Share

DUA HUJAN

Penulis: syeli ariessela
last update Terakhir Diperbarui: 2021-05-30 17:14:06

          Dara bersandar santai di kursi rotan depan rumah Leo. Memandang bebas ke hamparan bunga di halaman tepat di depannya. Hal yang paling menarik perhatian Dara adalah jalan kecil yang hanya seukuran dua orang dewasa bersisian di tengah taman itu, mengingatkannya akan bentuk halaman rumahnya di Kalimantan.

         Rasa yang ia dapatpun sama persis seperti saat melewati halaman rumahnya sendiri. Berjalan di jalan kecil dengan kiri kanan berhias hijau rumput dan warna-warni bunga, Dara bagai merasa di negeri dongeng. Belum lagi di seberang jalan adalah area persawahan yang saat ini didominasi warna hijau. Membuat siapa saja yang duduk di tempat Dara sekarang betah berlama-lama.

         Sejujurnya seperti inilah rumah impian Dara, walaupun sedikit berbeda dengan apa yang ia selalu ceritakan pada orang lain. Dulu Dara menginginkan rumah yang apabila ia membuka jendela, maka ia dapat hamparan tanah lapang luas berwarna hijau tanpa terganggu bangunan apapun. Saat itu, hal itulah yang paling indah menurut Dara. Hari ini, Dara mengakui rumah ini memiliki lebih daripada impiannya.

***

         Leo menatap aneh ke arah Dara. Dara yang tersadar, membalas Leo dengan tatatapan yang aneh pula.

         “Kenapa kau melihatku seperti itu?” Kata Dara masih dengan tatapannya yang bingung.

         “Kau yang kenapa tersenyum sendiri?” Leo bertanya balik.

         “Rumahmu indah sekali.”

         “Kau boleh tinggal disini.” Tawar Leo. Dara hanya tersenyum,  sadar bahwa itu adalah tawaran yang mustahil ia terima.

         Sejenak hening. Namun Leo putuskan untuk mengalihkan Dara dari perhatiannya. Khawatir Dara bosan dengan pemandangan itu dan menjadi tidak tidak tertarik lagi datang ke rumahnya. Padahal tentu saja Dara tidak akan bosan.

         “Dar.”

         “Hmm?”

         “Apa kenangan paling manismu bersama Kak Gio?” Kini wajah Leo sudah menghadap ke arah Dara. Dara berpikir sejenak.

         “Ada momen yang paling kuingat tapi ini bukan kenangan manis, hanya hal biasa. Saat kami membicarakan suatu lombba yang kami ikuti. Di teras perpustakaan, saat itu hari sedang hujan.”

         “Kenapa kau selalu mengingat peristiwa itu?”

         “Entahlah, yang kuingat pembicaraan kami saat itu sangat tidak nyaman, kami bicara panjang lebar tapi tidak ada intinya. Dan aku ingat sekali aku bicara dengan posisi duduk dan dia berdiri dalam jarak yang dekat. Kalau sekarang kupikir-pikir, bukankah itu sangat tidak nyaman. Kenapa aku tidak mencoba berdiri atau dia mencoba duduk.”

         “Lalu setiap hujan turun kau jadi mengingatnya?”

         “Kadang ya, kadang tidak. Tapi sekadar ingat, bukan juga sesuatu yang spesial.”

         “Berarti benar kataku, kau sudah tidak ada rasa?”

         “Sepertinya memang tidak ada, hanya saja aku benci melihatnya berjalan seolah...”

         “Seolah tidak ada yang terjadi? Bukankah memang tidak ada yang terjadi?” Potong Leo cepat.        

         “Entahlah.” Dara terlihat malas berbicara.

         “Maksudku begini, kau sendiri sadar kan, tidak semua perasaan dapat kita balas?”

         “Jadi maksudmu?”

         “Aku juga tidak tahu. Tapi maksudku saat dia sama sekali tidak memberikan tanda bahkan di saat ia mengetahui perasaanmu, maka untuk apa kau selelah ini membencinya?” Suara Leo agak bergetar.

         Sebaliknya Dara menjadi tersenyum melihat Leo yang berubah serius.

         “Leo aku tidak benar-benar membencinya. Jangan terlalu khawatir.”

         “Aku cuma tidak ingin kau menyia-nyiakan waktumu.”

