Semua Bab BUKAN IPAR SEMBARANGAN: Bab 41 - Bab 47

47 Bab

Bab 41

Pov 3“R—Ratna … K—kamu bener ‘kan, Ratna?” Arunika, Mas Wisnu dan Mami Ratna menoleh. Rupanya Papa Hutama nekat datang dengan susah payah. Dia menggerakkan kursi roda dengan tangannya yang masih normal.Suara itu, tak banyak berubah. Mami Ranta mematung kaku menatap sepasang mata yang dulu, pernah menghujani dengan tatapan penuh cinta itu. Sepasang bibirnya terkatup rapat seiring dengan gelengan kepala yang reflek. “K--Kamu m--masih hidup?” Suara Papa Hutama bergetar. Jaraknya tak berubah. Dia pun masih berdiam di tempatnya yang tadi. Mami Ratna menggeleng kepala cepat. Namun, tak ada satu patah kata pun terlontar dari bibirnya untuk menjawab. Dia menetralkan degub jantung yang bergemuruh. Degub itu bukan karena hadirnya rasa cinta, tetapi lebih kepada rasa sesak, benci dan segumpal perasaan kecewa. Lalu, bayangan-bayangan adegan menyakitkan itu kembali berlarian dalam benak Mami Ratna. Bagaimana Papa Hutama yang begitu tega menuduhnya gi-la, lalu memasukkannya ke rumah sakit jiwa
Baca selengkapnya

Bab 42

Mobil yang dikendarai Mama Rida melesat kencang. Dia menyetir dengan tujuan pasti yaitu satu tempat yang sudah dijanjikan. Rasa bencinya pada Berry, benar-benar membuatnya nekat. Kedatangan Berry kali ini, sudah menghancurkan seluruh hidupnya yang selama ini baik-baik saja. Dia harus kehilangan suami yang selama ini jadi pohon uangnya, kedua anaknya harus kehilangan hak warisnya dan kini dia menjadi janda setelah mendapat talak tiga. “Kamu harus lenyap Berry! Kau buat aku hancur, kamu harus membayar lebih dahsyat!” Setelah puluhan menit berkendara, mobil yang dipacu oleh Mama Rida akhirnya tiba di tempat yang dijanjikan, sebuah gudang kosong di tepi area pasar lama yang sudah tak digunakan. Sebuah mobil lain tampak terparkir di sana. Mama Rida tak langsung keluar, dia menghubungi dulu orang itu. “Saya sudah sampai, Bang!” “Ya, saya lihat! Saya di mobil warna hitam di depan kamu! Bawa uangnya ke sini!” Suara itu terdengar memerintah. Mama Rida tergesa keluar dan membawa koper keci
Baca selengkapnya

Bab 43

Pagi itu, Mami Ratna tengah menyirami tanaman. Berada satu atap dengan lelaki masa lalu yang sudah menorehkan rasa pahit, nyeri dan segala trauma yang memilukan, membuat kondisinya kembali murung. Kini, dia selalu mencari kegiatan agar terhindar dari rongrongan Papa Hutama. Pernah berniat untuk kembali ke Bandung, tapi Maz Wisnu melarangnya. Pagi itu, dia tengah menyibukkan diri dengan kegiatan yang bisa sedikit mengalihkan pikirannya itu. Namun, suara derit kursi roda, terdengar mendekat. Mami Ratna menoleh, tampak Bi Asih tengah mendorong kursi roda Papa Hutama. Sepasang mata mereka, bersirobok sebentar, hingga akhirnya, Mami Ratna membuang muka. Dia berpindah menyirami tanaman lainnya yang agak jauh dengan lokasi Papa Hutama berjemur. Mami Ratna yang merasa tak nyaman berniat menyegerakan menyirami tanaman-tanaman bunga itu, tetapi suara Papa Hutama keburu membuat langkahnya yang hendak pergi terhenti.“Ratna … boleh bicara?” Mami Ratna menoleh, memindai sekilas wajah Papa Hutam
Baca selengkapnya

Bab 44

“Mami, Mami mau ke mana?” Aku terkejut ketika tiba-tiba Mami Ratna muncul mengikuti Bi Asih dengan membawa ransel besar. Wajahnya tampak sekali tak bersemangat seperti biasa. “Pesankan Mami mobil, Nika. Mami mau pulang ke Bandung.” Aku dan Mas Wisnu saling tukar pandang. Wajah Mas Wisnu yang sejak tadi sudah merah padam makin tegang. Aku tahu, dia sedang kesal. Kuusap bahunya pelan-pelan, hingga dia menarik napas panjang dan menghembuskannya. Bahunya perlahan turun dan wajahnya tampak lebih tenang sekarang. “Papa … mintalah maaf pada Mami! Di sini yang salah itu Papa dan Mama Rida. Mintalah maaf padanya. Ucapan-ucapan Papa sepertinya membuat Mami merasa terluka.” Mas Wisnu bicara dengan nada rendah. Namun, wajah Papa Hutama kali ini tampak memberengut tak senang.“Papa gak bersalah, Wisnu. Perempuan itulah yang diam-diam menduakan Papa, dulu dia sering ketemuan dengan lelaki lain di belakang Papa. Asal kamu tahu, Wisnu, dia itu dulu pemakai … mereka sering bersenang-senang berdua
Baca selengkapnya

