“Kalau kamu mau tinggal di sini, beresin nih barang-barang kami. Ingat, ya, Mbak. Kamu itu di sini Cuma numpang!” bisik Sandy---adik pertama dari Mas Wisnu. Dia mendorong koper miliknya ke arahku. Sandy Hutama namanya. Selangit gayanya. Kadang aku heran. Bisa-bisanya orang sebaik Mas Wisnu harus berada di tengah-tengah keluarga dengan tabiat yang luar biasa.
“Eh, San … dy … sekarang, aku ini Mbak kamu, ya! Istri sah dari Mas Wisnu Hutama. Bukan pem-ban-tu.” Aku menarik ujung kaos Sandy yang kekecilan itu. Sepertinya harus kutatar gadis ini agar bisa memilih baju yang elok dipandang. Harus kuajarkan bagaimana bicara pada orang yang lebih tua dan dituakkan. “Maria! Lihat, nih! Mbak diserang orang udik!” Tanpa kusangka, dia berteriak, meminta tolong pada adiknya. Iparku yang kedua. “Astagaaa! Mbak Nika, kamu apain Mbak Sandy. Harus tahu diri, ya, jadi perempuan! Kamu itu di sini Cuma num-pang.” Keduanya kini saling berkacak pinggang dan memandangku penuh kebencian. Aku mengusap wajah. “Rupanya di sini sarang biawak, baiklah biar nanti saja kalian kenalannya. Saat ini, kalian gak usah tahu dulu, aku ini siapa. Aku ini bukan serigala berbulu domba lagi, tapi harimau berbulu kelinci. Aku pastikan perlahan tapi pasti, kalian tak akan bisa semena-mena lagi di rumah ini. Aku janji … akan membalaskan rasa sakit hatinya selama ini.” Aku bergeming. Senyum pada bibirku tersungging. Kumenunduk dalam karena tahu ada siapa yang datang. “Sandy! Maria! Gak baik bersikap seperti itu! Arunika itu kakak kalian!” Papa Hutama yang baru datang langsung buka suara. Aku pura-pura memasang wajah sedih. Menunduk dengan senyum disembunyikan. “Awas, ya, kalian! Kalau berani sama Mbak Nika, Mas gak kasih lagi uang jajan!” Mas Wisnu yang datang bersama Papa Mertuaku, menyahuti juga dan terdengar kesal. Ya iyalah, istri kesayangannya tampak tertindas. Dia pasti pasang badan. Kulihat bibir Mama Rida bergetar. Sorot matanya menahan kesal. Hanya saja, aku tahu, dia tak akan segegabah dua anak perempuannya. Dia adalah ular, bahkan lebih licin dari pada belut. Aktingnya memang layak dianugerahi piala Oscar. “Sandy, Maria … minta maaf … gimanapun, Mbak Nika itu, mulai hari ini adalah keluarga kita.” Aku melirik sekilas. Wajahnya masih ditekuk, tapi bisa ya, intonasi suaranya begitu lembut, hebat. Dia berdiri agak ke belakang, jadi dipastikan Mas Wisnu maupuan Papa Hutama tak bisa melihat wajahnya yang arogan itu. Mas Wisnu mendekat, lalu mengusap punggungku sambil bicara begitu lembut, “Maafin mereka, Sayang. Maklum, mereka masih labil.” Aku mendongak dan menatapnya sambil tersenyum, “Iya, Mas. Gak apa. Aku juga maklum.” “Sandy, Maria, minta maaf ….” Suara Mas Wisnu terdengar penuh wibawa. Kedua anak perempuan itu saling menyiku. Namun tak urung juga menghadap lalu minta maaf. “Maaf.” Lalu keduanya memutar tubuh dan meninggalkanku. Wajahnya ditekuk. Mama Rida pun bergegas mengikuti mereka. Sementara