Waktu terus berlalu selepas sosok itu berbicara. Langkahnya terdengar menyusuri lorong, lantas suaranya yang terus meminta paku perlahan hilang. “Yang, mungkinkah itu Bibi Lija?”“Ngomong apa toh, Neng? Lija hanya datang pagi sampai sohor.”Saat ini yang aku lakukan hanya duduk, enggan menarik selimut, enggan menyentuh bantal seperti biasa. Cukup lama aku jadi patung, tiba-tiba Eyang kembali seperti belut kesetrum listrik. Dering panjang dari ruang tengah penyebabnya, membuatku seketika ikut was-was.“Duh, Gusti!”“Tenang, cuma alarm salat tahajjud, Yang.” Eyang tak lagi menyahut, dia malah seperti kelimpungan lalu turun dari kasur. “Itu dia, alarm sudah bunyi, Neng.”“Lah, terus?”“Terus, ya, ayo ikut salat.”Saat ini, aku berpikir lebih baik aku pingsan sampai pagi daripada harus melawan ketakutan sepanjang malam. Akhirnya mau tak mau aku mesti nurut, ini sudah jadi aturan di rumah Eyang, dini hari harus bangun, salat, tadarus, salat, berdzikir.Sensasi di luar pintu kamar dingin
Read more