas Wisnu tersenyum dan mengangguk juga pada akhirnya. “Ya sudah, atur saja, Sayang. Hanya saja … Mas harap kamu nyari kerja yang waktu kerjan
Sudah dua minggu lebih aku berada di rumah ini. Setiap hari, aku terus mencoba mendekatkan diri dengan Bi Narti. Dia tampak senang dan berterima kasih karena merasa terbantu. Aku memaksimalkan waktu-waktu senggang ini sebelum mendapatkan pekerjaan yang kuinginkan. Aku harus bisa mengambil hati Bi Narti secepatnya. “Bibi sudah lama ya kerja di sini? Kata Mas Wisnu dari dia masih kecil?” tukasku sambil membantu mencuci potongan iga sapi. Bi Narti mau masak sop iga sapi hari ini. “Iya, Non. Bahkan dulu Bibi sendiri yang momong Den Wisnu sebelum Bu Rida datang. Dia itu dulu baby sitter di rumah ini, Non.” “Oalah, masa? Kok gak keliatan dia baby sitter sih, Bi? Mama Rida malah cantik banget.” Aku menimpali. Kubuat percakapan ini sesantai mungkin agar Bi Narti tak merasa aku sedang mengorek informasi. “Iya, Non. Dulu itu setahu Bibi, keluarga Pak Hutama itu gak setuju kalau Pak Hutama itu nikah sama Bu Ratna. Tapi aneh, pas Bu Rida hamil sama Pak Hutama, mereka kelihatan seneng banget.