Dara adalah seorang gadis rantau. Dara tanpa sengaja bertemu dengan seseorang yang ia kenal dari beberapa tahun lalu. Seseorang yang meninggalkan rentetan pertanyaan tak terjawab bagi Dara. Bersama sahabatnya Dara memahami satu-persatu apa yang terjadi dalam hidupnya.
Lihat lebih banyakAkhirnya hujan turun. Setelah hampir seminggu dinanti-nanti, hari ini kota ini basah juga. Memulai pagi diawal Oktober, mengukir senyum di wajah sebagian penduduk kota. Walau aktivitas mereka tak secara langsung bergantung pada air hujan. Entah. Mungkin beberapa dari mereka pecinta hujan. Tapi bagi Dara, hujan ini tak lain sebagai penyejuk kota, penghapus debu-debu hasil aktifitas kota seminggu terakhir. Beruntung ia sampai di halte bus lebih cepat hingga tak harus kehujanan.
Perjalanan menuju kantor Dara menggunakan bus memakan waktu sekitar 15 menit. Cukuplah untuknya melihat-lihat sekitar, menambah pengetahuannya tentang kota ini, walau dengan rute yang sama setiap hari. Namun selama setahun berada disini, Dara sudah cukup banyak mengetahui tempat-tempat wajib seperti supermarket, warung makan, mall, bahkan pasar terdekat dari kosnya.
Menjadi anak kos memang bukan hal baru bagi Andara Prima. Tapi tetap saja setiap tempat baru memerlukan adaptasi yang apabila tidak dilakukan dengan benar akan berujung pada ketidakbetahan. Sejauh ini Dara tampak berhasil, ditambah lagi aktifitasnya yang sangat padat. Tidak kurang dari 11 jam setiap hari ia habiskan di luar kos kecuali hari Minggu.
***
Dara sudah duduk dengan santai di depan meja kerjanya sambil menyeruput kopi panas dalam tumblr yang ia bawa sendiri dari kos. Karyawan yang terlihat masih satu dua orang. Matahari baru saja muncul, bercampur dengan dingin sisa hujan setengah jam yang lalu. Suasanapun masih sangat hening. Dengan menghadap jendela besar yang menampilkan langit tanpa terhalang pepohonan atau bangunan lainnya, membuat Dara melamunkan banyak hal. Pekerjaannya dulu, pilihannya atas perusahaan ini, sampai rencana hidup kedepannya. Tentu saja Dara tak bisa lama-lama memikirkan semua itu karena ia harus segera mulai bekerja.
“Dara bisa ikut sebentar?”, suara seseorang memecah lamunnya membuat Dara sedikit terkejut .
“Ya, Pak.” Dara segera mengikutinya di belakang kemudian masuk ke ruangan manajernya itu.
Tak berapa lama ia telah duduk kembali di depan meja kerjanya. Kembali menatap jendela besar tadi, dengan wajah yang lebih serius. Kemudian ia berbalik, memilih melanjutkan pekerjaannya.
Masih dengan wajah yang penuh pikiran Dara mulai mengutak-atik laptopnya. Tiba-tiba ia berhenti. Seperti ada yang memeperhatikannya. Setelah ia menoleh ke samping, benar saja. Seorang lelaki tinggi tengah menatapnya lekat-lekat dengan wajah yang sama seriusnya.
“Ada apa?” tanya Dara mencoba mencari tahu.
“Dar,” lelaki itu mulai berbicara.
“Hm?” jawab Dara sambil tersenyum.
“Tidak semua yang terlihat itu seperti yang kau bayangkan,” jawabnya lagi. Raut wajahnya telah berubah, seperti orang melamun. Matanya tak lagi menatap ke wajah Dara.
Dara kembali tersenyum. Diputarnya kursi kerjanya mencoba menghadap secara sempurna pada lelaki itu.
“I know. Lantas?” Jawab Dara sambil balas menatap lelaki itu penuh selidik.
“Ya, jika terlalu sulit untukmu memahami sesuatu, sebaiknya tak usah banyak menyimpulkan. Katakan saja pada dirimu ‘aku juga tidak tahu apa alasannya’,” jawabnya sambil bersandar di dinding menghindari tatapan Dara.
“Tapi kita diberi akal untuk berpikir, mencari tahu apa yang terjadi.” Sanggah Dara.
“Dan kita diberi mulut untuk bertanya langsung,” jawabnya cepat.
