Dara menatap keluar jendela kafe. Menatap kosong pada orang yang berlalu-lalang. Apa yang sedang ia pikirkan? Sebagian kecil penasaran tentang apa yang akan Firman bicarakan, sebagaian yang lain adalah kebingungan tentang dirinya sendiri. Kenapa ia bisa sesenang itu bertemu Firman disaat ia masih kesal dengan sikap Gio yang benar-benar tidak peduli. Pertanyaan sebenarnya adalah, benarkah ia merasa senang? Mungkinkah, pelampiasan?
Dara menggeleng, menepis pikirannya. Pelampiasanpun tidak boleh. Andai saja ia bisa meralat ekspresi girangnya kemarin. Sayang sudah terlihat oleh beberapa temannya termasuk Leo. “Tidak boleh menyukai Firman. Kau mana tahu, jangan-jangan dia sudah punya istri.” Ucapnya dalam hati.
Firman yang baru datang menatap Dara dengan aneh.
“Kenapa Dara?” Tanya Firman.
“Tidak apa-apa, Kak.” Jawab Dara sambil membenarkan duduknya.
Firman memanggil waiter untuk memesan minuman kemudian melanjukan bicaranya. “Begini Dara, ini tentang novel Dua Hujan itu. Karena kau tidak ikut dalam persiapannya maka kau pasti tidak tahu apa isinya.” Jelas Firman pada Dara. Dara hanya menatap Firman, menunggu inti dari pembicaraan Firman.
“Aku tidak tahu kau ingat atau tidak. Dulu saat aku kelas 2 SMA dan kau kelas 1, aku pernah menumpang di payungmu menuju sekolah saat hari hujan. Kau ingat?”
“Ya, ingat.” Jawab Dara berusaha sesantai mungkin.
“Dua Hujan tentang peristwa itu Dara, tentang kau.” Kata Firman lagi, menatap Dara menunggu reaksinya.
Dara diam sejenak. Menertawai dirinya sendiri dalam hati. Ia sudah lama bercita-cita menuliskan peristiwa itu ke dalam sebuah novel atau paling tidak cerpen, tapi ternyata didahului oleh tokoh yang lain. “Wah, aku jadi penasaran bagaimana isinya. Baru kali ini ada yang menjadikanku tokoh dalam novel.” Kata Dara. Entah ia merasa senang atau takut. Senang, karena peristiwa itu tidak bersarang di kepalanya saja. Takut, kalau-kalau keinginannya menjadi kenyataan, yang mana saat ini ia tidak tahu apakah masih menginginkannya atau tidak. Apakah Firman juga menyukai Dara? Ia sampai menuliskannya dalam novel. Dara seperti berdiri di depan sebuah tabir. Ia tinggal maju sedikit saja maka ia akan tahu jawaban atas pertanyaan tadi.
“Tentunya ada banyak pengubahan, tapi hari hujan itu—pertemuan kita itu, menjadi peristiwa penting di dalam novelku. Bisa dibilang itu adalah akar cerita.” Jelas Firman lagi. “Novel disitu menggunakan sudut pandangku, dan ‘aku’ disitu, menyukaimu.” Kata Firman tersenyum, lagi-lagi menunggu reaksi Dara.
Sungguh, jika Firman tidak menekankan kata ‘aku’ pada kalimatnya yang terakhir, maka Dara akan menjadi salah dengar, salah paham. Dara memahami tujuan Firman. Ia ingin meminat izin pada Dara.
Dara sadar, tabir itu telah terbuka. Apa ia akan meminta izin seformal ini jika ia menyukainya? Tidak. Jika ia memang menyukai Dara, ia akan merilis novel ini tanpa meminta izin sebagai pengakuan cintanya yang antimainstream. Lalu memberi Dara satu untuk dibacanya hingga selesai dan menunggu reaksi Dara apakah Dara juga mengingat peristiwa itu. Kalau Dara tak ingat maka akan diungkitnya secara pelan-pelan, sampai Dara benar-benar sadar maksudnya. Tapi bukan itu yang Firman lakukan sekarang. Aku tak perlu merasa senang atau takut, pikir Dara.
Dara hanya mengangguk-angguk menanggapi kalimat Firman yang terakhir. Ia sendiri tidak sadar berapa lama ia berpikir, seberapa terlambat ia memberikan reaksi.
