Riuh lagu ulang tahun masih terdengar di setiap sudut ruangan. Suara tawa dan tangis bocah juga masih terdengar. Namun bukan dari tamu, melainkan keluarga, karena saat ini acara memang sudah hampir berakhir. Dara masih berbincang-bincang dengan Anton dan Gio sebagai pelepas rasa rindunya akan masa-masa SMA dulu. Mereka duduk agak jauh di luar ruangan, agar tidak terganggu oleh suara musik. Di sebelah Anton duduk pula istrinya yang sesekali mengalihkan perhatiannya ke arah bocah yang sedang bermain bola di dekatnya. Rania namanya, biasa dipanggil Nia, begitu katanya tadi saat berkenalan dengan Dara. Nia rupanya orang asli kota ini.
Anak yang bermain bola tadi, tiba-tiba datang menjatuhkan tubuhnya di pangkuan Ibunya. Bibir kecilnya mengeluarkan sedikit rengekan, pertanda mulai mengantuk. Segera diangkatnya tubuh kecil itu, ditawarkannya untuk tidur di dalam kamar. Anak itu mengangguk. Manis sekali. Semua yang duduk disitu tersenyum melihat bagaimana kehidupan salah seorang temannya telah berubah. Anton yang dulunya jarang serius kini telah memiliki istri dan seorang bocah lucu.
Niapun masuk ke dalam untuk menidurkan anaknya.
“Bagaimana? Lucu kan? “ Wajah Anton bangga sekali. Dara dan Gio hanya tersenyum mengangguk-angguk.
“Siapa tadi namanya Kak?” Tanya Dara.
“Bhara. Bharata Sakti.” Jawab Anton, menekankan gagahnya nama anaknya.
“Kenapa tidak Ranto?” Rania – Anton.” Canda Gio. Anton terlihat berpikir sebentar. Jelas sekali mencari alasan bahwa nama yang disebut Gio tidak cocok.
“Seperti nama bapak-bapak.” Tolak Anton.
“Orang yang bernama Ranto juga pernah anak-anak, Kak. Dan anakmu juga nanti menjadi bapak-bapak.” Dara menyanggah alasan Anton.
“Benar juga. Tapi aku tetap suka Bharata Sakti. Kalau mau menyumbang nama kenapa tidak dari kemarin-kemarin?” Anton pura-pura kesal.
“Bercanda, Kak. Kenapa serius sekali?” Dara terkekeh. “Kuakui nama anak Kakak keren. Dijamin satu sekolah hanya dia yang punya nama itu.” Tambah Dara lagi diiringi tawa Gio dan Anton.
“Apa kau tidak mengundang Firman?” Celetuk Gio tiba-tiba.
“Sudah. Dia tidak bisa datang, sedang di luar kota.” Kata Anton sambil menyandarkan tubuhnya di kursi. “Waah, siapa yang menyangka kita akan bersama lagi seperti ini.” Anton kembali memandangi wajah sahabat-sahabatnya. Kebahagiannya tak bisa disembunyikan. “Sekarang kita sudah memegang kontak masing-masing kan? Jadi, tidak ada lagi namanya tidak bisa bertukar kabar. Tidak ada lagi teman menikah sampai punya anak kau tidak tahu menahu. Tidak ada lagi pergi tanpa pamit.” Anton benar-benar berceramah.
Dara tersenyum mendengar kalimat Anton yang terakhir. Anton melihatnya. “Kenapa kau senyum-senyum?”
“Tidak apa-apa.” Jawabnya. Masih saja tersenyum. “Dengar itu Kak.” Katanya lagi ke arah Gio.
Anton melirik ke arah Dara. Kaget bahwa Dara membahas itu. Sebenarnya dari tadi ia ingin sekali menanyakan kepada Dara bagaiamana hubungannya dengan Gio. Tapi tak mungkin ia tanyakan sekarang, masih ada Gio disini. Sebab terakhir kali Dara menghubunginya, Dara masih bercerita seolah Gio itu adalah orang yang sangat jauh. Namun hari ini, mereka datang bersama ke pesta ulang tahun anaknya.
Setelah dilihatnya Gio tersenyum oleh kalimat Dara tadi, maka dipikirnya Gio dan Dara baik-baik saja. Sudah kembali seperti dulu. Itu pula yang dirasakannya saat mereka berbincang-bincang. Tidak ada kecanggungan seperti yang Dara ceritakan saat di telepon.
Namun alasan Dara tersenyum tidaklah sama dengan apa yang Anton pikirkan. Dara terseyum karena baru menyadari, ternyata Anton merasakan hal yang sama dengan dirinya. Hanya saja ia jarang menampakkan.
