Sergio terus memeluk, menenangkan. Sekuat apa pun aku memberontak, ia tidak ingin melepaskan. Hingga tubuh terasa mulai kehilangan tenaga dan berhenti memberontak darinya. Kurasakan degup jantungnya berdetak dengan sangat tidak normal. Entah apa yang terjadi selama aku pergi, aku tidak tahu. Yang pasti, aku bisa merasakan bahwa ia juga sakit menahan rindu. Lagi-lagi aku luluh. Ia punya kekuatan besar untuk meluluhkan. Sedikit pun, aku tidak bisa melawan. “Kamu harus tenang. Ada anak kita di dalam perutmu.” Ia berucap setengah berbisik. Puncak kepalaku diusapnya dengan begitu lembut. Sejenak kami terdiam, irama jantung saling berbicara. Hanya isak tangis yang terdengar menyelingi detak jantung yang saling mengejar. “Kamu yang tenang. Tunggu di sini, jangan ke mana-mana. Aku akan memanggil perawat untuk memperbaiki jarum infusmu.” Ia berpesan sembari mewanti-wanti. Membantuku untuk rebahan kembali. Aku hanya diam, tapi tetap menurut. Setelah ia pergi, semua tubuh mulai terasa n
Baca selengkapnya