Kali ini giliran Dara yang duduk termenung sendiri di dalam kafe kemarin. Saat tersadar dari lamunannya, ia telah mendapati Leo duduk manis di depannya. Dara seperti tahu apa yang akan Leo bahas.
“Pak Firman bilang kau adalah adik kelasnya?" Ucap Leo to the point, menyampaikan pertanyaannya.
“Pak Firman? Klienmu kemarin?” Dara balik bertanya, memasang wajah berpura-pura berpikir. Leo tak bergeming. Sia-sia. Leo pasti sudah tahu, pikirnya. Darapun kembali dengan wajah normalnya, membalas pertanyaan Leo tadi dengan sebuah anggukan.
“Berarti Kak Gio mengenalnya?” Tanya Leo lagi.
“Ya. Aku lihat mereka makan siang bersama tadi.”
“Kenapa berpura-pura tak mengenalnya?”
Dara menopangkan wajahnya ke salah satu lengannya. Menatap kosong ke arah minumannya. Leo tak bertanya lagi, sadar bahwa Dara juga tak tahu jawabannya.
***
Pagi hari di tahun 2012. Beberapa bulan setelah kepindahan Gio. Entah hari Senin atau Selasa, yang jelas Dara memakai seragam putih abu-abu. Hujan deras dipagi itu membuat Dara harus pergi ke sekolah dengan memakai payung. Bukan payung lipat, melainkan payung panjang. Warna hijau.
Dara melewati jalan yang seperti biasa ia lalui. Sampai pada jarak kurang lebih 50 meter lagi ia sampai di sekolah, seseorang laki-laki menghetikan langkahnya dari sebuah teras rumah yang telah Dara ketahui bahwa itu adalah rumahnya. Sambil berkata ‘Eh..’ laki-laki itu maju menghampiri Dara yang telah menunggu dengan payungnya. Dara sendiri lupa apakah orang itu meminta izin atau tidak untuk ikut berteduh di bawah payungnya. Yang ia ingat, mereka langsung berjalan menuju arah yang sama—sekolah mereka, dengan posisi Dara memayungi anak laki-laki itu.
Hampir tak ada percakapan. Dara berusaha keras mengingat apa yang diucapakan anak laki-laki itu saat itu, namun hanya satu yang ia ingat. Ia menanyakan Dara ada di kelas berapa, Darapun menjawab dengan jawaban singkat. Dara sempat menyesal kenapa tidak menanyakan balik kelas anak laki-laki itu. Walau sebenarnya Dara sudah tahu, namanyapun Dara tahu. Bahkan nama lengkap, asal daerah. Dara juga tahu bahwa ia saat itu sedang mempunyai pacar.
Sempat juga Dara berpikir untuk menunjukkan bahwa Dara tahu ia ada di kelas berapa, bukan bertanya. Sekadar memberi isyarat bahwa Dara adalah penggemarnya. Namun itu adalah ide-ide yang muncul setelah semuanya selesai. Percuma.
Mereka terus berjalan dan sampai di persimpangan dekat pintu masuk sekolah. Tersisa 10 meter lagi sebenarnya mereka sudah memasuki wilayah sekolah. Namun kelas mereka masihlah puluhan meter jauhnya sebab yang akan pertama kali mereka temui adalah lapangan basket, lapangan sepak bola, dan musalla. Tak ada pelindung. Harus memakai payung jika tak ingin kebasahan.
Hujan sedikit reda dari sebelumnya. Namun di persimpangan itu, anak laki-laki yang tak lain adalah Firman mengambil jalan lurus, keluar dari lindungan payung Dara, meninggalkan Dara dengan ucapan yang tak sepenuhnya Dara dengar. Dara terdiam sejenak. Merasa percuma memberikan tumpangan. ‘Untuk apa kau ikut di payungku kalau akhirnya harus kebasahan juga’, pikir Dara.
Lagi-lagi Dara menyesal. Kenapa tak ia tawarkan untuk mengantarnya tepat sampai di sekolah, di bangunan yang berlindung atap. Atau sekadar menanyakan alasannya langsung pergi menerobos hujan sedang hujan belum reda sepenuhnya. Sedikit-sedikit Dara paham alasannya. Barangkali ia tak nyaman dilihat anak-anak lain.