“Jadi, aku ingin meminta izin. Apakah boleh? Dan, perasaanku disitu adalah fiksi. Satu-satunya yang nyata adalah peristiwa hujan itu.”
“Kakak takut aku salah paham?” Kata Dara tersenyum. Ia tidak percaya bisa mengeluarakan kalimat itu. “Ya, tentu saja boleh. Aku tidak ada masalah.” Jawab Dara, mencoba memberikan jawaban yang paling Firman inginkan.
“Oke, kalau begitu. Terima kasih, Dara. Sebelum bertemu denganmu, kupikir tidak masalah kau tahu atau tidak. Tapi karena saat ini kita ada di satu tempat, saling bertemu pula, maka kupikir lebih baik kalau kau tahu.” Tutup Firman.
“Tapi seandainya kita tidak bertemu disini, dan novel itu rilis. Bukankah tetap ada kemungkinan novel itu sampai di tanganku. Tetap ada kemungkinan aku salah paham, kan?”
“Ya, Benar.”
“Bagaimana kalau kita tidak pernah bertemu dan aku benar-benar salah paham. Aku mengira kakak menyukaiku.”
“Maka aku berharap kau akan berpikir kalau itu dari pengalamanku yang lain.” Kata Firman tanpa menatap Dara, sadar jawabannya bukan jawaban sempurna untuk pertanyaan Dara.
“Oke, Kak. Terima kasih penjelasannya.” Jawab Dara tersenyum. Kini senyumnya senyum yang tulus, bersyukur bahwa orang di depannya sangat peduli akan perasaannya.
“Tidak, aku yang harusya berterima kasih Dara.”
“Sukses untuk novelnya, Kak.”
“Terima kasih. Hm, aku harus pergi sekarang. Terima kasih atas waktunya, Dara.”
“Sama-sama. Hati-hati, Kak.”
“Lain kali kita harus makan bersama Leo dan Gio. Mereka juga sangat banyak membantuku.” Kata Firman sambil berdiri meninggalkan kursinya, kemudian melambai ke arah Dara. Dara hanya tersenyum mendengar kalimat terakhir Firman.
***
Seperti ada pertanyaan yang telah terjawab. Sebuah memori yang telah benar-benar menjadi kenangan indah untuk dikenang. Lega, namun sedikit hampa. Apakah Dara berharap pada Firman? Melihat dari bagaimana kepekaan Gio terhadapnya, itu bisa saja. Sekeras apapun ia melawan tak boleh ada pelampiasan, hal itu tetap terjadi.
Seberapa spesial Gio di mata Dara, sampai ia terkesan sangat setia menunggunya? Hampir sama seperti hubungannya dengan Leo saat ini. Mereka sering menghabiskan waktu bersama, sering bertukar pikir, mempunyai kegemaran yang sama pula dan mendaftar di ekstrakurikuler yang sama yaitu “English Club” membuat mereka semakin dekat saja. Diberbagai kesempatan mereka sering tampil bersama sebagai kelompok, entah di dalam klub atau festival sekolah.
Semua orang tahu mereka serasi, saling melengkapi. Dara yang terbuka dan ceria, sedangkan Gio cenderung dingin dan tertutup. Sangat berlainan dengan kepribadian mereka saat ini. Perubahan itulah yang membuat mereka sulit memulai kembali keakraban seperti dulu. Entah sejak kapan hal ini bermula. Tapi samar-samar Dara ingat, hari dimana Gio berbeda dari biasanya. Waktu itu Dara sedikit heran, namun tidak terlalu ia hiraukan, hingga keesokan harinya Dara mendapat kabar bahwa Gio pindah keluar kota.
Masih jelas di kepala Dara, saat ia mengabarkan lomba itu kepada Gio, sembilan tahun yang lalu.
“Kak, kita ikut lomba ini ya,” kata Dara antusias menunjukkan poster di mading sekolah.
“Lomba apa?” Gio hanya memandang poster itu, terlihat malas menyimpulkan isinya sendiri.
“English Dubbed Movie,” jawab Dara, masih terdengar antusias. “Kita harus cepat mendaftar, karena peminatnya banyak. Nanti aku akan mencari film apa yang akan kita dubbing,” katanya lagi sambil berjalan meninggalkan Gio duluan. Gio masih memandangi mading itu, lalu kembali berjalan setelah dipanggil oleh Dara
Keeseokan harinya di kelas Gio.
