Share

Bab 3

Papa Hutama tersenyum ramah ketika kami datang. Mas Wisnu menarikkan kursi untukku. Semua sudah duduk di meja makan dan tampak beragam hidangan yang sudah ditata.

“Duduk, Sayang …,” bisik Mas Wisnu sambil memegangi belakang kursi. Sepasang matanya melirik ke arahku.

“Iya, Mas.”

Aku pun menurut. Lalu duduk. Mas Wisnu sendiri duduk di sampingku. Jadi kini di sisiku kananku ada Sandy dan Maria. Sementara itu, di depanku ada Papa Hutama dan Mama Rida. Mas Wisnu berada di samping kiriku. Meja makan ini menjadi gak balance. Di depan sana memang hanya didominasi dua orang.

“Semoga kamu suka makanan di sini, Nika.” Papa Hutama membuka suara. Aku tersenyum sambil mengangguk.

“InsyaAllah, Pa. Nika bukan pemilih makanan, kok.”

"Syukurlah! Kalau ada rasa yang kurang, bilang saja sama Bi Narti."

"Iya, Pa."

Papa Hutama pun lanjut mengambil lauk. Mama Rida tampak sekali cekatan melayaninya.

“Ini, nasinya, Sayang!” Mas Wisnu menyendokkanku nasi. Perhatianku pada sepasang suami istri di depanku kini jadi teralihkan.

“Duh, Mas kebanyakan!” Aku menahan tangan Mas Wisnu yang sibuk menyendokkan nasi ke piringku.

“Oo, maaf. Segimana maunya?” Mas Wisnu terkekeh. Dia pun menyerahkan centong nasi padaku.

"Nah, segini cukup, Mas!" Aku mengurangi jatah di piringku.

“Ck, sok jaim. Padahal biasanya juga paling makannya banyak,” celetuk Sandy sambil menyuap.

Aku diam saja. Lirikan tajam Papa Hutama pada putrinya membuatku merasa ada yang membela.

“Sandy, gak baik bicara seperti itu.”

Sandy mencebik, hanya sekilas melirik pada Papanya. Dia pun melanjutkan makannya. Aku duduk setelah menyendokkan nasi untuk Mas Wisnu.

“Lauk yang ini mau?” Mas Wisnu mengambilkan irisan daging sapi yang dicampur paprika, bawang bombay dan saus teriyaki.

“Boleh, Mas.” Aku mengangguk. Lalu dia pun mengambilkan yang lainnya. Hanya saja aku menolak ketika jatah lauk di piringku sudah cukup banyak.

“Kamu harus makan banyak, Sayang. Biar sehat.” Mas Wisnu bicara sebelum menyuap.

“Ini sudah banyak, Mas.”

“Oh ya sudah. Dimakan, ya!” bisiknya sambil menepuk punggung tanganku.

“Iya, Mas.” Aku mengangguk.

“Males ya, Mbak. Sekarang lagi musim drama,” bisik Maria, tapi masih terdengar olehku.

“Sssst!” Sandy tampak menyiku Maria.

Papa Hutama mendelik ke arah mereka. Rupanya, meskipun kedua gadis itu manja. Satu kuncinya, yaitu mereka takut dengan Papa Hutama. Baguslah....

Aku mulai menyuap. Nasi pulen dan hangat memanjakkan lidah. Apalagi berpadu dengan irisan daging sapi yang empuk. Jujur, masakan ini kuacungi jempol empat. Begitupun dengan bumbu pada udang yang dibuat sambal ini. Pedas, gurih bercampur dengan daging udang yang agak manis ini. Pantas saja Bi Narti dipertahankan. Dari segi masakanpun memang cukup pantas diperhitungkan.

Aku baru setengah menghabiskan jatah pada piringku. Jarak air minum dalam gelas yang agak jauh membuat tanganku harus terjulur melewati Sandy yang duduk di sampingku. Namun, tanpa kukira, Sandy berteriak sendiri.

“Awww! Mbak, yang bener, dong! Basah, nih!” protesnya.

Sontak aku menoleh. Agak kaget ketika tampak air minumnya sudah menggelinding di atas meja. Airnya tumpah mengenai kakinya.

“Kok bisa tumpah? Mbak gak kena, kok.” Aku bicara sejujurnya. Jarakku dengan air minumnya memang dekat, tapi tersentuh pun tidak.

“Gak usah sok polos deh, Mbak. Aku juga lihat sama mata kepalaku sendiri. Mbak Nika yang menyenggol gelas Mbak Sandy.” Maria menimpali. Dia sibuk mengambilkan tissue dan membersihkan meja kakaknya.

Ooo ... jadi mau main fitnah keroyokan rupanya.

“Mbak Nika itu sengaja, ya! Masih dendam sama aku. Tadi kan aku sudah minta maaf.” Sandy memberengut. Seolah betulan terzolimi.

“Sandy, Maria … sudah … jangan diperpanjang … air tumpah saja ‘kan?” Suara Papa Hutama terdengar.

“Ck, Papa dikasih apa sih sama perempuan ini! Masih saja dibelain, sudah jelas salah. Aku benci Papa!” Sandy membanting sendok. Lalu beranjak meninggalkan meja makan.

“Aku juga benci Papa!” Maria kini ikut-ikutan. Kedua gadis itu meninggalkan meja makan.

Aku yang diserang mendadak, belum menyiapkan perlawanan. Hanya kutatap dua punggung gadis itu. Rupanya dia sudah mulai main sudut menyudutkan. Aku harus lebih waspada sekarang. Otak licik Mama Rida pastinya menurun pada mereka juga.

Papa Hutama menarik napas kasar. Namun dia tampak tetap masih bersikap biasa.

“Mama, habis makan nanti … tolong beri pengertian untuk Sandy dan Maria.”

“Iya, Pa. Sekarang … ayo Papa makan dulu. Mereka masih anak-anak, biar Mama kasih pengertian nanti,” tutur lembut Mama Rida. Padahal sekilas tadi dia pun menatapku dengan kebencian yang sama.

Kami pun tetap melanjutkan makan meski tanpa dua gadis itu. Mas Wisnu mengusap-usap punggungku dan berbicara pelan. Katanya, jangan terlalu dipikirkan.

Usai makan. Aku tak langsung beranjak. Meskipun Mas Wisnu melarang. Namun aku ingin mengenal lebih jauh dulu siapa Bi Narti. Aku memutuskan untuk membantunya membereskan meja makan.

“Gak usah, Non. Bibi saja.” Bi Narti menampik bantuanku. Dia tampak segan.

“Bibi pasti sibuk. Ini banyak yang harus dibereskan. Saya sudah terbiasa, Bi. Saya hidup di kampung dan bukan dari golongan orang kaya. Bibi tenang saja.” Aku bicara panjang lebar untuk meyakinkannya.

“Bibi biasa kerjain semuanya sendiri, kok, Non.”

“Ya, itu dulu … mulai hari ini, tenang … Bibi gak akan sendiri lagi. Ada Arunika yang akan sering membantu Bibi.” Aku menyunggingkan senyum dan menepuk dada menawarkan diri. Dia tak berkata apa-apa lagi selain tersenyum kaku sambil mengangguk saja.

Aku pun mulai membawa piring-piring kotor ke belakang. Sementara itu, Bi Narti tampak kikuk dan terlihat belum nyaman. Hanya saja, aku terus menerus mengajaknya mengobrol ngalor ngidul. Kuharap dia akan mulai membuka diri dan percaya padaku. Bukankah untuk mendapat dukungan, kita harus berteman lebih dulu?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status