Tiga serangkai itu terus saja bercerita. Tentang masa SMA dulu sampai tentang pekerjaan masing-masing. Namun, tak bisa dipungkiri. Anton menyadari sifat Gio dan Dara memang sedikit berubah. Entah karena mereka baru saja bertemu Anton atau mereka memang berubah selama waktu mereka terpisah. Dara tidak seceria dulu, ia lebih banyak diam. Sedang Gio, tidak lagi sedingin dulu.
“Bagus juga ini. Berarti mereka semakin mendekati titik temu.” Kata Anton dalam hati, di sela keheningan mereka.
Hari telah sempurna menjadi gelap, malam telah tiba. Dara pamit pulang pada Anton dan istrinya. Sedang Gio masih tinggal untuk membahas ini dan itu. Darapun meninggalkan dua laki-laki itu.
***
“Kemana kau kemarin? Dari pagi sampai sore tidak ada di kos?” Suara Leo yang tiba-tiba sedikit mengagetkan Dara.
“Oh, ke acara ulang tahun anak temanku. Ada kakakmu juga.” Dara menjawab santai sambil merapikan barang-barang di atas meja kerjanya.
Leo yang mendengar jawaban Dara langsung mendelik. Ia melihat sekitar dengan menengok kiri dan kanan, kemudian langsung melindungi Dara dengan badannya yang tinggi itu. “Kakak siapa?” Tanyanya.
“Kakakmu. Masa kau lupa kakak sendiri?” Suara Dara masih santai setengah menyindir. Leo benar-benar tidak menjawab apapun. Matanya melotot ke arah Dara. Apa yang sudah di ketahui anak ini, pikirnya.
“Jadi kau pergi ke kosku lagi kemarin? Sudah kubilang jangan. Tidak nyaman dengan tetangga.” Dara mengubah alur pembicaraan.
“Ya.” Leo tidak fokus dengan apa yang Dara bahas hingga menjawab sekadarnya saja.
Dara bangkit dari kursinya. Kini ia telah sama-sama berdiri seperti Leo. Walau begitu, Dara tetaplah harus mendongak untuk menatap wajah Leo karena Leo sebegitu tingginya.
“Jadi benar dia Kakakmu?” Ditatapnya mata Leo beberapa detik—menunggu jawaban. Namun Leo hanya tersenyum aneh, entah apa artinya. “Kalau tidak keberatan, aku sangat menghargai kalau kau mau menjelaskannya padaku.” Dara tersenyum sambil berlalu. Leo yang melihat itu tiba-tiba muncul rasa bersalahnya. Memang seharusnya ia memberi tahu Dara sejak lama. Tentang ia dan kakaknya.
***
Leo memandang lesu monitor laptopnya. Pikirannya tidak menentu. Leo tidak peduli lagi darimana Dara mengetahui hal yang dibahasnya tadi. Ia memang harus menjelaskan semuanya. Tapi, ada juga rasa belum siap. Bagaimana reaksi Dara nanti? Apa hubungannya dengan Dara tetap akan sama seperti sekarang.
Wajahnya terlihat sangat frustasi. Dipijatnya agak kuat pelipisnya. Matanya terpejam. Semakin ia pikirkan semakin tak berujung. Kini matanya terbuka. Ia memutuskan mencari tempat yang tepat saja untuk berbicara dengan Dara. Perihal Dara marah atau tidak urusan nantilah, pikirnya lagi.
“Kosnya? Dia tidak mau. Rumahku? Nanti tiba-tiba Kakak datang. Kalau di tempat ramai, di taman misalnya? Bising. Nanti dia tidak fokus.” Leo mencoret-coret daftar tempat yang akan ia pilih untuk rencananya. Kalau saja ada orang di ruangan itu, maka ia pasti sudah di tegur karena berbicara sendiri dan marah-marah sendiri. Ia mengacak-acak rambutnya.
“Atau disitu saja?” Kepalanya mengingat sesuatu. Kafe di sebelah danau. Sepertinya tempat ini cukup nyaman. Ia yakin Dara menyukai pilihan tempatnya ini. “Kenapa aku seperti akan melamar Dara saja? Akan kan cuma mau berbicara biasa.” Leo merasa aneh dengan tingkahnya sendiri.
