Semua Bab Kembang Desa Milik Polisi Tampan: Bab 41 - Bab 50

70 Bab

Part 41. Bicara dari Hati ke Hati

Aku menunggu saat-saat Sergio pulang, agar bisa keluar dan meminta untuk pindah kamar. Namun, ia tidak kunjung beranjak dari ruangan ini. Bahkan tidak ingin meninggalkan barang semenit pun. Ia tetap berada di sini. Tidak terlalu banyak perbincangan di antara kami. Seolah diam adalah solusi yang terbaik agar tidak terjadi lagi perdebatan dan pertengkaran antara aku dan dia. Sergio duduk di atas kursi samping ranjang. Ia melipat tangan di dada, terus menatap sejak tadi. Seakan tidak ingin aku terlepas dari pandangan. Terdengar ketukan di pintu kamar. Jantungku semakin memompa darah dengan begitu cepat. Degup jantung saling beradu dengan debar di dada. Aku takut. Ketika istri Sergio tetap bersikap baik, itu lebih menakutkan daripada ia marah dan memaki. Aku tidak tahu apa maksud di balik sikap mengalah itu. Tidak ada yang tahu isi hati yang sebenarnya selain ia dan Tuhan-nya. Clayton dan istri Sergio masuk bersama anak-anak. Entah bagaimana cara mereka masuk, sebab di rumah sakit i
Baca selengkapnya

Part 42. Anak-anak Adalah Korban

Dokter datang setelah dipanggil oleh Sergio. Perutku diperiksa. Dan dia menyatakan bahwa sudah tidak ada tanda-tanda kehamilan. Aku benar-benar keguguran. “Coba diperiksa, ada yang keluar apa tidak?” Dokter itu meminta agar aku ke kamar mandi untuk mengecek. “Ada, Dok. Saya merasakannya.” Aku menjawab sebelum Sergio datang mendekat membantuku bangkit untuk duduk dan berjalan menuju kamar mandi. Kurasakan celana dalam juga telah basah karena darah. Mungkin juga tembus hingga menodai seprei. Ternyata obatnya benar-benar memberikan efek yang kuat. Mungkin karena terbantu dengan nanas muda itu juga. “Lebih baik dikuret untuk membersihkan sisa kotoran. Itu yang membuat perutnya sakit. Obat penggugur itu masih bereaksi.” Dokter kembali menyarankan meskipun bakal janin telah keluar. Aku mengangguk dengan cepat. Setuju. Sebab, rasa sakitnya sudah tidak tertahan. Jika rahim dibersihkan mungkin akan pulih lebih cepat. Sergio diminta untuk mengurus administrasi agar operasi kuret dilakukan.
Baca selengkapnya

Part 43. Pindah Ruangan

Aku dibawa oleh para perawat ke ruang operasi. Tidak ada yang mendampingi. Sergio sibuk mencari putrinya. Larissa juga entah kemana karena tengah menenangkan bayinya yang menangis sejak tadi. Sementara Clayton bersama Johannes tidak ingin beranjak dari ruang VVIP yang tadi aku tempati. Aku sendirian di ruang operasi. Menunggu persiapan kuret. Cukup lama hingga dokter dan para pendampingnya datang membawa peralatan. Harusnya ada salah satu keluarga yang menemani di sini. Namun, mau bagaimana lagi? Aku tidak memiliki siapa pun. Aku menarik napas berat. Merasa ngeri ketika membayangkan perut akan dibedah. Belum disentuh pisau pun aku sudah merasa ngilu duluan. “Dok, setelah keluar dari sini nanti, tolong pindahkan saya ke ruang biasa saja. Di bangsal yang dihuni oleh banyak pasien. Jangan beritahu siapa pun. Pindahkan tanpa Sergio tahu.” Aku berucap penuh harap. Sang dokter mengangguk mengiyakan. Lelaki itu bertanya banyak hal. Cairan anastesi mulai disuntikkan. Perlahan aku mulai m
Baca selengkapnya

