Papa Hutama tersenyum ramah ketika kami datang. Mas Wisnu menarikkan kursi untukku. Semua sudah duduk di meja makan dan tampak beragam hidangan yang sudah ditata.
“Duduk, Sayang …,” bisik Mas Wisnu sambil memegangi belakang kursi. Sepasang matanya melirik ke arahku. “Iya, Mas.” Aku pun menurut. Lalu duduk. Mas Wisnu sendiri duduk di sampingku. Jadi kini di sisiku kananku ada Sandy dan Maria. Sementara itu, di depanku ada Papa Hutama dan Mama Rida. Mas Wisnu berada di samping kiriku. Meja makan ini menjadi gak balance. Di depan sana memang hanya didominasi dua orang. “Semoga kamu suka makanan di sini, Nika.” Papa Hutama membuka suara. Aku tersenyum sambil mengangguk. “InsyaAllah, Pa. Nika bukan pemilih makanan, kok.” "Syukurlah! Kalau ada rasa yang kurang, bilang saja sama Bi Narti." "Iya, Pa." Papa Hutama pun lanjut mengambil lauk. Mama Rida tampak sekali cekatan melayaninya. “Ini, nasinya, Sayang!” Mas Wisnu menyendokkanku nasi. Perhatianku pada sepasang suami istri di depanku kini jadi teralihkan. “Duh, Mas kebanyakan!” Aku menahan tangan Mas Wisnu yang sibuk menyendokkan nasi ke piringku. “Oo, maaf. Segimana maunya?” Mas Wisnu terkekeh. Dia pun menyerahkan centong nasi padaku. "Nah, segini cukup, Mas!" Aku mengurangi jatah di piringku. “Ck, sok jaim. Padahal biasanya juga paling makannya banyak,” celetuk Sandy sambil menyuap. Aku diam saja. Lirikan tajam Papa Hutama pada putrinya membuatku merasa ada yang membela. “Sandy, gak baik bicara seperti itu.” Sandy mencebik, hanya sekilas melirik pada Papanya. Dia pun melanjutkan makannya. Aku duduk setelah menyendokkan nasi untuk Mas Wisnu. “Lauk yang ini mau?” Mas Wisnu mengambilkan irisan daging sapi yang dicampur paprika, bawang bombay dan saus teriyaki. “Boleh, Mas.” Aku mengangguk. Lalu dia pun mengambilkan yang lainnya. Hanya saja aku menolak ketika jatah lauk di piringku sudah cukup banyak. “Kamu harus makan banyak, Sayang. Biar sehat.” Mas Wisnu bicara sebelum menyuap. “Ini sudah banyak, Mas.” “Oh ya sudah. Dimakan, ya!” bisiknya sambil menepuk punggung tanganku. “Iya, Mas.” Aku mengangguk. “Males ya, Mbak. Sekarang lagi musim drama,” bisik Maria, tapi masih terdengar olehku. “Sssst!” Sandy tampak menyiku Maria. Papa Hutama mendelik ke arah mereka. Rupanya, meskipun kedua gadis itu manja. Satu kuncinya, yaitu mereka takut dengan Papa Hutama. Baguslah.... Aku mulai menyuap. Nasi pulen dan hangat memanjakkan lidah. Apalagi berpadu dengan irisan daging sapi yang empuk. Jujur, masakan ini kuacungi jempol empat. Begitupun dengan bumbu pada udang yang dibuat sambal ini. Pedas, gurih bercampur dengan daging udang yang agak manis ini. Pantas saja Bi Narti dipertahankan. Dari segi masakanpun memang cukup pantas diperhitungkan. Aku baru setengah menghabiskan jatah pada piringku. Jarak air minum dalam gelas yang agak jauh membuat tanganku harus terjulur melewati Sandy yang duduk di sampingku. Namun, tanpa kukira, Sandy berteriak sendiri. “Awww! Mbak, yang bener, dong! Basah, nih!” protesnya. Sontak aku menoleh. Agak kaget ketika tampak air minumnya sudah menggelinding di atas meja. Airnya tumpah mengenai kakinya. “Kok bisa tumpah? Mbak gak kena, kok.” Aku bicara sejujurnya. Jarakku dengan air minumnya memang dekat, tapi tersentuh pun tidak. “Gak usah sok polos deh, Mbak. Aku juga lihat sama mata kepalaku sendiri. Mbak Nika yang menyenggol gelas Mbak Sandy.” Maria menimpali. Dia sibuk mengambilkan tissue dan membersihkan meja kakaknya. Ooo ... jadi mau main fitnah keroyokan rupanya. “Mbak Nika itu sengaja, ya! Masih dendam sama aku. Tadi kan aku sudah minta maaf.” Sandy memberengut. Seolah betulan terzolimi. “Sandy, Maria … sudah … jangan diperpanjang … air tumpah saja ‘kan?” Suara Papa Hutama terdengar. “Ck, Papa dikasih apa sih sama perempuan ini! Masih saja dibelain, sudah jelas salah. Aku benci Papa!” Sandy membanting sendok. Lalu beranjak meninggalkan meja