Mobil melambat ketika kami tiba di halaman rumah. Rumah tampak ramai dengan bendera putih yang berkibar di dekat pagar kayu. Aku lekas turun setelah mobil berhenti, membiarkan Clayton untuk menangani urusan bayar-membayar. Kaki terasa berat untuk melangkah. Tangis kembali pecah saat aku menerobos kerumunan khalayak. Aku terjatuh tepat di sisi kanan Bapak. Tubuh pucatnya terbujur kaku di tengah orang-orang yang tengah membacakan ayat. “Bapak!” Aku berteriak histeris, memeluk tubuhnya dengan hati teriris. Beberapa tetangga datang mendekat, mencoba untuk menenangkan agar aku melepas Bapak. “Bapak!” Aku memberontak, melakukan perlawanan dan terus berteriak. Mengguncang tubuh kaku itu dengan hati yang kian terasa pilu. “Ikhlaskan, Din.” Kudengar suara seorang wanita berucap tepat di telinga. Aku dibawa ke dalam dekapannya. Aku pasrah, melepas Bapak dan menangis pada sosok yang memelukku. Sungguh, ini terlalu berat untukku. Kehilangan Bapak di saat aku masih belum bisa membuat ia ba
Season Dua part 7Aku tengah duduk di teras, ketika rumah beranjak sepi setelah para pelayat pulang sehabis baca yasin bersama. Malam ini tidak ada yang bisa kami suguhkan selain air mineral juga roti murah yang dibeli di minimarket bersama Clayton sore tadi. Ia banyak membantu, aku merasa berhutang jasa padanya. Gerimis mulai turun, sementara bulan tampak terang di atas sana. Aku menarik napas berat berkali-kali. Menghempaskan punggung pada sandaran kursi yang terbuat dari kayu. Jika sudah begini, lagi-lagi aku ingin menangis agar hati bisa sedikit lebih tenang. “Sergio ingin bicara.” Clayton membuatku terkejut dengan kalimatnya. Entah kapan ia berdiri di samping kursi yang aku duduki. Aku mengusap pelupuk mata, tidak ingin tertangkap basah jika tengah menangisi Bapak lagi. “Aku sedang tidak mau bicara.” Aku menolak. Hingga malam ini ponsel masih belum kuaktifkan. Sengaja, agar Sergio tidak bisa menghubungi. Aku sedang tidak ingin diganggu olehnya. Aku menatap Clayton, lelak
Aku terkejut ketika hendak bangkit dan masuk ke rumah, sebab telah ada Clayton yang tengah berdiri di ambang pintu. Ia menatapku dengan sorot entah. Sepertinya ia mendengar semua percakapanku dengan Sergio. “Terima kasih.” Kuulurkan ponselnya, mengembalikan. Ia menerima uluranku untuk mengambil alih ponselnya. Tarikan napas kasar terdengar dari lelaki itu. Aku lekas masuk setelah menyerahkan ponsel itu. Ibu sudah tidak ada di ruang depan, sepertinya ia telah tidur karena kelelahan. Sementara Devan tengah kumpul di sudut ruangan, duduk sejajar bersama dua temannya, entah sedang membicarakan apa. Aku mengarahkan langkah menuju kamar. Menghempaskan tubuh dengan sedikit kasar ke ranjang. Lalu, meraih sling bag untuk mengeluarkan ponsel dari dalam. Puluhan pesan dari Sergio langsung masuk setelah ponsel kunyalakan. Ia berusaha menghubungi sejak semalam. Sepertinya Clayton benar, Sergio benar-benar khawatir. Kublokir nomor lelaki itu agar ia tidak lagi bisa menghubungi. Wallpaper po