         “Apa aku terlihat menyedihkan?”

         “Ya.” Jawab Leo dengan suara lelah.   

         Dara merengut mendengar jawaban Leo.

         “Kenapa kau peduli padaku?” Tanya Dara lagi.

         “Menurutmu kenapa? Karena kau temanku.”

         “Bukan karena kau teman Gio?” pertanyaan Dara lebih terdengar menggoda Leo. Leopun tak menjawab. Kini Leo telah menatap sawah di seberang jalan. Cukuplah untuk sekadar meredam emosinya tadi. Baik Dara maupun Leo sama-sama tidak tahu pasti kenapa Leo bisa tiba-tiba menjadi serius saat membicarakan Gio.

***

         Langit sangat mendung. Rintik kecil masih jatuh pelan-pelan ke jalan yang sudah basah dan tampak lengang, namun tak menyurutkan niat Dara untuk pergi ke kafe seberang kantor. Ia tahu Leo ada disana.

         “Boleh duduk disini?” Kata Dara formal, waspada kalau-kalau suasana hati Leo belum membaik.

         “Tidak ada yang melarang.” Jawab Leo dengan sedikit tersenyum.”Kupikir kau selalu membawa bekal?”

         “Tadi aku terburu-buru.” Jawab Dara sekenanya.

         “Kau mau pesan makan?”

         “Tidak. Aku cuma mau duduk disini.”

         “Hah?” Leo bingung, merasa Dara terang-terangan mengatakan bahwa ia mengikutinya ke kafe itu.

         “Ya. Aku hanya ingin bicara lebih banyak hari ini denganmu. Boleh, kan?” Ucap Dara, benar-benar berterus terang.

         “Bicara apa? Kau mau bercerita atau bertanya?” Tanya Leo lagi, tak bisa menebak arah pembicaraan Dara.

         “Aku juga bingung yang mana duluan.” Jawab Dara memanyunkan bibirnya. “Sepertinya bertanya,” katanya lagi lebih bersemangat. “Kenapa kau tidak pernah menanyakan bagaimana tepatnya hubunganku dengan Gio?”

         “Bukankah jelas? Cinta bertepuk sebelah tangan.” Jawab Leo.

         Seketika Dara bangkit dari kursinya, berpura-pura ingin pergi meninggalkan ruangan itu. Namun Leo dengan cepat meraih tangannya.

         “Hey... hey... aku hanya bercanda.” Kata Leo. Kali ini sudah dengan senyumnya seperti biasa.

         Dengan wajah masih merengut Dara kembali duduk di kursi. Namun di dalam hati Dara sangat lega. Fakta bahwa Leo sudah bisa menjahilinya berarti Leo sudah benar-benar dalam keadaan normal.

         “Seberapa banyak  Gio bercerita tentangku?”Tanya Dara lemah.

         “Tidak banyak. Dia cuma bilang, dia sadar salah satu teman perempuannya memperhatikannya, dan dia tidak bisa membalas perempuan itu.” Jawab Leo sambil mengaduk-aduk es kopinya.

         “Waktu itu kau bilang dia merasa bersalah padaku?” Tanya Dara menyelidik.

         “Ya, merasa bersalah karena tidak bisa membalas, kan?” Jawab Leo mengelak tatapan Dara yang jelas mencurigainya berbohong.

         Dara menarik sudut bibirnya ke samping, menghasilkan sebuah senyum. Bukan senyum tulus, melainkan senyum kelelahan.Tak tahu harus mencari apa lagi.

         “Astaga! Hampir aku lupa.” Kata Leo tiba-tiba. “Dara, aku disini untuk bertemu klien. Sebentar lagi dia datang.” Ucapnya sambil menatap Dara, mengusirnya secara halus.

         “Oke.” Jawab Dara mengerti.

         Namun baru saja hendak bangkit dari kursinya, suara sepatu dari langkah seseorang terdengar menghampiri meja mereka. Leo yang melihat sumber suara itu langsung bangkit dan bersuara.

         “Pak  Firman!” Sapa Leo dengan tersenyum.

         “Apa? Firman?” Kata Dara dalam hati sambil mengerutkan keningnya.

         “Pak Leo!” Jawab orang  itu membalas sapaan Leo.