Leo melambaikan tangannya begitu melihat Dara yang baru memasuki area samping kafe. Leo memilih outdoor karena bisa langsung melihat danau yang cukup indah disini. Dara segera menghampiri Leo dan langsung duduk di depannya. Kepalanya menoleh kiri kanan memperhatikan sekitar, menyiapkan penilaian untuk tempat yang dipilih Leo itu. Dilihat dari sudut bibirnya yang terangkat ke atas, dapat dipastikan Dara menyukainya. Leo jamin itu. “Tumben sekali kau mengajakku ke tempat bagus begini.” Dara tak henti-hentinya tersenyum. Ia masih terpana oleh pemandangan di sisi danau itu. “Kau jangan pura-pura bodoh. Kau kan yang kemarin mengancamku?” Leo agak marah, tapi ia pasrah. “Apa terdengar seperti ancaman? Rasanya tidak.” Kata Dara dengan wajah t
Tiga orang pegawai kantor sedang duduk di kafe langganannya. Mereka sibuk menyeruput minuman masing-masing. Kafe sangat sepi. Entah kemana pelanggan-pelanggan setia mereka. Padahal di luar cuaca sangat panas. Harusnya mereka duduk disini sambil menikmati barang segelas es kopi. Begitu pikir tuan pemilik kafe. Dua orang pria dan seorang wanita. Siapa lagi kalau bukan Gio, Leo, dan Dara. Belum ada obrolan yang berarti. Barangkali karena salah satu atau beberapa di antaranya masih canggung. Harusnya tidak, bukan? “Kakak menunggu siapa?” Leo heran melihat Gio yang celingak-celinguk. “Ayahnya Bhara.” Gio menjawab sekadarnya. “Harusnya dia sudah disini.” Katanya lagi sambil terus menatap keluar.&nb
“Are you okay?” Leo datang menghampiri Dara yang duduk sendirian. Ia memandang ke arah yang sama dengan Dara, menyaksikan dua insan yang sangat berbahagia hari ini. Dara hanya melihat Leo sebentar. Kemudian tersenyum kecil lalu mengangguk. “Asal kau tahu, hari ini aku tulus berbahagia.” Dara bicara tanpa menatap Leo. “Ya, aku tahu, dan aku lega.” Jawab Leo. Ia sebaliknya. Ia berbicara sambil memandang Dara dengan cermat. “Lega karena?” Tanya Dara bingung. “Karena berkurang satu beban di hatimu.” Jawab Leo tersenyum.&nbs
9 tahun yang lalu... Gio masih terjaga di atas tempat tidurnya, walau sudah sejak satu jam yang lalu ia mencoba untuk tidur. Hari Minggu memang waktu yang tepat untuk menikmati tidur siang yang hanya bisa dilakukan seminggu sekali. Entah apa yang merasukinya, ia terus saja merasa kesal kepada Dara. Berulang kali ia membujuk pikirannya sendiri untuk tidak menyalahkan Dara. Tetap saja. Tertolak. Gio terus saja terpejam. Namun tidak tidur. Di luar, ayahnya sedang sibuk menelepon beberapa orang berganti-gantian. Suaranya terdengar samar namun seperti ada kekhawatiran disana. Kalau saja tidak didengarnya nama Leo, maka ia tak akan beranjak dari tempat tidurnya. Gio menghampiri ayahnya dengan pen
Gio masih di kamar Leo. Kamar rumah sakit tentunya. Ia menjaga adiknya kalau saja adiknya butuh seusatu. Untuk membunuh bosan ia mencoba mencari acara TV yang dirasa cukup menarik. “Kak, boleh pinjam handphone?” Tanya Leo tiba-tiba. “Untuk apa?” Gio hanya melirik adiknya tanpa menoleh. “Aku mau bermain game.” Leo tersenyum, matanya mengerjap-ngerjap merayu kakaknya. “Handphonemu mana? Lagipula apa tanganmu tidak sakit?” “Handphoneku mati. Tadi ayah lup
Leo sampai di rumah usai pulang sekolah. Ia mendapati kakaknya telah kembali dari Kalimantan. Langsung saja dicecarnya kakaknya itu dengan berbagai macam pertanyaan. “Bagaimana? Kau sudah menyelesaikan urusanmu? Kau tidak lupa meminta nomor teman-temanmu kan? Lalu itu, foto-foto yang ada di handphonemu. Temanmu juga menyimpannya kan?” Gio hanya menatap adiknya yang cerewet. Ia sadar adiknya itu masih merasa bersalah perkara handphonenya kemarin. “Hmm...” Gio mengangguk. “Anak yang bernama Dara itu, sudah kau temui?” tanya Leo lagi takut-takut. Gio hanya diam. Baik mulut maupun wajahnya tak memberi jawaban. Gio segera pergi untuk men