Dara penggemar Firman? Memang. Laki-laki kurus tinggi dan kalem itu memang telah lama mencuri perhatian Dara, bahkan dari awal Dara masuk di SMA itu, saat Gio belum pindah. Di mata Dara Firman terlihat seperti orang yang baik kepada siapa saja, tidak macam-macam, dan tidak mempunyai musuh. Semua teman sekelasnya juga terlihat menyukainya.
Satu hal yang Dara bingungkan adalah, kenapa ia merasa biasa saja saat sepayung berdua dengannya. Bukankah seharusnya ia merasa girang? Atau setidaknya gugup. Namun seingatnya, ia hanya merasa kaget dan canggung.
Dara sering mengingat-ingat kembali peristiwa ini. Kenapa baru sekarang terasa manisnya. Kenapa baru sekarang Dara sadar bahwa ia beruntung. Seseorang yang ia suka tiba-tiba menghentikan langkahnya untuk bisa sepayung berdua dengannya. Terlepas dari apapun alasan laki-laki itu, harusnya Dara merasa bahagia. Tapi kenapa?
Dara tidak pernah menceritakan hal ini pada siapapun. Dara juga lupa apakah ada anak-anak lain yang melihat mereka berdua hari itu. Apa pikiran Dara terlalu sibuk mencari kata hari itu? Seingatnya tidak.
Kadang Dara takut bahwa kisah yang ia sayang-sayang ini sebenarnya hanyalah halusinasi belaka. Tapi bagaimana mungkin kepalanya merangkai peristiwa sedetail itu. ‘Aku memang mengalaminya’, katanya mengakhiri perdebatan dengan pikirannya sendiri.
***
Dara beranjak dari mejanya bersama dengan beberapa pegawai lain yang hendak pergi makan siang. Dara berjalan agak di belakang hingga tak bisa melihat siapa yang berpapasan dengannya, hingga tiba-tiba sebuah suara memangilnya.
“Dara.”
Dara menoleh ke sumber suara itu. Firman. Lelaki itu meneruskan sapaannya.
“Maaf hari itu aku lambat mengenalimu, aku benar-benar tidak menyangka kita akan bertemu disini,” ucapnya.
“Saya juga minta maaf tidak mengenali Bapak, hari itu saya buru-buru sekali,” jawab Dara yang tentu saja berdusta.
“Aey... kalau cuma kita berdua panggil kakak saja lah,” katanya lagi, masih seramah yang Dara kenal dulu. Berharap Gio akan mengucapkan hal ini, tapi yah, sudahlah. Dara hanya mengangguk sambil tersenyum mendengar perkataan Firman.
“Sebenarnya ada yang ingin kubicarakan denganmu. Kapan kira-kira kamu bisa Dara?” Ucap Firman lagi, cukup mengejutkan Dara.
“Saat makan siang atau sepulang kantor saya bisa, Kak,” jawab Dara canggung.
“Oke, kalau begitu besok ya, saat jam makan siang. Di kafe depan saja.” Katanya menetapkan janji. “Sampai jumpa besok.” Ia tersenyum sambil melambai dan berlalu.
Dara hanya bisa mengangguk dan tersenyum, lagi. Ia kembali bergabung dengan teman-temannya. Sebab wajahnya masih terlihat sumringah, maka salah satu temannya bertanya.
“Siapa Dar?” Kata teman disampingnya sambil menyikutnya pelan.
“Kakak kelasku saat SMA,” jawabnya singkat. “Penulis ‘Dua Hujan’,” tambahnya lagi. Teman-temannya mengangguk dengan mulut membentuk huruf o.
***
“Kenapa kau senyum-senyum sendiri?” sapa Leo mengejutkan Dara. Dara yang tersadar hanya menoleh sebentar ke arah Leo.
“Dia ada janji makan siang dengan si Dua Hujan,” bisik Sinta— teman Dara di meja sebelah.
“Dua Hujan? Pak Firman?” Kata Leo memastikan, yang ditanya hanya mengangguk.
Leo memperhatikan Dara sebentar sebelum lanjut berbicara.
“Besok?”
“Ya, kenapa?”
“Tidak apa-apa.” Jawab Leo sambil berbalik berjalan keluar menuju ruangannya. Dara menatap Leo dengan wajah heran.
