Share

Bab 2

“Sudah lama, Sayang. Kata Papi, waktu usia Mas masih dua tahun. Mami meninggal karena kecelakaan. Untung ada Mami Rida yang mau mengurusi Mas hingga sekarang.”

Aku menghela napas lalu kutatap manik hitam yang selalu tampak sendu itu sambil bicara pelan, “Aku sekarang sudah resmi jadi istrimu, Mas. Aku ingin Mas cerita padaku. Apa … Mas ingin bertemu dengan Ibu kandung, Mas?” tanyaku hati-hati.

“Kenapa kamu bertanya begitu, Sayang? Anak mana yang gak ingin bertemu Ibunya. Hanya saja, Mas tak mau mengandaikan yang tak mungkin lagi terjadi. Mami sudah tenang di surga-Nya. Dia pun pasti akan sedih kalau melihat Mas tak bahagia.”

Aku mengangguk. Sangat paham atas apa yang dia rasakan.

“Aku jadi penasaran, foto Mami mas seperti apa, ya? Pasti sangat cantik. Sejak ke rumah ini, tak ada satupun foto Mami Mas yang dipajang.”

“Oh, itu … Mas ada simpan satu di laci. Papa meminta ART menurunkan semua foto Mami takut Mama Rida tersinggung, katanya. Dulu waktu Mas masih kecil, Mas masih inget nemuin ini satu di gudang belakang.” Mas Wisnu membuka lemarinya lalu mengambil satu buah foto yang sudah pudar.

Gi-la, sampai semua jejak terkait Mami Mas Wisnu dihilangkan. Mereka benar-benar tak mau Mas Wisnu mendapati kemungkinan bertemu dengan Ibu kandungnya. Benar-benar jahat. Hanya labelnya saja keluarga Hutama yang terhormat dan dermawan. Isinya hanyalah orang-orang memuakkan dan congkak.

“Ratna Mustika?” Aku membaca tulisan yang tertera pada foto tersebut. Tulisan tangan yang sudah hampir hilang.

“Mas yang tulis nama itu. Mas tahu nama lengkap Ibu dari akta lahir Mas, Sayang.” Mas Wisnu menjelaskan sambil merapikan lemarinya. Dia tampak sibuk mengosongkan beberapa area.

“Masya Allah, cantik sekali Mami, Mas. Rasanya aku pernah melihat wajah perempuan yang sama persis, Mas.” Aku mulai memancingnya. Siapa tahu dia penasaran ingin bertemu.

“Di dunia ini ada tujuh orang yang mirip, Sayang. Jadi mungkin itu salah satu orang yang mirip Mami.”

Aku menghela napas kasar. Gimana caranya untuk menggiring pemikiran Mas Wisnu agar curiga kalau ibu kandungnya masih ada.

Tiba-tiba terbayang wajah tirus yang menyedihkan itu. Wajah seorang Ibu yang merindukkan kehadiran anak kandungnya dan hampir Gila. Seorang Ibu yang tiap hari hanya menyebut satu nama saja, Wisnu Hutama.

“Sayang, kenapa nangis?” Suara Mas Wisnu membuatku terhenyak. Aku terkekeh untuk menyamarkan suasana hatiku yang tengah gerimis. Tak terasa airnya melimpah membasahi kelopak.

“Gak apa, Mas. Hanya sedih saja membayangkan Mas, sejak bayi tak pernah merasakan pelukan Mami.”

“Ya, Sayang … itulah … hanya saja, selama ini, Mama Rida sudah merawat Mas dengan sangat baik. Dia bahkan begitu memanjakkan Mas. Tak dia bedakan dengan anak-anak kandungnya juga.”

Aku membuang napas kasar. Dinding tebal ini akan sulit untuk dipecahkan. Puluhan tahun otak Mas Wisnu didoktrin jika maminya telah meninggal. Berarti semua keluarga mendukungnya dan tak ada yang pernah membeberkan kejadian sebenarnya. Mas Wisnu tak pernah tahu seperti apa sosok Mama Rida yang dia banggakan itu dengan keji memisahkannya. Sepertinya aku harus memikirkan trik baru, untuk memunculkan keraguan Mas Wisnu atas keyakinannya. Tak boleh gegabah atau aku mungkin akan bernasib sama dengan Tante Ratna. Ratna Mustikadewi yang malang nasibnya.

Ketukan pada daun pintu membuat Mas Wisnu beranjak. Dia pun membuka pintu dan tampak seorang perempuan paruh baya yang muncul di sana.

“Ada apa, Bi?” Mas Wisnu menatap perempuan sepuh itu. Bisa kutebak usianya mungkin sudah hampir enam puluh tahunan.

“Dipanggil Tuan makan siang ke bawah, Den!” tukasnya sopan. Bicaranya lembut disertai kepalanya yang mengangguk.

“Oh, baik, Bi! Makasih, ya!” tukas Mas Wisnu seraya tersenyum.

“Muhun, Den! Mari!”Perempuan itu hendak memutar tubuhnya dan meninggalkan kami.

“Eh, Bibi … ini kenalin istriku, namanya Arunika.” Mas Wisnu menoleh padaku.

“Selemat datang, Non! Salam kenal. Nama Bibi, Narti, Non!”

“Salam kenal, Bi! Panggil saja saya Arun atau Ika atau Nika, jangan Non lah, berasa gimana, ya?” tukasku sambil tersenyum.

“Wah, maaf … Bibi gak berani atuh, Non!”

Aku belum sempat menyahuti lagi ketika Mas Wisnu memaparkan sebuah penjelasan.

“Bi Narti ini sudah kerja di sini puluhan tahun, Sayang. Tapi sopan santunnya tetap paling terjaga. Karena itulah Papa tak mau menggantinya.” Mas Wisnu menjelaskan sambil tersenyum sumringah.

Seketika seperti ada bola lampu yang terang benderang. Bersama anggukkan Bi Narti yang kemudian hanya terlihat punggung ringkihnya menuruni tangga. Kepercayaan yang terlihat terpancar dari tatapan Mas Wisnu Hutama. Sepertinya aku tahu, siapa orang yang bisa kuajak bekerja sama.

Bi Narti pasti adalah saksi mata semua rahasia-rahasia yang mereka tutup rapat selama ini.

“Ayo kita makan dulu, Sayang!” Mas Wisnu mengulurkan tangannya ke arahku. Aku tersenyum lantas meraih jemarinya. Lalu, kami saling menggamit dan bersisian menuruni anak tangga.

“Mas, kalau Bi Narti ini sudah ada dari Mas kecil?” tanyaku sambil menuju ke lantai bawah.

“Sepertinya malah sebelum Mas lahir, Sayang. Soalnya Papa sangat mempercayai dia. Katanya Bi Narti ini orangnya jujur dan mudah diatur. Ya, selain cekatan juga kerjanya.”

Sebelum Mas Wisnu lahir. Ini artinya, Bi Narti adalah saksi kunci. Benar, dialah orangnya yang bisa membuka mata Mas Wisnu tentang masa kecilnya. Hanya saja pertanyaannya, apakah Bi Narti akan semudah itu berpihak kepadaku?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status