“Kalau...” Dara mencoba menyanggah lagi.
“Kalau tak mungkin ditanyakan, maka diam saja tanpa berasumsi yang tidak-tidak.” Jawabnnya lagi memotong ucapan Dara.
“Bicara apa kita pagi-pagi begini?” kata Dara sembari memutar kembali kursinya menghadap meja.
“Cuma kita yang tahu,” kata lelaki itu tersenyum manis. Iapun meninggalkan Dara yang sudah tampak tidak peduli dengan obrolan mereka tadi.
Leo Andriano—nama lelaki tadi. Kolega Dara di kantor itu. Umur mereka sebaya, lahir di tahun yang sama. Mereka sangat cocok saat mengobrol. Atau yang kita kenal dengan sebutan satu frekuensi. Entahlah, 99 persen orang yang ada di perusahaan itu memang menyukai sastra, karena memang perusahaan mereka adalah penerbitan buku. Namun sastra Dara dan Leo sangat berbeda. Seperti di antara seluruh pecinta musik, Dara dan Leo menyukai genre yang sama dan tentu saja itu sangat menyenangkan untuk keduanya. Walaupun Leo lebih banyak memulai percakapan duluan. Dara memang tidak banyak bicara. Namun dari caranya berbicara dengan Leo, terlihat jelas bahwa ia sangat menikmati pembicaraan itu.
***
Dara dan Leo menyusuri trotoar menuju halte bus. Sesekali mereka melangkah besar untuk menghindari genangan air hujan yang turun kembali sore tadi. Tak berapa lama kemudian, mereka sudah duduk manis di kursi halte bus.
“Dar, menurutmu dia tahu tidak perasaanmu waktu itu?” tanya Leo tiba-tiba.
“Mungkin ya, mungkin tidak. Tapi kupikir tidak.” Jawab Dara.
“Dia tahu.”
“Kau tahu dari mana?”
“Dia yang memberitahuku.”
“Dan baru sekarang kau sampaikan?”
“Memangnya kau pernah bertanya?”
“Dia menyuruhmu?”
“Tidak. Aku hanya inisiatif.”
Beberapa detik hening.
“Dia tahu perasaanmu. Sampai terakhir kau mencoba menghubunginya dengan nomor baru, dia sangat yakin itu kau.”
“Dia juga memberitahumu tentang perasaannya?”
“Tidak.”
“Masa dia bercerita setanggung itu?”
“Ya, itulah dia. Dia bercerita seenaknya tanpa menjawab apapun yang orang lain tanyakan setelahnya. Masa kau tidak tahu. Oh iya, kau kan memang tidak terlalu mengenalnya” Jawab Leo.
“HEI!” Teriak Dara kesal. Leo hanya tersenyum jahil, senang melihat Dara marah.
***
Bekerja di penerbitan buku adalah pekerjaan yang Dara impi-impikan. Terlebih ia masuk di bidang minat dan bakatnya, divisi penerjemah. Sebagai informasi, saat kuliah Dara tidak mengambil jurusan sastra melainkan administrasi negara. Minatnya di bidang linguistik membuatnya terus-terusan belajar banyak bahasa asing hingga mengantarnya pada satu tekad untuk bekerja sebagai penerjemah. Beberapa bahasa asing yang dipelajari Dara adalah bahasa Inggris, Arab, Korea, dan Jerman. Namun, dari empat bahasa itu Dara paling fasih berbahasa Jerman. Hal itu didorong oleh keinginannya yang suatu saat ingin pergi berjalan-jalan ke Jerman.
Beruntung penerbit tempat Dara bekerja sekarang benar-benar menilai kemampuan. Kemampuan Dara memang tidak perlu diragukan lagi. Sebelum melamar di penerbit itu, Dara telah aktif sebagai penerjemah lepas bahasa Jerman.
Sama seperti pekerja baru pada umumnya, senang, gugup, bercampur semangat. Itulah yang dirasakan Dara saat hari pertama mulai bekerja. Tapi perasaan itu tak berlangsung lama setelah akhirnya ia mengetahui bahwa divisi impiannya itu dimanajeri oleh seseorang yang ia kenal. Seseorang dari sembilan tahun yang lalu. Semangat telah berganti menjadi bingung, bagaimana harus bersikap. Rasa senang juga masih ada, namun lebih karena senang mengetahui orang tersebut masih hidup setelah hampir sepuluh tahun hilang tanpa kabar.
