Kami tiba di tempat acara sesuai waktu yang ditentukan. Mas Wisnu malah senang berlama-lama di jalan. Bahkan dia mengajakku dulu berputar-putar sehingga datang tak terlalu awal. “Duh, tapi kok Mas gak ridho ya, Sayang.” Mas Wisnu bergeming ketika mobil sudah terparkir di sebuah bangunan yang tampaknya baru mau jadi. “Gak ridho apanya?” Aku menatap wajah Masa Wisnu heran. “Kamu terlalu cantik hari ini. Gak rela kalau orang-orang ikut mengagumi kecantikanmu.” Dia mengulum senyum sambil melirik ke arahku. Seketika aku terkekeh melihat tingkahnya. “Ya Allah, kirain kenapa, Mas? Ya sudah, aku gak usah ikut saja. Diam di mobil gimana?” “Hush jangan! Nanti kalau ilang, repot nyarinya! Ayo, kita paling telat nih, Sayang.” Mas Wisnu lekas melepas seat bealt. Lalu berjalan keluar. Aku pun mengikutinya. Kini kami berada di sebuah bangunan pabrik yang tampaknya baru selesai. Banyak sudah mobil terparkir di depan. “Ini pabrik ya, Mas?” tanyaku. “Iya, Sayang. Baru selesai bangun. Ownernya ke
“Perkenalkan, saya Mbok Juminem, pengganti Bi Narti. Hari ini mulai kerja di sini. Mohon petunjuknya!” Deg!Aku merasa kaget luar biasa. Lalu kutatap wajah Mas Wisnu yang terlihat sama bingungnya. “Sejak kapan Bi Narti berhenti kerja, kemarin gak bilang apa-apa.” Aku bermonolog sendirian. Namun sepertinya Mbok Juminem mendengarnya. Dia pun menanggapi dengan cepat. “Ndak tahu, Non. Si Mbok memang mendadak juga tadi pagi dikirim dari yayasan. Permisi, nggih. Kalau ada perlu boleh panggil si Mbok ya, Tuan, Nona.” Aku termangu. Sampai-sampai lupa menyahutinya. “Kenapa Bi Narti mendadak mengundurkan diri? Padahal kemarin sudah janji, hari ini dia akan menceritakan semuanya.” Aku masih termangu hingga punggung Mbok Juminem menghilang di balik ruangan. Suara Mas Wisnu membuatku tersadar, “Sayang .…”“Eh, iy--iya, Mas?” “Kok malah melamun?” “I---ini a--aku lagi ada janji sama Bi Narti, Mas. Kok tiba-tiba ngundurin diri, ya? Apa Mas Wisnu tahu rumahnya?” Aku melirik ke arahnya. Pandang
Aruna-Deep beatuy Skin Clinic adalah usaha yang susah payah aku rintis semenjak lulus kuliah kedokteran dan kini sudah memiliki 4 cabang. Semua itu tak kudapatkan dengan mudah. Semua itu tak lepas dari dukungan Mamaku yang bernama Aruna Ratih Eka Putri karena itu juga, nama klinik ini kuambil dari nama Mama---Aruna, dan bukan dari namaku Arunika. Mama terlahir dari keluarga sederhana di kota Bandung sana. Hanya saja keberuntungan berpihak. Dia mendapat jodoh salah seorang pengusaha sawit dari Riau, hanya saja semua harus ditebusnya dengan meninggalkan kampung halaman. Akulah yang kemudian tinggal di Bandung semenjak mulai kuliah dan membuat Nenek kembali merasa tak kesepian. Nenek hanya memiliki dua anak. Ibuku dan adiknya yang kini bekerja di luar pulau juga. Dari dukungan kedua orang tuaku inilah akhirnya aku bisa menyelesaikan kuliah kedokteran. Walaupun memang Papa terkesan tak peduli dengan kehidupan anaknya. Dia adalah seorang warkaholic yang gila kerja. Itu juga yang membuat
Sore harinya, aku dan Mas Wisnu sudah bersiap untuk berangkat ketika Mama Rida memanggil Mas Wisnu. “Ada apa, Ma?” Mas Wisnu yang sudah menggenggam kunci mobil tergopoh menghampiri Mama Rida. “Wisnu bisa anterin Mama dulu gak, please! Ini temen Mama kecelakaan. Papa kamu belum pulang.” “Wah, Wisnu mau berangkat, Ma. Apa gak bisa dianter Sandy atau Maria?” tanya Mas Wisnu. Tatapannya tampak gamang. “Kamu kayak gak tahu saja, Nu. Dua adik kamu kalau bawa mobil kayak gimana. Mama bisa-bisa ikut masuk rumah sakit juga karena jantungan.” “Hmmm … gimana ya, Sayang?” Aku melihat ada sorot kebimbangan yang terpancar di mata Mas Wisnu. “Mama jarak rumah sakitnya jauh, gak?” tanyaku sambil merapikan sling bag di pundak. “Hmmm … lumayan, sih! Kenapa gitu, Nika?” Mama Rida menatapku. “Sekalian kita jalan saja kalau gitu, gimana?” Aku memberikan ide. Mama Rida tampak berpikir sejenak sebelum kemudian mengangguk. “Ya sudah, begitu lebih baik. Memangnya kalian mau ke mana, sih? Sudah malam