“Wah, ikut juga kau ternyata?” kata Anton, teman sekelas Gio, sambil duduk menghampirinya,
“Ikut apa?” Jawab Gio mengerutkan dahi.
“Ini, English Dubbed Movie. Kukira kau tidak ikut, beberapa hari ini kau terlihat tidak semangat.”
Gio hanya terdiam. ”Rupanya Dara langsung mendftarkanku. Anton saja mengerti, kenapa Dara tidak,” pikirnya. Kemudian Gio tersenyum kecut, merasa aneh dengan dirinya yang mengharapkan kepekaan seorang gadis, karena biasanya perempuan yang seperti itu. Tapi ia benar-benar tidak bisa menahan kesalnya kepada Dara. Ia sampai mengabaikan pesan Dara untuk bertemu di perpustakaan.
Dara berjalan sendiri di depan kantin dan tidak sengaja berpapasan dengan Anton.
“Kak Anton, nanti tolong sampaikan pada Kak Gio kalau aku menunggu di perpustakaan,” kata Dara menghentikan langkah Anton.
Anton yang diajak bicara hanya menatap Dara dengan bingung. “Kau tidak tahu Gio pindah?” tanya Anton.
“Pindah apa?” Dara balik bertanya.
“Pindah rumah, pindah sekolah, dan pindah pulau.” jelas Anton. Wajahnya terlihat putus asa sedangkan Dara masih mencerna kata-kata Anton.
“Dia tidak ada memberitahuku.”
“Kupikir kau tahu.” Kata Anton lagi.
“Siapa yang memberi kabar?” Dara terus bertanya.
“Ayahnya kepada wali kelas kami, lewat telepon.”
“Tanpa berpamitan?”
“Tadi malam, hanya lewat grup kelas, tapi kami tidak sempat bertemu.” jawab Anton lemah.
Dara terdiam. Tidak percaya. “Inikah sebabnya ia tidak bisa dihubungi semalam? Apakah terjadi sesuatu? Tapi kenapa tidak memberiku kabar? Atau aku ada melakukan kesalahan?” pikir Dara masih menerka-nerka.
***
Seminggu setelah kepergian Gio, Dara selalu mencoba menghubungi Gio. Kapanpun dikala Dara sempat, pagi hari saat bangun tidur, pada jam istirahat, sepulang sekolah, sore hari, sampai malam sebelum tidur Dara selalu mencoba menghubungi Gio. Tersambung, tapi tidak diangkat.
Entah hari keberapa setelah kepergian Gio, Dara sama sekali tidak sempat menghubunginya, dan keesokan harinya saat ia mencoba menghubungi kembali, tidak tersambung. Suara dari handphone Dara menunjukkan kalau Gio telah berganti nomor. Dara menghela napas berat setelah mengetahui hal ini, “Kepada siapa aku harus bertanya?” Pikirnya. Benarkah telah benar-benar kehilangannya?
Tok...tok... “Kak Anton?” Panggil Dara di depan kamar Anton. Pintu terbuka dari dalam. Si pembuka pintu menampakkan wajahnya. Dahi Dara berkerut, wajahnya sempurna menunjukkan ekspresi bingung. “Apa aku salah rumah?” pikirnya. “Anton sedang keluar.” Kata orang itu. “Oh, dia hanya bertamu,” katanya dalam hati. “Oh, ya. Aku tunggu diluar saja.” Kata Dara lagi yang hanya dibalas dengan anggukkan oleh lawan bicaranya. Darapun segera menuju teras, menunggu Anton pulang. Selang berapa menit, “Dara?” Sapa Anton. “Eh, Kak. Ini aku mau mengembalikan
Dua minggu setelah novel Dua Hujan rilis. “Leo...” Sebuah kepala menyembul dari belakang Leo, menampakkan wajahnya yang penuh siasat. “Temani aku, yuk!” “Kemana?” Leo menjawab sambil terus fokus memasukkan barang-barang ke dalam ranselnya untuk dibawa pulang. “Ikut saja.” Si pembuat pertanyaan tak memerdulikan jawaban Leo. Ia langsung berlari keluar kantor dengan menganggap Leo akan membuntuti langkahnya. Dan benar saja. Tanpa membantah, Leo mengekor di belakang Dara. Ia naik bis yang sama dengan Dara, dan turun dimana Dara memilih untuk turun, hingga akhirnya mereka masuk ke sebuah toko buku. Leo hanya mengikuti langkah Dara yang terlihat serius menyusuri rak demi rak buku. “Nah, ini dia.” Seru Dara sembari menarik sebuah buk
