Aku tidak menjawab sama sekali permintaan Sergio. Sungguh, itu sangat berat. Aku tidak bisa egois hanya memikirkan diri sendiri, sebab ia memiliki anak dan istri. Anak-anaknya masih kecil, mereka butuh perhatian besar. Sergio menatap, tatapan itu penuh harap. Ada banyak luka yang dapat kulihat. Membuat dada semakin terasa sakit dan perih karena tersayat. “Pulanglah. Kita tidak akan pernah menikah.” Akhirnya kalimat itu terlontar juga setelah kutahan beberapa saat. Dada rasanya semakin terasa sesak, ingin meledak. Setiap bersamanya aku merasakan bahagia juga luka dalam waktu bersama. Entah seperti apa definisi sebenarnya yang ada di dalam dada. Aku merasa tenang ketika berada di sampingnya, tapi juga gelisah. Gelisah ketika memikirkan anak-anaknya di rumah. Ketika dulu kami menginap di hotel semalaman, istrinya berkata anak-anaknya rewel karena merindukan papanya. Entah seperti apa sekarang kondisi mereka. “Aku tidak akan pulang tanpamu.” Ia bersikukuh. Aku mendesis pelan. Pusing
Aku berjalan menuju kamar mandi. Tertatih sembari memegang perut dengan tangan kanan. Sementara tangan yang lain memegang botol infus agar tetap berada di tempat yang tinggi. Siang ini tidak ada siapa pun yang menemani. Clayton mungkin bekerja, apalagi kami tidak ada hubungan apa-apa. Jadi, wajar saja jika dia tidak ada di sini. Sementara Sergio tidak ada kabar sama sekali setelah dua hari ini. Mungkin ia benar-benar tidak akan pernah menemuiku lagi setelah kupaksa pergi di malam itu. Badan rasanya masih lemas. Tenaga belum pulih total. Lutut gemetar saat dipaksa untuk berjalan. Aku memegang pintu kamar mandi. Kepala terasa berat, mata mulai berkunang-kunang. Keseimbangan badan tidak terjaga. Kedua lutut semakin terasa bergetar, sebab tidak bisa menopang berat badan. Rasanya ingin tumbang. Aku benar-benar mulai kehilangan keseimbangan. Meskipun telah berpegang pada pintu kamar mandi, tetap saja aku tumbang ke belakang. Namun, tidak langsung menyentuh lantai. Kurasakan ada badan l
Aku menunggu saat-saat Sergio pulang, agar bisa keluar dan meminta untuk pindah kamar. Namun, ia tidak kunjung beranjak dari ruangan ini. Bahkan tidak ingin meninggalkan barang semenit pun. Ia tetap berada di sini. Tidak terlalu banyak perbincangan di antara kami. Seolah diam adalah solusi yang terbaik agar tidak terjadi lagi perdebatan dan pertengkaran antara aku dan dia. Sergio duduk di atas kursi samping ranjang. Ia melipat tangan di dada, terus menatap sejak tadi. Seakan tidak ingin aku terlepas dari pandangan. Terdengar ketukan di pintu kamar. Jantungku semakin memompa darah dengan begitu cepat. Degup jantung saling beradu dengan debar di dada. Aku takut. Ketika istri Sergio tetap bersikap baik, itu lebih menakutkan daripada ia marah dan memaki. Aku tidak tahu apa maksud di balik sikap mengalah itu. Tidak ada yang tahu isi hati yang sebenarnya selain ia dan Tuhan-nya. Clayton dan istri Sergio masuk bersama anak-anak. Entah bagaimana cara mereka masuk, sebab di rumah sakit i
Dokter datang setelah dipanggil oleh Sergio. Perutku diperiksa. Dan dia menyatakan bahwa sudah tidak ada tanda-tanda kehamilan. Aku benar-benar keguguran. “Coba diperiksa, ada yang keluar apa tidak?” Dokter itu meminta agar aku ke kamar mandi untuk mengecek. “Ada, Dok. Saya merasakannya.” Aku menjawab sebelum Sergio datang mendekat membantuku bangkit untuk duduk dan berjalan menuju kamar mandi. Kurasakan celana dalam juga telah basah karena darah. Mungkin juga tembus hingga menodai seprei. Ternyata obatnya benar-benar memberikan efek yang kuat. Mungkin karena terbantu dengan nanas muda itu juga. “Lebih baik dikuret untuk membersihkan sisa kotoran. Itu yang membuat perutnya sakit. Obat penggugur itu masih bereaksi.” Dokter kembali menyarankan meskipun bakal janin telah keluar. Aku mengangguk dengan cepat. Setuju. Sebab, rasa sakitnya sudah tidak tertahan. Jika rahim dibersihkan mungkin akan pulih lebih cepat. Sergio diminta untuk mengurus administrasi agar operasi kuret dilakukan.