Part 44. Kau Harus Pergi

“Mama mana?” Aku bertanya pada Johannes dengan posisi berlutut. Kuusap wajahnya yang telah basah dan memerah. Setiap tetes air mata yang jatuh dari pipinya seolah menjadi hantaman besar untukku. Tetesan-tetesan itu seakan berubah menjadi anak-anak panah yang siap menyerbu ulu hati. Tatapan yang selalu penuh dengan binar dan semangat, kini terlihat sayu dan penuh rasa takut. Johannes menggeleng pelan. Tampak sekali bahwa ia tengah ketakutan. Mungkin saja bayang-bayang ketika Sergio mengamuk masih terputar dengan jelas di otaknya. Aku tahu betul Sergio tidak pernah marah sebelumnya. Bahkan ia pantang membentak anak-anak. Wajar saja jika mereka terlihat ketakutan seperti itu. Kubawa mereka ke dalam dekapan. Mengabaikan rasa sakit di bagian intim. Sebab, sakit di bagian itu tidak sebanding dengan rasa sakit di hati. Bocah-bocah ini belum mengerti apa pun. Namun, harus nenjadi korban atas semuanya. Kurasakan jantung mereka berdegup dengan sangat cepat. Pertanda bahwa kondisi mental me
Baca selengkapnya

Part 45. Jangan Pergi

Clayton benar-benar menepati janjinya. Ia datang di saat aku tengah mengurus administrasi. Dokter masih menyarankan agar dirawat sehari lagi demi memastikan bahwa uterus sudah membaik. Namun, aku tetap nekat ingin pulang. Membuat surat pernyataan bahwa rumah sakit telah lepas tangan. Jadi, jika terjadi sesuatu nanti, mereka tidak bisa dituntut. Sebab, pasien yang memaksa ingin pulang. Aku sudah menandatangani. Tagihan biaya rumah sakit tengah dihitung. Clayton berjalan mendekat, ia berdiri tepat di sampingku. Lelaki itu merogoh saku, mengambil dompet dan mengeluarkan sebuah kartu. “Simpan saja uangmu. Aku punya uang untuk mengurus semuanya.” Aku menolak bantuan darinya. Ia tidak ingin mendengar, tetap menyodorkan kartu itu. “Anggap saja ini permintaan maaf dariku. Kau di sini karena aku.” Ia menjawab dengan tegas. Mengambil alih untuk mengurus semua administrasi dan memintaku agar menunggu di kursi. Aku menurut. Berbalik dan mencari kursi untuk duduk. Kurogoh tas untuk mencari
Baca selengkapnya

Part 46. Season Dua

Aku keluar dari kamar mandi dengan piyama abu berbentuk kimono. Senyum Sergio langsung meyambut saat mata kami saling beradu. Malam ini ia terlihat semakin tampan, seolah ada energi yang membuatnya tampak bersinar. Aku ikut tersenyum, menunduk untuk menyembunyikan wajah yang terasa memanas. Ini malam pertama setelah kami menikah. Aku merasa begitu canggung, meskipun sebelum menikah kami telah pernah beradu kekuatan di atas ranjang. Namun, rasanya malam ini berbeda. Mungkin karena telah ada hubungan halal yang mengikat. Langkah sengaja kupelankan agar memberikan jeda cukup lama hingga aku tiba di ranjang. Degup jantung saling beradu dengan debar di dada yang terasa kian tidak beraturan. Setelah dokter mengatakan aman untuk melakukan hubungan badan, Sergio terlihat begitu bersemangat. Beberapa malam sejak kami tidur satu ranjang, ia selalu mengeluh sakit kepala karena tidak tahan untuk segera memuaskan nafsunya. Namun, karena aku baru kuret sehabis keguguran, dokter melarang. Ia terl
Baca selengkapnya

Part 47. Malam Pertama yang Tertunda

Aku berlari menuju lantai atas dengan mata memanas. Tidak peduli dengan keadaan yang kurang pencahayaan, sebab hati sudah terlanjur dipatahkan. Kudengar Sergio memanggil beberapa kali, tapi aku tidak peduli. Kaki terus melangkah dengan pasti menuju kamar. Kututup pintu dengan sedikit kasar, lalu menguncinya dengan rapat-rapat agar Sergio tidak bisa masuk. “Mi ....” Sergio memanggil dengan lembut, terdengar ketukan juga yang menyertai panggilan itu. Aku tidak menjawab, memilih bungkam dan mengabaikan panggilan yang ia berikan. “Buka pintunya, Mi.” Sergio memutar gagang pintu berulang kali, terus mengetuk karena tidak kunjung mendapatkan jawaban.Aku tetap tidak merespons. Memilih membanting tubuh ke ranjang dalam posisi telungkup, lalu menangis dengan hebat. Membasahi bantal dengan air mata.Ucapan Larissa masih terngiang-ngiang di telinga. Dari kalimat yang ia lontarkan, jelas sekali ia membenci diriku. Setelah semua yang aku berikan untuk anak-anaknya, ia tetap tidak bisa menerim
Baca selengkapnya