Hari masih sangat pagi. Dara berniat masuk ke ruangan manajernya—Gio, untuk meletakkan beberapa berkas yang diminta Gio kemarin. Tepat di depan pintu, Dara berhenti sebentar melihat pintu yang terbuka sedikit. Ruangan yang dikiranya kosong ternyata sudah dimasuki oleh empunya. Dan tak hanya sendiri, Gio sedang bercakap-cakap dengan seseorang.“Oh, Firman.” Pikirnya. Tanpa sadar Dara mencoba mencuri dengar apa yang mereka bicarakan. Sebab Dara tidak tahu dengan pasti bagaimana persisnya hubungan mereka. Dara hanya tahu anak yang dekat dengan Gio adalah Anton.“Jadi kau tidur di rumah adikmu lagi malam tadi?” Firman memutar-mutar kursi yang didudukinya di depan Gio.“Hah, Gio punya adik?” Dara semakin memfokuskan pendengarannya.“Ya, kasihan dia kutinggal terus. Lagipula ada yang ingin kudiskusikan dengannya.”“Hmm, terdengar familiar.” Pikir Dara.“Dia bukan a
Dara sengaja mengambi arah yang berbeda dengan Gio, menacari sendiri apa yang ingin mereka beli. Sebab jika tidak begitu, rasanya akan seperti suami istri yang mencari satu kado. Sedang mereka berniat membeli masing-masiing. Anak Anton laki-laki. Ini adalah ulang tahunnya yang ke-2. Sekitar lima belas menit berputar-putar di bagian pakaian, Dara masih juga bingung pakaian mana yang harus ia ambil. Walau sudah melihat fotonya, tetap saja ada keraguan. Takut ukurannya tidak pas. Akhirnya Dara putuskan mengambil yang ukurannya sedikit lebih besar. Kalau tidak muat sekarang, maka bisa dipakai nanti. Iapun membawa barang pilihannya menuju kasir. Terlihat Gio baru saja selesai dengan urusan kadonya, bahkan telah menjadi bingkisan cantik siap untuk diserahkan. Laki-laki memang praktis. Gio lalu mengisyaratkan kepada Dara bahwa ia akan menunggu di luar. &n
Riuh lagu ulang tahun masih terdengar di setiap sudut ruangan. Suara tawa dan tangis bocah juga masih terdengar. Namun bukan dari tamu, melainkan keluarga, karena saat ini acara memang sudah hampir berakhir. Dara masih berbincang-bincang dengan Anton dan Gio sebagai pelepas rasa rindunya akan masa-masa SMA dulu. Mereka duduk agak jauh di luar ruangan, agar tidak terganggu oleh suara musik. Di sebelah Anton duduk pula istrinya yang sesekali mengalihkan perhatiannya ke arah bocah yang sedang bermain bola di dekatnya. Rania namanya, biasa dipanggil Nia, begitu katanya tadi saat berkenalan dengan Dara. Nia rupanya orang asli kota ini. Anak yang bermain bola tadi, tiba-tiba datang menjatuhkan tubuhnya di pangkuan Ibunya. Bibir kecilnya mengeluarkan sedikit rengekan, pertanda mulai mengantuk. Segera diangkatnya tubuh kecil itu, ditawa
Leo melambaikan tangannya begitu melihat Dara yang baru memasuki area samping kafe. Leo memilih outdoor karena bisa langsung melihat danau yang cukup indah disini. Dara segera menghampiri Leo dan langsung duduk di depannya. Kepalanya menoleh kiri kanan memperhatikan sekitar, menyiapkan penilaian untuk tempat yang dipilih Leo itu. Dilihat dari sudut bibirnya yang terangkat ke atas, dapat dipastikan Dara menyukainya. Leo jamin itu. “Tumben sekali kau mengajakku ke tempat bagus begini.” Dara tak henti-hentinya tersenyum. Ia masih terpana oleh pemandangan di sisi danau itu. “Kau jangan pura-pura bodoh. Kau kan yang kemarin mengancamku?” Leo agak marah, tapi ia pasrah. “Apa terdengar seperti ancaman? Rasanya tidak.” Kata Dara dengan wajah t