Bab 45

Pov 3Papa Hutama duduk tepekur mendengar penjelasan Bi Narti. Dunianya seperti dijungkirbalikkan. Tiba-tiba saja, semua fakta berjejalan memenuhi kelopak matanya, pendengarannya dan terasa menjejal menyumbat dadanya. “Kenapa Bi Narti diam saja selama ini?” Papa Hutama menatap perempuan paruh baya itu. Bi Narti tampak membasahi bibirnya dan menatap takut-takut sebelum menjawab. “Maaf, Tuan! Mungkin Tuan lupa, dulu Bibi pernah mengingatkan, tetapi Tuan bilang … Bibi ini hanya pembantu, tak perlu ikut campur urusan majikan!” Papa Hutama memijit pelipisnya. Dia ingat, ingat betul. Dia tak suka orang lain ikut campur atas keputusannya. “Ya, sorry, sorry … dulu, entah kenapa saya begitu bod*h, selalu saja percaya pada apa yang dikatakan Rida.” Papa Hutama menghela napas kasar. Saat semua sudah terang benderang, bahkan yang tertinggal hanya sesal. Urusan syahwat yang menggila sewaktu muda dan terpenuhi oleh keliaran Mama Rida membuatnya bertekuk lutut. Apalagi, memang perempuan itu sel
Baca selengkapnya

Bab 46

Sore itu, aku sedang duduk bersandar pada kursi di teras rumah. Baru saja aku selesai melakukan video call dengan Mama dan Papa. Sebentar lagi, usia kandunganku memasuki empat bulan. Mereka tengah bersiap-siap untuk ke sini pas acara nanti. Mami Ratna, seperti biasa, dia senang sekali menyirami tanaman. Meskipun Bi Asih sudah berulang kali melarangnya. Namun, Mami Ratna bersikeras. Dia bosan, katanya. Jadi setiap pagi dan sore, dia rutin Aku masih duduk berselonjor ketika mobil yang kukenali berhenti di depan gerbang. Mami Ratna menoleh lalu berjalan dan membukakan pintu. Lalu, lelaki yang akhir-akhir ini sering banget datang pun turun. Mereka mengobrol sebentar lalu mendekat ke arahku. Sementara itu, Mami Ratna beranjak ke dalam. “Sore Pak Benny! Sehat, Pak!” “Sore, Bu Nika! Alhamdulilah sehat.” “Silakan duduk, Pak. Hmmm ada perlu sama Mas Wisnu, ya? Dia belum pulang ngantor sebetulnya.” “Ahm baik, Bu Nika, terima kasih. Oh iya, Bu Nika … begini … saya ada perlu sebetulnya sama
Baca selengkapnya

Bab 47 - End

Mami Ratna yang sudah mangayun langkah, mau tak mau berhenti. Dia menatap wajah panik Mas Wisnu dan Arunika yang membopong Papa Hutama. Melihat wajah panik itu, hati Mami Ratna tak tega. Dia pun menoleh pada Pak Benny dan bicara. “Pak Benny, sepertinya saya tak jadi ke Bandung. Mohon maaf kalau saya ambil kesempatan tadi.” “M--Maksud Bu Ratna?” “Saya gak jadi pulang, Pak.” “Ya sudah gak apa. Lain kali saja. Saya juga gak terburu-buru, lagipula kita belum lama saling mengenal. Sambil jalan saja, Bu Ratna. Yang penting saya sudah mendapat lampu hijau dari keluarga Ibu.” Mami Ratna mematung. Dia pun mengusap wajah, lalu berjalan ke arah sofa. Di luar sana, mobil Mas Wisnu terdengar menjauh. Papa Hutama langsung dibawa ke rumah sakit sepertinya. “Maaf, Pak Benny. Sepertinya ada yang harus kita luruskan! Duduklah ….” Mami Ratna mengusap wajah, lalu mempersilakan Pak Benny untuk duduk pada kursi yang ada di depannya. “Maksud Bu Ratna apa, ya?” Pak Benny menatap wajah per
Baca selengkapnya
Sebelumnya
12345
DMCA.com Protection Status