Semua Bab Kembang Desa Milik Polisi Tampan: Bab 51 - Bab 60

70 Bab

Part 51. Peran Clayton

Mobil melambat ketika kami tiba di halaman rumah. Rumah tampak ramai dengan bendera putih yang berkibar di dekat pagar kayu. Aku lekas turun setelah mobil berhenti, membiarkan Clayton untuk menangani urusan bayar-membayar. Kaki terasa berat untuk melangkah. Tangis kembali pecah saat aku menerobos kerumunan khalayak. Aku terjatuh tepat di sisi kanan Bapak. Tubuh pucatnya terbujur kaku di tengah orang-orang yang tengah membacakan ayat. “Bapak!” Aku berteriak histeris, memeluk tubuhnya dengan hati teriris. Beberapa tetangga datang mendekat, mencoba untuk menenangkan agar aku melepas Bapak. “Bapak!” Aku memberontak, melakukan perlawanan dan terus berteriak. Mengguncang tubuh kaku itu dengan hati yang kian terasa pilu. “Ikhlaskan, Din.” Kudengar suara seorang wanita berucap tepat di telinga. Aku dibawa ke dalam dekapannya. Aku pasrah, melepas Bapak dan menangis pada sosok yang memelukku. Sungguh, ini terlalu berat untukku. Kehilangan Bapak di saat aku masih belum bisa membuat ia ba
Baca selengkapnya

Part 52. Ceraikan Istrimu

Season Dua part 7Aku tengah duduk di teras, ketika rumah beranjak sepi setelah para pelayat pulang sehabis baca yasin bersama. Malam ini tidak ada yang bisa kami suguhkan selain air mineral juga roti murah yang dibeli di minimarket bersama Clayton sore tadi. Ia banyak membantu, aku merasa berhutang jasa padanya. Gerimis mulai turun, sementara bulan tampak terang di atas sana. Aku menarik napas berat berkali-kali. Menghempaskan punggung pada sandaran kursi yang terbuat dari kayu. Jika sudah begini, lagi-lagi aku ingin menangis agar hati bisa sedikit lebih tenang. “Sergio ingin bicara.” Clayton membuatku terkejut dengan kalimatnya. Entah kapan ia berdiri di samping kursi yang aku duduki. Aku mengusap pelupuk mata, tidak ingin tertangkap basah jika tengah menangisi Bapak lagi. “Aku sedang tidak mau bicara.” Aku menolak. Hingga malam ini ponsel masih belum kuaktifkan. Sengaja, agar Sergio tidak bisa menghubungi. Aku sedang tidak ingin diganggu olehnya. Aku menatap Clayton, lelak
Baca selengkapnya

Part 53. Sergio Menyusul

Aku terkejut ketika hendak bangkit dan masuk ke rumah, sebab telah ada Clayton yang tengah berdiri di ambang pintu. Ia menatapku dengan sorot entah. Sepertinya ia mendengar semua percakapanku dengan Sergio. “Terima kasih.” Kuulurkan ponselnya, mengembalikan. Ia menerima uluranku untuk mengambil alih ponselnya. Tarikan napas kasar terdengar dari lelaki itu. Aku lekas masuk setelah menyerahkan ponsel itu. Ibu sudah tidak ada di ruang depan, sepertinya ia telah tidur karena kelelahan. Sementara Devan tengah kumpul di sudut ruangan, duduk sejajar bersama dua temannya, entah sedang membicarakan apa. Aku mengarahkan langkah menuju kamar. Menghempaskan tubuh dengan sedikit kasar ke ranjang. Lalu, meraih sling bag untuk mengeluarkan ponsel dari dalam. Puluhan pesan dari Sergio langsung masuk setelah ponsel kunyalakan. Ia berusaha menghubungi sejak semalam. Sepertinya Clayton benar, Sergio benar-benar khawatir. Kublokir nomor lelaki itu agar ia tidak lagi bisa menghubungi. Wallpaper po
Baca selengkapnya