“Aku yang memberitahunya alamat rumahmu, ia tidak hapal karena baru sekali ke sini dulu.” Clayton memberitahu tanpa kutanya. Ia telah berdiri di sisi kananku. Aku menoleh sekilas ke arah Clayton, ia fokus menatap saudaranya di depan sana. Detik berikutnya aku kembali menatap Sergio. Ibu melepas pelukan setelah ia puas menangis pada menantunya itu. “Dinda sudah pulang.” Ibu berucap saat ia menoleh ke arahku. Sergio ikut menoleh ke belakang. Tatapan kami beradu untuk beberapa saat, kemudian ia bangkit berdiri pada menit berikutnya. “Jika ingin bertengkar sembunyilah, jangan di depan banyak orang.” Clayton berucap, kemudian berlalu begitu saja. Aku menatap Clayton yang beranjak pergi. Kemudian beralih kembali menatap Sergio. Lelaki itu berdiri tepat di depanku sekarang. “Aku ingin bicara.” Kutarik ia untuk masuk ke kamar. Kamar yang dulu pernah kami tempati setelah sah menjadi suami istri. Kukunci pintu agar tidak ada yang bisa masuk saat kami tengah bicara. Aku duduk di tepian r
Aku tidak ingat betul apa yang terjadi di malam itu. Yang jelas, terjadi benturan keras hingga semuanya berubah gelap. Saat terbangun, aku telah berada di dalam ruangan serba putih. Kaki dan tangan terasa sangat sakit saat digerakkan. “Kau sudah bangun?” Pertanyaan Sergio langsung menyapa telinga sesaat setelah aku membuka mata. Aku berusaha untuk bangkit, tangan kiri telah diperban dengan diapit oleh dua papan. Begitu juga dengan kaki kanan. Rasanya begitu nyeri saat digerakkan. Aku ingat ketika ada kilatan cahaya yang tiba-tiba menyilaukan mata, lalu motor menghantam pembatas jalan. Hanya sebatas itu yang kuingat. “Di mana Clayton?” Aku bertanya seraya meringis kesakitan. “Dia ada di rumah.” “Dia baik-baik saja?” Aku bertanya tidak percaya. Setidaknya kami memiliki luka yang hampir sama. Bahkan seharusnya ia lebih parah, sebab ia duduk di jok belakang. “Dia melompat saat tahu motor akan menabrak pembatas. Pengecut memang, dia hanya memikirkan nyawa sendiri. Lelaki macam apa y
“Aku bisa makan sendiri.” Aku menolak ketika Sergio hendak menyuapi. “Yang sakit itu tangan kiri, bukan yang kanan.” Aku melanjutkan seraya mengangkat tangan kiri yang baru ganti perban. Sudah ada sedikit tenaga menggerakkan meski terasa sakit dan kaku karena diapit dua papan. Sergio meletakkan nampan berisi piring dan mangkok itu ke atas pahaku yang terjulur. Menjadikannya sebagai meja. Kemudian mengalihkan sendok ke tangan kananku. Aku mulai menikmati makanan yang sudah disediakan oleh pihak rumah sakit. Meski rasanya tidak seenak makanan rumahan biasanya, tetap saja bisa dinikmati. Sedikit sulit ketika hanya tangan kanan yang bekerja, aku makan dengan sangat berantakan jadinya. Butiran nasi berjatuhan di mana-mana. Sergio membiarkan, menunggu aku selesai makan baru ia bereskan. “Kapan aku bisa pulang?” Aku bertanya setelah ia memberikan obat untuk kuminum. Aku sudah mulai bosan di rumah sakit. Apalagi malam nanti adalah malam ketujuh kepergian Bapak. “Tunggu konfirmasi dari do
Aku pulang ke rumah dua hari setelah Sergio balik ke Jakarta. Selama ia tidak ada, Clayton yang lebih banyak membantu. Termasuk ketika aku ingin buang air besar ataupun kecil, juga ketika hendak mandi. Ia yang membawaku ke kamar mandi sebelum aku kuat berjalan sendiri seperti hari ini. Hanya membawa, selebihnya ibu yang mengurus. Biar bagaimana pun, ia juga sangat menjaga interaksi di antara kami. Pagi ini aku berjemur di teras dengan kaki menjulur ke kursi yang sengaja dipindahkan ke depan, agar aku lebih mudah untuk bersantai. Sementara tongkat kuletakkan di sisi kiri. Clayton berulang kali menyarankan agar aku menggunakan kursi roda, tapi aku menolak karena merasa masih sanggup jalan meski dengan bantuan tongkat. Ponsel berdering dengan nama Sergio tertera di layar. Lekas kuangkat karena aku juga sudah sangat merindukannya. “Kau sudah di rumah?” Ia bertanya setelah wajahnya muncul di layar. “Sudah, aku pulang kemarin. Kapan kau akan ke sini lagi? Sudah tiga hari kau di sana ber