Aku dibawa oleh para perawat ke ruang operasi. Tidak ada yang mendampingi. Sergio sibuk mencari putrinya. Larissa juga entah kemana karena tengah menenangkan bayinya yang menangis sejak tadi. Sementara Clayton bersama Johannes tidak ingin beranjak dari ruang VVIP yang tadi aku tempati. Aku sendirian di ruang operasi. Menunggu persiapan kuret. Cukup lama hingga dokter dan para pendampingnya datang membawa peralatan. Harusnya ada salah satu keluarga yang menemani di sini. Namun, mau bagaimana lagi? Aku tidak memiliki siapa pun. Aku menarik napas berat. Merasa ngeri ketika membayangkan perut akan dibedah. Belum disentuh pisau pun aku sudah merasa ngilu duluan. “Dok, setelah keluar dari sini nanti, tolong pindahkan saya ke ruang biasa saja. Di bangsal yang dihuni oleh banyak pasien. Jangan beritahu siapa pun. Pindahkan tanpa Sergio tahu.” Aku berucap penuh harap. Sang dokter mengangguk mengiyakan. Lelaki itu bertanya banyak hal. Cairan anastesi mulai disuntikkan. Perlahan aku mulai m
“Mama mana?” Aku bertanya pada Johannes dengan posisi berlutut. Kuusap wajahnya yang telah basah dan memerah. Setiap tetes air mata yang jatuh dari pipinya seolah menjadi hantaman besar untukku. Tetesan-tetesan itu seakan berubah menjadi anak-anak panah yang siap menyerbu ulu hati. Tatapan yang selalu penuh dengan binar dan semangat, kini terlihat sayu dan penuh rasa takut. Johannes menggeleng pelan. Tampak sekali bahwa ia tengah ketakutan. Mungkin saja bayang-bayang ketika Sergio mengamuk masih terputar dengan jelas di otaknya. Aku tahu betul Sergio tidak pernah marah sebelumnya. Bahkan ia pantang membentak anak-anak. Wajar saja jika mereka terlihat ketakutan seperti itu. Kubawa mereka ke dalam dekapan. Mengabaikan rasa sakit di bagian intim. Sebab, sakit di bagian itu tidak sebanding dengan rasa sakit di hati. Bocah-bocah ini belum mengerti apa pun. Namun, harus nenjadi korban atas semuanya. Kurasakan jantung mereka berdegup dengan sangat cepat. Pertanda bahwa kondisi mental me
Clayton benar-benar menepati janjinya. Ia datang di saat aku tengah mengurus administrasi. Dokter masih menyarankan agar dirawat sehari lagi demi memastikan bahwa uterus sudah membaik. Namun, aku tetap nekat ingin pulang. Membuat surat pernyataan bahwa rumah sakit telah lepas tangan. Jadi, jika terjadi sesuatu nanti, mereka tidak bisa dituntut. Sebab, pasien yang memaksa ingin pulang. Aku sudah menandatangani. Tagihan biaya rumah sakit tengah dihitung. Clayton berjalan mendekat, ia berdiri tepat di sampingku. Lelaki itu merogoh saku, mengambil dompet dan mengeluarkan sebuah kartu. “Simpan saja uangmu. Aku punya uang untuk mengurus semuanya.” Aku menolak bantuan darinya. Ia tidak ingin mendengar, tetap menyodorkan kartu itu. “Anggap saja ini permintaan maaf dariku. Kau di sini karena aku.” Ia menjawab dengan tegas. Mengambil alih untuk mengurus semua administrasi dan memintaku agar menunggu di kursi. Aku menurut. Berbalik dan mencari kursi untuk duduk. Kurogoh tas untuk mencari