Tiga orang pegawai kantor sedang duduk di kafe langganannya. Mereka sibuk menyeruput minuman masing-masing. Kafe sangat sepi. Entah kemana pelanggan-pelanggan setia mereka. Padahal di luar cuaca sangat panas. Harusnya mereka duduk disini sambil menikmati barang segelas es kopi. Begitu pikir tuan pemilik kafe. Dua orang pria dan seorang wanita. Siapa lagi kalau bukan Gio, Leo, dan Dara. Belum ada obrolan yang berarti. Barangkali karena salah satu atau beberapa di antaranya masih canggung. Harusnya tidak, bukan? “Kakak menunggu siapa?” Leo heran melihat Gio yang celingak-celinguk. “Ayahnya Bhara.” Gio menjawab sekadarnya. “Harusnya dia sudah disini.” Katanya lagi sambil terus menatap keluar.&nb
“Are you okay?” Leo datang menghampiri Dara yang duduk sendirian. Ia memandang ke arah yang sama dengan Dara, menyaksikan dua insan yang sangat berbahagia hari ini. Dara hanya melihat Leo sebentar. Kemudian tersenyum kecil lalu mengangguk. “Asal kau tahu, hari ini aku tulus berbahagia.” Dara bicara tanpa menatap Leo. “Ya, aku tahu, dan aku lega.” Jawab Leo. Ia sebaliknya. Ia berbicara sambil memandang Dara dengan cermat. “Lega karena?” Tanya Dara bingung. “Karena berkurang satu beban di hatimu.” Jawab Leo tersenyum.&nbs
Leo mencoba membuka matanya dengan susah payah. Ia melihat sekeliling. “Kau tidak menutup jendela tadi malam? Tapi rasanya sudah kututup,” ucapnya bingung. “Aku yang membukanya,” ucap Dara sambil terus memandangi Leo yang sebagian tubuhnya dikenai hangatnya sinar matahari. “Panas, Dara,” Leo tidak mengerti pikiran Dara. “Itu sehat. Matahari pagi. Hangat, kan? ” balas Dara sambil meraih handphonenya. Dan... Ckrekk... Leo geleng-g
Lelaki tinggi berhoodie putih itu berjalan mendekati Dara. Menarik kursi dan segera duduk. Ia tersenyum lebar menampakkan sumringahnya. “Kenapa disini?” Ia membuka percakapan dengan melihat sekeliling, bagai baru pertama duduk disana. “Kau bawa barangnya?” Alih-alih menjawab, Dara malah balik bertanya. “Bawa.” Leo mengangguk. “Memang mau kau tukar dengan apa? Awas saja kalau tidak sepadan,” ancam Leo. Dara telah menggenggam barang yang di bawanya, begitu pula dengan Leo. Namun keduanya sama-sama enggan meletakkannya di atas meja. “Untuk apa disembunyikan?” Dara
Untung saja belum jauh. Leo sadar handphonenya tertinggal di dalam cafe, yang mana Dara masih ada disitu. “Berarti Dara juga tidak sadar,” pikir Leo. Tinggal beberapa langkah jarak Leo ke meja Dara. Leo penasaran, apa yang membuat Dara termenung seperti itu. Benda apa yang sedang ditatap Dara? Langkah Leo semakin dekat. Ia tak lagi peduli dengan handphonenya di atas meja. Dara tersenyum lalu berkata, “Teruntuk kau yang duduk tengadah. Bergembiralah, walau itu membuatku patah.” DEG! Leo mematung. Ia berpikir, memastikan bahwa kalimat itu adalah miliknya. “Lalu, kenapa bisa Dara memiliki benda itu?” Rutuk Leo dengan gigi tertutup. Leo duduk di depan Dar
“Waowh..!” Pekik Leo melihat orang yang berdiri di pintu kamarnya. “Kakak bilang tidak akan pulang malam ini?” Wajah Leo terlihat bingung. “Mandilah. Aku sudah buatkan sarapan.” Balas Gio tanpa menjawab pertanyaan Leo. Leo yang merasa suasana itu agak aneh segera menuruti perintah kakaknya. Leo tahu ada yang ingin disampaikan kakaknya itu. Ia takut kalau-kalau dirinya ada berbuat salah. Maka tak lebih dari sepuluh menit, Leo sudah siap di meja makan. “Makanlah dulu.” Gio menyodorkan sepiring nasi goreng pada Leo. “Langsung saja. Kakak ingin bicara apa?” &
