Aruna-Deep beatuy Skin Clinic adalah usaha yang susah payah aku rintis semenjak lulus kuliah kedokteran dan kini sudah memiliki 4 cabang. Semua itu tak kudapatkan dengan mudah. Semua itu tak lepas dari dukungan Mamaku yang bernama Aruna Ratih Eka Putri karena itu juga, nama klinik ini kuambil dari nama Mama---Aruna, dan bukan dari namaku Arunika. Mama terlahir dari keluarga sederhana di kota Bandung sana. Hanya saja keberuntungan berpihak. Dia mendapat jodoh salah seorang pengusaha sawit dari Riau, hanya saja semua harus ditebusnya dengan meninggalkan kampung halaman. Akulah yang kemudian tinggal di Bandung semenjak mulai kuliah dan membuat Nenek kembali merasa tak kesepian. Nenek hanya memiliki dua anak. Ibuku dan adiknya yang kini bekerja di luar pulau juga. Dari dukungan kedua orang tuaku inilah akhirnya aku bisa menyelesaikan kuliah kedokteran. Walaupun memang Papa terkesan tak peduli dengan kehidupan anaknya. Dia adalah seorang warkaholic yang gila kerja. Itu juga yang membuat
Sore harinya, aku dan Mas Wisnu sudah bersiap untuk berangkat ketika Mama Rida memanggil Mas Wisnu. “Ada apa, Ma?” Mas Wisnu yang sudah menggenggam kunci mobil tergopoh menghampiri Mama Rida. “Wisnu bisa anterin Mama dulu gak, please! Ini temen Mama kecelakaan. Papa kamu belum pulang.” “Wah, Wisnu mau berangkat, Ma. Apa gak bisa dianter Sandy atau Maria?” tanya Mas Wisnu. Tatapannya tampak gamang. “Kamu kayak gak tahu saja, Nu. Dua adik kamu kalau bawa mobil kayak gimana. Mama bisa-bisa ikut masuk rumah sakit juga karena jantungan.” “Hmmm … gimana ya, Sayang?” Aku melihat ada sorot kebimbangan yang terpancar di mata Mas Wisnu. “Mama jarak rumah sakitnya jauh, gak?” tanyaku sambil merapikan sling bag di pundak. “Hmmm … lumayan, sih! Kenapa gitu, Nika?” Mama Rida menatapku. “Sekalian kita jalan saja kalau gitu, gimana?” Aku memberikan ide. Mama Rida tampak berpikir sejenak sebelum kemudian mengangguk. “Ya sudah, begitu lebih baik. Memangnya kalian mau ke mana, sih? Sudah malam
Setelah sedikit berdebat dengan Mas Wisnu, akhirnya kami berangkat. Mama Rida terdengar menyelidik. Namun, aku minta Mas Wisnu jangan bilang tujuan yang sebenarnya. Aku bilang, nenek mendadak menelpon nyuruh pulang. Sudah, itu saja. Perjalanan menuju Bogor memakan waktu kurang lebih tiga jam, ditambah dengan kemacetan. Berbekal dengan arahan google maps akhirnya mobil yang aku tumpangi dengan Mas Wisnu tiba di depan sebuah rumah mungil dengan halaman yang tak terlalu luas. Pohon jambu air tampak rimbun di bagian kiri halamannya.“Betul ini rumahnya, Mas?” Aku menatap Mas Wisnu.“Kalau dari maps sih, betul.” Dia pun memeriksa kembali layar ponselnya. Aku bergegas turun. Lalu mengucap salam. Muncul seorang perempuan berusia mungkin sekitar tiga puluh tahunan. Aku pun mengutarakan maksud kedatanganku yaitu untuk menemui Bi Narti. “Ibu bekerja jadi ART, Mbak. Dia kerja di kota. Jadi gak ada di rumah.” “Sejak kapan berangkatnya? Bukannya baru saja pulang, ya?” Aku mengejar pertanyaann
Pov Mama RidaMenjadi Nyonya Hutama merupakan pencapaian terbesar dalam hidupku. Hal yang aku perjuangkan dengan susah payah, akhirnya berbuah indah. Kini semua terasa manis. Berjalan sempurna sesuai rencana. Mas Hutama sudah bertekuk lutut. Aku sudah tahu betul kelemahan Mas Hutama yaitu Wisnu. Selama Wisnu menyayangiku dan menganggapku seperti Ibu kandungnya sendiri, tak ada hal yang perlu dikhawatirkan. Semua hal dengan mudah kukendalikan. Termasuk pembagian warisan. Aku sudah meminta Mas Hutama membagi rata semua harta. Jadi tak ada Wisnu yang lebih besar bagiannya. Semua akan sama saja. Hanya saja, masih menunggu waktu. Mas Hutama bilang, nanti akan meminta notarisnya membuatkan surat pembagian dengan kategori hibah. Ah, tak sabar menunggu saat itu datang. Wisnu pun adalah anak yang mudah dikendalikan. Hatinya terlalu lembut dan penurut seperti Ratna. Jadi tak ada hal yang terlalu harus kukhawatirkan. Semua akan berjalan sesuai rencana. Kebaikan Wisnu adalah kelemahannya. Hany