[Aku sudah mau sampai] Begitu pesan yang kudapat dari Sergio. Hari ini dia benar-benar menepati janji untuk datang. Nanti malam adalah acara malam ke empat belas acara kematian Bapak. Hari ini rumah sedikit ramai karena ada acara masak-memasak. Sementara aku tidak bisa membantu apa pun, karena kaki dan tangan belum pulih total. Luka di muka juga masih terasa nyeri dan nyut-nyutan sesekali. Aku mengurung diri di kamar. Setelah tahu Sergio masih memiliki istri, Ibu sedikit berubah sikapnya. Ia tidak seperti biasa. Desakan agar lekas bercerai juga terus ia lontarkan. Entah apa yang salah, toh aku tidak pernah merebut apa pun. Aku juga tidak pernah meminta agar Sergio meninggalkan keluarganya. Permintaan waktu itu terlontar hanya karena aku tidak bisa mengontrol perasaan. Kami menikah juga atas restu Larissa, tidak menikah secara diam-diam di belakangnya. Aku bangkit berdiri dengan satu kaki dan bantuan tongkat. Harusnya terima saja tawaran dokter untuk tanam besi di kaki agar lekas pu
“Kamu tunggu di mobil, ya. Nanti aku nyusul.” Sergio berucap ketika kami telah sepakat untuk mencari rumah pagi ini setelah ia mengantar anak-anak ke sekolah. Aku mengangguk, lalu beranjak menuju mobil dan menunggu di sana. Cukup lama hingga Sergio datang menyusul. Mobil mulai melaju dengan kecepatan sedang menuju arah yang sudah sangat familiar. “Kita ke kost?” Aku menoleh ada Sergio, mencari jawaban. “Kita singgah sebentar, aku ada janji dengan salah satu penghuni. Katanya mau bayar sewa kost untuk satu tahun hari ini. Tapi tadi dihubungi tidak ada respons sama sekali.” Aku menarik napas berat, dapat kubaca keresahan di wajahnya. “Kau tidak punya uang?” Kugenggam tangannya yang tengah mengendalikan kemudi. Ia telah mengeluarkan uang banyak beberapa bulan ini, mungkin saja tabungannya telah terkuras habis. Apalagi biaya hidup kami cukup tinggi. Sergio menoleh. Ia tersenyum sekilas, kemudian kembali menatap fokus ke arah jalan raya. “Aku akan berusaha.” Ia mencoba untuk meyakin
“Larissa ingin ikut, sekalian mau cek kandungan.” Sergio memberitahu saat kami berangkat menuju rumah sakit untuk melepas gips seperti saran dokter ketika kontrol minggu lalu. Aku tidak menggubris ucapannya. Diberi izin atau tidak pun, Larissa pasti akan tetap ikut. Aku fokus pada kaki yang sudah bisa dipijakkan pelan-pelan. Tidak lagi terasa begitu sakit saat telapak kaki menyentuh lantai. Larissa berjalan mendahului kami sembari menggendong si bungsu. Ia masuk ke mobil lebih awal dan mengambil posisi di depan, tepat samping kemudi. “Sebaiknya kalian saja yang pergi. Kita bisa ke rumah sakit setelah kalian pulang nanti. Aku ingin ditemani ketika dokter melepas gips.” Aku berucap pada Sergio seraya mendongak menatap. Sepertinya ia tahu apa yang tengah aku pikirkan. Larissa juga pasti akan ingin ditemani ketika bertemu dengan dokter kandungan. Sergio harus memilih salah satu nantinya. “Jadwalnya tidak tabrakan. Dokter sudah menunggu kita. Selepas menemanimu, aku akan menemani Lari