         Leo memperhatikan Dara yang tadinya siap pergi namun malah diam mematung membelakangi Firman. Namun Dara segera sadar dan berbalik. Dara tersenyum sebentar ke arah orang yang baru datang itu dan langsung  pergi menuju pintu keluar.

         Orang yang baru saja hendak membalas senyuman Dara itu terlihat berpikir sejenak, seperti mengenali Dara. Namun ia memilih mengabaikannya atau lebih tepatnya menunda untuk bertanya demi dilihatnya Leo yang di depannya telah siap untuk mendiskusikan banyak hal terkait novel barunya— Dua Hujan. Lagipula ia merasa tak nyaman dengan Leo karena harus telat 15 menit dari waktu pertemuan.

         Dara yang tengah memasuki gerbang kantornya, telah berjalan dalam kecepatan yang lebih lambat.

         Sempit sekali dunia ini. Keluhnya dalam hati dan langsung mempercepat langkah menuju ruangannya.

Bab terkait

  • YANG TAK KASAT MATA   KISAH TERSAYANG

    Kali ini giliran Dara yang duduk termenung sendiri di dalam kafe kemarin. Saat tersadar dari lamunannya, ia telah mendapati Leo duduk manis di depannya. Dara seperti tahu apa yang akan Leo bahas. “Pak Firman bilang kau adalah adik kelasnya?" Ucap Leo to the point, menyampaikan pertanyaannya. “Pak Firman? Klienmu kemarin?” Dara balik bertanya, memasang wajah berpura-pura berpikir. Leo tak bergeming. Sia-sia. Leo pasti sudah tahu, pikirnya. Darapun kembali dengan wajah normalnya, membalas pertanyaan Leo tadi dengan sebuah anggukan. “Berarti Kak Gio mengenalnya?” Tanya Leo lagi. “Ya. Aku lihat mereka makan siang bersama tadi.”

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-30
  • YANG TAK KASAT MATA   TABIR

    Dara menatap keluar jendela kafe. Menatap kosong pada orang yang berlalu-lalang. Apa yang sedang ia pikirkan? Sebagian kecil penasaran tentang apa yang akan Firman bicarakan, sebagaian yang lain adalah kebingungan tentang dirinya sendiri. Kenapa ia bisa sesenang itu bertemu Firman disaat ia masih kesal dengan sikap Gio yang benar-benar tidak peduli. Pertanyaan sebenarnya adalah, benarkah ia merasa senang? Mungkinkah, pelampiasan? Dara menggeleng, menepis pikirannya. Pelampiasanpun tidak boleh. Andai saja ia bisa meralat ekspresi girangnya kemarin. Sayang sudah terlihat oleh beberapa temannya termasuk Leo. “Tidak boleh menyukai Firman. Kau mana tahu, jangan-jangan dia sudah punya istri.” Ucapnya dalam hati. Firman yang baru datang menatap Dara dengan aneh. “Kena

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-30
  • YANG TAK KASAT MATA   ENGLISH CLUB

    Tok...tok... “Kak Anton?” Panggil Dara di depan kamar Anton. Pintu terbuka dari dalam. Si pembuka pintu menampakkan wajahnya. Dahi Dara berkerut, wajahnya sempurna menunjukkan ekspresi bingung. “Apa aku salah rumah?” pikirnya. “Anton sedang keluar.” Kata orang itu. “Oh, dia hanya bertamu,” katanya dalam hati. “Oh, ya. Aku tunggu diluar saja.” Kata Dara lagi yang hanya dibalas dengan anggukkan oleh lawan bicaranya. Darapun segera menuju teras, menunggu Anton pulang. Selang berapa menit, “Dara?” Sapa Anton. “Eh, Kak. Ini aku mau mengembalikan

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-30
  • YANG TAK KASAT MATA   KEPINGAN MEMORI

    Dua minggu setelah novel Dua Hujan rilis. “Leo...” Sebuah kepala menyembul dari belakang Leo, menampakkan wajahnya yang penuh siasat. “Temani aku, yuk!” “Kemana?” Leo menjawab sambil terus fokus memasukkan barang-barang ke dalam ranselnya untuk dibawa pulang. “Ikut saja.” Si pembuat pertanyaan tak memerdulikan jawaban Leo. Ia langsung berlari keluar kantor dengan menganggap Leo akan membuntuti langkahnya. Dan benar saja. Tanpa membantah, Leo mengekor di belakang Dara. Ia naik bis yang sama dengan Dara, dan turun dimana Dara memilih untuk turun, hingga akhirnya mereka masuk ke sebuah toko buku. Leo hanya mengikuti langkah Dara yang terlihat serius menyusuri rak demi rak buku. “Nah, ini dia.” Seru Dara sembari menarik sebuah buk