***
Leo memasuki restoran seberang kantor dan segera menghampiri salah satu meja, tempat si pemberi undangan duduk. Orang yang dihampiri Leo masih asyik dengan laptopnya. Leo membiarkannya. Sekitar lima detik berlalu, barulah ia sadar.
“Dara mana?” Tanyanya pada Leo sambil menutup laptopnya.
“Ada janji lain.” Jawab Leo singkat. “Ada apa, Kak?”
“Tidak ada, kita sudah lama kan tidak makan bersama. Aku juga sudah sulit sekali ke rumah.” Katanya sambil menyodorkan menu kepada Leo. “Bagaimana persiapan peluncuran Dua Hujan?” Katanya lagi.
“Sejauh ini lancar. Hanya, tadi Pak Firman memintaku menunda persiapan. Katanya ia sedang meminta izin kepada seseorang terkait novelnya itu.”
“Tidak ada tanda-tanda dia akan membatalkan kontrak, kan?”
“Kurasa tidak. Tenang, biar tim kami yang mengurus.”
“Kalau begitu tidak masalah, waktu kita cukup panjang.” Kata Gio santai.
Sejenak hening. Leo mengaduk-aduk es kopi yang lebih dulu diantar padanya. Ia memperhatikan Leo beberapa saat, bimbang. Haruskah menanyakan hal di pikirannya.
“Kak Gio punya pacar?”
Yang ditanya langsung menoleh pada pemberi pertanyaan, kemudian tersenyum. “Kau tahu aku tidak ingin berpacaran. Kenapa?”
Leo menggeleng, “Tidak apa-apa. Tapi kalau kau mau menikah aku harus jadi yang pertama tahu.”
“Supaya? Tidak usah menungguku menikah. Kau bisa memulainya sekarang.” Jawab Leo tersenyum.
“Maksudnya?” Leo balik bertanya, tidak mengerti.
Gio mengangkat kedua bahunya. “Cepat makan.”
Dara menatap keluar jendela kafe. Menatap kosong pada orang yang berlalu-lalang. Apa yang sedang ia pikirkan? Sebagian kecil penasaran tentang apa yang akan Firman bicarakan, sebagaian yang lain adalah kebingungan tentang dirinya sendiri. Kenapa ia bisa sesenang itu bertemu Firman disaat ia masih kesal dengan sikap Gio yang benar-benar tidak peduli. Pertanyaan sebenarnya adalah, benarkah ia merasa senang? Mungkinkah, pelampiasan? Dara menggeleng, menepis pikirannya. Pelampiasanpun tidak boleh. Andai saja ia bisa meralat ekspresi girangnya kemarin. Sayang sudah terlihat oleh beberapa temannya termasuk Leo. “Tidak boleh menyukai Firman. Kau mana tahu, jangan-jangan dia sudah punya istri.” Ucapnya dalam hati. Firman yang baru datang menatap Dara dengan aneh. “Kena
Tok...tok... “Kak Anton?” Panggil Dara di depan kamar Anton. Pintu terbuka dari dalam. Si pembuka pintu menampakkan wajahnya. Dahi Dara berkerut, wajahnya sempurna menunjukkan ekspresi bingung. “Apa aku salah rumah?” pikirnya. “Anton sedang keluar.” Kata orang itu. “Oh, dia hanya bertamu,” katanya dalam hati. “Oh, ya. Aku tunggu diluar saja.” Kata Dara lagi yang hanya dibalas dengan anggukkan oleh lawan bicaranya. Darapun segera menuju teras, menunggu Anton pulang. Selang berapa menit, “Dara?” Sapa Anton. “Eh, Kak. Ini aku mau mengembalikan
Dua minggu setelah novel Dua Hujan rilis. “Leo...” Sebuah kepala menyembul dari belakang Leo, menampakkan wajahnya yang penuh siasat. “Temani aku, yuk!” “Kemana?” Leo menjawab sambil terus fokus memasukkan barang-barang ke dalam ranselnya untuk dibawa pulang. “Ikut saja.” Si pembuat pertanyaan tak memerdulikan jawaban Leo. Ia langsung berlari keluar kantor dengan menganggap Leo akan membuntuti langkahnya. Dan benar saja. Tanpa membantah, Leo mengekor di belakang Dara. Ia naik bis yang sama dengan Dara, dan turun dimana Dara memilih untuk turun, hingga akhirnya mereka masuk ke sebuah toko buku. Leo hanya mengikuti langkah Dara yang terlihat serius menyusuri rak demi rak buku. “Nah, ini dia.” Seru Dara sembari menarik sebuah buk