Leo dan Gio memasuki rumah mereka seperti pencuri. Melangkah perlahan dengan mata mengawasi sekeliling. Meski belum jelas, namun firasat mereka mengatakan telepon ayahnya tadi bukan karena sakit, namun marah. Pertanyaannya sekarang adalah, kenapa? Sampailah mereka di dapur. Setelah dicari-cari ke seluruh ruangan, ternyata ayahnya ada disitu. Terduduk dengan masih menggenggam handphonenya. Matanya melirik sebentar pada dua putranya yang baru datang itu. “Kau mau jadi apa? Bolos dua puluh hari? Bilang saja kalau sudah bosan sekolah!” Sapaan ayahnya kali ini sangat mengagetkan bagi dua anak lelaki itu. Satu kaget karena info yang didengarnya, sedang yang satunya lagi kaget karena info itu diketahui ayahnya. Gio yang tak merasa melakukan perbuatan tersebut, melirik kepada adiknya. Terkonfirmasi. Leo memang melakuka
Gio memulai tahun pertamanya di bangku kuliah, yang mana berarti Leo telah duduk di bangku kelas tiga SMA. Dengan beasiswa yang ia dapatkan, maka ia bisa tetap membantu ayahnya menjaga toko buku. Ia tidak harus mencari pekerjaan lain seperti yang ia rencanakan jika tidak mendapat beasiswa. Nilai-nilainya yang tinggi di sekolah juga sangat membantu. Menjadi anak kuliahan tentu membawa banyak perubahan untuk Gio, terlebih waktu yang dimilikinya bersama keluarga. Jika saat SMA saja Gio sudah cukup sibuk, maka saat ini Gio sangat sibuk. Ayahnya mungkin tak terlalu merasakan perbedaannya, karena sejak masih SMA pun dalam kesehariannya ia tak banyak menghabiskan waktu dengan Gio. Pagi-pagi Gio sudah berangkat ke sekolah bersama Leo dan saat pergantian shift menjaga toko, barulah ayahnya bisa bertemu Gio. Kemudian saat malam har
Leo mencoba membuka matanya dengan susah payah. Ia melihat sekeliling. “Kau tidak menutup jendela tadi malam? Tapi rasanya sudah kututup,” ucapnya bingung. “Aku yang membukanya,” ucap Dara sambil terus memandangi Leo yang sebagian tubuhnya dikenai hangatnya sinar matahari. “Panas, Dara,” Leo tidak mengerti pikiran Dara. “Itu sehat. Matahari pagi. Hangat, kan? ” balas Dara sambil meraih handphonenya. Dan... Ckrekk... Leo geleng-g
Lelaki tinggi berhoodie putih itu berjalan mendekati Dara. Menarik kursi dan segera duduk. Ia tersenyum lebar menampakkan sumringahnya. “Kenapa disini?” Ia membuka percakapan dengan melihat sekeliling, bagai baru pertama duduk disana. “Kau bawa barangnya?” Alih-alih menjawab, Dara malah balik bertanya. “Bawa.” Leo mengangguk. “Memang mau kau tukar dengan apa? Awas saja kalau tidak sepadan,” ancam Leo. Dara telah menggenggam barang yang di bawanya, begitu pula dengan Leo. Namun keduanya sama-sama enggan meletakkannya di atas meja. “Untuk apa disembunyikan?” Dara
Untung saja belum jauh. Leo sadar handphonenya tertinggal di dalam cafe, yang mana Dara masih ada disitu. “Berarti Dara juga tidak sadar,” pikir Leo. Tinggal beberapa langkah jarak Leo ke meja Dara. Leo penasaran, apa yang membuat Dara termenung seperti itu. Benda apa yang sedang ditatap Dara? Langkah Leo semakin dekat. Ia tak lagi peduli dengan handphonenya di atas meja. Dara tersenyum lalu berkata, “Teruntuk kau yang duduk tengadah. Bergembiralah, walau itu membuatku patah.” DEG! Leo mematung. Ia berpikir, memastikan bahwa kalimat itu adalah miliknya. “Lalu, kenapa bisa Dara memiliki benda itu?” Rutuk Leo dengan gigi tertutup. Leo duduk di depan Dar
“Waowh..!” Pekik Leo melihat orang yang berdiri di pintu kamarnya. “Kakak bilang tidak akan pulang malam ini?” Wajah Leo terlihat bingung. “Mandilah. Aku sudah buatkan sarapan.” Balas Gio tanpa menjawab pertanyaan Leo. Leo yang merasa suasana itu agak aneh segera menuruti perintah kakaknya. Leo tahu ada yang ingin disampaikan kakaknya itu. Ia takut kalau-kalau dirinya ada berbuat salah. Maka tak lebih dari sepuluh menit, Leo sudah siap di meja makan. “Makanlah dulu.” Gio menyodorkan sepiring nasi goreng pada Leo. “Langsung saja. Kakak ingin bicara apa?” &