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-08
  • YANG TAK KASAT MATA   KADO ULANG TAHUN

    Hari masih sangat pagi. Dara berniat masuk ke ruangan manajernya—Gio, untuk meletakkan beberapa berkas yang diminta Gio kemarin. Tepat di depan pintu, Dara berhenti sebentar melihat pintu yang terbuka sedikit. Ruangan yang dikiranya kosong ternyata sudah dimasuki oleh empunya. Dan tak hanya sendiri, Gio sedang bercakap-cakap dengan seseorang.“Oh, Firman.” Pikirnya. Tanpa sadar Dara mencoba mencuri dengar apa yang mereka bicarakan. Sebab Dara tidak tahu dengan pasti bagaimana persisnya hubungan mereka. Dara hanya tahu anak yang dekat dengan Gio adalah Anton.“Jadi kau tidur di rumah adikmu lagi malam tadi?” Firman memutar-mutar kursi yang didudukinya di depan Gio.“Hah, Gio punya adik?” Dara semakin memfokuskan pendengarannya.“Ya, kasihan dia kutinggal terus. Lagipula ada yang ingin kudiskusikan dengannya.”“Hmm, terdengar familiar.” Pikir Dara.“Dia bukan a

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-14
  • YANG TAK KASAT MATA   PERANG

    Dara sengaja mengambi arah yang berbeda dengan Gio, menacari sendiri apa yang ingin mereka beli. Sebab jika tidak begitu, rasanya akan seperti suami istri yang mencari satu kado. Sedang mereka berniat membeli masing-masiing. Anak Anton laki-laki. Ini adalah ulang tahunnya yang ke-2. Sekitar lima belas menit berputar-putar di bagian pakaian, Dara masih juga bingung pakaian mana yang harus ia ambil. Walau sudah melihat fotonya, tetap saja ada keraguan. Takut ukurannya tidak pas. Akhirnya Dara putuskan mengambil yang ukurannya sedikit lebih besar. Kalau tidak muat sekarang, maka bisa dipakai nanti. Iapun membawa barang pilihannya menuju kasir. Terlihat Gio baru saja selesai dengan urusan kadonya, bahkan telah menjadi bingkisan cantik siap untuk diserahkan. Laki-laki memang praktis. Gio lalu mengisyaratkan kepada Dara bahwa ia akan menunggu di luar. &n

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-15
  • YANG TAK KASAT MATA   AKU TAHU

    Riuh lagu ulang tahun masih terdengar di setiap sudut ruangan. Suara tawa dan tangis bocah juga masih terdengar. Namun bukan dari tamu, melainkan keluarga, karena saat ini acara memang sudah hampir berakhir. Dara masih berbincang-bincang dengan Anton dan Gio sebagai pelepas rasa rindunya akan masa-masa SMA dulu. Mereka duduk agak jauh di luar ruangan, agar tidak terganggu oleh suara musik. Di sebelah Anton duduk pula istrinya yang sesekali mengalihkan perhatiannya ke arah bocah yang sedang bermain bola di dekatnya. Rania namanya, biasa dipanggil Nia, begitu katanya tadi saat berkenalan dengan Dara. Nia rupanya orang asli kota ini. Anak yang bermain bola tadi, tiba-tiba datang menjatuhkan tubuhnya di pangkuan Ibunya. Bibir kecilnya mengeluarkan sedikit rengekan, pertanda mulai mengantuk. Segera diangkatnya tubuh kecil itu, ditawa

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-18
  • YANG TAK KASAT MATA   ANAK NAKAL