Hari masih sangat pagi. Dara berniat masuk ke ruangan manajernya—Gio, untuk meletakkan beberapa berkas yang diminta Gio kemarin. Tepat di depan pintu, Dara berhenti sebentar melihat pintu yang terbuka sedikit. Ruangan yang dikiranya kosong ternyata sudah dimasuki oleh empunya. Dan tak hanya sendiri, Gio sedang bercakap-cakap dengan seseorang.“Oh, Firman.” Pikirnya. Tanpa sadar Dara mencoba mencuri dengar apa yang mereka bicarakan. Sebab Dara tidak tahu dengan pasti bagaimana persisnya hubungan mereka. Dara hanya tahu anak yang dekat dengan Gio adalah Anton.“Jadi kau tidur di rumah adikmu lagi malam tadi?” Firman memutar-mutar kursi yang didudukinya di depan Gio.“Hah, Gio punya adik?” Dara semakin memfokuskan pendengarannya.“Ya, kasihan dia kutinggal terus. Lagipula ada yang ingin kudiskusikan dengannya.”“Hmm, terdengar familiar.” Pikir Dara.“Dia bukan a
Dara sengaja mengambi arah yang berbeda dengan Gio, menacari sendiri apa yang ingin mereka beli. Sebab jika tidak begitu, rasanya akan seperti suami istri yang mencari satu kado. Sedang mereka berniat membeli masing-masiing. Anak Anton laki-laki. Ini adalah ulang tahunnya yang ke-2. Sekitar lima belas menit berputar-putar di bagian pakaian, Dara masih juga bingung pakaian mana yang harus ia ambil. Walau sudah melihat fotonya, tetap saja ada keraguan. Takut ukurannya tidak pas. Akhirnya Dara putuskan mengambil yang ukurannya sedikit lebih besar. Kalau tidak muat sekarang, maka bisa dipakai nanti. Iapun membawa barang pilihannya menuju kasir. Terlihat Gio baru saja selesai dengan urusan kadonya, bahkan telah menjadi bingkisan cantik siap untuk diserahkan. Laki-laki memang praktis. Gio lalu mengisyaratkan kepada Dara bahwa ia akan menunggu di luar. &n
Riuh lagu ulang tahun masih terdengar di setiap sudut ruangan. Suara tawa dan tangis bocah juga masih terdengar. Namun bukan dari tamu, melainkan keluarga, karena saat ini acara memang sudah hampir berakhir. Dara masih berbincang-bincang dengan Anton dan Gio sebagai pelepas rasa rindunya akan masa-masa SMA dulu. Mereka duduk agak jauh di luar ruangan, agar tidak terganggu oleh suara musik. Di sebelah Anton duduk pula istrinya yang sesekali mengalihkan perhatiannya ke arah bocah yang sedang bermain bola di dekatnya. Rania namanya, biasa dipanggil Nia, begitu katanya tadi saat berkenalan dengan Dara. Nia rupanya orang asli kota ini. Anak yang bermain bola tadi, tiba-tiba datang menjatuhkan tubuhnya di pangkuan Ibunya. Bibir kecilnya mengeluarkan sedikit rengekan, pertanda mulai mengantuk. Segera diangkatnya tubuh kecil itu, ditawa
Leo melambaikan tangannya begitu melihat Dara yang baru memasuki area samping kafe. Leo memilih outdoor karena bisa langsung melihat danau yang cukup indah disini. Dara segera menghampiri Leo dan langsung duduk di depannya. Kepalanya menoleh kiri kanan memperhatikan sekitar, menyiapkan penilaian untuk tempat yang dipilih Leo itu. Dilihat dari sudut bibirnya yang terangkat ke atas, dapat dipastikan Dara menyukainya. Leo jamin itu. “Tumben sekali kau mengajakku ke tempat bagus begini.” Dara tak henti-hentinya tersenyum. Ia masih terpana oleh pemandangan di sisi danau itu. “Kau jangan pura-pura bodoh. Kau kan yang kemarin mengancamku?” Leo agak marah, tapi ia pasrah. “Apa terdengar seperti ancaman? Rasanya tidak.” Kata Dara dengan wajah t