makan. “Aku juga benci Papa!” Maria kini ikut-ikutan. Kedua gadis itu meninggalkan meja makan. Aku yang diserang mendadak, belum menyiapkan perlawanan. Hanya kutatap dua punggung gadis itu. Rupanya dia sudah mulai main sudut menyudutkan. Aku harus lebih waspada sekarang. Otak licik Mama Rida pastinya menurun pada mereka juga. Papa Hutama menarik napas kasar. Namun dia tampak tetap masih bersikap biasa. “Mama, habis makan nanti … tolong beri pengertian untuk Sandy dan Maria.” “Iya, Pa. Sekarang … ayo Papa makan dulu. Mereka masih anak-anak, biar Mama kasih pengertian nanti,” tutur lembut Mama Rida. Padahal sekilas tadi dia pun menatapku dengan kebencian yang sama. Kami pun tetap melanjutkan makan meski tanpa dua gadis itu. Mas Wisnu mengusap-usap punggungku dan berbicara pelan. Katanya, jangan terlalu dipikirkan. Usai makan. Aku tak langsung beranjak. Meskipun Mas Wisnu melarang. Namun aku ingin mengenal lebih jauh dulu siapa Bi Narti. Aku memutuskan untuk membantunya membereskan meja makan. “Gak usah, Non. Bibi saja.” Bi Narti menampik bantuanku. Dia tampak segan. “Bibi pasti sibuk. Ini banyak yang harus dibereskan. Saya sudah terbiasa, Bi. Saya hidup di kampung dan bukan dari golongan orang kaya. Bibi tenang saja.” Aku bicara panjang lebar untuk meyakinkannya. “Bibi biasa kerjain semuanya sendiri, kok, Non.” “Ya, itu dulu … mulai hari ini, tenang … Bibi gak akan sendiri lagi. Ada Arunika yang akan sering membantu Bibi.” Aku menyunggingkan senyum dan menepuk dada menawarkan diri. Dia tak berkata apa-apa lagi selain tersenyum kaku sambil mengangguk saja. Aku pun mulai membawa piring-piring kotor ke belakang. Sementara itu, Bi Narti tampak kikuk dan terlihat belum nyaman. Hanya saja, aku terus menerus mengajaknya mengobrol ngalor ngidul. Kuharap dia akan mulai membuka diri dan percaya padaku. Bukankah untuk mendapat dukungan, kita harus berteman lebih dulu?“Mas, aku mau kerja, boleh? Bosan kalau di rumah terus.” Misi pertama aku lancarkan. Sebetulnya bekerja adalah sebuah alasan saja. Aku harus punya akses keluar rumah dengan bebas tanpa mendapatkan banyak pertanyaan. “Ya sudah, nanti Mas check ke bagian HRD. Di divisi mana yang butuh tenaga tambahan.”“Gak enak kalau di kantornya, Mas. Aku mau nyari kerja sendiri, Mas.” “Loh, kenapa gak enak? Justru ‘kan gak usah pusing. Bisa langsung masuk.” “Ya gak gitu juga konsepnya. Mas sadar, gak, sih? Mama Rida sama kedua adik Mas itu kayak gak suka sama aku. Mungkin mereka mikir aku ini cuma numpang dan manfaatin kekayaan kamu saja. Aku gak mau, Mas.” Mas Wisnu yang sejak tadi berkutat dengan laptop menoleh. Aku masih tiduran di tempat tidur sambil menatap ke arahnya. “Jadi, mau nyari kerja sendiri?” “Iya, Mas. Boleh?” Aku memasang wajah memelas. Mas Wisnu tersenyum dan mengangguk juga pada akhirnya. “Ya sudah, atur saja, Sayang. Hanya saja … Mas harap kamu nyari kerja yang waktu kerjan
Sudah dua minggu lebih aku berada di rumah ini. Setiap hari, aku terus mencoba mendekatkan diri dengan Bi Narti. Dia tampak senang dan berterima kasih karena merasa terbantu. Aku memaksimalkan waktu-waktu senggang ini sebelum mendapatkan pekerjaan yang kuinginkan. Aku harus bisa mengambil hati Bi Narti secepatnya. “Bibi sudah lama ya kerja di sini? Kata Mas Wisnu dari dia masih kecil?” tukasku sambil membantu mencuci potongan iga sapi. Bi Narti mau masak sop iga sapi hari ini. “Iya, Non. Bahkan dulu Bibi sendiri yang momong Den Wisnu sebelum Bu Rida datang. Dia itu dulu baby sitter di rumah ini, Non.” “Oalah, masa? Kok gak keliatan dia baby sitter sih, Bi? Mama Rida malah cantik banget.” Aku menimpali. Kubuat percakapan ini sesantai mungkin agar Bi Narti tak merasa aku sedang mengorek informasi. “Iya, Non. Dulu itu setahu Bibi, keluarga Pak Hutama itu gak setuju kalau Pak Hutama itu nikah sama Bu Ratna. Tapi aneh, pas Bu Rida hamil sama Pak Hutama, mereka kelihatan seneng banget.
