Aku berlalu dengan rasa sakit di dada. Tidak peduli apa pun yang terjadi, janin ini harus digugurkan. Aku tidak ingin ia mendapatkan pertanyaan yang serupa kelak. Mendapatkan ejekan-ejekan karena tidak punya bapak. Apa pun risikonya, akan aku tanggung. Kutancap gas dengan kecepatan tinggi. Berhenti di pinggir jalan untuk membeli nanas muda. Lalu, kembali lagi menancap gas menuju kost-an. Area kost tampak begitu sepi. Sebab, ini jam kerja, juga jam aktif belajar untuk pelajar dan maha siswa. Jadi, hanya ada aku sendiri. Memberikan sedikit kemudahan agar tidak ketahuan. Kukeluarkan obat penggugur di dalam jok, juga tiga buah nanas muda yang tadi sempat kubeli. Bergegas menuju kamar untuk segera mengonsumsi. Kutelan beberapa butir pil tanpa membaca dosis terlebih dahulu. Aku ingin ia keluar sekarang. Agar beban mental ini segera terlepas dari badan. Tidak ada efek yang kurasakan setelah menunggu beberapa saat. Obat itu tidak memberikan respons apa pun. Jadi, kutambah lagi dosisnya.
Sergio terus memeluk, menenangkan. Sekuat apa pun aku memberontak, ia tidak ingin melepaskan. Hingga tubuh terasa mulai kehilangan tenaga dan berhenti memberontak darinya. Kurasakan degup jantungnya berdetak dengan sangat tidak normal. Entah apa yang terjadi selama aku pergi, aku tidak tahu. Yang pasti, aku bisa merasakan bahwa ia juga sakit menahan rindu. Lagi-lagi aku luluh. Ia punya kekuatan besar untuk meluluhkan. Sedikit pun, aku tidak bisa melawan. “Kamu harus tenang. Ada anak kita di dalam perutmu.” Ia berucap setengah berbisik. Puncak kepalaku diusapnya dengan begitu lembut. Sejenak kami terdiam, irama jantung saling berbicara. Hanya isak tangis yang terdengar menyelingi detak jantung yang saling mengejar. “Kamu yang tenang. Tunggu di sini, jangan ke mana-mana. Aku akan memanggil perawat untuk memperbaiki jarum infusmu.” Ia berpesan sembari mewanti-wanti. Membantuku untuk rebahan kembali. Aku hanya diam, tapi tetap menurut. Setelah ia pergi, semua tubuh mulai terasa n
“Kau membenciku. Mengapa kau ingin menikah denganku? Apa karena kau takut aku merusak rumah tangga saudaramu?” Aku bertanya seraya tersenyum getir. Ajakan nikah yang ia ucapkan terasa begitu menggelitik. Sejak dari awal bertemu pun, ia sudah menaruh benci. Lalu, mengapa tiba-tiba ia mengajak untuk menikah? Clayton menghela napas berat. Ia tarik kursi samping brankar dan duduk di atasnya. Kemudian menatapku dengan lekat. “Apa itu salah?” Ia bertanya seraya menaikkan alis kanan.“Sangat.” Aku menjawab dengan lemah. Pernikahan bukanlah hal yang bisa dipermainkan. Andai pernikahan bukan hal yang sakral, sudah kurusak lebih dulu pernikahan Sergio dengan istrinya.“Di mana letak kesalahannya?” Ia kembali bertanya. Kali ini aku tidak lagi menjawab. Tenggorokan rasanya begitu serak. Ingin minum. Bibir juga terasa semakin kering. Aku berdehem kecil, memberikan kode bahwa aku butuh air mineral. Tidak ingin meminta tolong secara langsung, sebab ada ego sebagai penghalang. Namun, tampaknya
Aku tidak menjawab sama sekali permintaan Sergio. Sungguh, itu sangat berat. Aku tidak bisa egois hanya memikirkan diri sendiri, sebab ia memiliki anak dan istri. Anak-anaknya masih kecil, mereka butuh perhatian besar. Sergio menatap, tatapan itu penuh harap. Ada banyak luka yang dapat kulihat. Membuat dada semakin terasa sakit dan perih karena tersayat. “Pulanglah. Kita tidak akan pernah menikah.” Akhirnya kalimat itu terlontar juga setelah kutahan beberapa saat. Dada rasanya semakin terasa sesak, ingin meledak. Setiap bersamanya aku merasakan bahagia juga luka dalam waktu bersama. Entah seperti apa definisi sebenarnya yang ada di dalam dada. Aku merasa tenang ketika berada di sampingnya, tapi juga gelisah. Gelisah ketika memikirkan anak-anaknya di rumah. Ketika dulu kami menginap di hotel semalaman, istrinya berkata anak-anaknya rewel karena merindukan papanya. Entah seperti apa sekarang kondisi mereka. “Aku tidak akan pulang tanpamu.” Ia bersikukuh. Aku mendesis pelan. Pusing
