“Mama mana?” Aku bertanya pada Johannes dengan posisi berlutut. Kuusap wajahnya yang telah basah dan memerah. Setiap tetes air mata yang jatuh dari pipinya seolah menjadi hantaman besar untukku. Tetesan-tetesan itu seakan berubah menjadi anak-anak panah yang siap menyerbu ulu hati. Tatapan yang selalu penuh dengan binar dan semangat, kini terlihat sayu dan penuh rasa takut. Johannes menggeleng pelan. Tampak sekali bahwa ia tengah ketakutan. Mungkin saja bayang-bayang ketika Sergio mengamuk masih terputar dengan jelas di otaknya. Aku tahu betul Sergio tidak pernah marah sebelumnya. Bahkan ia pantang membentak anak-anak. Wajar saja jika mereka terlihat ketakutan seperti itu. Kubawa mereka ke dalam dekapan. Mengabaikan rasa sakit di bagian intim. Sebab, sakit di bagian itu tidak sebanding dengan rasa sakit di hati. Bocah-bocah ini belum mengerti apa pun. Namun, harus nenjadi korban atas semuanya. Kurasakan jantung mereka berdegup dengan sangat cepat. Pertanda bahwa kondisi mental me
Clayton benar-benar menepati janjinya. Ia datang di saat aku tengah mengurus administrasi. Dokter masih menyarankan agar dirawat sehari lagi demi memastikan bahwa uterus sudah membaik. Namun, aku tetap nekat ingin pulang. Membuat surat pernyataan bahwa rumah sakit telah lepas tangan. Jadi, jika terjadi sesuatu nanti, mereka tidak bisa dituntut. Sebab, pasien yang memaksa ingin pulang. Aku sudah menandatangani. Tagihan biaya rumah sakit tengah dihitung. Clayton berjalan mendekat, ia berdiri tepat di sampingku. Lelaki itu merogoh saku, mengambil dompet dan mengeluarkan sebuah kartu. “Simpan saja uangmu. Aku punya uang untuk mengurus semuanya.” Aku menolak bantuan darinya. Ia tidak ingin mendengar, tetap menyodorkan kartu itu. “Anggap saja ini permintaan maaf dariku. Kau di sini karena aku.” Ia menjawab dengan tegas. Mengambil alih untuk mengurus semua administrasi dan memintaku agar menunggu di kursi. Aku menurut. Berbalik dan mencari kursi untuk duduk. Kurogoh tas untuk mencari
Aku keluar dari kamar mandi dengan piyama abu berbentuk kimono. Senyum Sergio langsung meyambut saat mata kami saling beradu. Malam ini ia terlihat semakin tampan, seolah ada energi yang membuatnya tampak bersinar. Aku ikut tersenyum, menunduk untuk menyembunyikan wajah yang terasa memanas. Ini malam pertama setelah kami menikah. Aku merasa begitu canggung, meskipun sebelum menikah kami telah pernah beradu kekuatan di atas ranjang. Namun, rasanya malam ini berbeda. Mungkin karena telah ada hubungan halal yang mengikat. Langkah sengaja kupelankan agar memberikan jeda cukup lama hingga aku tiba di ranjang. Degup jantung saling beradu dengan debar di dada yang terasa kian tidak beraturan. Setelah dokter mengatakan aman untuk melakukan hubungan badan, Sergio terlihat begitu bersemangat. Beberapa malam sejak kami tidur satu ranjang, ia selalu mengeluh sakit kepala karena tidak tahan untuk segera memuaskan nafsunya. Namun, karena aku baru kuret sehabis keguguran, dokter melarang. Ia terl
Aku berlari menuju lantai atas dengan mata memanas. Tidak peduli dengan keadaan yang kurang pencahayaan, sebab hati sudah terlanjur dipatahkan. Kudengar Sergio memanggil beberapa kali, tapi aku tidak peduli. Kaki terus melangkah dengan pasti menuju kamar. Kututup pintu dengan sedikit kasar, lalu menguncinya dengan rapat-rapat agar Sergio tidak bisa masuk. “Mi ....” Sergio memanggil dengan lembut, terdengar ketukan juga yang menyertai panggilan itu. Aku tidak menjawab, memilih bungkam dan mengabaikan panggilan yang ia berikan. “Buka pintunya, Mi.” Sergio memutar gagang pintu berulang kali, terus mengetuk karena tidak kunjung mendapatkan jawaban.Aku tetap tidak merespons. Memilih membanting tubuh ke ranjang dalam posisi telungkup, lalu menangis dengan hebat. Membasahi bantal dengan air mata.Ucapan Larissa masih terngiang-ngiang di telinga. Dari kalimat yang ia lontarkan, jelas sekali ia membenci diriku. Setelah semua yang aku berikan untuk anak-anaknya, ia tetap tidak bisa menerim