“Saya ini kekasihnya Mas Wisnu, sebentar lagi akan jadi satu-satunya Nyonya Wisnu Hutama.” Dia bicara sambil membusungkan dada. Aku hanya menggeleng dan terkekeh pelan,”Hanya kekasih, ya? Itu pun sudah man-tan.” Senang sekali ketika kulihat raut wajahnya berubah memerah. Sepertinya dia merasa tersinggung dengan ucapanku barusan. Dari status saja kalah telakk kan? Arunika dilawan.Kukira dia sudah kalah. Namun, rupanya dia memiliki nyawa cadangan. Gadis bernama Bella itu mengangkat dagu, beberapa detik kemudian, bibirnya menyeringai, lalu dia merogoh sesuatu dari dalam tasnya. Lalu kekehan terdengar seiring dengan helai demi helai foto dia sebar. “Lihat, ini cewek kampungan! Lihat semua ini! Aku jauh lebih dulu dari pada kamu yang berada di pelukkan Mas Wisnu,” tukasnya. Satu per satu lembaran foto berukuran kartu pos yang cukup banyak jumlahnya itu berjatuhan. Aku merasa detik menjadi lebih lambat seiring dengan adegan demi adegan dalam foto mesra itu. Tampak sekali berbagai fose y
Makan malam pun usai. Aku masih senyum-senyum sendiri. Pemandangan yang tadi cukup menghibur. Apalagi Bella sempat-sempatnya buang angin di depan Papa Hutama dan semua yang ada di meja makan. Wajahnya yang merah karena malu, bertambah parah ketika dia harus menumpahkan air dalam gelas itu. Sengaja kuprovokasi agar sisa air dalam gelas yang sudah kucampur serbuk pencuci perut itu tumpah. Siapa suruh ngeyel. Sudah kubilang kalau Mas Wisnu itu suamiku. Dia masih saja keukeuh. “Maaf, Papa, Mama … ini kecapekkan ngurusin mau launching bisnis. Jadi kayak gini. Sepertinya masuk angin,” tukasnya sambil berdiri dan mengangguk. Lalu tanpa menunggu jawaban dari semuanya. Bella berlari ke kamar mandi. Bi Narti yang sibuk membersihkan tumpahan air, hanya diam menunduk. Dia tampak terkejut dengan sakit perutnya Bella. Mungkin dia takut disalahkan.Tenang, Bi … semua lauk yang dimakan, aman. Bella sakit perut karena minumannya saja. “Sayang!” Suara Mas Wisnu membuatku menoleh. “Ya, Mas?” tanyak
Sebuah butik yang terlihat berkelas, kami masuki. Pelayan yang ramah menyambut kami. Setelah itu, kami ke sebuah salon yang cukup besar. “Mas, ke salon yang biasa saja boleh?” rengekku. Kubuat wajah memelas. “Nanti gak bagus hasilnya. Mama Rida langganan ke salon ini, Sayang. Dia bilang di sini kebanyakan pakai produk dari klinik kecantikan ternama.” Aku hanya menghela napas pasrah. Beberapa detik otakku berputar mencari cara. Jangan sampai terkuak identitasku yang sebenarnya sebelum berhasil membuat Mas Wisnu percaya jika Maminya masih ada. Tiba-tiba sebuah ide terlintas. “Aduh, duh, duh, Mas … aku sakit perut. Ke toilet sebentar, ya! Mas daftarin saja dulu.” “Kamu salah makan, tah? Oke, Mas ketemu dulu sama yang punya salon. Sudah kenal, sering banget nganter Mama Rida ke sini dulu.” “Iya, Mas.” Lalu, aku berjalan cepat. Sudah tahu betul letak toilet di mana. Ada tembusan dari pintu samping juga. Sementara itu, Mas Wisnu masuk. Aku tak tahu mereka berbincang apa. Aku masih d