Aku berjalan menuju kamar mandi. Tertatih sembari memegang perut dengan tangan kanan. Sementara tangan yang lain memegang botol infus agar tetap berada di tempat yang tinggi. Siang ini tidak ada siapa pun yang menemani. Clayton mungkin bekerja, apalagi kami tidak ada hubungan apa-apa. Jadi, wajar saja jika dia tidak ada di sini. Sementara Sergio tidak ada kabar sama sekali setelah dua hari ini. Mungkin ia benar-benar tidak akan pernah menemuiku lagi setelah kupaksa pergi di malam itu. Badan rasanya masih lemas. Tenaga belum pulih total. Lutut gemetar saat dipaksa untuk berjalan. Aku memegang pintu kamar mandi. Kepala terasa berat, mata mulai berkunang-kunang. Keseimbangan badan tidak terjaga. Kedua lutut semakin terasa bergetar, sebab tidak bisa menopang berat badan. Rasanya ingin tumbang. Aku benar-benar mulai kehilangan keseimbangan. Meskipun telah berpegang pada pintu kamar mandi, tetap saja aku tumbang ke belakang. Namun, tidak langsung menyentuh lantai. Kurasakan ada badan l
Aku menunggu saat-saat Sergio pulang, agar bisa keluar dan meminta untuk pindah kamar. Namun, ia tidak kunjung beranjak dari ruangan ini. Bahkan tidak ingin meninggalkan barang semenit pun. Ia tetap berada di sini. Tidak terlalu banyak perbincangan di antara kami. Seolah diam adalah solusi yang terbaik agar tidak terjadi lagi perdebatan dan pertengkaran antara aku dan dia. Sergio duduk di atas kursi samping ranjang. Ia melipat tangan di dada, terus menatap sejak tadi. Seakan tidak ingin aku terlepas dari pandangan. Terdengar ketukan di pintu kamar. Jantungku semakin memompa darah dengan begitu cepat. Degup jantung saling beradu dengan debar di dada. Aku takut. Ketika istri Sergio tetap bersikap baik, itu lebih menakutkan daripada ia marah dan memaki. Aku tidak tahu apa maksud di balik sikap mengalah itu. Tidak ada yang tahu isi hati yang sebenarnya selain ia dan Tuhan-nya. Clayton dan istri Sergio masuk bersama anak-anak. Entah bagaimana cara mereka masuk, sebab di rumah sakit i
Dokter datang setelah dipanggil oleh Sergio. Perutku diperiksa. Dan dia menyatakan bahwa sudah tidak ada tanda-tanda kehamilan. Aku benar-benar keguguran. “Coba diperiksa, ada yang keluar apa tidak?” Dokter itu meminta agar aku ke kamar mandi untuk mengecek. “Ada, Dok. Saya merasakannya.” Aku menjawab sebelum Sergio datang mendekat membantuku bangkit untuk duduk dan berjalan menuju kamar mandi. Kurasakan celana dalam juga telah basah karena darah. Mungkin juga tembus hingga menodai seprei. Ternyata obatnya benar-benar memberikan efek yang kuat. Mungkin karena terbantu dengan nanas muda itu juga. “Lebih baik dikuret untuk membersihkan sisa kotoran. Itu yang membuat perutnya sakit. Obat penggugur itu masih bereaksi.” Dokter kembali menyarankan meskipun bakal janin telah keluar. Aku mengangguk dengan cepat. Setuju. Sebab, rasa sakitnya sudah tidak tertahan. Jika rahim dibersihkan mungkin akan pulih lebih cepat. Sergio diminta untuk mengurus administrasi agar operasi kuret dilakukan.
Aku dibawa oleh para perawat ke ruang operasi. Tidak ada yang mendampingi. Sergio sibuk mencari putrinya. Larissa juga entah kemana karena tengah menenangkan bayinya yang menangis sejak tadi. Sementara Clayton bersama Johannes tidak ingin beranjak dari ruang VVIP yang tadi aku tempati. Aku sendirian di ruang operasi. Menunggu persiapan kuret. Cukup lama hingga dokter dan para pendampingnya datang membawa peralatan. Harusnya ada salah satu keluarga yang menemani di sini. Namun, mau bagaimana lagi? Aku tidak memiliki siapa pun. Aku menarik napas berat. Merasa ngeri ketika membayangkan perut akan dibedah. Belum disentuh pisau pun aku sudah merasa ngilu duluan. “Dok, setelah keluar dari sini nanti, tolong pindahkan saya ke ruang biasa saja. Di bangsal yang dihuni oleh banyak pasien. Jangan beritahu siapa pun. Pindahkan tanpa Sergio tahu.” Aku berucap penuh harap. Sang dokter mengangguk mengiyakan. Lelaki itu bertanya banyak hal. Cairan anastesi mulai disuntikkan. Perlahan aku mulai m