Setelah sedikit berdebat dengan Mas Wisnu, akhirnya kami berangkat. Mama Rida terdengar menyelidik. Namun, aku minta Mas Wisnu jangan bilang tujuan yang sebenarnya. Aku bilang, nenek mendadak menelpon nyuruh pulang. Sudah, itu saja. Perjalanan menuju Bogor memakan waktu kurang lebih tiga jam, ditambah dengan kemacetan. Berbekal dengan arahan google maps akhirnya mobil yang aku tumpangi dengan Mas Wisnu tiba di depan sebuah rumah mungil dengan halaman yang tak terlalu luas. Pohon jambu air tampak rimbun di bagian kiri halamannya.“Betul ini rumahnya, Mas?” Aku menatap Mas Wisnu.“Kalau dari maps sih, betul.” Dia pun memeriksa kembali layar ponselnya. Aku bergegas turun. Lalu mengucap salam. Muncul seorang perempuan berusia mungkin sekitar tiga puluh tahunan. Aku pun mengutarakan maksud kedatanganku yaitu untuk menemui Bi Narti. “Ibu bekerja jadi ART, Mbak. Dia kerja di kota. Jadi gak ada di rumah.” “Sejak kapan berangkatnya? Bukannya baru saja pulang, ya?” Aku mengejar pertanyaann
Pov Mama RidaMenjadi Nyonya Hutama merupakan pencapaian terbesar dalam hidupku. Hal yang aku perjuangkan dengan susah payah, akhirnya berbuah indah. Kini semua terasa manis. Berjalan sempurna sesuai rencana. Mas Hutama sudah bertekuk lutut. Aku sudah tahu betul kelemahan Mas Hutama yaitu Wisnu. Selama Wisnu menyayangiku dan menganggapku seperti Ibu kandungnya sendiri, tak ada hal yang perlu dikhawatirkan. Semua hal dengan mudah kukendalikan. Termasuk pembagian warisan. Aku sudah meminta Mas Hutama membagi rata semua harta. Jadi tak ada Wisnu yang lebih besar bagiannya. Semua akan sama saja. Hanya saja, masih menunggu waktu. Mas Hutama bilang, nanti akan meminta notarisnya membuatkan surat pembagian dengan kategori hibah. Ah, tak sabar menunggu saat itu datang. Wisnu pun adalah anak yang mudah dikendalikan. Hatinya terlalu lembut dan penurut seperti Ratna. Jadi tak ada hal yang terlalu harus kukhawatirkan. Semua akan berjalan sesuai rencana. Kebaikan Wisnu adalah kelemahannya. Hany
Aku dan Mas Wisnu baru saja masuk ke dalam kamar di mana Wak Ratna berada. Dia masih duduk tepekur sambil memeluk boneka panda yang dia anggap bayinya. Duduk bersandar pada pojokkan tembok. Duduk mengkerut seperti orang ketakutan.“Inu … sayang … Inu aman sama Ibu. Inu aman sama Ibu. Jangan nangis ya, Nak, ya ….” Kalimat itu berulang-ulang dia ucapkan. Tangan ringkihnya tampak bergetar memeluk boneka panda yang dulu aku belikan. Wak Ratna mendekapnya. Sesekali dia mencium pipi boneka itu, lalu dipeluknya lagi. “Ibu gak jahat, Inu. Mereka yang jahat! Ibu sayang Inu ….” Lirih dan dalam suara yang terdengar. Beberapa saat saja bertahan. Lalu setelahnya dia tiba-tiba histeris lalu melempar boneka itu sambil memekik kencang. “Kamu bukan Inu! Di mana Inu? Di mana Inu?” Lalu Wak Ratna akan menangis. Nek Ecih bilang, dia akan terus menangis hingga dia kelelahan dan tidur. Sekarang pun mulai tangisan itu memenuhi ruangan. Aku, selalu tak tega. Air mata ini luruh begitu saja. Aku bisa meras
Aku tak menunda rencana. Beberapa helai rambut Mas Wisnu sudah ada dalam kantong plastik kecil. Kusimpan baik-baik di dalam lemari. Tadi malam, dengan alasan rambutnya sudah beruban, aku mencabut beberapa helai. “Masa sih, rambut Mas sudah ubanan? Mana coba lihat?” tanyanya setelah aku memaksa ingin mengambil uban di atas kepalanya. “Sudah aku buang lah, Mas. Ngapain sih, malah pengen lihatin uban?” Aku memberengut. Sementara itu, tangan yang sudah berhasil mengambil beberapa helai rambut, masuk ke dalam saku piyama. “Ya aneh saja. Mas ‘kan masih muda. Kenapa tiba-tiba sudah tumbuh uban,” tukasnya lagi sambil memandang pantulan wajah kami dari cermin meja rias. “Dari pada numbuh jamur, Mas. Gak masuk akal. Mending uban, sesama jenis rambut juga.” Dia pun terkekeh. Aku tak tahu apa yang lucu dari kalimatku, tapi lebih baik ikut tertawa juga. Setidaknya, aku bisa terlepas dari teroran uban-uban itu. Beruntung, obrolan lekas teralihkan. Aku jadi tak harus berbohong lebih banyak lagi