Aku berlari menuju lantai atas dengan mata memanas. Tidak peduli dengan keadaan yang kurang pencahayaan, sebab hati sudah terlanjur dipatahkan. Kudengar Sergio memanggil beberapa kali, tapi aku tidak peduli. Kaki terus melangkah dengan pasti menuju kamar. Kututup pintu dengan sedikit kasar, lalu menguncinya dengan rapat-rapat agar Sergio tidak bisa masuk. “Mi ....” Sergio memanggil dengan lembut, terdengar ketukan juga yang menyertai panggilan itu. Aku tidak menjawab, memilih bungkam dan mengabaikan panggilan yang ia berikan. “Buka pintunya, Mi.” Sergio memutar gagang pintu berulang kali, terus mengetuk karena tidak kunjung mendapatkan jawaban.Aku tetap tidak merespons. Memilih membanting tubuh ke ranjang dalam posisi telungkup, lalu menangis dengan hebat. Membasahi bantal dengan air mata.Ucapan Larissa masih terngiang-ngiang di telinga. Dari kalimat yang ia lontarkan, jelas sekali ia membenci diriku. Setelah semua yang aku berikan untuk anak-anaknya, ia tetap tidak bisa menerim
Alarm ponsel terdengar berbunyi dengan keras. Aku menggeliat, mengulurkan tangan untuk meraih benda pipih itu. Mata terasa begitu silau saat cahaya dari ponsel langsung bertabrakan dengan retina. “Sudah adzan?” Sergio bertanya dengan suara seraknya. Ia melepas pelukan, lalu menggeliat untuk meregangkan otot-otot tubuhnya. Aku hanya mengangguk, lalu bangkit untuk duduk, sesekali masih menguap karena mengantuk. Suara adzan tidak terdengar hingga ke sini, jadi kami hanya bisa menyetel alarm ponsel setiap kali tiba waktu adzan sebagai penanda harus sholat. Sergio ikut bangkit, ia mengusap wajah dengan kedua tangan ketika rasa kantuk itu kembali menyerang. Rasanya mata baru tertutup, sudah dipaksa untuk kembali dibuka. Aku turun dari ranjang, menyambar handuk yang tergantung di lemari, lalu beranjak menuju kamar mandi. Ingin mandi terlebih dahulu sebelum sholat Subuh. “Mandi bareng, Mi.” Sergio berucap seraya ikut turun dari ranjang. Aku menolak, pagi ini rasanya tidak ingin mandi d
Larissa tidak kunjung keluar kamar, ia bahkan melewatkan sarapan pagi ini. Aku ingin tahu keadaannya di dalam sana, tapi segan untuk meminta izin agar bisa masuk. Sergio tengah mengantarkan Johannes dan Biel ke TK. Mereka ditempatkan di sekolah yang sama, hanya saja kelas yang berbeda. Habis dari sana, ia harus ke restoran untuk sidak. Sebab, minggu lalu ia baru membuka restoran. Aku berdiri di depan pintu kamar utama, ragu apa harus masuk atau tidak. Tidak terdengar suara sama sekali dari sana. Tampaknya mereka tengah tidur. Jadi, kuputuskan untuk kembali ke kamar saja. Jika sengang begini, aku jadi bosan dan bingung harus melalukan apa. Kulihat ada beberapa helai pakaian kotor di keranjang. Jadi, kuputuskan untuk mencuci dan beberes rumah saja. Di mesin cuci telah menumpuk pakaian Larissa dan anak-anak. Juga beberapa helai pakaian Sergio. Aku berniat untuk memutar pakaian mereka lebih dulu. Selagi menunggu mesin cuci bekerja, aku mengepel lantai. Terdengar pintu kamar terbuka s
Taksi datang setelah sekian lama aku menunggu di depan gerbang. Cepat, kumasukkan koper dan lekas masuk untuk duduk di kursi belakang kemudi. Meminta sopir agar cepat menancap gas menuju bandara. Di sepanjang jalan aku tidak bisa diam. Terus menangis, sebab rasa yang begitu sakit. Bukan hanya sakit karena kehilangan Bapak, tapi juga sakit karena tidak bisa memiliki Sergio dengan sewajarnya. Tidak masalah jika ia tidak bisa adil dalam membagi waktu. Tidak apa jika Larissa mengekang ia untuk menghabiskan waktu bersamaku. Setidaknya ia biarkan Sergio ikut denganku untuk pulang ke kampung halaman, melihat Bapak untuk yang terakhir kalinya. Apa kata orang nanti ketika aku pulang sendirian, sementara orang-orang tahu bahwa aku telah menikah. Bukan hanya itu masalahnya, tapi aku benar-benar membutuhkan dia sekarang. Aku butuh dia sebagai tempat bersandar. Aku butuh dia sebagai tempat menumpahkan segala perasaan. Dia adalah sumber kekuatanku satu-satunya. [Clayton sudah di jalan.]Sebuah p