“Pa, makan malamnya di luar saja, ya.” Larissa muncul menghampiri kami yang tengah duduk berdua di ruang tengah. Ia datang bersama anak-anak dengan setelan yang telah siap untuk berangkat. Sergio diam untuk beberapa saat. Menatap mereka yang terlihat penuh harap. Sudah lama juga sejak terkahir kali mereka pergi ke luar bersama. “Lain kali saja, ya.” Sergio menolak. Wajah Larissa langsung berubah. Ia cemberut, berbalik dan lekas berlalu pergi sembari menggendong si bungsu. “Ayo, Pa, mama bilang mau makan steak.” Johannes sedikit memaksa. Ia goyang lengan Sergio, meminta agar lelaki itu menuruti permintaan mamanya. Sergio menoleh padaku. Seolah meminta izin untuk pergi keluar. Sebab, aku tidak mungkin bisa ikut dengan kondisi seperti ini. Aku hanya diam. Ingin rasanya menahan, tapi takut jika nanti Larissa semakin menaruh dendam. Hidup seperti ini saja sudah sangat menyiksa. “Mami juga ikut, ya.” Johannes beralih padaku. “Mami tidak bisa ikut, Sayang. Kaki Mami lagi sakit.” Aku
Aku pindah ke kamar tamu di lantai bawah, agar mempermudah ketika ingin ke ruang makan saat jam makan. Tidak perlu naik turun tangga seperti biasanya. Namun, itu juga sedikit menyiksa, sebab kamarku yang saling berdekatan dengan kamar utama tempat Sergo dan Larissa berada. Aku kembali meminta dibelikan tongkat agar bisa berjalan sendiri tanpa bantuan siapa-siapa. Sergio selalu saja menuruti apa yang aku minta. Tidak ada satu pun alasan yang bisa kupakai untuk meluapkan kecemburuan padanya. Ia terlalu baik, sungguh. Aku juga jadi tidak enak hati jika harus berkeluh kesah tentang rasa cemburu yang beberapa hari ini menyiksa dada. Jadi, semuanya kutahan sendiri. Ternyata berbagi suami memang seberat ini. Larissa tidak ingin bertegur sapa setelah aku kembali dari kampung. Seminggu sudah aku di rumah ini, tapi dianggap tidak ada oleh dia. Ketika ku ajak bercerita pun, ia tidak ingin menanggapi. Jadi, ya sudah aku hanya mengikuti permainan yang ia jalankan. Ia beriskap dingin, aku pun ik
“Aku mau langsung pulang, masih ada kerjaan.” Clayton pamit saat kami telah tiba di rumah. Sepertinya ia memang sengaja menghindari pertemuan sekarang. Aku duduk di sofa, merentangkan kedua kaki di sana. Sementara Sergio langsung beranjak menuju dapur setelah adiknya itu pergi. “Mami capek?” Johannes mendekat. Ia ikut naik ke sofa, memijat kakiku dengan lembut.Aku menggeleng pelan sebagai jawaban. Kemudian tersenyum. Namun, tangan mungilnya tetap bergerilya di sana. “Minum dulu.” Sergio kembali dengan membawa sebotol air mineral dan juga gelas. “Istirahat dulu, Pa. Papa juga pasti lagi capek.” Aku berucap seraya menerima gelas yang sudah ia tuang air. Rasanya begitu gerah dan lelah karena telah melakukan perjalanan jauh. Apalagi Sergio yang harus bolak-balik berulang kali sejauh itu. Kulepas hijab yang menutup kepala, lalu mengibaskan tangan agar terasa lebih segar. “Mami gerah?” Johannes turun dari sofa, ia berlari entah ke mana, lalu datang lagi dengan sebuah buku di tangann
Aku duduk di pinggir, dekat jendela pesawat sebelah kiri. Sementara Sergio duduk tepat di sebelah kananku. Ia memesan tiket bisnis agar aku bisa duduk lebih nyaman, sebab lebih lapang dan leluasa. Sepanjang perjalanan, aku menatap ke arah jendela. Memerhatikan pemandangan yang tampak indah dari atas sini. Sesekali terjadi benturan kecil karena pesawat menabrak gumpalan awan. Aku merasa sedikit gelisah. Tidak senyaman biasanya saat Sergio ada bersamaku. Omongan para tetangga mulai merasuki hati dan pikiran. Aku takut untuk kembali ke rumah itu. Takut bertemu dengan Larissa, lalu mendapatkan perlakuan yang kurang baik darinya. Aku tidak pernah tahu apa yang ia rasakan selama ini. Nyatanya ia tidak seikhlas apa yang terucap dari mulutnya. Aku menoleh menatap Sergio. Ia kembali tertidur selama perjalanan lewat jalur udara. Tampaknya ia benar-benar lelah. Kedua tangannya menggenggam erat tangan kananku yang ia bawa ke antara kedua pahanya. Sejenak, kutatap wajah itu lamat-lamat. Ada pe