    Leo melambaikan tangannya begitu melihat Dara yang baru memasuki area samping kafe. Leo memilih outdoor karena bisa langsung melihat danau yang cukup indah disini. Dara segera menghampiri Leo dan langsung duduk di depannya. Kepalanya menoleh kiri kanan memperhatikan sekitar, menyiapkan penilaian untuk tempat yang dipilih Leo itu. Dilihat dari sudut bibirnya yang terangkat ke atas, dapat dipastikan Dara menyukainya. Leo jamin itu. “Tumben sekali kau mengajakku ke tempat bagus begini.” Dara tak henti-hentinya tersenyum. Ia masih terpana oleh pemandangan di sisi danau itu. “Kau jangan pura-pura bodoh. Kau kan yang kemarin mengancamku?” Leo agak marah, tapi ia pasrah. “Apa terdengar seperti ancaman? Rasanya tidak.” Kata Dara dengan wajah t

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-19

Bab terbaru

  • YANG TAK KASAT MATA   MAAF, AKU LUPA

    Leo mencoba membuka matanya dengan susah payah. Ia melihat sekeliling. “Kau tidak menutup jendela tadi malam? Tapi rasanya sudah kututup,” ucapnya bingung. “Aku yang membukanya,” ucap Dara sambil terus memandangi Leo yang sebagian tubuhnya dikenai hangatnya sinar matahari. “Panas, Dara,” Leo tidak mengerti pikiran Dara. “Itu sehat. Matahari pagi. Hangat, kan? ” balas Dara sambil meraih handphonenya. Dan... Ckrekk... Leo geleng-g

  • YANG TAK KASAT MATA   BOROS

    Lelaki tinggi berhoodie putih itu berjalan mendekati Dara. Menarik kursi dan segera duduk. Ia tersenyum lebar menampakkan sumringahnya. “Kenapa disini?” Ia membuka percakapan dengan melihat sekeliling, bagai baru pertama duduk disana. “Kau bawa barangnya?” Alih-alih menjawab, Dara malah balik bertanya. “Bawa.” Leo mengangguk. “Memang mau kau tukar dengan apa? Awas saja kalau tidak sepadan,” ancam Leo. Dara telah menggenggam barang yang di bawanya, begitu pula dengan Leo. Namun keduanya sama-sama enggan meletakkannya di atas meja. “Untuk apa disembunyikan?” Dara

  • YANG TAK KASAT MATA   KALAU TAK DENGANMU

    Untung saja belum jauh. Leo sadar handphonenya tertinggal di dalam cafe, yang mana Dara masih ada disitu. “Berarti Dara juga tidak sadar,” pikir Leo. Tinggal beberapa langkah jarak Leo ke meja Dara. Leo penasaran, apa yang membuat Dara termenung seperti itu. Benda apa yang sedang ditatap Dara? Langkah Leo semakin dekat. Ia tak lagi peduli dengan handphonenya di atas meja. Dara tersenyum lalu berkata, “Teruntuk kau yang duduk tengadah. Bergembiralah, walau itu membuatku patah.” DEG! Leo mematung. Ia berpikir, memastikan bahwa kalimat itu adalah miliknya. “Lalu, kenapa bisa Dara memiliki benda itu?” Rutuk Leo dengan gigi tertutup. Leo duduk di depan Dar

  • YANG TAK KASAT MATA   DI RUANG SEBELAH

    “Waowh..!” Pekik Leo melihat orang yang berdiri di pintu kamarnya. “Kakak bilang tidak akan pulang malam ini?” Wajah Leo terlihat bingung. “Mandilah. Aku sudah buatkan sarapan.” Balas Gio tanpa menjawab pertanyaan Leo. Leo yang merasa suasana itu agak aneh segera menuruti perintah kakaknya. Leo tahu ada yang ingin disampaikan kakaknya itu. Ia takut kalau-kalau dirinya ada berbuat salah. Maka tak lebih dari sepuluh menit, Leo sudah siap di meja makan. “Makanlah dulu.” Gio menyodorkan sepiring nasi goreng pada Leo. “Langsung saja. Kakak ingin bicara apa?” &

  • YANG TAK KASAT MATA   BAGAIMANA ADIKKU?