Mobil melambat ketika kami tiba di halaman rumah. Rumah tampak ramai dengan bendera putih yang berkibar di dekat pagar kayu. Aku lekas turun setelah mobil berhenti, membiarkan Clayton untuk menangani urusan bayar-membayar. Kaki terasa berat untuk melangkah. Tangis kembali pecah saat aku menerobos kerumunan khalayak. Aku terjatuh tepat di sisi kanan Bapak. Tubuh pucatnya terbujur kaku di tengah orang-orang yang tengah membacakan ayat. “Bapak!” Aku berteriak histeris, memeluk tubuhnya dengan hati teriris. Beberapa tetangga datang mendekat, mencoba untuk menenangkan agar aku melepas Bapak. “Bapak!” Aku memberontak, melakukan perlawanan dan terus berteriak. Mengguncang tubuh kaku itu dengan hati yang kian terasa pilu. “Ikhlaskan, Din.” Kudengar suara seorang wanita berucap tepat di telinga. Aku dibawa ke dalam dekapannya. Aku pasrah, melepas Bapak dan menangis pada sosok yang memelukku. Sungguh, ini terlalu berat untukku. Kehilangan Bapak di saat aku masih belum bisa membuat ia ba
Season Dua part 7Aku tengah duduk di teras, ketika rumah beranjak sepi setelah para pelayat pulang sehabis baca yasin bersama. Malam ini tidak ada yang bisa kami suguhkan selain air mineral juga roti murah yang dibeli di minimarket bersama Clayton sore tadi. Ia banyak membantu, aku merasa berhutang jasa padanya. Gerimis mulai turun, sementara bulan tampak terang di atas sana. Aku menarik napas berat berkali-kali. Menghempaskan punggung pada sandaran kursi yang terbuat dari kayu. Jika sudah begini, lagi-lagi aku ingin menangis agar hati bisa sedikit lebih tenang. “Sergio ingin bicara.” Clayton membuatku terkejut dengan kalimatnya. Entah kapan ia berdiri di samping kursi yang aku duduki. Aku mengusap pelupuk mata, tidak ingin tertangkap basah jika tengah menangisi Bapak lagi. “Aku sedang tidak mau bicara.” Aku menolak. Hingga malam ini ponsel masih belum kuaktifkan. Sengaja, agar Sergio tidak bisa menghubungi. Aku sedang tidak ingin diganggu olehnya. Aku menatap Clayton, lelak
Aku terkejut ketika hendak bangkit dan masuk ke rumah, sebab telah ada Clayton yang tengah berdiri di ambang pintu. Ia menatapku dengan sorot entah. Sepertinya ia mendengar semua percakapanku dengan Sergio. “Terima kasih.” Kuulurkan ponselnya, mengembalikan. Ia menerima uluranku untuk mengambil alih ponselnya. Tarikan napas kasar terdengar dari lelaki itu. Aku lekas masuk setelah menyerahkan ponsel itu. Ibu sudah tidak ada di ruang depan, sepertinya ia telah tidur karena kelelahan. Sementara Devan tengah kumpul di sudut ruangan, duduk sejajar bersama dua temannya, entah sedang membicarakan apa. Aku mengarahkan langkah menuju kamar. Menghempaskan tubuh dengan sedikit kasar ke ranjang. Lalu, meraih sling bag untuk mengeluarkan ponsel dari dalam. Puluhan pesan dari Sergio langsung masuk setelah ponsel kunyalakan. Ia berusaha menghubungi sejak semalam. Sepertinya Clayton benar, Sergio benar-benar khawatir. Kublokir nomor lelaki itu agar ia tidak lagi bisa menghubungi. Wallpaper po
“Aku yang memberitahunya alamat rumahmu, ia tidak hapal karena baru sekali ke sini dulu.” Clayton memberitahu tanpa kutanya. Ia telah berdiri di sisi kananku. Aku menoleh sekilas ke arah Clayton, ia fokus menatap saudaranya di depan sana. Detik berikutnya aku kembali menatap Sergio. Ibu melepas pelukan setelah ia puas menangis pada menantunya itu. “Dinda sudah pulang.” Ibu berucap saat ia menoleh ke arahku. Sergio ikut menoleh ke belakang. Tatapan kami beradu untuk beberapa saat, kemudian ia bangkit berdiri pada menit berikutnya. “Jika ingin bertengkar sembunyilah, jangan di depan banyak orang.” Clayton berucap, kemudian berlalu begitu saja. Aku menatap Clayton yang beranjak pergi. Kemudian beralih kembali menatap Sergio. Lelaki itu berdiri tepat di depanku sekarang. “Aku ingin bicara.” Kutarik ia untuk masuk ke kamar. Kamar yang dulu pernah kami tempati setelah sah menjadi suami istri. Kukunci pintu agar tidak ada yang bisa masuk saat kami tengah bicara. Aku duduk di tepian r