Aku keluar dari kamar mandi dengan piyama abu berbentuk kimono. Senyum Sergio langsung meyambut saat mata kami saling beradu. Malam ini ia terlihat semakin tampan, seolah ada energi yang membuatnya tampak bersinar. Aku ikut tersenyum, menunduk untuk menyembunyikan wajah yang terasa memanas. Ini malam pertama setelah kami menikah. Aku merasa begitu canggung, meskipun sebelum menikah kami telah pernah beradu kekuatan di atas ranjang. Namun, rasanya malam ini berbeda. Mungkin karena telah ada hubungan halal yang mengikat. Langkah sengaja kupelankan agar memberikan jeda cukup lama hingga aku tiba di ranjang. Degup jantung saling beradu dengan debar di dada yang terasa kian tidak beraturan. Setelah dokter mengatakan aman untuk melakukan hubungan badan, Sergio terlihat begitu bersemangat. Beberapa malam sejak kami tidur satu ranjang, ia selalu mengeluh sakit kepala karena tidak tahan untuk segera memuaskan nafsunya. Namun, karena aku baru kuret sehabis keguguran, dokter melarang. Ia terl
“Kamu tunggu di mobil, ya. Nanti aku nyusul.” Sergio berucap ketika kami telah sepakat untuk mencari rumah pagi ini setelah ia mengantar anak-anak ke sekolah. Aku mengangguk, lalu beranjak menuju mobil dan menunggu di sana. Cukup lama hingga Sergio datang menyusul. Mobil mulai melaju dengan kecepatan sedang menuju arah yang sudah sangat familiar. “Kita ke kost?” Aku menoleh ada Sergio, mencari jawaban. “Kita singgah sebentar, aku ada janji dengan salah satu penghuni. Katanya mau bayar sewa kost untuk satu tahun hari ini. Tapi tadi dihubungi tidak ada respons sama sekali.” Aku menarik napas berat, dapat kubaca keresahan di wajahnya. “Kau tidak punya uang?” Kugenggam tangannya yang tengah mengendalikan kemudi. Ia telah mengeluarkan uang banyak beberapa bulan ini, mungkin saja tabungannya telah terkuras habis. Apalagi biaya hidup kami cukup tinggi. Sergio menoleh. Ia tersenyum sekilas, kemudian kembali menatap fokus ke arah jalan raya. “Aku akan berusaha.” Ia mencoba untuk meyakin
“Larissa ingin ikut, sekalian mau cek kandungan.” Sergio memberitahu saat kami berangkat menuju rumah sakit untuk melepas gips seperti saran dokter ketika kontrol minggu lalu. Aku tidak menggubris ucapannya. Diberi izin atau tidak pun, Larissa pasti akan tetap ikut. Aku fokus pada kaki yang sudah bisa dipijakkan pelan-pelan. Tidak lagi terasa begitu sakit saat telapak kaki menyentuh lantai. Larissa berjalan mendahului kami sembari menggendong si bungsu. Ia masuk ke mobil lebih awal dan mengambil posisi di depan, tepat samping kemudi. “Sebaiknya kalian saja yang pergi. Kita bisa ke rumah sakit setelah kalian pulang nanti. Aku ingin ditemani ketika dokter melepas gips.” Aku berucap pada Sergio seraya mendongak menatap. Sepertinya ia tahu apa yang tengah aku pikirkan. Larissa juga pasti akan ingin ditemani ketika bertemu dengan dokter kandungan. Sergio harus memilih salah satu nantinya. “Jadwalnya tidak tabrakan. Dokter sudah menunggu kita. Selepas menemanimu, aku akan menemani Lari
“Pa, makan malamnya di luar saja, ya.” Larissa muncul menghampiri kami yang tengah duduk berdua di ruang tengah. Ia datang bersama anak-anak dengan setelan yang telah siap untuk berangkat. Sergio diam untuk beberapa saat. Menatap mereka yang terlihat penuh harap. Sudah lama juga sejak terkahir kali mereka pergi ke luar bersama. “Lain kali saja, ya.” Sergio menolak. Wajah Larissa langsung berubah. Ia cemberut, berbalik dan lekas berlalu pergi sembari menggendong si bungsu. “Ayo, Pa, mama bilang