Wanita paruh baya itu bersikap acuh tak acuh. Sekeras dan sememelas apa pun aku meminta restu agar diperbolehkan ikut dengan Sergio ke Jakarta, ia tetap tidak mengizinkan. “Satu langkah saja kamu keluar dari rumah ini sama Sergio, jangan pernah injakkan kaki lagi ke rumah ini.” Ibu berucap dengan sangat tegas. Ia tidak main-main dengan kalimat yang baru saja terlontar dari mulutnya. Terlihat keseriusan di sana. Sebenci itu dia terhadap suamiku? Ternyata benar, cinta tidak akan selamanya tetap berbentuk cinta. Ibu pernah sangat mencintai Sergio, menganggap dia adalah pahlawan keluarga. Namun, kini cinta itu telah berubah menjadi benci yang tiada tara. “Aku sudah menikah, Bu. Sergio lebih berhak atas aku dibanding Ibu.” Aku terus memberikan jawaban yang serupa. Sergio kembali setelah ia pergi beberapa waktu yang lalu entah ke mana. Ia pulang dengan membawa tentengan. “Aku sudah membeli keperluan dapur dan peralatan mandi untuk stock satu bulan. Mungkin lebih.” Sergio berucap seraya
Ibu hanya diam saat ia pulang dan menemukan Sergio telah ada di rumah. Tidak ada tegur sapa, tidak ada basa-basi apa pun sama sekali. Sikapnya masih saja sama. Bersikap seolah Sergio tidak ada. Senyum lelaki itu hanya dibalas dengan wajah datar. Aku memerhatikan ekspresi Sergio setiap waktu. Memastikan bahwa ia tidak apa-apa dengan sikap Ibu. “Kau tidak apa-apa?” Aku bertanya dengan perasaan entah, saat tegur sapanya pada Ibu tidak ditanggapi sama sekali. Wanita paruh baya itu berjalan melewati, bahkan tidak menoleh sedikit pun. Rasanya lebih sakit ketika Ibu mengabaikan Sergio daripada ketika Ibu mengabaikan aku. Rasa sakitnya terasa dua kali lipat lebih parah. “Mungkin ibu capek, baru pulang kerja.” Sergio masih berpikir positif. Aku hanya bisa menghela napas dengan berat. Kami tengah duduk di kursi ruang depan. Membahas hal yang tidak terlalu penting. Berdiskusi untuk mengusir rasa sepi. Namun, setelah Ibu pulang, suasana malah terasa semakin mencekam. Terdengar bunyi perabota
“Jangan bicara sembarangan. Aku sibuk mengurus banyak hal, tidak ada waktu lagi jika harus menambah satu wanita.” Sergio langsung menyangkal tuduhanku yang tidak berdasar. Aku tahu ia tidak seburuk itu, hanya saja jauh darinya membuatku memikirkan banyak hal yang negatif tentangnya. “Kau tahu kenapa aku tidak ingin pisah rumah?” Ia bertanya dengan nada entah. “Karena aku tahu LDR itu tidak pernah memiliki ending yang baik.” Ia menjawab sendiri pertanyaan yang baru saja ia lontarkan. “Aku akan menyusul ke sana beberapa hari lagi agar kau berhenti berpikir negatif.” Ia terus mengoceh tanpa henti, tidak memberikanku waktu untuk membalas setiap kalimat yang ia lontarkan. Aku hanya menarik napas berat, merasa menyesal karena telah melontarkan pertanyaan yang mungkin telah menyinggung perasaannya. “Kita bicara lagi nanti. Aku harus menjemput Larissa sekarang.” Sergio kembali ke setelan awal. Berucap dengan penuh kelembutan. Aku hanya mengangguk dengan lemah meskipun ia tidak bisa melih