Saat perkenalan diri di hari pertama itu, untung saja ia ditemani oleh ketua timnya—Pak Bagas, masuk ke dalam ruangan Gio—nama manajer itu. Kalau tidak, bisa-bisa Dara diam mematung tak tahu harus berucap apa.
“Dara?” Kata Gio langsung menutup buku yang ia baca.
“Bapak kenal?” kata Pak Bagas sedikit kaget.
“Adik kelas saya dulu waktu SMA, Pak.” Kata Gio lagi mencoba terdengar ramah.
“Dara?” Kata Pak Bagas sambil mengisyaratkan Dara untuk segera memperkenalkan diri.
Dara tersadar, ia mulai memperkenalkan diri, tak lupa didahului senyum. Ekspresi yang terekam jelas oleh Dara dari Gio ialah ekspresi orang pada umumnya saat bertemu kawan lama. Kaget, kemudian bertanya ini dan itu. Dara menjadi kecewa. Dara tahu bahwa sambutan yang ia dapatkan hari ini sudah lebih dari cukup. Gio mengenalinya, bahkan mengakuinya sebagai adik kelas. Tapi bukankah seharusnya orang yang pernah pergi tanpa pamit tidak bicara sesantai itu? Dara tidak menangkap rasa bersalah di wajah Gio, bahkan sedikit canggungpun tidak ada.
Benar saja, cuma aku yang terluka. Ucapnya dalah hati.
Leo mencoba membuka matanya dengan susah payah. Ia melihat sekeliling. “Kau tidak menutup jendela tadi malam? Tapi rasanya sudah kututup,” ucapnya bingung. “Aku yang membukanya,” ucap Dara sambil terus memandangi Leo yang sebagian tubuhnya dikenai hangatnya sinar matahari. “Panas, Dara,” Leo tidak mengerti pikiran Dara. “Itu sehat. Matahari pagi. Hangat, kan? ” balas Dara sambil meraih handphonenya. Dan... Ckrekk... Leo geleng-g
Lelaki tinggi berhoodie putih itu berjalan mendekati Dara. Menarik kursi dan segera duduk. Ia tersenyum lebar menampakkan sumringahnya. “Kenapa disini?” Ia membuka percakapan dengan melihat sekeliling, bagai baru pertama duduk disana. “Kau bawa barangnya?” Alih-alih menjawab, Dara malah balik bertanya. “Bawa.” Leo mengangguk. “Memang mau kau tukar dengan apa? Awas saja kalau tidak sepadan,” ancam Leo. Dara telah menggenggam barang yang di bawanya, begitu pula dengan Leo. Namun keduanya sama-sama enggan meletakkannya di atas meja. “Untuk apa disembunyikan?” Dara
Untung saja belum jauh. Leo sadar handphonenya tertinggal di dalam cafe, yang mana Dara masih ada disitu. “Berarti Dara juga tidak sadar,” pikir Leo. Tinggal beberapa langkah jarak Leo ke meja Dara. Leo penasaran, apa yang membuat Dara termenung seperti itu. Benda apa yang sedang ditatap Dara? Langkah Leo semakin dekat. Ia tak lagi peduli dengan handphonenya di atas meja. Dara tersenyum lalu berkata, “Teruntuk kau yang duduk tengadah. Bergembiralah, walau itu membuatku patah.” DEG! Leo mematung. Ia berpikir, memastikan bahwa kalimat itu adalah miliknya. “Lalu, kenapa bisa Dara memiliki benda itu?” Rutuk Leo dengan gigi tertutup. Leo duduk di depan Dar
“Waowh..!” Pekik Leo melihat orang yang berdiri di pintu kamarnya. “Kakak bilang tidak akan pulang malam ini?” Wajah Leo terlihat bingung. “Mandilah. Aku sudah buatkan sarapan.” Balas Gio tanpa menjawab pertanyaan Leo. Leo yang merasa suasana itu agak aneh segera menuruti perintah kakaknya. Leo tahu ada yang ingin disampaikan kakaknya itu. Ia takut kalau-kalau dirinya ada berbuat salah. Maka tak lebih dari sepuluh menit, Leo sudah siap di meja makan. “Makanlah dulu.” Gio menyodorkan sepiring nasi goreng pada Leo. “Langsung saja. Kakak ingin bicara apa?” &