mau makan steak.” Johannes sedikit memaksa. Ia goyang lengan Sergio, meminta agar lelaki itu menuruti permintaan mamanya. Sergio menoleh padaku. Seolah meminta izin untuk pergi keluar. Sebab, aku tidak mungkin bisa ikut dengan kondisi seperti ini. Aku hanya diam. Ingin rasanya menahan, tapi takut jika nanti Larissa semakin menaruh dendam. Hidup seperti ini saja sudah sangat menyiksa. “Mami juga ikut, ya.” Johannes beralih padaku. “Mami tidak bisa ikut, Sayang. Kaki Mami lagi sakit.” Aku
Aku pindah ke kamar tamu di lantai bawah, agar mempermudah ketika ingin ke ruang makan saat jam makan. Tidak perlu naik turun tangga seperti biasanya. Namun, itu juga sedikit menyiksa, sebab kamarku yang saling berdekatan dengan kamar utama tempat Sergo dan Larissa berada. Aku kembali meminta dibelikan tongkat agar bisa berjalan sendiri tanpa bantuan siapa-siapa. Sergio selalu saja menuruti apa yang aku minta. Tidak ada satu pun alasan yang bisa kupakai untuk meluapkan kecemburuan padanya. Ia terlalu baik, sungguh. Aku juga jadi tidak enak hati jika harus berkeluh kesah tentang rasa cemburu yang beberapa hari ini menyiksa dada. Jadi, semuanya kutahan sendiri. Ternyata berbagi suami memang seberat ini. Larissa tidak ingin bertegur sapa setelah aku kembali dari kampung. Seminggu sudah aku di rumah ini, tapi dianggap tidak ada oleh dia. Ketika ku ajak bercerita pun, ia tidak ingin menanggapi. Jadi, ya sudah aku hanya mengikuti permainan yang ia jalankan. Ia beriskap dingin, aku pun ik
“Aku mau langsung pulang, masih ada kerjaan.” Clayton pamit saat kami telah tiba di rumah. Sepertinya ia memang sengaja menghindari pertemuan sekarang. Aku duduk di sofa, merentangkan kedua kaki di sana. Sementara Sergio langsung beranjak menuju dapur setelah adiknya itu pergi. “Mami capek?” Johannes mendekat. Ia ikut naik ke sofa, memijat kakiku dengan lembut.Aku menggeleng pelan sebagai jawaban. Kemudian tersenyum. Namun, tangan mungilnya tetap bergerilya di sana. “Minum dulu.” Sergio kembali dengan membawa sebotol air mineral dan juga gelas. “Istirahat dulu, Pa. Papa juga pasti lagi capek.” Aku berucap seraya menerima gelas yang sudah ia tuang air. Rasanya begitu gerah dan lelah karena telah melakukan perjalanan jauh. Apalagi Sergio yang harus bolak-balik berulang kali sejauh itu. Kulepas hijab yang menutup kepala, lalu mengibaskan tangan agar terasa lebih segar. “Mami gerah?” Johannes turun dari sofa, ia berlari entah ke mana, lalu datang lagi dengan sebuah buku di tangann
Aku duduk di pinggir, dekat jendela pesawat sebelah kiri. Sementara Sergio duduk tepat di sebelah kananku. Ia memesan tiket bisnis agar aku bisa duduk lebih nyaman, sebab lebih lapang dan leluasa. Sepanjang perjalanan, aku menatap ke arah jendela. Memerhatikan pemandangan yang tampak indah dari atas sini. Sesekali terjadi benturan kecil karena pesawat menabrak gumpalan awan. Aku merasa sedikit gelisah. Tidak senyaman biasanya saat Sergio ada bersamaku. Omongan para tetangga mulai merasuki hati dan pikiran. Aku takut untuk kembali ke rumah itu. Takut bertemu dengan Larissa, lalu mendapatkan perlakuan yang kurang baik darinya. Aku tidak pernah tahu apa yang ia rasakan selama ini. Nyatanya ia tidak seikhlas apa yang terucap dari mulutnya. Aku menoleh menatap Sergio. Ia kembali tertidur selama perjalanan lewat jalur udara. Tampaknya ia benar-benar lelah. Kedua tangannya menggenggam erat tangan kananku yang ia bawa ke antara kedua pahanya. Sejenak, kutatap wajah itu lamat-lamat. Ada pe