Part 48. Sikap yang Beda

Alarm ponsel terdengar berbunyi dengan keras. Aku menggeliat, mengulurkan tangan untuk meraih benda pipih itu. Mata terasa begitu silau saat cahaya dari ponsel langsung bertabrakan dengan retina. “Sudah adzan?” Sergio bertanya dengan suara seraknya. Ia melepas pelukan, lalu menggeliat untuk meregangkan otot-otot tubuhnya. Aku hanya mengangguk, lalu bangkit untuk duduk, sesekali masih menguap karena mengantuk. Suara adzan tidak terdengar hingga ke sini, jadi kami hanya bisa menyetel alarm ponsel setiap kali tiba waktu adzan sebagai penanda harus sholat. Sergio ikut bangkit, ia mengusap wajah dengan kedua tangan ketika rasa kantuk itu kembali menyerang. Rasanya mata baru tertutup, sudah dipaksa untuk kembali dibuka. Aku turun dari ranjang, menyambar handuk yang tergantung di lemari, lalu beranjak menuju kamar mandi. Ingin mandi terlebih dahulu sebelum sholat Subuh. “Mandi bareng, Mi.” Sergio berucap seraya ikut turun dari ranjang. Aku menolak, pagi ini rasanya tidak ingin mandi d
Baca selengkapnya

Part 49. Pulang

Larissa tidak kunjung keluar kamar, ia bahkan melewatkan sarapan pagi ini. Aku ingin tahu keadaannya di dalam sana, tapi segan untuk meminta izin agar bisa masuk. Sergio tengah mengantarkan Johannes dan Biel ke TK. Mereka ditempatkan di sekolah yang sama, hanya saja kelas yang berbeda. Habis dari sana, ia harus ke restoran untuk sidak. Sebab, minggu lalu ia baru membuka restoran. Aku berdiri di depan pintu kamar utama, ragu apa harus masuk atau tidak. Tidak terdengar suara sama sekali dari sana. Tampaknya mereka tengah tidur. Jadi, kuputuskan untuk kembali ke kamar saja. Jika sengang begini, aku jadi bosan dan bingung harus melalukan apa. Kulihat ada beberapa helai pakaian kotor di keranjang. Jadi, kuputuskan untuk mencuci dan beberes rumah saja. Di mesin cuci telah menumpuk pakaian Larissa dan anak-anak. Juga beberapa helai pakaian Sergio. Aku berniat untuk memutar pakaian mereka lebih dulu. Selagi menunggu mesin cuci bekerja, aku mengepel lantai. Terdengar pintu kamar terbuka s
Baca selengkapnya

Part 50. Bersama Clayton

Taksi datang setelah sekian lama aku menunggu di depan gerbang. Cepat, kumasukkan koper dan lekas masuk untuk duduk di kursi belakang kemudi. Meminta sopir agar cepat menancap gas menuju bandara. Di sepanjang jalan aku tidak bisa diam. Terus menangis, sebab rasa yang begitu sakit. Bukan hanya sakit karena kehilangan Bapak, tapi juga sakit karena tidak bisa memiliki Sergio dengan sewajarnya. Tidak masalah jika ia tidak bisa adil dalam membagi waktu. Tidak apa jika Larissa mengekang ia untuk menghabiskan waktu bersamaku. Setidaknya ia biarkan Sergio ikut denganku untuk pulang ke kampung halaman, melihat Bapak untuk yang terakhir kalinya. Apa kata orang nanti ketika aku pulang sendirian, sementara orang-orang tahu bahwa aku telah menikah. Bukan hanya itu masalahnya, tapi aku benar-benar membutuhkan dia sekarang. Aku butuh dia sebagai tempat bersandar. Aku butuh dia sebagai tempat menumpahkan segala perasaan. Dia adalah sumber kekuatanku satu-satunya. [Clayton sudah di jalan.]Sebuah p
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1234567
DMCA.com Protection Status