Part 54. Permintaan Maaf

“Aku yang memberitahunya alamat rumahmu, ia tidak hapal karena baru sekali ke sini dulu.” Clayton memberitahu tanpa kutanya. Ia telah berdiri di sisi kananku. Aku menoleh sekilas ke arah Clayton, ia fokus menatap saudaranya di depan sana. Detik berikutnya aku kembali menatap Sergio. Ibu melepas pelukan setelah ia puas menangis pada menantunya itu. “Dinda sudah pulang.” Ibu berucap saat ia menoleh ke arahku. Sergio ikut menoleh ke belakang. Tatapan kami beradu untuk beberapa saat, kemudian ia bangkit berdiri pada menit berikutnya. “Jika ingin bertengkar sembunyilah, jangan di depan banyak orang.” Clayton berucap, kemudian berlalu begitu saja. Aku menatap Clayton yang beranjak pergi. Kemudian beralih kembali menatap Sergio. Lelaki itu berdiri tepat di depanku sekarang. “Aku ingin bicara.” Kutarik ia untuk masuk ke kamar. Kamar yang dulu pernah kami tempati setelah sah menjadi suami istri. Kukunci pintu agar tidak ada yang bisa masuk saat kami tengah bicara. Aku duduk di tepian r
Baca selengkapnya

Part 55. Kecelakaan Tunggal

Aku tidak ingat betul apa yang terjadi di malam itu. Yang jelas, terjadi benturan keras hingga semuanya berubah gelap. Saat terbangun, aku telah berada di dalam ruangan serba putih. Kaki dan tangan terasa sangat sakit saat digerakkan. “Kau sudah bangun?” Pertanyaan Sergio langsung menyapa telinga sesaat setelah aku membuka mata. Aku berusaha untuk bangkit, tangan kiri telah diperban dengan diapit oleh dua papan. Begitu juga dengan kaki kanan. Rasanya begitu nyeri saat digerakkan. Aku ingat ketika ada kilatan cahaya yang tiba-tiba menyilaukan mata, lalu motor menghantam pembatas jalan. Hanya sebatas itu yang kuingat. “Di mana Clayton?” Aku bertanya seraya meringis kesakitan. “Dia ada di rumah.” “Dia baik-baik saja?” Aku bertanya tidak percaya. Setidaknya kami memiliki luka yang hampir sama. Bahkan seharusnya ia lebih parah, sebab ia duduk di jok belakang. “Dia melompat saat tahu motor akan menabrak pembatas. Pengecut memang, dia hanya memikirkan nyawa sendiri. Lelaki macam apa y
Baca selengkapnya

Part 56. Ditinggal Lagi

“Aku bisa makan sendiri.” Aku menolak ketika Sergio hendak menyuapi. “Yang sakit itu tangan kiri, bukan yang kanan.” Aku melanjutkan seraya mengangkat tangan kiri yang baru ganti perban. Sudah ada sedikit tenaga menggerakkan meski terasa sakit dan kaku karena diapit dua papan. Sergio meletakkan nampan berisi piring dan mangkok itu ke atas pahaku yang terjulur. Menjadikannya sebagai meja. Kemudian mengalihkan sendok ke tangan kananku. Aku mulai menikmati makanan yang sudah disediakan oleh pihak rumah sakit. Meski rasanya tidak seenak makanan rumahan biasanya, tetap saja bisa dinikmati. Sedikit sulit ketika hanya tangan kanan yang bekerja, aku makan dengan sangat berantakan jadinya. Butiran nasi berjatuhan di mana-mana. Sergio membiarkan, menunggu aku selesai makan baru ia bereskan. “Kapan aku bisa pulang?” Aku bertanya setelah ia memberikan obat untuk kuminum. Aku sudah mulai bosan di rumah sakit. Apalagi malam nanti adalah malam ketujuh kepergian Bapak. “Tunggu konfirmasi dari do
Baca selengkapnya

Part 57. Kau Harus Berpisah Dengan Sergio

Aku pulang ke rumah dua hari setelah Sergio balik ke Jakarta. Selama ia tidak ada, Clayton yang lebih banyak membantu. Termasuk ketika aku ingin buang air besar ataupun kecil, juga ketika hendak mandi. Ia yang membawaku ke kamar mandi sebelum aku kuat berjalan sendiri seperti hari ini. Hanya membawa, selebihnya ibu yang mengurus. Biar bagaimana pun, ia juga sangat menjaga interaksi di antara kami. Pagi ini aku berjemur di teras dengan kaki menjulur ke kursi yang sengaja dipindahkan ke depan, agar aku lebih mudah untuk bersantai. Sementara tongkat kuletakkan di sisi kiri. Clayton berulang kali menyarankan agar aku menggunakan kursi roda, tapi aku menolak karena merasa masih sanggup jalan meski dengan bantuan tongkat. Ponsel berdering dengan nama Sergio tertera di layar. Lekas kuangkat karena aku juga sudah sangat merindukannya. “Kau sudah di rumah?” Ia bertanya setelah wajahnya muncul di layar. “Sudah, aku pulang kemarin. Kapan kau akan ke sini lagi? Sudah tiga hari kau di sana ber
Baca selengkapnya