Kami tiba di tempat acara sesuai waktu yang ditentukan. Mas Wisnu malah senang berlama-lama di jalan. Bahkan dia mengajakku dulu berputar-putar sehingga datang tak terlalu awal. “Duh, tapi kok Mas gak ridho ya, Sayang.” Mas Wisnu bergeming ketika mobil sudah terparkir di sebuah bangunan yang tampaknya baru mau jadi. “Gak ridho apanya?” Aku menatap wajah Masa Wisnu heran. “Kamu terlalu cantik hari ini. Gak rela kalau orang-orang ikut mengagumi kecantikanmu.” Dia mengulum senyum sambil melirik ke arahku. Seketika aku terkekeh melihat tingkahnya. “Ya Allah, kirain kenapa, Mas? Ya sudah, aku gak usah ikut saja. Diam di mobil gimana?” “Hush jangan! Nanti kalau ilang, repot nyarinya! Ayo, kita paling telat nih, Sayang.” Mas Wisnu lekas melepas seat bealt. Lalu berjalan keluar. Aku pun mengikutinya. Kini kami berada di sebuah bangunan pabrik yang tampaknya baru selesai. Banyak sudah mobil terparkir di depan. “Ini pabrik ya, Mas?” tanyaku. “Iya, Sayang. Baru selesai bangun. Ownernya ke
“Perkenalkan, saya Mbok Juminem, pengganti Bi Narti. Hari ini mulai kerja di sini. Mohon petunjuknya!” Deg!Aku merasa kaget luar biasa. Lalu kutatap wajah Mas Wisnu yang terlihat sama bingungnya. “Sejak kapan Bi Narti berhenti kerja, kemarin gak bilang apa-apa.” Aku bermonolog sendirian. Namun sepertinya Mbok Juminem mendengarnya. Dia pun menanggapi dengan cepat. “Ndak tahu, Non. Si Mbok memang mendadak juga tadi pagi dikirim dari yayasan. Permisi, nggih. Kalau ada perlu boleh panggil si Mbok ya, Tuan, Nona.” Aku termangu. Sampai-sampai lupa menyahutinya. “Kenapa Bi Narti mendadak mengundurkan diri? Padahal kemarin sudah janji, hari ini dia akan menceritakan semuanya.” Aku masih termangu hingga punggung Mbok Juminem menghilang di balik ruangan. Suara Mas Wisnu membuatku tersadar, “Sayang .…”“Eh, iy--iya, Mas?” “Kok malah melamun?” “I---ini a--aku lagi ada janji sama Bi Narti, Mas. Kok tiba-tiba ngundurin diri, ya? Apa Mas Wisnu tahu rumahnya?” Aku melirik ke arahnya. Pandang
Aruna-Deep beatuy Skin Clinic adalah usaha yang susah payah aku rintis semenjak lulus kuliah kedokteran dan kini sudah memiliki 4 cabang. Semua itu tak kudapatkan dengan mudah. Semua itu tak lepas dari dukungan Mamaku yang bernama Aruna Ratih Eka Putri karena itu juga, nama klinik ini kuambil dari nama Mama---Aruna, dan bukan dari namaku Arunika. Mama terlahir dari keluarga sederhana di kota Bandung sana. Hanya saja keberuntungan berpihak. Dia mendapat jodoh salah seorang pengusaha sawit dari Riau, hanya saja semua harus ditebusnya dengan meninggalkan kampung halaman. Akulah yang kemudian tinggal di Bandung semenjak mulai kuliah dan membuat Nenek kembali merasa tak kesepian. Nenek hanya memiliki dua anak. Ibuku dan adiknya yang kini bekerja di luar pulau juga. Dari dukungan kedua orang tuaku inilah akhirnya aku bisa menyelesaikan kuliah kedokteran. Walaupun memang Papa terkesan tak peduli dengan kehidupan anaknya. Dia adalah seorang warkaholic yang gila kerja. Itu juga yang membuat