    “Melamar? Omong kosong dari mana itu?” Kening Dara berkerut mengingat ucapan Anton tempo hari. Namun tiba-tiba ia menyadari sesautu, ucapan Anton sangat perlu dipertanyakan. Sedang Gio tak pernah menunjukkan tanda apapun. Atau jangan-jangan selama ini Gio memang telah banyak membahas Dara bersama Anton? “Mungkin aku terlalu percaya diri.” Dara mengakhiri pikirannya yang mulai melanglang buana. *** Langkah Dara seketika terhenti begitu membuka pintu ruang divisi mereka. Di ujung sana Gio jug

  • YANG TAK KASAT MATA   DIAPUN TAK MEMILIKINYA LAGI

    Masa kini... Leo memperhatikan sebuah foto yang disodorkan Dara. Hanya melihatnya sebentar, kepalanya telah mengangguk-angguk menjawab pertanyaan Dara tentang keindahan tempat itu. “Oke. Jadi akhir pekan ini kita akan camping disitu,” sorak Dara. “Kau harus ikut, ya!” Tambah Dara lagi sambil berlalu. Leo hanya diam. Sebenarnya ia ingin, namun ia merasa akhir-akhir ini terlalu banyak bergabung pada lingkaran kakaknya. Memang tidak ada yang melarang ataupun keberatan. Namun, tetap saja membuatnya bimbang.*** Bukan tempat yang terlalu terkenal di kota ini, tapi keindahannya tak kalah memanjakan mata. Sebab tak banyak dikenal orang, maka menjadi keuntungan tersendiri. Mereka jadi bisa menikmati pemandangan dengan lebih

  • YANG TAK KASAT MATA   KAU LAGI

    Dara telah menetapkan pilihannya untuk bekerja pada penerbit ini. Apa pula yang harus di tunggu. Ia suka serta modalnya cukup. Ya, kemampuan akan bahasa asingnya memang sangat mumpuni. Sudah lebih dari cukup untuk melengkapi syarat sebagai penerjemah di penerbit itu. Dan hari ini adalah hari pertamanya bekerja setelah seminggu yang lalu ia melakukan wawancara. “Dara.” Suara seorang lelaki mendekati meja Dara. Dara yang mengira itu adalah suara atasan atau seniornya segera bangkit dari kursi. “Kita bertemu kembali.” Kata suara itu lagi. Dara terdiam sejenak sebelum memastikan wajah dari pemilik suara itu. Karena seingatnya, ia tak memiliki kenalan di tempat ini. Dara sedikit melotot menatap orang itu. Tak butuh waktu lama bagi Dara untuk mengingat wajahnya. “Kamu?” Uca

  • YANG TAK KASAT MATA   PERTEMUAN PERTAMA

    Cuaca yang amat terik memaksa Dara duduk sejenak untuk melemaskan otot kakinya yang mati rasa. Diteguknya minuman dingin yang baru ia beli hingga tersisa setengah. Tahun kedua di kuliahnya ini sangat sibuk. Setiap hari tak pernah luput dari tugas yang silih berganti. Belum lagi tugas ini bukan tugas yang bisa dikerjakan dengan tenang di kamar sendiri. Seperti tugas kali ini, menyebar kuesioner yang tentu saja diikuti dengan pengolahan datanya. Tersisa satu lembar kuesioner lagi. Namun kaki Dara terasa semakin berat. Dengan susah payah ia menegakkan tubuhnya demi dilihatnya hari yang semakin mendung. Ia tak ingin kehujanan seelum sampai di rumah. Seseorang yang duduk sendiri di toserba tempat ia membeli minum telah menjadi targetnya. Darapun berjalan mendekatinya.&

  • YANG TAK KASAT MATA   DUA LELAKI YANG CEMBURU

    Gio memulai tahun pertamanya di bangku kuliah, yang mana berarti Leo telah duduk di bangku kelas tiga SMA. Dengan beasiswa yang ia dapatkan, maka ia bisa tetap membantu ayahnya menjaga toko buku. Ia tidak harus mencari pekerjaan lain seperti yang ia rencanakan jika tidak mendapat beasiswa. Nilai-nilainya yang tinggi di sekolah juga sangat membantu. Menjadi anak kuliahan tentu membawa banyak perubahan untuk Gio, terlebih waktu yang dimilikinya bersama keluarga. Jika saat SMA saja Gio sudah cukup sibuk, maka saat ini Gio sangat sibuk. Ayahnya mungkin tak terlalu merasakan perbedaannya, karena sejak masih SMA pun dalam kesehariannya ia tak banyak menghabiskan waktu dengan Gio. Pagi-pagi Gio sudah berangkat ke sekolah bersama Leo dan saat pergantian shift menjaga toko, barulah ayahnya bisa bertemu Gio. Kemudian saat malam har

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status