itu, Mas Wisnu menggandeng lenganku. Lelaki yang sudah tiga hari ini resmi menjadi suamiku itu mengajakku beranjak ke lantai dua. Katanya di sanalah kamar yang akan kutempati bersamanya. Aku berdecak ketika anak tangga satu per satu kulewati. Tangga yang megah dan kokoh ini menghubungkan dua lantai rumah yang luas dan megah. Tiba-tiba saja ada rasa nyeri yang menelusup. Mengingat posisi yang kini bersanding sebagai Nyonya Hutama itu siapa. Perempuan yang bermuka dua yang rela menghalalkan segala cara untuk meraih keinginannya, Rida Rusita. “Maafin adik-adik Mas, ya. Mereka memang gak dewasa-dewasa. Mama sama Papa terlalu memanjakkannya.” Mas Wisnu bicara lembut. “Iya, Mas.” Aku mengangguk dan tersenyum. Kutatap matanya yang memiliki pupil hitam pekat itu. Tampak ada ketulusan yang terpancar. “Andai almarhumah mami masih ada, dia pasti bangga, Sayang. Mas kini sudah menikah dan punya istri secantik kamu,” tukasnya sambil menghela napas. “Almarhumah … jadi, ini alasan Mas Wisnu tak pernah mencari tahu keberadaan perempuan yang pernah melahirkannya?” batinku. Namun, aku tetap mengulas senyum pada bibir ini agar dia tak curiga. Bagaimanapun, Mas Wisnu ini adalah anak Papa Hutama. Lelaki yang sudah memberinya hidup dengan gelimang kemewahan. “Memangnya mami Mas Wisnu sejak kapan berpulangnya?” tanyaku hati-hati. Selama kami saling mengenal, aku tak terlalu berani bertanya hal-hal pribadi. Apalagi dia selalu tampak murung setiap kali membahas hal ini. “Sudah lama, Sayang. Kata Papi, waktu usia Mas masih dua tahun. Mami meninggal karena kecelakaan. Untung ada Mami Rida yang mau mengurusi Mas hingga sekarang.” Aku menghela napas lalu kutatap manik hitam yang selalu tampak sendu itu sambil bicara pelan, “Aku sekarang sudah resmi jadi istrimu, Mas. Aku ingin Mas cerita padaku. Apa … Mas ingin bertemu dengan Ibu kandung, Mas?” tanyaku hati-hati.“Sudah lama, Sayang. Kata Papi, waktu usia Mas masih dua tahun. Mami meninggal karena kecelakaan. Untung ada Mami Rida yang mau mengurusi Mas hingga sekarang.” Aku menghela napas lalu kutatap manik hitam yang selalu tampak sendu itu sambil bicara pelan, “Aku sekarang sudah resmi jadi istrimu, Mas. Aku ingin Mas cerita padaku. Apa … Mas ingin bertemu dengan Ibu kandung, Mas?” tanyaku hati-hati.“Kenapa kamu bertanya begitu, Sayang? Anak mana yang gak ingin bertemu Ibunya. Hanya saja, Mas tak mau mengandaikan yang tak mungkin lagi terjadi. Mami sudah tenang di surga-Nya. Dia pun pasti akan sedih kalau melihat Mas tak bahagia.” Aku mengangguk. Sangat paham atas apa yang dia rasakan. “Aku jadi penasaran, foto Mami mas seperti apa, ya? Pasti sangat cantik. Sejak ke rumah ini, tak ada satupun foto Mami Mas yang dipajang.” “Oh, itu … Mas ada simpan satu di laci. Papa meminta ART menurunkan semua foto Mami takut Mama Rida tersinggung, katanya. Dulu waktu Mas masih kecil, Mas masih inget n