“Melamar? Omong kosong dari mana itu?” Kening Dara berkerut mengingat ucapan Anton tempo hari. Namun tiba-tiba ia menyadari sesautu, ucapan Anton sangat perlu dipertanyakan. Sedang Gio tak pernah menunjukkan tanda apapun. Atau jangan-jangan selama ini Gio memang telah banyak membahas Dara bersama Anton? “Mungkin aku terlalu percaya diri.” Dara mengakhiri pikirannya yang mulai melanglang buana. *** Langkah Dara seketika terhenti begitu membuka pintu ruang divisi mereka. Di ujung sana Gio jug
Masa kini... Leo memperhatikan sebuah foto yang disodorkan Dara. Hanya melihatnya sebentar, kepalanya telah mengangguk-angguk menjawab pertanyaan Dara tentang keindahan tempat itu. “Oke. Jadi akhir pekan ini kita akan camping disitu,” sorak Dara. “Kau harus ikut, ya!” Tambah Dara lagi sambil berlalu. Leo hanya diam. Sebenarnya ia ingin, namun ia merasa akhir-akhir ini terlalu banyak bergabung pada lingkaran kakaknya. Memang tidak ada yang melarang ataupun keberatan. Namun, tetap saja membuatnya bimbang.*** Bukan tempat yang terlalu terkenal di kota ini, tapi keindahannya tak kalah memanjakan mata. Sebab tak banyak dikenal orang, maka menjadi keuntungan tersendiri. Mereka jadi bisa menikmati pemandangan dengan lebih
Dara telah menetapkan pilihannya untuk bekerja pada penerbit ini. Apa pula yang harus di tunggu. Ia suka serta modalnya cukup. Ya, kemampuan akan bahasa asingnya memang sangat mumpuni. Sudah lebih dari cukup untuk melengkapi syarat sebagai penerjemah di penerbit itu. Dan hari ini adalah hari pertamanya bekerja setelah seminggu yang lalu ia melakukan wawancara. “Dara.” Suara seorang lelaki mendekati meja Dara. Dara yang mengira itu adalah suara atasan atau seniornya segera bangkit dari kursi. “Kita bertemu kembali.” Kata suara itu lagi. Dara terdiam sejenak sebelum memastikan wajah dari pemilik suara itu. Karena seingatnya, ia tak memiliki kenalan di tempat ini. Dara sedikit melotot menatap orang itu. Tak butuh waktu lama bagi Dara untuk mengingat wajahnya. “Kamu?” Uca
Cuaca yang amat terik memaksa Dara duduk sejenak untuk melemaskan otot kakinya yang mati rasa. Diteguknya minuman dingin yang baru ia beli hingga tersisa setengah. Tahun kedua di kuliahnya ini sangat sibuk. Setiap hari tak pernah luput dari tugas yang silih berganti. Belum lagi tugas ini bukan tugas yang bisa dikerjakan dengan tenang di kamar sendiri. Seperti tugas kali ini, menyebar kuesioner yang tentu saja diikuti dengan pengolahan datanya. Tersisa satu lembar kuesioner lagi. Namun kaki Dara terasa semakin berat. Dengan susah payah ia menegakkan tubuhnya demi dilihatnya hari yang semakin mendung. Ia tak ingin kehujanan seelum sampai di rumah. Seseorang yang duduk sendiri di toserba tempat ia membeli minum telah menjadi targetnya. Darapun berjalan mendekatinya.&
Gio memulai tahun pertamanya di bangku kuliah, yang mana berarti Leo telah duduk di bangku kelas tiga SMA. Dengan beasiswa yang ia dapatkan, maka ia bisa tetap membantu ayahnya menjaga toko buku. Ia tidak harus mencari pekerjaan lain seperti yang ia rencanakan jika tidak mendapat beasiswa. Nilai-nilainya yang tinggi di sekolah juga sangat membantu. Menjadi anak kuliahan tentu membawa banyak perubahan untuk Gio, terlebih waktu yang dimilikinya bersama keluarga. Jika saat SMA saja Gio sudah cukup sibuk, maka saat ini Gio sangat sibuk. Ayahnya mungkin tak terlalu merasakan perbedaannya, karena sejak masih SMA pun dalam kesehariannya ia tak banyak menghabiskan waktu dengan Gio. Pagi-pagi Gio sudah berangkat ke sekolah bersama Leo dan saat pergantian shift menjaga toko, barulah ayahnya bisa bertemu Gio. Kemudian saat malam har