Alarm ponsel terdengar berbunyi dengan keras. Aku menggeliat, mengulurkan tangan untuk meraih benda pipih itu. Mata terasa begitu silau saat cahaya dari ponsel langsung bertabrakan dengan retina. “Sudah adzan?” Sergio bertanya dengan suara seraknya. Ia melepas pelukan, lalu menggeliat untuk meregangkan otot-otot tubuhnya. Aku hanya mengangguk, lalu bangkit untuk duduk, sesekali masih menguap karena mengantuk. Suara adzan tidak terdengar hingga ke sini, jadi kami hanya bisa menyetel alarm ponsel setiap kali tiba waktu adzan sebagai penanda harus sholat. Sergio ikut bangkit, ia mengusap wajah dengan kedua tangan ketika rasa kantuk itu kembali menyerang. Rasanya mata baru tertutup, sudah dipaksa untuk kembali dibuka. Aku turun dari ranjang, menyambar handuk yang tergantung di lemari, lalu beranjak menuju kamar mandi. Ingin mandi terlebih dahulu sebelum sholat Subuh. “Mandi bareng, Mi.” Sergio berucap seraya ikut turun dari ranjang. Aku menolak, pagi ini rasanya tidak ingin mandi d
Larissa tidak kunjung keluar kamar, ia bahkan melewatkan sarapan pagi ini. Aku ingin tahu keadaannya di dalam sana, tapi segan untuk meminta izin agar bisa masuk. Sergio tengah mengantarkan Johannes dan Biel ke TK. Mereka ditempatkan di sekolah yang sama, hanya saja kelas yang berbeda. Habis dari sana, ia harus ke restoran untuk sidak. Sebab, minggu lalu ia baru membuka restoran. Aku berdiri di depan pintu kamar utama, ragu apa harus masuk atau tidak. Tidak terdengar suara sama sekali dari sana. Tampaknya mereka tengah tidur. Jadi, kuputuskan untuk kembali ke kamar saja. Jika sengang begini, aku jadi bosan dan bingung harus melalukan apa. Kulihat ada beberapa helai pakaian kotor di keranjang. Jadi, kuputuskan untuk mencuci dan beberes rumah saja. Di mesin cuci telah menumpuk pakaian Larissa dan anak-anak. Juga beberapa helai pakaian Sergio. Aku berniat untuk memutar pakaian mereka lebih dulu. Selagi menunggu mesin cuci bekerja, aku mengepel lantai. Terdengar pintu kamar terbuka s
Taksi datang setelah sekian lama aku menunggu di depan gerbang. Cepat, kumasukkan koper dan lekas masuk untuk duduk di kursi belakang kemudi. Meminta sopir agar cepat menancap gas menuju bandara. Di sepanjang jalan aku tidak bisa diam. Terus menangis, sebab rasa yang begitu sakit. Bukan hanya sakit karena kehilangan Bapak, tapi juga sakit karena tidak bisa memiliki Sergio dengan sewajarnya. Tidak masalah jika ia tidak bisa adil dalam membagi waktu. Tidak apa jika Larissa mengekang ia untuk menghabiskan waktu bersamaku. Setidaknya ia biarkan Sergio ikut denganku untuk pulang ke kampung halaman, melihat Bapak untuk yang terakhir kalinya. Apa kata orang nanti ketika aku pulang sendirian, sementara orang-orang tahu bahwa aku telah menikah. Bukan hanya itu masalahnya, tapi aku benar-benar membutuhkan dia sekarang. Aku butuh dia sebagai tempat bersandar. Aku butuh dia sebagai tempat menumpahkan segala perasaan. Dia adalah sumber kekuatanku satu-satunya. [Clayton sudah di jalan.]Sebuah p
Mobil melambat ketika kami tiba di halaman rumah. Rumah tampak ramai dengan bendera putih yang berkibar di dekat pagar kayu. Aku lekas turun setelah mobil berhenti, membiarkan Clayton untuk menangani urusan bayar-membayar. Kaki terasa berat untuk melangkah. Tangis kembali pecah saat aku menerobos kerumunan khalayak. Aku terjatuh tepat di sisi kanan Bapak. Tubuh pucatnya terbujur kaku di tengah orang-orang yang tengah membacakan ayat. “Bapak!” Aku berteriak histeris, memeluk tubuhnya dengan hati teriris. Beberapa tetangga datang mendekat, mencoba untuk menenangkan agar aku melepas Bapak. “Bapak!” Aku memberontak, melakukan perlawanan dan terus berteriak. Mengguncang tubuh kaku itu dengan hati yang kian terasa pilu. “Ikhlaskan, Din.” Kudengar suara seorang wanita berucap tepat di telinga. Aku dibawa ke dalam dekapannya. Aku pasrah, melepas Bapak dan menangis pada sosok yang memelukku. Sungguh, ini terlalu berat untukku. Kehilangan Bapak di saat aku masih belum bisa membuat ia ba