“Melamar? Omong kosong dari mana itu?” Kening Dara berkerut mengingat ucapan Anton tempo hari. Namun tiba-tiba ia menyadari sesautu, ucapan Anton sangat perlu dipertanyakan. Sedang Gio tak pernah menunjukkan tanda apapun. Atau jangan-jangan selama ini Gio memang telah banyak membahas Dara bersama Anton? “Mungkin aku terlalu percaya diri.” Dara mengakhiri pikirannya yang mulai melanglang buana. *** Langkah Dara seketika terhenti begitu membuka pintu ruang divisi mereka. Di ujung sana Gio jug
Masa kini... Leo memperhatikan sebuah foto yang disodorkan Dara. Hanya melihatnya sebentar, kepalanya telah mengangguk-angguk menjawab pertanyaan Dara tentang keindahan tempat itu. “Oke. Jadi akhir pekan ini kita akan camping disitu,” sorak Dara. “Kau harus ikut, ya!” Tambah Dara lagi sambil berlalu. Leo hanya diam. Sebenarnya ia ingin, namun ia merasa akhir-akhir ini terlalu banyak bergabung pada lingkaran kakaknya. Memang tidak ada yang melarang ataupun keberatan. Namun, tetap saja membuatnya bimbang.*** Bukan tempat yang terlalu terkenal di kota ini, tapi keindahannya tak kalah memanjakan mata. Sebab tak banyak dikenal orang, maka menjadi keuntungan tersendiri. Mereka jadi bisa menikmati pemandangan dengan lebih
Dara telah menetapkan pilihannya untuk bekerja pada penerbit ini. Apa pula yang harus di tunggu. Ia suka serta modalnya cukup. Ya, kemampuan akan bahasa asingnya memang sangat mumpuni. Sudah lebih dari cukup untuk melengkapi syarat sebagai penerjemah di penerbit itu. Dan hari ini adalah hari pertamanya bekerja setelah seminggu yang lalu ia melakukan wawancara. “Dara.” Suara seorang lelaki mendekati meja Dara. Dara yang mengira itu adalah suara atasan atau seniornya segera bangkit dari kursi. “Kita bertemu kembali.” Kata suara itu lagi. Dara terdiam sejenak sebelum memastikan wajah dari pemilik suara itu. Karena seingatnya, ia tak memiliki kenalan di tempat ini. Dara sedikit melotot menatap orang itu. Tak butuh waktu lama bagi Dara untuk mengingat wajahnya. “Kamu?” Uca
Cuaca yang amat terik memaksa Dara duduk sejenak untuk melemaskan otot kakinya yang mati rasa. Diteguknya minuman dingin yang baru ia beli hingga tersisa setengah. Tahun kedua di kuliahnya ini sangat sibuk. Setiap hari tak pernah luput dari tugas yang silih berganti. Belum lagi tugas ini bukan tugas yang bisa dikerjakan dengan tenang di kamar sendiri. Seperti tugas kali ini, menyebar kuesioner yang tentu saja diikuti dengan pengolahan datanya. Tersisa satu lembar kuesioner lagi. Namun kaki Dara terasa semakin berat. Dengan susah payah ia menegakkan tubuhnya demi dilihatnya hari yang semakin mendung. Ia tak ingin kehujanan seelum sampai di rumah. Seseorang yang duduk sendiri di toserba tempat ia membeli minum telah menjadi targetnya. Darapun berjalan mendekatinya.&
Gio memulai tahun pertamanya di bangku kuliah, yang mana berarti Leo telah duduk di bangku kelas tiga SMA. Dengan beasiswa yang ia dapatkan, maka ia bisa tetap membantu ayahnya menjaga toko buku. Ia tidak harus mencari pekerjaan lain seperti yang ia rencanakan jika tidak mendapat beasiswa. Nilai-nilainya yang tinggi di sekolah juga sangat membantu. Menjadi anak kuliahan tentu membawa banyak perubahan untuk Gio, terlebih waktu yang dimilikinya bersama keluarga. Jika saat SMA saja Gio sudah cukup sibuk, maka saat ini Gio sangat sibuk. Ayahnya mungkin tak terlalu merasakan perbedaannya, karena sejak masih SMA pun dalam kesehariannya ia tak banyak menghabiskan waktu dengan Gio. Pagi-pagi Gio sudah berangkat ke sekolah bersama Leo dan saat pergantian shift menjaga toko, barulah ayahnya bisa bertemu Gio. Kemudian saat malam har
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen