Share

BUKAN IPAR SEMBARANGAN
BUKAN IPAR SEMBARANGAN
Author: Evie Yuzuma

Bab 1

“Kalau kamu mau tinggal di sini, beresin nih barang-barang kami. Ingat, ya, Mbak. Kamu itu di sini Cuma numpang!” bisik Sandy---adik pertama dari Mas Wisnu. Dia mendorong koper miliknya ke arahku. Sandy Hutama namanya. Selangit gayanya. Kadang aku heran. Bisa-bisanya orang sebaik Mas Wisnu harus berada di tengah-tengah keluarga dengan tabiat yang luar biasa.

“Eh, San … dy … sekarang, aku ini Mbak kamu, ya! Istri sah dari Mas Wisnu Hutama. Bukan pem-ban-tu.” Aku menarik ujung kaos Sandy yang kekecilan itu. Sepertinya harus kutatar gadis ini agar bisa memilih baju yang elok dipandang. Harus kuajarkan bagaimana bicara pada orang yang lebih tua dan dituakkan.

“Maria! Lihat, nih! Mbak diserang orang udik!” Tanpa kusangka, dia berteriak, meminta tolong pada adiknya. Iparku yang kedua.

“Astagaaa! Mbak Nika, kamu apain Mbak Sandy. Harus tahu diri, ya, jadi perempuan! Kamu itu di sini Cuma num-pang.”

Keduanya kini saling berkacak pinggang dan memandangku penuh kebencian. Aku mengusap wajah.

“Rupanya di sini sarang biawak, baiklah biar nanti saja kalian kenalannya. Saat ini, kalian gak usah tahu dulu, aku ini siapa. Aku ini bukan serigala berbulu domba lagi, tapi harimau berbulu kelinci. Aku pastikan perlahan tapi pasti, kalian tak akan bisa semena-mena lagi di rumah ini. Aku janji … akan membalaskan rasa sakit hatinya selama ini.” Aku bergeming. Senyum pada bibirku tersungging. Kumenunduk dalam karena tahu ada siapa yang datang.

“Sandy! Maria! Gak baik bersikap seperti itu! Arunika itu kakak kalian!” Papa Hutama yang baru datang langsung buka suara. Aku pura-pura memasang wajah sedih. Menunduk dengan senyum disembunyikan.

“Awas, ya, kalian! Kalau berani sama Mbak Nika, Mas gak kasih lagi uang jajan!” Mas Wisnu yang datang bersama Papa Mertuaku, menyahuti juga dan terdengar kesal. Ya iyalah, istri kesayangannya tampak tertindas. Dia pasti pasang badan.

Kulihat bibir Mama Rida bergetar. Sorot matanya menahan kesal. Hanya saja, aku tahu, dia tak akan segegabah dua anak perempuannya. Dia adalah ular, bahkan lebih licin dari pada belut. Aktingnya memang layak dianugerahi piala Oscar.

“Sandy, Maria … minta maaf … gimanapun, Mbak Nika itu, mulai hari ini adalah keluarga kita.” Aku melirik sekilas. Wajahnya masih ditekuk, tapi bisa ya, intonasi suaranya begitu lembut, hebat. Dia berdiri agak ke belakang, jadi dipastikan Mas Wisnu maupuan Papa Hutama tak bisa melihat wajahnya yang arogan itu.

Mas Wisnu mendekat, lalu mengusap punggungku sambil bicara begitu lembut, “Maafin mereka, Sayang. Maklum, mereka masih labil.”

Aku mendongak dan menatapnya sambil tersenyum, “Iya, Mas. Gak apa. Aku juga maklum.”

“Sandy, Maria, minta maaf ….” Suara Mas Wisnu terdengar penuh wibawa. Kedua anak perempuan itu saling menyiku. Namun tak urung juga menghadap lalu minta maaf.

“Maaf.”

Lalu keduanya memutar tubuh dan meninggalkanku. Wajahnya ditekuk. Mama Rida pun bergegas mengikuti mereka. Sementara itu, Mas Wisnu menggandeng lenganku. Lelaki yang sudah tiga hari ini resmi menjadi suamiku itu mengajakku beranjak ke lantai dua. Katanya di sanalah kamar yang akan kutempati bersamanya.

Aku berdecak ketika anak tangga satu per satu kulewati. Tangga yang megah dan kokoh ini menghubungkan dua lantai rumah yang luas dan megah. Tiba-tiba saja ada rasa nyeri yang menelusup. Mengingat posisi yang kini bersanding sebagai Nyonya Hutama itu siapa. Perempuan yang bermuka dua yang rela menghalalkan segala cara untuk meraih keinginannya, Rida Rusita.

“Maafin adik-adik Mas, ya. Mereka memang gak dewasa-dewasa. Mama sama Papa terlalu memanjakkannya.” Mas Wisnu bicara lembut.

“Iya, Mas.” Aku mengangguk dan tersenyum. Kutatap matanya yang memiliki pupil hitam pekat itu. Tampak ada ketulusan yang terpancar.

“Andai almarhumah mami masih ada, dia pasti bangga, Sayang. Mas kini sudah menikah dan punya istri secantik kamu,” tukasnya sambil menghela napas.

“Almarhumah … jadi, ini alasan Mas Wisnu tak pernah mencari tahu keberadaan perempuan yang pernah melahirkannya?” batinku. Namun, aku tetap mengulas senyum pada bibir ini agar dia tak curiga. Bagaimanapun, Mas Wisnu ini adalah anak Papa Hutama. Lelaki yang sudah memberinya hidup dengan gelimang kemewahan.

“Memangnya mami Mas Wisnu sejak kapan berpulangnya?” tanyaku hati-hati. Selama kami saling mengenal, aku tak terlalu berani bertanya hal-hal pribadi. Apalagi dia selalu tampak murung setiap kali membahas hal ini.

“Sudah lama, Sayang. Kata Papi, waktu usia Mas masih dua tahun. Mami meninggal karena kecelakaan. Untung ada Mami Rida yang mau mengurusi Mas hingga sekarang.”

Aku menghela napas lalu kutatap manik hitam yang selalu tampak sendu itu sambil bicara pelan, “Aku sekarang sudah resmi jadi istrimu, Mas. Aku ingin Mas cerita padaku. Apa … Mas ingin bertemu dengan Ibu kandung, Mas?” tanyaku hati-hati.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status