“Melamar? Omong kosong dari mana itu?” Kening Dara berkerut mengingat ucapan Anton tempo hari. Namun tiba-tiba ia menyadari sesautu, ucapan Anton sangat perlu dipertanyakan. Sedang Gio tak pernah menunjukkan tanda apapun. Atau jangan-jangan selama ini Gio memang telah banyak membahas Dara bersama Anton? “Mungkin aku terlalu percaya diri.” Dara mengakhiri pikirannya yang mulai melanglang buana. *** Langkah Dara seketika terhenti begitu membuka pintu ruang divisi mereka. Di ujung sana Gio jug
Masa kini... Leo memperhatikan sebuah foto yang disodorkan Dara. Hanya melihatnya sebentar, kepalanya telah mengangguk-angguk menjawab pertanyaan Dara tentang keindahan tempat itu. “Oke. Jadi akhir pekan ini kita akan camping disitu,” sorak Dara. “Kau harus ikut, ya!” Tambah Dara lagi sambil berlalu. Leo hanya diam. Sebenarnya ia ingin, namun ia merasa akhir-akhir ini terlalu banyak bergabung pada lingkaran kakaknya. Memang tidak ada yang melarang ataupun keberatan. Namun, tetap saja membuatnya bimbang.*** Bukan tempat yang terlalu terkenal di kota ini, tapi keindahannya tak kalah memanjakan mata. Sebab tak banyak dikenal orang, maka menjadi keuntungan tersendiri. Mereka jadi bisa menikmati pemandangan dengan lebih
Dara telah menetapkan pilihannya untuk bekerja pada penerbit ini. Apa pula yang harus di tunggu. Ia suka serta modalnya cukup. Ya, kemampuan akan bahasa asingnya memang sangat mumpuni. Sudah lebih dari cukup untuk melengkapi syarat sebagai penerjemah di penerbit itu. Dan hari ini adalah hari pertamanya bekerja setelah seminggu yang lalu ia melakukan wawancara. “Dara.” Suara seorang lelaki mendekati meja Dara. Dara yang mengira itu adalah suara atasan atau seniornya segera bangkit dari kursi. “Kita bertemu kembali.” Kata suara itu lagi. Dara terdiam sejenak sebelum memastikan wajah dari pemilik suara itu. Karena seingatnya, ia tak memiliki kenalan di tempat ini. Dara sedikit melotot menatap orang itu. Tak butuh waktu lama bagi Dara untuk mengingat wajahnya. “Kamu?” Uca
Cuaca yang amat terik memaksa Dara duduk sejenak untuk melemaskan otot kakinya yang mati rasa. Diteguknya minuman dingin yang baru ia beli hingga tersisa setengah. Tahun kedua di kuliahnya ini sangat sibuk. Setiap hari tak pernah luput dari tugas yang silih berganti. Belum lagi tugas ini bukan tugas yang bisa dikerjakan dengan tenang di kamar sendiri. Seperti tugas kali ini, menyebar kuesioner yang tentu saja diikuti dengan pengolahan datanya. Tersisa satu lembar kuesioner lagi. Namun kaki Dara terasa semakin berat. Dengan susah payah ia menegakkan tubuhnya demi dilihatnya hari yang semakin mendung. Ia tak ingin kehujanan seelum sampai di rumah. Seseorang yang duduk sendiri di toserba tempat ia membeli minum telah menjadi targetnya. Darapun berjalan mendekatinya.&
Gio memulai tahun pertamanya di bangku kuliah, yang mana berarti Leo telah duduk di bangku kelas tiga SMA. Dengan beasiswa yang ia dapatkan, maka ia bisa tetap membantu ayahnya menjaga toko buku. Ia tidak harus mencari pekerjaan lain seperti yang ia rencanakan jika tidak mendapat beasiswa. Nilai-nilainya yang tinggi di sekolah juga sangat membantu. Menjadi anak kuliahan tentu membawa banyak perubahan untuk Gio, terlebih waktu yang dimilikinya bersama keluarga. Jika saat SMA saja Gio sudah cukup sibuk, maka saat ini Gio sangat sibuk. Ayahnya mungkin tak terlalu merasakan perbedaannya, karena sejak masih SMA pun dalam kesehariannya ia tak banyak menghabiskan waktu dengan Gio. Pagi-pagi Gio sudah berangkat ke sekolah bersama Leo dan saat pergantian shift menjaga toko, barulah ayahnya bisa bertemu Gio. Kemudian saat malam har