Part 58. Kebencian Ibu

[Aku sudah mau sampai] Begitu pesan yang kudapat dari Sergio. Hari ini dia benar-benar menepati janji untuk datang. Nanti malam adalah acara malam ke empat belas acara kematian Bapak. Hari ini rumah sedikit ramai karena ada acara masak-memasak. Sementara aku tidak bisa membantu apa pun, karena kaki dan tangan belum pulih total. Luka di muka juga masih terasa nyeri dan nyut-nyutan sesekali. Aku mengurung diri di kamar. Setelah tahu Sergio masih memiliki istri, Ibu sedikit berubah sikapnya. Ia tidak seperti biasa. Desakan agar lekas bercerai juga terus ia lontarkan. Entah apa yang salah, toh aku tidak pernah merebut apa pun. Aku juga tidak pernah meminta agar Sergio meninggalkan keluarganya. Permintaan waktu itu terlontar hanya karena aku tidak bisa mengontrol perasaan. Kami menikah juga atas restu Larissa, tidak menikah secara diam-diam di belakangnya. Aku bangkit berdiri dengan satu kaki dan bantuan tongkat. Harusnya terima saja tawaran dokter untuk tanam besi di kaki agar lekas pu
Baca selengkapnya

Part 59. Semakin Tidak Suka

“Kamu pulang saja, ya.” Aku meminta dengan tidak enak hati pada Clayton. Dia juga pernah berkata akan kembali ke Jakarta setelah acara peringatan empat belas hari kematian Bapak. Lelaki itu menatap, menuntut penjelasan atas ucapanku barusan. Sebenarnya tidak masalah dia ingin tinggal berapa lama pun di rumah ini. Ia adik iparku, meskipun usianya jauh lebih tua dibanding aku. Namun, perlakuan Ibu sejak semalam sangat berbeda ketika ia berinteraksi dengan Sergio dan Clayton. Tampak dengan sangat jelas kesenjangan di antara mereka berdua. Ibu terlihat jauh lebih suka pada Clayton tanpa peduli dengan perasaan menantunya. “Kamu kan harus kerja.” Aku mencari alasan agar ia tidak merasa terusir dari sini. Meski kerja atau tidak pun, tidak akan berpengaruh dengan keuangan mereka. Aku tahu dari Sergio bahwa mereka punya banyak warisan peninggalan orang tua. “Jangan salah paham dulu, aku tidak mengusirmu dari sini. Aku hanya khawatir dengan pekerjaanmu. Sudah dua minggu ini kamu libur.” Aku
Baca selengkapnya

Part 60. Bukan Istri Simpanan

“Bu, jangan begitu sama Sergio. Hargai perasaannya. Dia itu baik, bahkan berbakti sama Ibu. Coba Ibu pikirkan jika tidak ada Sergio, siapa yang akan menanggung biaya pemakaman Bapak? Biaya yasinan selama seminggu, bahkan sampai acara empat belas hari. Itu semua pakai uang dia. Kalau dia itu tidak peduli sama kita, tidak mungkin dia mau habis-habisan begitu. Tagihan rumah sakit juga dia yang nanggung, bahkan sampai ganti motor tetangga juga, dia yang menanggung semuanya. Semua pengeluaran Clayton selama di sini juga sudah diganti sama uangnya.” Aku meminta dengan memelas pada Ibu, berharap agar sikapnya kembali seperti sedia kala. Setidaknya tidak terlalu cuek pada suamiku itu. Namun, tampaknya Sergio telah menjadi begitu buruk di mata Ibu. Ia tidak ingin mendengar sama sekali. Bahkan tidak peduli saat aku berbicara padanya. Ia memilih sibuk sendiri, meraih sapu, lalu menyapu lantai yang tidak kotor sama sekali. “Ibu! Ibu bisa menghargaiku sedikit saja?! Aku lagi bicara sama Ibu!” Ku
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1234567
DMCA.com Protection Status