Papa Hutama tersenyum ramah ketika kami datang. Mas Wisnu menarikkan kursi untukku. Semua sudah duduk di meja makan dan tampak beragam hidangan yang sudah ditata. “Duduk, Sayang …,” bisik Mas Wisnu sambil memegangi belakang kursi. Sepasang matanya melirik ke arahku. “Iya, Mas.”Aku pun menurut. Lalu duduk. Mas Wisnu sendiri duduk di sampingku. Jadi kini di sisiku kananku ada Sandy dan Maria. Sementara itu, di depanku ada Papa Hutama dan Mama Rida. Mas Wisnu berada di samping kiriku. Meja makan ini menjadi gak balance. Di depan sana memang hanya didominasi dua orang. “Semoga kamu suka makanan di sini, Nika.” Papa Hutama membuka suara. Aku tersenyum sambil mengangguk. “InsyaAllah, Pa. Nika bukan pemilih makanan, kok.” "Syukurlah! Kalau ada rasa yang kurang, bilang saja sama Bi Narti." "Iya, Pa."Papa Hutama pun lanjut mengambil lauk. Mama Rida tampak sekali cekatan melayaninya. “Ini, nasinya, Sayang!” Mas Wisnu menyendokkanku nasi. Perhatianku pada sepasang suami istri di depanku
“Mas, aku mau kerja, boleh? Bosan kalau di rumah terus.” Misi pertama aku lancarkan. Sebetulnya bekerja adalah sebuah alasan saja. Aku harus punya akses keluar rumah dengan bebas tanpa mendapatkan banyak pertanyaan. “Ya sudah, nanti Mas check ke bagian HRD. Di divisi mana yang butuh tenaga tambahan.”“Gak enak kalau di kantornya, Mas. Aku mau nyari kerja sendiri, Mas.” “Loh, kenapa gak enak? Justru ‘kan gak usah pusing. Bisa langsung masuk.” “Ya gak gitu juga konsepnya. Mas sadar, gak, sih? Mama Rida sama kedua adik Mas itu kayak gak suka sama aku. Mungkin mereka mikir aku ini cuma numpang dan manfaatin kekayaan kamu saja. Aku gak mau, Mas.” Mas Wisnu yang sejak tadi berkutat dengan laptop menoleh. Aku masih tiduran di tempat tidur sambil menatap ke arahnya. “Jadi, mau nyari kerja sendiri?” “Iya, Mas. Boleh?” Aku memasang wajah memelas. Mas Wisnu tersenyum dan mengangguk juga pada akhirnya. “Ya sudah, atur saja, Sayang. Hanya saja … Mas harap kamu nyari kerja yang waktu kerjan
Sudah dua minggu lebih aku berada di rumah ini. Setiap hari, aku terus mencoba mendekatkan diri dengan Bi Narti. Dia tampak senang dan berterima kasih karena merasa terbantu. Aku memaksimalkan waktu-waktu senggang ini sebelum mendapatkan pekerjaan yang kuinginkan. Aku harus bisa mengambil hati Bi Narti secepatnya. “Bibi sudah lama ya kerja di sini? Kata Mas Wisnu dari dia masih kecil?” tukasku sambil membantu mencuci potongan iga sapi. Bi Narti mau masak sop iga sapi hari ini. “Iya, Non. Bahkan dulu Bibi sendiri yang momong Den Wisnu sebelum Bu Rida datang. Dia itu dulu baby sitter di rumah ini, Non.” “Oalah, masa? Kok gak keliatan dia baby sitter sih, Bi? Mama Rida malah cantik banget.” Aku menimpali. Kubuat percakapan ini sesantai mungkin agar Bi Narti tak merasa aku sedang mengorek informasi. “Iya, Non. Dulu itu setahu Bibi, keluarga Pak Hutama itu gak setuju kalau Pak Hutama itu nikah sama Bu Ratna. Tapi aneh, pas Bu Rida hamil sama Pak Hutama, mereka kelihatan seneng banget.