Wanita paruh baya itu bersikap acuh tak acuh. Sekeras dan sememelas apa pun aku meminta restu agar diperbolehkan ikut dengan Sergio ke Jakarta, ia tetap tidak mengizinkan. “Satu langkah saja kamu keluar dari rumah ini sama Sergio, jangan pernah injakkan kaki lagi ke rumah ini.” Ibu berucap dengan sangat tegas. Ia tidak main-main dengan kalimat yang baru saja terlontar dari mulutnya. Terlihat keseriusan di sana. Sebenci itu dia terhadap suamiku? Ternyata benar, cinta tidak akan selamanya tetap berbentuk cinta. Ibu pernah sangat mencintai Sergio, menganggap dia adalah pahlawan keluarga. Namun, kini cinta itu telah berubah menjadi benci yang tiada tara. “Aku sudah menikah, Bu. Sergio lebih berhak atas aku dibanding Ibu.” Aku terus memberikan jawaban yang serupa. Sergio kembali setelah ia pergi beberapa waktu yang lalu entah ke mana. Ia pulang dengan membawa tentengan. “Aku sudah membeli keperluan dapur dan peralatan mandi untuk stock satu bulan. Mungkin lebih.” Sergio berucap seraya
Ibu hanya diam saat ia pulang dan menemukan Sergio telah ada di rumah. Tidak ada tegur sapa, tidak ada basa-basi apa pun sama sekali. Sikapnya masih saja sama. Bersikap seolah Sergio tidak ada. Senyum lelaki itu hanya dibalas dengan wajah datar. Aku memerhatikan ekspresi Sergio setiap waktu. Memastikan bahwa ia tidak apa-apa dengan sikap Ibu. “Kau tidak apa-apa?” Aku bertanya dengan perasaan entah, saat tegur sapanya pada Ibu tidak ditanggapi sama sekali. Wanita paruh baya itu berjalan melewati, bahkan tidak menoleh sedikit pun. Rasanya lebih sakit ketika Ibu mengabaikan Sergio daripada ketika Ibu mengabaikan aku. Rasa sakitnya terasa dua kali lipat lebih parah. “Mungkin ibu capek, baru pulang kerja.” Sergio masih berpikir positif. Aku hanya bisa menghela napas dengan berat. Kami tengah duduk di kursi ruang depan. Membahas hal yang tidak terlalu penting. Berdiskusi untuk mengusir rasa sepi. Namun, setelah Ibu pulang, suasana malah terasa semakin mencekam. Terdengar bunyi perabota
“Jangan bicara sembarangan. Aku sibuk mengurus banyak hal, tidak ada waktu lagi jika harus menambah satu wanita.” Sergio langsung menyangkal tuduhanku yang tidak berdasar. Aku tahu ia tidak seburuk itu, hanya saja jauh darinya membuatku memikirkan banyak hal yang negatif tentangnya. “Kau tahu kenapa aku tidak ingin pisah rumah?” Ia bertanya dengan nada entah. “Karena aku tahu LDR itu tidak pernah memiliki ending yang baik.” Ia menjawab sendiri pertanyaan yang baru saja ia lontarkan. “Aku akan menyusul ke sana beberapa hari lagi agar kau berhenti berpikir negatif.” Ia terus mengoceh tanpa henti, tidak memberikanku waktu untuk membalas setiap kalimat yang ia lontarkan. Aku hanya menarik napas berat, merasa menyesal karena telah melontarkan pertanyaan yang mungkin telah menyinggung perasaannya. “Kita bicara lagi nanti. Aku harus menjemput Larissa sekarang.” Sergio kembali ke setelan awal. Berucap dengan penuh kelembutan. Aku hanya mengangguk dengan lemah meskipun ia tidak bisa melih