Aku dan Mas Wisnu baru saja masuk ke dalam kamar di mana Wak Ratna berada. Dia masih duduk tepekur sambil memeluk boneka panda yang dia anggap bayinya. Duduk bersandar pada pojokkan tembok. Duduk mengkerut seperti orang ketakutan.“Inu … sayang … Inu aman sama Ibu. Inu aman sama Ibu. Jangan nangis ya, Nak, ya ….” Kalimat itu berulang-ulang dia ucapkan. Tangan ringkihnya tampak bergetar memeluk boneka panda yang dulu aku belikan. Wak Ratna mendekapnya. Sesekali dia mencium pipi boneka itu, lalu dipeluknya lagi. “Ibu gak jahat, Inu. Mereka yang jahat! Ibu sayang Inu ….” Lirih dan dalam suara yang terdengar. Beberapa saat saja bertahan. Lalu setelahnya dia tiba-tiba histeris lalu melempar boneka itu sambil memekik kencang. “Kamu bukan Inu! Di mana Inu? Di mana Inu?” Lalu Wak Ratna akan menangis. Nek Ecih bilang, dia akan terus menangis hingga dia kelelahan dan tidur. Sekarang pun mulai tangisan itu memenuhi ruangan. Aku, selalu tak tega. Air mata ini luruh begitu saja. Aku bisa meras
Aku tak menunda rencana. Beberapa helai rambut Mas Wisnu sudah ada dalam kantong plastik kecil. Kusimpan baik-baik di dalam lemari. Tadi malam, dengan alasan rambutnya sudah beruban, aku mencabut beberapa helai. “Masa sih, rambut Mas sudah ubanan? Mana coba lihat?” tanyanya setelah aku memaksa ingin mengambil uban di atas kepalanya. “Sudah aku buang lah, Mas. Ngapain sih, malah pengen lihatin uban?” Aku memberengut. Sementara itu, tangan yang sudah berhasil mengambil beberapa helai rambut, masuk ke dalam saku piyama. “Ya aneh saja. Mas ‘kan masih muda. Kenapa tiba-tiba sudah tumbuh uban,” tukasnya lagi sambil memandang pantulan wajah kami dari cermin meja rias. “Dari pada numbuh jamur, Mas. Gak masuk akal. Mending uban, sesama jenis rambut juga.” Dia pun terkekeh. Aku tak tahu apa yang lucu dari kalimatku, tapi lebih baik ikut tertawa juga. Setidaknya, aku bisa terlepas dari teroran uban-uban itu. Beruntung, obrolan lekas teralihkan. Aku jadi tak harus berbohong lebih banyak lagi
Astaghfirulloh! Tiba-tiba pikiranku menjadi suudzon. Apakah ini sebagian dari rencana Mama Rida untuk membuat Mas Wisnu membuangku. Jika rahimku kering, maka kemungkinan kecil aku akan susah hamil. Gigiku gemelutuk. Tanganku mengepal. Perang dalam diam lebih membuatku harus waspada rupanya. Lawan yang berpura-pura baik di depan, itu jauh lebih berbahaya. Lekas aku mengambil satu sachet. Mumpung di rumah tak ada orang. Aku harus bertanya langsung pada Mbok Jum. Aku ingin tahu, apa yang ditawarkan Mama Rida padanya. Marilah … kita bertaruh, tawaran siapa yang lebih menarik nantinya? Aku harus membuat Mbok Jum, diam-diam balik menyerang mereka. Pintu kamar Mbok Jum yang tertutup itu kuketuk. Tak berapa lama, perempuan paruh baya itu keluar. Rambutnya yang biasa dibalut ciput, tampak tergerai. Dia sedang menyisir rambut rupanya. “Eh, Non Nika. Nggih, Non. Ada apa?”Mbok Jum tersenyum sambil mengangguk sopan.“Mbok Jum, bolah bicara sebentar?” tanyaku sopan. Senyum tak lupa kusematkan.
“Gak apa-apa sih, Mas. Aku … hmmm … cuma ingin memberi Papa dan Mama kejutan. Tiba-tiba aku hamil, kan mereka pasti senang!” ocehku sambil tersenyum. “Wah, ide bagus! Pinter memang ya, istri, Mas!” “Iyalah, kalau gak pinter, gak mungkin aku sekarang ada di sini, Mas.” Aku menimpali. Namun, bicara lain dalam hati, “Kalau aku tak pintar, baru seminggu saja pasti aku sudah terlempar dari rumah ini, Mas. Orang-orang di sekitar kamu semua memakai topeng. Wajahnya mulus, tapi hatinya busuk. Aku tak sabar ingin segera hamil. Lalu memberikan kejutan kehamilanku pada Mama Rida. Dia pasti shock, rencananya untuk memasukkan Bella dalam kehidupan kami, akan semakin tidak mungkin. Dia tak memiliki alasan lagi.”Jadi, pagi ini kami ke dokter kandungan dulu. Mas Wisnu agak heran karena aku bisa izin dengan mudah, padahal baru kerja. Namun, bukan Arunika kalau tak memiliki jawaban yang bisa Mas Wisnu percaya. Dokter kandungan melakukan pemeriksaan. Dia mengatakan kalau kesuburan di antara kami tak