Tiga orang pegawai kantor sedang duduk di kafe langganannya. Mereka sibuk menyeruput minuman masing-masing. Kafe sangat sepi. Entah kemana pelanggan-pelanggan setia mereka. Padahal di luar cuaca sangat panas. Harusnya mereka duduk disini sambil menikmati barang segelas es kopi. Begitu pikir tuan pemilik kafe. Dua orang pria dan seorang wanita. Siapa lagi kalau bukan Gio, Leo, dan Dara. Belum ada obrolan yang berarti. Barangkali karena salah satu atau beberapa di antaranya masih canggung. Harusnya tidak, bukan? “Kakak menunggu siapa?” Leo heran melihat Gio yang celingak-celinguk. “Ayahnya Bhara.” Gio menjawab sekadarnya. “Harusnya dia sudah disini.” Katanya lagi sambil terus menatap keluar.&nb
Leo mencoba membuka matanya dengan susah payah. Ia melihat sekeliling. “Kau tidak menutup jendela tadi malam? Tapi rasanya sudah kututup,” ucapnya bingung. “Aku yang membukanya,” ucap Dara sambil terus memandangi Leo yang sebagian tubuhnya dikenai hangatnya sinar matahari. “Panas, Dara,” Leo tidak mengerti pikiran Dara. “Itu sehat. Matahari pagi. Hangat, kan? ” balas Dara sambil meraih handphonenya. Dan... Ckrekk... Leo geleng-g
Lelaki tinggi berhoodie putih itu berjalan mendekati Dara. Menarik kursi dan segera duduk. Ia tersenyum lebar menampakkan sumringahnya. “Kenapa disini?” Ia membuka percakapan dengan melihat sekeliling, bagai baru pertama duduk disana. “Kau bawa barangnya?” Alih-alih menjawab, Dara malah balik bertanya. “Bawa.” Leo mengangguk. “Memang mau kau tukar dengan apa? Awas saja kalau tidak sepadan,” ancam Leo. Dara telah menggenggam barang yang di bawanya, begitu pula dengan Leo. Namun keduanya sama-sama enggan meletakkannya di atas meja. “Untuk apa disembunyikan?” Dara
Untung saja belum jauh. Leo sadar handphonenya tertinggal di dalam cafe, yang mana Dara masih ada disitu. “Berarti Dara juga tidak sadar,” pikir Leo. Tinggal beberapa langkah jarak Leo ke meja Dara. Leo penasaran, apa yang membuat Dara termenung seperti itu. Benda apa yang sedang ditatap Dara? Langkah Leo semakin dekat. Ia tak lagi peduli dengan handphonenya di atas meja. Dara tersenyum lalu berkata, “Teruntuk kau yang duduk tengadah. Bergembiralah, walau itu membuatku patah.” DEG! Leo mematung. Ia berpikir, memastikan bahwa kalimat itu adalah miliknya. “Lalu, kenapa bisa Dara memiliki benda itu?” Rutuk Leo dengan gigi tertutup. Leo duduk di depan Dar
“Waowh..!” Pekik Leo melihat orang yang berdiri di pintu kamarnya. “Kakak bilang tidak akan pulang malam ini?” Wajah Leo terlihat bingung. “Mandilah. Aku sudah buatkan sarapan.” Balas Gio tanpa menjawab pertanyaan Leo. Leo yang merasa suasana itu agak aneh segera menuruti perintah kakaknya. Leo tahu ada yang ingin disampaikan kakaknya itu. Ia takut kalau-kalau dirinya ada berbuat salah. Maka tak lebih dari sepuluh menit, Leo sudah siap di meja makan. “Makanlah dulu.” Gio menyodorkan sepiring nasi goreng pada Leo. “Langsung saja. Kakak ingin bicara apa?” &
“Melamar? Omong kosong dari mana itu?” Kening Dara berkerut mengingat ucapan Anton tempo hari. Namun tiba-tiba ia menyadari sesautu, ucapan Anton sangat perlu dipertanyakan. Sedang Gio tak pernah menunjukkan tanda apapun. Atau jangan-jangan selama ini Gio memang telah banyak membahas Dara bersama Anton? “Mungkin aku terlalu percaya diri.” Dara mengakhiri pikirannya yang mulai melanglang buana. *** Langkah Dara seketika terhenti begitu membuka pintu ruang divisi mereka. Di ujung sana Gio jug