“Saya ini kekasihnya Mas Wisnu, sebentar lagi akan jadi satu-satunya Nyonya Wisnu Hutama.” Dia bicara sambil membusungkan dada. Aku hanya menggeleng dan terkekeh pelan,”Hanya kekasih, ya? Itu pun sudah man-tan.” Senang sekali ketika kulihat raut wajahnya berubah memerah. Sepertinya dia merasa tersinggung dengan ucapanku barusan. Dari status saja kalah telakk kan? Arunika dilawan.Kukira dia sudah kalah. Namun, rupanya dia memiliki nyawa cadangan. Gadis bernama Bella itu mengangkat dagu, beberapa detik kemudian, bibirnya menyeringai, lalu dia merogoh sesuatu dari dalam tasnya. Lalu kekehan terdengar seiring dengan helai demi helai foto dia sebar. “Lihat, ini cewek kampungan! Lihat semua ini! Aku jauh lebih dulu dari pada kamu yang berada di pelukkan Mas Wisnu,” tukasnya. Satu per satu lembaran foto berukuran kartu pos yang cukup banyak jumlahnya itu berjatuhan. Aku merasa detik menjadi lebih lambat seiring dengan adegan demi adegan dalam foto mesra itu. Tampak sekali berbagai fose y
Makan malam pun usai. Aku masih senyum-senyum sendiri. Pemandangan yang tadi cukup menghibur. Apalagi Bella sempat-sempatnya buang angin di depan Papa Hutama dan semua yang ada di meja makan. Wajahnya yang merah karena malu, bertambah parah ketika dia harus menumpahkan air dalam gelas itu. Sengaja kuprovokasi agar sisa air dalam gelas yang sudah kucampur serbuk pencuci perut itu tumpah. Siapa suruh ngeyel. Sudah kubilang kalau Mas Wisnu itu suamiku. Dia masih saja keukeuh. “Maaf, Papa, Mama … ini kecapekkan ngurusin mau launching bisnis. Jadi kayak gini. Sepertinya masuk angin,” tukasnya sambil berdiri dan mengangguk. Lalu tanpa menunggu jawaban dari semuanya. Bella berlari ke kamar mandi. Bi Narti yang sibuk membersihkan tumpahan air, hanya diam menunduk. Dia tampak terkejut dengan sakit perutnya Bella. Mungkin dia takut disalahkan.Tenang, Bi … semua lauk yang dimakan, aman. Bella sakit perut karena minumannya saja. “Sayang!” Suara Mas Wisnu membuatku menoleh. “Ya, Mas?” tanyak
Sebuah butik yang terlihat berkelas, kami masuki. Pelayan yang ramah menyambut kami. Setelah itu, kami ke sebuah salon yang cukup besar. “Mas, ke salon yang biasa saja boleh?” rengekku. Kubuat wajah memelas. “Nanti gak bagus hasilnya. Mama Rida langganan ke salon ini, Sayang. Dia bilang di sini kebanyakan pakai produk dari klinik kecantikan ternama.” Aku hanya menghela napas pasrah. Beberapa detik otakku berputar mencari cara. Jangan sampai terkuak identitasku yang sebenarnya sebelum berhasil membuat Mas Wisnu percaya jika Maminya masih ada. Tiba-tiba sebuah ide terlintas. “Aduh, duh, duh, Mas … aku sakit perut. Ke toilet sebentar, ya! Mas daftarin saja dulu.” “Kamu salah makan, tah? Oke, Mas ketemu dulu sama yang punya salon. Sudah kenal, sering banget nganter Mama Rida ke sini dulu.” “Iya, Mas.” Lalu, aku berjalan cepat. Sudah tahu betul letak toilet di mana. Ada tembusan dari pintu samping juga. Sementara itu, Mas Wisnu masuk. Aku tak tahu mereka berbincang apa. Aku masih d
Kami tiba di tempat acara sesuai waktu yang ditentukan. Mas Wisnu malah senang berlama-lama di jalan. Bahkan dia mengajakku dulu berputar-putar sehingga datang tak terlalu awal. “Duh, tapi kok Mas gak ridho ya, Sayang.” Mas Wisnu bergeming ketika mobil sudah terparkir di sebuah bangunan yang tampaknya baru mau jadi. “Gak ridho apanya?” Aku menatap wajah Masa Wisnu heran. “Kamu terlalu cantik hari ini. Gak rela kalau orang-orang ikut mengagumi kecantikanmu.” Dia mengulum senyum sambil melirik ke arahku. Seketika aku terkekeh melihat tingkahnya. “Ya Allah, kirain kenapa, Mas? Ya sudah, aku gak usah ikut saja. Diam di mobil gimana?” “Hush jangan! Nanti kalau ilang, repot nyarinya! Ayo, kita paling telat nih, Sayang.” Mas Wisnu lekas melepas seat bealt. Lalu berjalan keluar. Aku pun mengikutinya. Kini kami berada di sebuah bangunan pabrik yang tampaknya baru selesai. Banyak sudah mobil terparkir di depan. “Ini pabrik ya, Mas?” tanyaku. “Iya, Sayang. Baru selesai bangun. Ownernya ke