Masa kini... Leo memperhatikan sebuah foto yang disodorkan Dara. Hanya melihatnya sebentar, kepalanya telah mengangguk-angguk menjawab pertanyaan Dara tentang keindahan tempat itu. “Oke. Jadi akhir pekan ini kita akan camping disitu,” sorak Dara. “Kau harus ikut, ya!” Tambah Dara lagi sambil berlalu. Leo hanya diam. Sebenarnya ia ingin, namun ia merasa akhir-akhir ini terlalu banyak bergabung pada lingkaran kakaknya. Memang tidak ada yang melarang ataupun keberatan. Namun, tetap saja membuatnya bimbang.*** Bukan tempat yang terlalu terkenal di kota ini, tapi keindahannya tak kalah memanjakan mata. Sebab tak banyak dikenal orang, maka menjadi keuntungan tersendiri. Mereka jadi bisa menikmati pemandangan dengan lebih
Dara telah menetapkan pilihannya untuk bekerja pada penerbit ini. Apa pula yang harus di tunggu. Ia suka serta modalnya cukup. Ya, kemampuan akan bahasa asingnya memang sangat mumpuni. Sudah lebih dari cukup untuk melengkapi syarat sebagai penerjemah di penerbit itu. Dan hari ini adalah hari pertamanya bekerja setelah seminggu yang lalu ia melakukan wawancara. “Dara.” Suara seorang lelaki mendekati meja Dara. Dara yang mengira itu adalah suara atasan atau seniornya segera bangkit dari kursi. “Kita bertemu kembali.” Kata suara itu lagi. Dara terdiam sejenak sebelum memastikan wajah dari pemilik suara itu. Karena seingatnya, ia tak memiliki kenalan di tempat ini. Dara sedikit melotot menatap orang itu. Tak butuh waktu lama bagi Dara untuk mengingat wajahnya. “Kamu?” Uca
Cuaca yang amat terik memaksa Dara duduk sejenak untuk melemaskan otot kakinya yang mati rasa. Diteguknya minuman dingin yang baru ia beli hingga tersisa setengah. Tahun kedua di kuliahnya ini sangat sibuk. Setiap hari tak pernah luput dari tugas yang silih berganti. Belum lagi tugas ini bukan tugas yang bisa dikerjakan dengan tenang di kamar sendiri. Seperti tugas kali ini, menyebar kuesioner yang tentu saja diikuti dengan pengolahan datanya. Tersisa satu lembar kuesioner lagi. Namun kaki Dara terasa semakin berat. Dengan susah payah ia menegakkan tubuhnya demi dilihatnya hari yang semakin mendung. Ia tak ingin kehujanan seelum sampai di rumah. Seseorang yang duduk sendiri di toserba tempat ia membeli minum telah menjadi targetnya. Darapun berjalan mendekatinya.&
Gio memulai tahun pertamanya di bangku kuliah, yang mana berarti Leo telah duduk di bangku kelas tiga SMA. Dengan beasiswa yang ia dapatkan, maka ia bisa tetap membantu ayahnya menjaga toko buku. Ia tidak harus mencari pekerjaan lain seperti yang ia rencanakan jika tidak mendapat beasiswa. Nilai-nilainya yang tinggi di sekolah juga sangat membantu. Menjadi anak kuliahan tentu membawa banyak perubahan untuk Gio, terlebih waktu yang dimilikinya bersama keluarga. Jika saat SMA saja Gio sudah cukup sibuk, maka saat ini Gio sangat sibuk. Ayahnya mungkin tak terlalu merasakan perbedaannya, karena sejak masih SMA pun dalam kesehariannya ia tak banyak menghabiskan waktu dengan Gio. Pagi-pagi Gio sudah berangkat ke sekolah bersama Leo dan saat pergantian shift menjaga toko, barulah ayahnya bisa bertemu Gio. Kemudian saat malam har